Selasa, 08 Agustus 2017

Spirit Selepas Lebaran Rampung (Derap Guru, Agustus 2017)

Spirit Selepas Lebaran Rampung
Oleh Setia Naka Andrian

Lebaran telah usai. Halal bi halal tinggal sisa-sisa. Tidak sedikit dari lembaga pemerintahan, pendidikan, komunitas, organisasi serta masyarakat luas menjalani ritual tahunan tersebut pada minggu pertama, kedua, ketiga, atau bahkan minggu keempat Lebaran. Saling bermaaf-maafan, setelah mengaku banyak berbuat salah. Halal bi halal dilaksanakan, setelah tunai menjalankan puasa di bulan Ramadan. Datang bersama keluarga lengkap dengan anak-anaknya. Sapa, gurau dan canda menjadi kebahagiaan tersendiri dalam ritual silaturahmi. Sambil menikmati beragam sajian masakan khas daerah.
Pemaknaan halal bi halal ditandai dengan berlangsungnya perayaan Idul Fitri. Tentunya sama halnya yang dilakukan di daerah-daerah lain. Pada intinya, halal bi halal menjadi ajang silaturahmi sesama untuk saling memaafkan, setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan selama satu bulan penuh. Selain itu dimaknai pula sebagai ajang pertemuan setelah seseorang jarang bertemu atau bahkan berpuluh-puluh tahun tidak pernah bertemu. Hingga akhirnya momen penuh berkah tersebut ditandai pula dengan kegiatan reuni.
Bagi masyarakat Kendal misalnya, selain momen tersebut juga didapati tradisi yang menjadi penghormatan tersendiri bagi tokoh penyebar agama Islam di Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal. Dikenal dengan sebutan Syawalan, sebagai peringatan hari meninggalnya Kiai Asy’ari atau dikenal dengan Kiai Guru. Syawalan berlangsung sejak H+1 Lebaran hingga tiba pada puncaknya yakni H+7 atau biasa disebut masyarakat luas dengan sebutan Lebaran Kupat.
Syawalan yang digelar rutin setiap tahun selepas Idul Fitri ini memang sudah rutin digelar tiap tahun. Hingga akhirnya tradisi ini mampu menyedot ribuan orang untuk berduyun-duyun mengunjungi makam di bukit Jabal Desa Protomulyo. Para peziarah datang tidak hanya dari dalam kota saja, namun dari berbagai penjuru kota pula. Mereka berniat tulus untuk mendoakan dan mengharap berkah kebaikan di bulan Syawal. Walaupun untuk menempuh makam, mereka harus berjalan kaki lima kilometer menaiki bukit. Bahkan karena terlalu banyaknya peziarah yang berkunjung, warga harus bergantian untuk mendapatkan kesempatan mendoakan langsung di depan makam Kiai Asy’ari atau Kiai Guru.
Selain itu juga ke makam Sunan Katong, Kiai Mojo, Kiai Mustofa, Wali Musyafa. Makam begitu ramai, ribuan orang berjubel, penuh dan berdesakan. Hingga hal tersebut dimanfaatkan para pedagang untuk menjual makanan, minuman, mainan anak-anak. Syawalan menjadi keberkahan, tradisi masyarakat. Muslichin (2008) menyebutkan bahwa tradisi merupakan sesuatu yang berangkat dari sistem keyakinan. Dalam tradisi masyarakat mengulangi apa yang dilakukan oleh manusia pada masa dahulu.
Tradisi menjembatani apa yang sudah diciptakan dan dimulai oleh nenek moyang sampai generasi yang terakhir. Manusia masa sekarang sebagai pendukung kebudayaan tersebut merasa memiliki dan perlu menjalankan apa saja yang telah melekat menjadi bentuk tradisi. Tradisi tersebut dilaksanakan dengan kesungguhan dan didasari ideologi Islam yang kuat. Maka masyarakat tidak melaksanakan sebatas rutinitas semata, namun mampu menumbuhkan spirit tersendiri. Tentunya akan mereka gunakan untuk bekal pada kelangsungan hidup berikutnya, agar lebih semangat, berkah dan mampu membawa perubahan yang cukup fundamental bagi substansi kebudayaan Indonesia.***


─Setia Naka Andrian, Dosen Universitas PGRI Semarang. Menulis buku Perayaan Laut (April 2016), Remang-Remang Kontemplasi (November 2016).

Tidak ada komentar: