Selasa, 08 Agustus 2017

Catatan Harian Seorang Bapak 'Nakal' (Derap Guru. Agustus 2017)

Catatan Harian Seorang Bapak ‘Nakal’
Oleh Setia Naka Andrian

Judul Buku         : “Bapak Nakaaal...!”
Penyusun            : Budi Maryono
Penerbit              : Gigih Pustaka Mandiri
Cetakan              : I, April 2017
Tebal                  : xiv + 376 halaman
ISBN                  : 978-602-1220-14-6

Di era seperti sekarang ini, tentu masyarakat kita telah begitu asing dengan catatan harian. Diary (buku harian) seakan telah menjauh dari benak, ingatan, dan imaji seseorang. Buku harian yang dulu berwujud kecil-mungil dan selalu dibawa ke mana pun seseorang pergi, kini tak tersentuh, tak menjadi bagian dari aktivitas keseharian lagi.
Seseorang seperti sudah tidak lagi punya waktu untuk mencatat segala yang dialami, dijalani, dan berkesan setiap harinya. Seseorang sudah terlanjur disibukkan dengan seabrek rutinitas dan pekerjaannya masing-masing. Sibuk menyuntuki gawai canggihnya untuk berkomentar dalam group-group media sosial saat menunggu bus di halte, menunggu keberangkatan kereta, atau menanti jadwal penerbangan di bandara.
Meski sesungguhnya tak pelak lagi, setiap diri tentu butuh mengabadikan momen bermakna, memanjangkan ingatan dari kejadian yang berkesan, baik momen personal atau peristiwa lain bersama sahabat, pasangan, komunitas, atau keluarga.
Budi Maryono dalam bukunya “Bapak Nakaaal...!” (Gigih Pustaka Mandiri, April 2017) seakan mengajak dan mengingatkan kembali kepada khalayak ramai, betapa catatan harian perlu dikerjakan lagi. Buku yang cukup tebal tersebut berisi catatan dari kisah penulis bersama keluarganya dalam berlaku hidup di rumah, bermasyarakat, beragama, berbangsa dan bernegara. Bertitimangsa 2010-2014, tiap tahun terdiri dari berbagai judul yang telah berurutan kapan peristiwa terjadi dan kapan catatan dituliskan.
Budi Maryono seakan berikhtiar mencipta sejarah kehidupan bagi keluarga, bagi seorang istri dan ketiga anaknya. Catatan-catatan ditulis dengan pengisahan sederhana, mudah dipahami dan tidak panjang, rata-rata berkisar dua hingga tiga halaman. Nampak jelas, penulis prosa Di Kereta Kita Selingkuh (2008) ini hendak menyasar para pembaca yang lebih luas, tidak hanya para penyuka sastra semata, namun ia tujukan untuk keluarga Indonesia.
Kejadian-kejadian sederhana dan syarat tak terduga di benak pembaca dihadirkannya dalam buku ini. Dari mulai kisah keluarga penyayang kucing, persoalan pengasuhan anak, penanaman akhlak dan moral bagi anak, memerdekakan anak dalam menentukan masa depannya, hingga perihal laku keluarga dalam beragama.
Rencana semula berdua saja tapi kemudian berubah pikiran dan kami sepakat untuk iktikaf serumah. Kemarin, Jumat 17 Agustus, kami pun berangkat dengan taksi sekitar pukul sepuluh malam. (Ketika Lebaran di Depan Mata, hlm. 179). Kisah Budi Maryono bersama istri dan anak-anaknya menjalani iktikaf berjamaan di Masjid Baiturrahman Semarang pada malam 29 Ramadan. Tengah malam hingga pukul tiga pagi, mereka memilih baitullah ketimbang baitulmall ketika lebaran sudah di depan mata.
Budi Maryono, dalam buku ini menyuguhkan kisah-kisah berbentuk prosa pendek yang bersumber dari kenyataan hidupnya. Kisah-kisah mengalir dengan nada tak menggurui, walaupun terkadang kerap didapati nasihat yang ia sampaikan kepada anak-anaknya melalui dialog dalam kisahnya. Ia memposisikan diri sebagai “bapak” pencatat. Lebih banyak menyibak momen istri dan anak-anaknya, baik di dalam maupun di luar rumah. Namun, ia tetap menjadi bapak ‘nakal’ dalam menyutradarai jagat keluarganya.
Hanya saja, ada bagian-bagian kisah yang seakan menjenuhkan pembaca. Ketika Budi Maryono tak sedikit menghadirkan kisah-kisah momen ulang tahun yang berulang setiap tahunnya. Anggota keluarganya berjumlah lima, berapa kali dalam setiap tahun kisah itu berulang? Belum lagi, ulang tahun pernikahannya pun kerap dikisahkannya pula. Meskipun ceritanya tercatat berbeda-beda, namun jika dengan momen sama, tentu tetap saja akan mengganggu mata pembaca.***



─Setia Naka Andrian, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang. Menulis buku “Perayaan Laut” (April 2016) dan Remang-Remang Kontemplasi (November 2016).

2 komentar:

budi maryono mengatakan...

terimakasih atas catatan terhadap catatan ini, Naka...

ririnsela mengatakan...

Sebuah cerita yang menarik dan menginspirasi pak