Kamis, 12 September 2013

Seragam dan Tawuran Pelajar

Oleh Setia Naka Andrian

Seragam dan tawuran adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan dari ingatan para pelajar di negeri ini. Pelajar yang pada umumnya anak muda, masih butuh kenakalan dan bertindak hal-hal yang tidak wajar. Mereka tumbuh dari tubuh yang panas dan ingatan yang cerdas. Ingin selalu melompat-lompat dari penindasan-penindasan yang sering muncul dari lingkungan, bahkan dari tubuhnya sendiri. Barangkali kita tak sanggup membayangkan betapa liarnya mereka. Namun itulah pelajar, butuh tempat yang teduh untuk lari dari keterasingan-keterasingan dan kejenuhan yang timbul dari sekolah/ lingkungan belajarnya.
Sebenarnya mereka sangat sadar dengan apa yang dilakukan. Bahkan mereka juga dapat berhenti sendiri untuk meninggalkan kenakalan dan tawurannya. Karena barangkali sama halnya saat mereka melepas seragam sekolahnya ketika sampai di rumah. Benar-benar lepas. Karena setidaknya seragam mereka telah menjadi sejarah sebelum sampai di rumah. Seragam telah dikenakan untuk keliling kemana-mana sebelum mencium pintu kamarnya. Hingga akhirnya lelah dan mengadu pada kasur, bantal, berteriak di facebook dan barangkali juga berkicau di twitter.
Bayangkan saja, begitu dahsyatnya seragam sekolah menginap pada ingatan para pelajar. Karena seragam, mereka dapat leluasa berlari-lari di pinggir-pinggir jalan. Mereka juga lebih asyik nongkrong di alun-alun kota, berfoto-foto, atau sambil menggoda lawan jenis yang lewat. Karena seragam, mereka berani saling menghina antarsekolah gara-gara ikat pinggang dan sepatu dari sekolah lainnya tergadaikan hanya karena buku suplemen mata pelajaran dan uang saku yang tak wajar.
Yah, begitulah. Seragam dan tawuran telah menjadi dua sisi uang logam yang bersebelahan. Lalu kita dapat memilih perbandingannya, masa lalu kita dulu ketika berabu-abu putih dengan masa anak kita kali ini. Namun seyogyanya kita tak perlu sakit hati. Karena bagaimanapun kita kini menyaksikan mereka semakin manja karena seragam. Air mata tak lagi mampu berlinang gara-gara nilai ujian yang belum keluar. Juga mengenai sayembara-sayembara kreativitas yang sering terabaikan. Namun bagaimanapun tangis mereka adalah proposal permintaan tas dan ikat pinggang yang baru. Atau bahkan membanting-banting tubuhnya sendiri ketika hendak minta motor baru hingga mobil mewah. Dan, itu bukan kelaparan mereka. Hanya saja kekeliruan yang terjadi pada tubuh mereka sendiri. Atau bahkan sistem dan keraguan yang sering muncul dari rumah-rumah yang sering mereka anggap sebagai sekolah, dan sekolah yang barangkali selalu mereka anggap sebagai rumah. Atau bahkan lebih parah lagi, sebagai tempat nongkrong dan berpesta yang paling berlabel tralala. Lalu selanjutnya bagaimana, atau barangkali tak perlu lagi berseragam?***

BilikLipat, November 2012

Tidak ada komentar: