Jumat, 07 Oktober 2016

Puisi Setia Naka Andrian (Pikiran Rakyat, 4 September 2016)

Hari Kedelapan Belas

hari ini, kita telah melipat baju-baju
yang kita kenakan di tahun lalu
di sana dihiasi lampu, wajah-wajah manusia,
sungai, dan ikan-ikan yang menguap ketika berenang;
hari ini kita banyak lupa ingatan,
riwayat kamar-kamar berserakan di dadamu,
banyak kenangan yang memilih binasa
dalam takdir sebuah kota,
hingga kini, sebelum menutup jendela,
kau, memilih menjadi hari yang paling kuasa;
manusia berangkat kerja, menjadi pasukan,
menjadi serigala, pemangsa kebahagiaan,
pejinak tragedi, dan lain-lain;
hari ini, kita menepi, melukis bantal
dengan pelangi, menghabisi diri orang-orang
yang membutakan matanya sendiri
dengan sendok, garpu, pecahan beling,
dan tanah sisa hujan;
hari ini, kita belajar berlari, di tepi jalan
yang sedang dilewati pasukan malapetaka
ketika kita belum mampu mengubah diri
menjadi segitiga

Sanggargema, Maret 2015


Hari Sepenuh Puisi

ia kabarkan hari-harinya sepenuh puisi
dari hutan, dari jalan raya, dari tembok,
dari sungai, bukit, pohon dan dari segala arah,
hingga dari dalam kamar, mereka berebut bernyanyi
dengan irama dan nada dasar yang berloncatan,
mereka menaiki puisi pelan-pelan, mengelilingi
kota-kota yang berloncatan di atas kepalamu,
semacam kera-kera pemungut hati yang berantakan;
sungguh, kau diamkan hari-harimu yang berbinar
kau tuangkan kepedihanmu dalam segelas anggur
dan kau tiadakan kemenanganmu, malam-malam
mengucur deras, dari keningmu, dari takdirmu,
dari seberapa dalam doa mengepal menjadi
riwayat dan takdirmu,
lalu darimu, puisi berlari mengejar masa depan
yang sedang tidur panjang
ia tak lagi mau sarapan pagi, katanya, hari sudah
begitu kenyang menyaksikan penyakit yang piatu
dan lupa menyusui anak-anaknya,
tak ada lagi obat batuk yang mampu menyembuhkan
lukanya, hingga kau jarang memenuhi gizi untuk
puisi-puisimu, padahal katamu:
puisi adalah satu-satunya anak nuraniku
hingga akhirnya puisi tinggal nama,
penyair kehilangan nyawa,
puisi semakin memburuk, tak mau dibujuk,
mereka lari, memilih mengasingkan diri,
menceburkan diri dalam sungai yang kering

Saranglilin, Maret 2015


Perihal Tidur

sayang, aku tidur dulu di pungungmu ya; nanti tolong
bangunkan aku pukul 17 tepat, karena nanti aku harus
mencari hujan; aku ingin mengajaknya membasahi
pohon yang telah lama tumbuh di jantungku,
katanya, ia pohon yang ingin cepat mati,
ia ingin tidur panjang, dan mengubur dirinya di dadaku,
tolong ya, karena di sana setiap hari terdapat perempuan
menangis yang bersetia menunggu peluru,
katanya, ia selalu bersembunyi di dada-dada para pemerkosa
yang datang tak berkepala; mereka meminum api-api
di atas ladang rahasia, hingga ada seperangkat doa
yang kau lahirkan dari dalam penjara,
ya, benar, mereka dilindungi para penjaga yang gemar
membakar batu; aku tak tahu, kenapa batu diam saja,
ia tak kepanasan, ia tak kedinginan,
atau barangkali ia sedang tidur, ia lelah, karena sering
dipinjam orang-orang yang keras kepala,
ah, kau malah mengira jika aku bohong,
padahal sungguh, semua menyaksikan,
bahkan jika kau mau, mereka siap untuk membinasakan
dirinya sendiri; termasuk kelak kau, aku, dan semua orang
yang membenci hari-hari tidur,
kita akan lelap bersama, menyaksikan mimpi-mimpi
yang menidurkan kita, sebagai diri yang sementara,
sebagai jiwa yang paling pura-pura,

TBRS, Maret 2015


2 komentar:

nitayustitia mengatakan...

Nita Yustitia Rahmayani 2D 16410160

setelah saya membaca puisi yang berjudul hari sepenuh puisi saya memhami isi puisi tersebut, isinya yaitu pada zaman yang sudah modern ini banyak penyair puisi meningglkan dunia puisinya karena mengikuti perkembangan zaman ini sehingga sangat sulit untuk menemukan penyair puisi pada sekarang ini

Unknown mengatakan...

Faidatun Mujawanah
16410169/PBSI/2D
Puisi"perihal Tidur" sangat bagus meskipun harus dibaca berulang-ulang untuk bisa memahami isinya.