Senin, 07 Agustus 2017

Paguyuban dan Sambung Napas Institusi

Paguyuban dan Sambung Napas Institusi
Oleh Setia Naka Andrian

Hari Minggu, adalah hari yang saya setir untuk selalu bangun pagi. Bahkan lebih pagi dari hari-hari lain. Jika hari Senin hingga Jumat (hari kerja), saya biasa bangun pukul 5 hingga mepet-mepetnya pukul 6 atau melestnya pukul 6.30, maka tidak untuk hari Minggu. Tubuh ini seakan telah merekam jejak gerak anggotanya, seolah ada alarm kecil yang selalu menggedor diri ini untuk untuk bangun sangat pagi. Hanya di hari Minggu saja. Tak lain karena sejak dulu kala, hari Minggu selalu saya gunakan untuk memburu koran.
Mengingat di Kendal, di tempat lahir dan tempat tinggal saya begitu susah untuk menemukan warung penjual koran yang lengkap. Penjual koran yang mampu menyediakan beraneka ragam pilihan koran, seperti halnya beragam menu masakan yang ditawarkan di balik etalase warung masakan Tegal (Warteg). Kita akan dibuat manja untuk menunjuk apa saja yang bakal diramu untuk dimasukkan ke dalam perut sebagai pemenuh nutrisi tubuh dan penggugur godaan lapar mata.
Itu tidak saya temukan. Rumah saya berada di tengah, di kecamatan Brangsong. Saya dapat menemukan koran-koran yang saya pilih dengan harus menembus arah barat dan timur. Barat di kecamatan Kota Kendal, dan timurnya berada di kecamatan Kaliwungu. Itu pun, belum lagi jika dihadapkan dengan penjual koran di Kaliwungu yang kerap tutup tiba-tiba tanpa pemberitahuan sebelumnya kepada saya. Jika penjual koran tersebut boleh berpendapat dalam catatan ini, pasti ia akan teriak, “Lha memang situ siapa?”
Kedua belah arah berburu koran tersebut kian menjadi bagian kecil dari jagat hidup saya yang entah. Seolah tak bisa dipisahkan dengan hari Minggu. Hari-hari yang seharusnya saya atau siapa pun akan menganggap sebagai hari pancal selimut (hari bermalas-malasan, hari kruntelan), namun segala itu dapat dijalani dengan mulus karena kekuatan yang sulit diriwayatkan itu.
Belum lagi jika dulu yang lebih silam, saat saya masih tinggal bersama kedua orangtua. Tempat tinggal saya lebih jauh lagi, meskipun masih dalam satu kecamatan dengan tempat persembunyian saya saat ini. Tentu pembaca yang sempat menghinggapi ngunduh mantu pernikahan saya akan cukup paham. Betapa pelosoknya kampung halaman saya. Betapa buruknya jalan yang harus dilalui hingga menuju kampung tempat saya dilahirkan dan dibesarkan hingga melampaui masa setengah matang, sebelum hengkang melanjutkan kuliah di kota tetangga.
Segala itu seakan dipandang sebagai beban yang enteng, karena semua dilakukan berkali-kali. Dimulai dari keinginan dan keyakinan kuat untuk mendapatkan sesuatu. Jika dalam sebuah proses penciptaan aktor teater, ada yang disebut sebagai aktor bentukan mekanik, aktor yang dibentuk seorang sutradara (pelatih, ahli) karena tempaan gerak latihan yang berkesinambungan dan pembiasaan.
Lalu ada pula aktor bentukan alamiah, dengan tanpa dipacu atau tanpa tempaan apa pun, daya keaktorannya tetap bercahaya dan memukau ke hadirat penonton di atas panggung pertunjukan. Nah, yang saya lakukan ini hampir semacam aktor bentukan mekanik tadi, karena tempaan berkali-kali dan kebiasaan yang didorong atas keinginan keras serta kecintaan mendalam. Benar, mirip dengan dengungan penyemangat diri, bisa karena biasa! Dalam hal apa pun, kita tentu dapat berpengang dari itu. Entah aktivitas kerja, kegemaran, berkomunitas, dan segala macam berguyub-guyub lainnya.
Seperti halnya Minggu pagi ini, pada 6 Agustus 2017. Pertemuan Paguyuban Fakultas Pendiidikan Bahasa dan Seni (FPBS) Universitas PGRI Semarang di Pemancingan Baron Semarang menjadi salah satu bagian kecil yang sangat berdampak besar bagi kehidupan saya pribadi. Maaf sedikit intermeso, jika kalimat tersebut membuat saya ternobatkan menjadi sosok halu di hadapan pembaca. Ah, lagi-lagi saya harus bertemu dengan istilah semacam halu itu, yang saya temukan dari ucapan istri saya. Katanya itu istilah gaul, yang jika diperpanjang menjadi halusinasi. Kata istri saya, kaum halu. Saya kaum yang penuh khayal. Waduh.
Namun begitulah adanya, saya menemukan catatan kecil ini pun atas imbas dari pertemuan paguyuban tersebut. Atas pertemuan, tegur-sapa, kisah dan cerita-cerita dari teman kerja, guru, dosen. Di antaranya, Bu Sri Suciati, Bu Siti Lestari, Bu Asrofah, Bu Ngatmini, Pak Suyitno, Pak Broto, Pak Harjito, dan lainnya. Segenap canda, lomba anak-anak yang lucu-lucu, serta rangkaian acara dalam paguyuban, begitu rupa membuat diri ini semakin tergugah. Semakin banyak yang harus dipikirkan, dilakukan, dan tentu, diperjuangkan! Tentu, dalam gerak diri, dan sambung napas institusi.
Saya seakan digiring dalam banyak ruang yang masih kosong. Tiba-tiba saya kembali ingat kampung halaman, ingat berburu koran, ingat segala hal yang awalnya tiada terngiang di benak dan hati saya. Jika boleh saya tegaskan, semua itu karna imbas pertemuan. Benar, karena paguyuban! Jika kita renungkan sejenak, kini kita hidup di zaman yang serba mudah.
Kita seakan dibuat manja atas segala godaan-godaan yang ditawarkan. Mau makan bisa di antar sampai tujuan, hanya dengan menekan beberapa tombol ajaib dalam ponsel pintar kita. Mau janjian, dipenuhi dengan tombol itu lagi. Bahkan, hingga mau membatalkan janjian pun sama, kita diselamatkan dengan tombol itu lagi. Sungguh, betapa semuanya bergantung, bermuara, dan berimbas dari tombol itu.
Kemudahan-kemudahan yang ditawarkan dan yang begitu menggoda itu, seakan semakin membunuh pertemuan tubuh kita ke hadirat khalayak. Kita beranggapan, bahwa pertemuan-pertemuan telah rampung di ruang-ruang grup-grup yang dilahirkan dari aplikasi ponsel pintar kita. Lantas, kita beranggapan tiada perlu lagi menjalani pertemuan tubuh. Jika tidak ya, pertemuan tubuh itu semakin berkurang, lalu hingga berakhir pada hilang mutlak. Sama sekali tidak bertemu, sama sekali tiada lagi jabat sapa, jabat cerita, dan jabat-jabat tralala lainnya.
Tentu, sebuah pertemuan dalam paguyuban atau dalam wujud komunitas lainnya, tetap perlu ditegakkan. Dengan jabat tubuh, kita akan semakin menjauh dari kecurigaan, was-was, kegagalpahaman terhadap diri lain, atau setidaknya, dapat dikatakan pertemuan tubuh telah menemukan nilai lain yang sangat tidak kita temukan melalui media apa pun, secanggih apa pun. Sebab, di ragam media itu, kita tak mampu bertatap mata. Sebab katanya, mulut bisa bohong, dan mata tidak. Di media sosial, mata kita hanya dihadapkan dengan layar kaca. Mata tak bertemu dengan mata. Mata yang hanya akan semakin menggiring kita dalam curiga-curiga.***


─Setia Naka Andrian, tinggal di setianakaandrian.blogspot.co.id yang sedang berupaya menjadi setianakaandrian.com

Tidak ada komentar: