Senin, 14 Agustus 2017

Sastra Lokal dan Kebinekaan (Wawasan, 11 Agustus 2017)

Sastra Lokal dan Kebinekaan
Oleh Setia Naka Andrian

Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (Munsi II) 2017 telah terselenggara pada 18 hingga 20 Juli di Hotel Mercure Ancol Jakarta. Ini kali kedua perhelatan yang diselenggarakan Pusat Pembinaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, selepas Munsi pertama pada tahun lalu.
Jika tahun lalu peserta Munsi dipilih berdasarkan rekomendasi tiap-tiap daerah bagi para pegiat sastra, kali ini peserta yang diundang Munsi lebih diperketat lagi. Yakni di antaranya melalui seleksi buku (karya) yang dikirimkan kepada panitia, kemudian diseleksi oleh dewan kurator. Selain itu, undangan peserta Munsi dari para alumni Munsi I yang telah turut serta dalam penulisan antologi puisi Munsi I tahun 2016. Selanjutnya, undangan Munsi kategori yang ketiga berasal dari para budayawan, pemerhati, dan pakar sastra yang berkompeten.
Perhelatan Munsi II ini tentu telah menjadi sebuah pertemuan yang menghantarkan para sastrawan Indonesia dalam perbincangan hangat. Yakni menyibak Kebinekaan Indonesia yang saat-saat ini kerap didengungkan dalam berbagai gerak perbincangan dan laku, baik di kalangan akademisi, pemerintah, komunitas seni budaya, hingga masyarakat luas. Mengingat berbagai persoalan dinilai kian menjadi-jadi, berupaya menggoyahkan kebinekaan Indonesia.
Dalam sebuah perbincangan yang disampaikan Radhar Panca Dahana, ia menegaskan bahwasanya karya sastra Indonesia tentu sudah sangat mencerminkan kebinekaan Indonesia jika kita semua mau menengok dan kembali pada karya-karya sastra lokal. Bahkan, dunia pun akan tergeleng-geleng melihat karya sastra kita. Jika kita tengok, berapa provinsi yang ada di Indonesia ini, kemudian berapa kabupaten, kecamatan, desa/kelurahan, bahkan berapa kampung yang melingkupinya.
Jika karya sastra lokal dari segenap titik daerah itu kita garap, setiap tahunnya akan bermunculan berapa karya sastra di Indonesia ini? Segala ini akan bergulir sehat jika para sastrawan tergerak untuk lebih memperhatikan dan berupaya sekuat tenaga untuk mengangkat sastra lokal tersebut.
Setidaknya, melalui garapan sastra lokal tersebut dapat menjadi bahan pijakan untuk pembelajaran sastra kita. Sudah tentu, suntikan Kebinekaan Indonesia kepada anak didik di sekolah sebagai sebagai sebuah ikhtiar tercapainya pendidikan karakter bagi generasi penerus bangsa dapat dilalui dengan guyuran karya-karya sastra lokal.
Pada Munsi II ini pun, didapati perbincangan mengenai Sastrawan Masuk Sekolah, dengan tujuan akan terjadi gerak sinergi antara guru bahasa Indonesia dan sastrawan lokal dalam pencapaian gerak pembelajaran sastra yang lebih berdaya guna. Selain itu, sekiranya para sastrawan lokal juga dapat membantu mengaktualisasikan proses kreatifnya kepada siswa, terutama terkait sastra lokal yang hendak atau sedang digarap dan ditekuninya.
Sudah tentu ini terkesan bukan sebagai kerja yang mudah, tidak seenteng membalikkan telapak tangan atau mengubah posisi belahan rambut. Namun, segala ini tentu dapat dilakukan perlahan. Dengan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak terkait, kepedulian Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tentunya, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, serta kesadaran kolektif dari berbagai pihak lain, termasuk bagi para sastrawan lokal. Kenapa perlu dicanagkan program Sastrawan Masuk Sekolah?
Selama ini, tidak sedikit telah dikeluhkan bahwa guru-guru mata pelajaran Bahasa Indonesia kerap melewati (melompati) materi kesastraan dalam pembelajarannya. Jika tidak melewati (melompati), mereka sampaikan dengan seadanya dan sesampainya, atau seingat-ingatnya saja, apa yang masih nyangkut dalam sisa-sisa ingatan masa kuliah.
Apalagi dulu pada masa kuliah hanya didapat di kelas saja, itupun dosennya kerap izin tidak masuk kelas, ditambah lagi tidak ikut unit kegiatan mahasiswa (UKM) sastra, tidak pernah menghadiri acara atau diskusi-diskusi sastra, buku-buku sastra juga hanya koleksi yang diwajibkan dari dosen mata kuliah itu semata. Lalu pengalaman kesastraan dari mana yang dikantongi?
Entahlah, dengan alasan apa pun, tentu segala itu sangat tidak bisa dimaafkan. Dosa besar bagi dunia pengajaran! Dosa turun-temurun yang tiada pernah terampuni! Sudah menjadi rahasia umum, tidak jarang didapati kasus itu, guru melompati materi sastra dalam mengajar di kelas.
Padahal sudah sangat jelas, anak didik sangat perlu disuntik sastra. Bahkan sudah menjadi keharusan bagi negara-negara maju, bahwa bacaan-bacaan sastra wajib dikonsumsi semua siswa, semua mahasiswa dalam bidang ilmu apa pun. Setiap tahun diharuskan mengkhatamkan sekian puluh judul buku sastra.
Nah jika di Indonesia ini bagaimana? Jangankan semua siswa atau mahasiswa semua bidang ilmu, bagi yang jelas-jelas menekuni sastra saja, berapa buku sastra yang diwajibkan untuk ditelan setiap tahunnya? Sudahkah kampus-kampus yang ditangkringi program studi kesastraan memberlakukan aturan itu dengan ketat dan tegas?
Mustahil kita berteriak-teriak, mendengung-dengungkan kebinekaan, toleransi, dan seabrek kemuliaan-kemuliaan berkehidupan. Kita paham, tanpa sastra, sudah tentu hidup ini akan menjadi kaku. Akan semakin sering kita temui generasi penerus bangsa yang kehilangan roh spiritual, moral, dan jiwa nasionalisme. Akan sering pula kita temukan orang-orang yang memiliki sumbu pendek, mudah menyalahkan orang lain yang tidak memiliki kesamaan dengan dirinya.
Bahkan, akan mudah mengkafirkan kaum lain yang katanya tidak sesuai dengan keyakinannya. Begitu panjangnya pekerjaan rumah kita. Lalu hendak kita mulai dari mana? Tentu, yang paling sederhana adalah jawaban klise yang begitu menggedor telinga kita, dimulai dari diri kita sendiri. Dimulai dari kesadaran kolektif berbagai pihak yang telah tersebut sebelumnya tadi.***


─Setia Naka Andrian, Lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Peserta Munas Sastrawan Nasional (MUNSI II) 2017. Bukunya yang telah terbit, kumpulan puisi “Perayaan Laut” (April, 2016) dan bunga rampai “Remang-Remang Kontemplasi” (November, 2016). Tahun ini akan menerbitkan beberapa buku puisi, di antaranya “Manusia Alarm” dan “Orang-Orang Kalang”.

Tidak ada komentar: