Minggu, 21 April 2024

Prof. Eko, Leiden, dan Remedi Morfologi


Oleh Setia Naka Andrian

 

Barangkali, setelah Kendal kota kecil tempat lahir dan tinggalku itu, Leiden inilah kota selanjutnya yang sangat kucintai dan selalu kurindu. Setelah meneguk sekali pada 2019, lalu kini 2024, kemudian waktu selanjutnya ingin lagi dan lagi. Bismillah, semoga selalu ada kesempatan pada waktu-waktu berikutnya untuk melanjutkan belajar, untuk menyelam dalam-dalam, untuk selalu dahaga tanpa merasa penuh isi gelasnya...

 

Jika menyebut Belanda, tentu didapati narasi-narasi tak baik yang ditanamkan dalam benak ini kala masih duduk di bangku sekolah dasar. Meski kemudian, ketika melanjutkan studi di bangku kuliah, jika dihadapkan sejarah dan beberapa hal tentang peninggalan masa lalu dari bangsa Indonesia, maka Leiden adalah semacam tubuh berikutnya selepas mengenal Belanda.

 

Apa lagi ketika saya studi di Universitas Negeri Semarang, sekitar 2011-2014, salah satu dosen yang mengajarku adalah lulusan Universitas Leiden. Ia banyak berkisah mengenai pendakian studinya di Leiden. Bagaimana bahasa yang saling meminjam, saling memiliki, hingga perihal pasar tiban di tepi kanal yang buka dua kali seminggu: Rabu dan Sabtu itu begitu saja nyangkut dan kemudian mengeram cukup berat di benak-batinku.

 

Ya, dosen itu adalah Prof. B Karno Ekowardono. Aku cukup tertarik untuk mengikuti kuliahnya. Meski sungguh, mata kuliah yang diampunya, yakni Morfologi, selalu saja menjerumuskanku untuk berkali-kali remedi. Yang kuingat, sepertinya aku satu-satunya mahasiswa terburuk untuk menerima mata kuliah itu. Sampai suatu saat, aku begitu ingat bagaimana Prof. Eko menerimaku seorang diri di meja kerjanya. Berkali-kali begitu, meski ia begitu sabar meladeni kebodohanku. Hingga akhirnya, entah karena kasihan atau bagaimana, karena telah berkali-kali nilai selalu kurang, maka sudah pada akhirnya aku bisa lulus mata kuliah yang bagiku begitu angker itu. Sepertinya lulus dengan nilai paling minimal dan tentu aku yakin itu nilai yang dipengaruhi belas kasihan. Juga sempat beberapa kali minta bantuan pula kepada teman kanan-kiri yang sama-sama menempuh mata kuliah itu. Bukan minta bantuan ketika menggarap ujian, tapi minta bantuannya sesaat selepas nilai saya buruk dan harus mengulang ujian lagi, lagi, dan lagi. Sebab aku ingat betul, ujian mengulangnya itu harus dilakukan di hadapan Prof. Eko, di ruang kerjanya. Meski aku kadang kalau ingat menertawai kelucuanku kala itu, betapa bodohnya aku, soal yang dikerjakan ketika remedi itu adalah soal yang sama persis dikerjakan ketika ujian kali pertama. Aku ingat, mengulang ujian (kalau nggak salah) sampai tiga kali, tapi tetap saja nilainya kurang. Betapa entahnya aku kala itu, meski barangkali sampai sekarang pun masih sangat entah juga.

 

Hanya saja bagiku, terserah macam apa. Itu kulewati saja sedemikian rupa. Mengalir apa adanya. Sebab bagiku kala itu: tidak harus saya pandai banyak hal, satu atau mungkin setengah atau seperempatnya saja sudah cukup, asalkan yang itu benar-benar diupayakan melampaui apa saja yang kiranya dilakukan oleh orang-orang lain. Ibaratnya, cari jalan lain, cari celah untuk dapat mencapai titik tertentu. Bisa pula berupaya menemukan langkah-langkah yang mungkin tidak begitu banyak dilalui dan dipikirkan banyak orang. Meski tetap yang utama, berupaya melakukan yang setengah atau seperempat itu lebih daripada apa yang dilakukan orang lain, maka tentu insyaallah akan mendapatkan sesuatu yang lebih pula daripada yang didapatkan oleh orang lain. Sudah, sejak itu aku kiranya memahami rumus kecil semacam itu.

 

Maka sudah, saya terima apa adanya nilai-nilai buruk masa-masa sekolah, masa kuliah, dan bahkan sejak studi sarjana saya sudah kerap mengulang mata kuliah mengikuti kelas adik kelas, tidak hanya mengulang ujian saja! Bahkan hingga studi doktoral yang baru usai beberapa bulan lalu itu, aku sempat pula mengulang satu mata kuliah mengikuti kelasnya adik kelas. Dalam hati menyenangkan diri: tak apalah, malah keren, ikut kelasnya adik kelas malah bisa jadi merasa senior yang ditakuti adik-adik kelasnya, dikira lebih paham karena telah mengulang materi dibandingkan dengan adik kelas!

 

Meski cukup menyenangkan, ketika mengulang kelas itu, ketika saya studi di Universitas Negeri Yogyakarta, dalam mata kuliah yang cukup dianggap angker itu, aku bisa mendapatkan nilai A meski semua tahu kalau teman-teman serupa aku, mendapatkan nilai tak baik. Entah kenapa, tapi ketika sempat aku berjumpa dengan dosen penganpu, ketika sowan bersama teman-teman sekelas, dan aku tanyakan kenapa aku mendapatkan nilai baik, jawabannya: karena memang apa yang Anda presentasikan cukup bagus!

 

Baiklah, meski aku ingat, presentasi itu kulakukan secara daring ketika kalau tak salah ingat pada 2020 atau 2021 sedang menjalani residensi di Kayong Utara Kalimantan Barat. Aku ingat, dalam mata kuliah itu aku mempresentasikan topik politik bahasa yang berkaitan dengan perubahan Ejaan Suwandi menjadi Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Meski selepas presentasi, salah satu adik kelas merespon presentasiku dengan bertanya dan diakhiri: presentasi Anda membuat ngantuk, Mas! Tapi masa bodoh batinku, yang penting pengampu senang. Bisa jadi (kalau boleh menyenangkan diri): ngantuk adik kelas itu karena membosankan bagi orang yang susah memahami apa yang kusampaikan, karena tak cukup bisa masuk alias kurang gaul untuk memahami materiku.

 

Baiklah, aku kembalikan kepada Leiden. Kenapa pula kota ini kuberi tanda cinta setelah Kendal sebagai kota lahir dan kota tinggalku yang sungguh sulit aku tinggalkan itu. Bahkan aku kerap kali mencantumkan di berbagai identitas diri ketika menulis di media atau dalam biodata buku-bukuku: lahir dan tinggal di Kendal! Dalam batin pun meyakini: diri ini ingin selalu tinggal di Kendal, kota lahir itu. Tidak ingin bergeser ke lain tempat. Sebab, kian ke sini, kian banyak memberi arti. Termasuk berbagai laku hidup dan apa pun yang kukerjakan selalu saja bermula dan bermuara dari kota kecil yang dapat dimasuki melalui Jalan Raya Pos itu.

 

Kemudian, Leiden adalah kota selanjutnya yang memberi makna. Sebab memang sejak didengungkan oleh Prof. Eko kala itu, hingga akhirnya terngiang-ngiang, kemudian punya begitu banyak mimpi untuk menjemputnya, untuk datang melalui keyakinan atas serpihan guyuran kisah kala itu yang merembes begitu saja dan mengakar dalam-dalam. Mungkin, jika ada di antara pembaca yang menyimak catatan kecil ini, kalau pernah diajak Prof. Eko, bisa jadi sempat pula mendapati pengisahan tentang Leiden ketia ia menjalani studi PhD-nya.

 

Kemudian pada 2019 dari program Komite Buku Nasional Kemendikbud, aku diantarkan untuk residensi ke Leiden dengan kerja penelitian yang diupayakan menghasilkan karya sastra. Lalu pada 2024 ini, aku mendapat kesempatan untuk melakukan riset karya sastra melalui program dari Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek, melanjutkan apa yang sedikit telah kukerjakan ketika menulis disertasi.

 

Antara Kendal dan Leiden, sejak 2019, lalu riset studi doktoralku, kemudian pada residensi 2024 kali ini, semua berkaitan antara Kendal dan Leiden. Maka sudah pasti, kian ke sini rasa cinta saya terhadap kedua kota itu kian tumbuh menggila. Keduanya sama-sama berarti. Keduanya membuat saya ingin terus menyelami dan menyelami. Tentu sejauh apa yang aku bisa, sejauh apa yang kupilih. Tidak harus banyak-banyak, tidak harus seperti yang dilalui banyak orang di luar sana, yang ramai-ramai, yang megah, yang mewah, dan mungkin yang cepat menghasilkan kepuasan tak terkira.

 

Biarlah, biar setengah atau seperempat seperti dalam hal aku harus menyelami mata kuliah yang paling aku bisa saja. Sebab setidaknya, kalau aku bisa semuanya, mendapat nilai bagus semua, bisa jadi yang kukerjakan sama sekali tidak ada yang terbaik atau yang mampu melampaui apa yang dilakukan oleh orang-orang lain di luar sana. Minimal lebih atau melampaui itu adalah spiritnya semata. Tak apa, paling tidak bagiku: ada yang lebih. Bukan ada yang kurang alias lebih rendah daripada yang dilakukan oleh orang lain.

 

Kemudian kali ini, karena Leiden yang kuyakini bermula dari apa yang ditaburkan ke telingaku dari Prof. Eko, maka sudah pada 2024 ketika momen Lebaran kukirimlah pesan singkat WhatsApp kepada Prof. Eko, kemudian tak sengaja kala itu tak lama kemudian aku berkesempatan sedang ngobrol bersama Prof. Willem van der Molen, kebetulan aku bersama manajer pribadiku (alias istri tercinta) sedang diundang makan di rumahnya. Kami disambut hangat dengan masakan dan obrolan khas Belanda oleh Prof. Willem dan istrinya. Aku menyebut nama Prof. Eko kepada Prof. Willem, aku ceritakan mengenai Leiden yang mulai tertanam pada diriku bermula dari kisah Prof. Eko yang kerap mengaku ketika studi di Leiden belajar kepada Prof. E. M. Uhlenbeck. Sontak Prof. Willem menyaut yakin kalau ia mengenal dan ingat betul mengenai Prof. Eko dosen saya yang kerap meladeniku dalam ujian-ujian ulang itu. Apalagi ketika aku menghadapi buku Kajian Morfologi Bahasa Jawa karya mendiang Prof. Uhlenbeck itu. Aduh, kami tertawa di hadapan para istri kami. Tentu menertawakanku!

 

Kemudian, selepas sampai kamar kos di salah satu rumah di tepi kanal, di daerah Waardeiland Leiden yang dikenal sebagai perumahan elit itu, aku kembali mengirim pesan kepada Prof. Eko, karena aku mendapat mandat untuk menyampaikan salam dari Prof. Willem, karena kala itu sempat saling kenal ketika sama-sama di Leiden. Prof. Eko pun masih ingat dan kirim salam balik, serta aku diminta menanyakan kepada Prof. Willem mengenai kabar dan keberadaan Prof. Hein Steinhauer, salah satu pembimbing Prof. Eko kala itu, selain Prof. Uhlenbeck.

 

Akan tetapi kemudian, sungguh menyesakkan, saya jika sebentar saja merasakan posisi Prof. Eko pasti sangat sedih sedalam-dalamnya.

 

Saya teruskan pesan dari Prof. Willem kepada Prof. Eko, tentang informasi mengenai Prof. Hein. Pesan yang sedikit saya sesuaikan, tentu hanya menghapus bagian yang kiranya tak perlu saja. Prof. Willem mengirim pesan kepadaku seperti berikut.

 

Mas Naka yang baik,

 

Prof. Hein Steinhauer kurang sehat. Sakit kanker yang stabil tapi mengakibatkan Prof. Hein tidak dapat melihat atau mendengar. Jadi komunikasi tidak mungkin lagi. Operasi tidak mungkin karena terlalu membahayakan (di kepala, dekat otak). Menyedihkan sekali. Kalau Prof. Eko mau, nomor ponsel isteri pak Hein (ibu Meilly) akan saya carikan.

 

Salam,

Willem

 

Lalu Prof. Eko menjawab begini:

 

Kalau bisa komunikasi dengan bu Meilly, saya senang sekali. Matur nuwun sanget. Saya masih punya hutang buku Morfologi Bahasa Jawa dengan Anncangan WP & Teori Leksem (untuk Prof. Hein). Yang saya buat dulu Morfologi Bahasa Indonesia. Sayang sekali Prof. Hein sudah tak bisa baca. Jika bisa baca, pasti beliau senang sekali.

 

Ya, begitulah. Kenyataan berkata lain. Aku pun turut sedih, datang dan menyampaikan kepada Prof. Eko tentang keberadaanku di Leiden pada saat yang sudah tidak tepat, ketika Prof. Hein dalam keadaan tak bisa membaca dan mendengar. Kini aku hanya bisa berdoa, dan meminta doa kepada siapa pun yang membaca catatan kecil ini, tentu untuk kesembuhan Prof. Hein, semoga ada keajaiban dari Tuhan, agar Prof. Hein kembali bisa membaca dan mendengar, agar bisa membaca buku Prof. Eko, yang tentu murid yang membanggakan baginya. Bukan seperti aku, murid yang kerap tidak lulus mata kuliahnya. Tapi di sudut hati yang cukup dalam, sambil menghela napas, aku cukup senang sebagai murid yang gemar remedi di mata kuliahnya, tapi sesekali ada manfaat, meski sedikit, sedikit sekali: setidaknya untuk mencarikan informasi mengenai sosok pembimbing Prof. Eko.***

Leiden, 21 April 2024

Minggu, 19 Juli 2020

Yang Selalu Ada dalam Ingatan dan Keabadian


Yang Selalu Ada dalam Ingatan dan Keabadian
Oleh Setia Naka Andrian


Perjumpaan awal dengan Sapardi Djoko Damono adalah pada obrolan buku puisinya Kolam (Editum, 2009) di Semarang, Juni 2010. Dari buku itu, saya jatuh hati dan menjatuhkan diri berkali-kali pada puisi berjudul Bayangkan Seandainya. Berikut puisinya, /Bayangkan seandainya yang kaulihat di cermin pagi ini bukan wajahmu tetapi burung yang terbang di langit yang sedikit berawan, yang menabur-naburkan angin di sela bulu-bulunya;/ bayangkan seandainya yang kaulihat di cermin pagi ini bukan wajahmu tetapi awan yang menyaksikan burung itu menukik ke atas kota kita dan mengibas-ibaskan asap pabrik dari bulu-bulunya;/ bayangkan seandainya yang kaulihat di cermin pagi ini bukan wajahmu tetapi pohon rambutan di halaman rumahmu yang menggoda burung itu untuk hinggap di lengannya;/ bayangkan seandainya yang kaulihat di cermin pagi ini wajahmu sendiri yang itu-itu juga, yang tak kunjung habis meski telah kaukupas dengan ganas selembar demi selembar setiap hari./
Pada Februari 2019, sepuluh tahun kemudian, saya dapat bersua dengannya di Institut Kesenian Jakarta yang berada di Jalan Cikini Raya itu. Dua kali perjumpaan pada hari-hari yang tak berjauhan di bulan Februari itu. Ya, tujuan awal menemuinya dikarenakan kepentingan untuk meminta rekomendasi melanjutkan studi. Kala itu saya berencana berkuliah di salah satu universitas di Depok. Saya mendapatkan nomor ponsel Sapardi Djoko Damono dari seorang teman sejak masa kuliah yang jago baca puisi dan bermain teater, yang saat ini bekerja sebagai wartawan dan ia menetap di Jakarta.
Saya menyimpan nomor ponselnya, selepas beberapa detik saya simpan, muncul akun WhatsApp dari nomor tersebut. Nampaklah gambar diri yang khas dengan topi pet dan berkaca mata. Sudah pasti ini benar nomornya, tak salah lagi. Dengan segera saya mengetik pesan singkat dengan begitu cermat dan hati-hati. Pesan yang berisi perkenalan dan menyampaikan maksud saya menghubunginya. Pesan singkat yang tak panjang tetapi tak pendek juga menghampirinya. Sekitar beberapa menit kemudian, dibalaslah pesan singkat saya tersebut.
Saya deg-degan, berdebar tak karuan selepas mendapati balasan pesan singkat darinya. Bagaimana tidak, tokoh besar bernama Sapardi Djoko Damono yang begitu moncer dalam kerja akademik dan kerja proses kreatif itu telah membalas pesan singkat saya yang bukan siapa-siapa. Bagaimana tidak, ia profesor sastra di sebuah universitas terbaik di negeri ini, pun profesor dalam penulisan karya kreatif. Sosok muda mana yang tak mengaguminya dan tak ingin bercita-cita menjadi seperti dirinya? Terutama bagi siapa saja yang berkuliah di program studi bernapas sastra.
Saya ingat, kala itu ia tak hanya membalas seadanya, tetapi telah disambutnya dengan sangat baik pula pesan saya. Tentunya, ia juga berkenan untuk lekas saya temui. Ia meminta saya menemui di IKJ. Tak menunggu lama, saya langsung bergegas mencari tiket kereta api untuk mengatur jadwal keberangkatan menuju Jakarta esok harinya.
Saat tiba di IKJ yang berada di kompleks Taman Ismail Marzuki, saya langsung menuju ruang dosen pascasarjana IKJ di mana Sapardi Djoko Damono berada, selepas ditunjukkan arah ruangnya oleh seorang satpam. Saya duduk di kursi antrian. Saya beruntung, sebab saya hanya menunggu urutan dari seorang mahasiswa saja yang sedang bimbingan, saya yakin sedang bimbingan tugas akhir (tesis). Nyaris hampir satu jam saya menanti di ruang tunggu, tepat di hadapan ruang tempat Sapardi Djoko Damono sedang memberikan bimbingan dengan begitu sabar dan santun. Penuh balutan tawa lepas pula saat ia membimbing mahasiswa tersebut. Saya melihat dan mendengar langsung, bagaimana gerak tubuh dan raut mukanya kala itu.
Selepas usai membimbing, ia keluar dari ruang dan langsung paham jika saya menunggunya. Kami berbincang di kursi tunggu di depan bilik-bilik ruang dosen, tempat saya menunggu hampir satu jam. Namun waktu tunggu saya rasa begitu cepat, bahkan saya seakan tak cukup waktu untuk menyiapkan dengan matang mengenai apa saja yang hendak saya sampaikan kepadanya. Saya pun kembali berdebar tak karuan, seperti halnya seorang pencari kerja yang sedang mau diwawancarai oleh pimpinan di sebuah tempat kerja.
Namun ternyata, ia menyambut saya dengan baik dan santun. Berbalut tawa lepas pula seperti yang saya lihat sebelumnya saat membimbing mahasiswanya. Ia menanyakan kabar dan dari mana asal (rumah tinggal) saya, serta beberapa perkenalan kecil lain. Kemudian, saya pun kembali menyampaikan maksud seperti yang sudah saya sampaikan di pesan melalui WhatsApp.
Sapardi Djoko Damono menyambut baik maksud saya. Ia pun bersedia memberikan rekomendasi kepada saya, sambil ia nampak melihat berkas-berkas yang saya bawa serta beberapa buku puisi yang saya terbitkan. Dengan penuh deg-degan dan perasaan tak karuan pun saya beranikan untuk memberikan beberapa buku puisi tersebut kepada Sapardi Djoko Damono. Ia membaca dan membuka beberapa bagian. Itu perjumpaan kali pertama, kemudian berlanjut pada perjumpaan kedua selang beberapa hari sembari ia melihat berkas-berkas yang saya berikan untuk mengisi rekomendasi.
Tak ada yang kurang dari perjumpaan kedua, bahkan saya merasa ia kian akrab menyambut kehadiran saya, seperti telah saling kenal lama. Beberapa wejangan pun meluncur dan saya terima dengan sebaik-baiknya. Batin saya kala itu, kapan lagi saya mendapati momentum empat mata dalam waktu nyaris satu jam setiap pertemuannya. Seperti hitungan waktu yang saya lihat saat ia membimbing mahasiswanya. Selepas kembali berbincang dan ia memberikan rekomendasi kepada saya, tak lama kemudian saya pamit. Ia berpesan, terus semangat beproses dan semoga selalu mendapat jalan terbaik.
Namun kini, Sapardi Djoko Damono telah berpulang. Nomor WhatsApp terakhir dilihat pada Jumat, 15.26 WIB. Tepat dua hari yang lalu. Saya ingat, terakhir kali saya menghubunginya adalah ketika mengucapkan ulang tahun yang ke-80 pada tahun ini. Tak kusangka, ternyata itu ucapan terakhir yang saya kirim langsung kepada penyair besar Sapardi Djoko Damono.
Padahal sempat suatu ketika saya berniat untuk meminta alamat surat elektroniknya dan mengirimkan puisi-puisi saya untuk diberi komentar. Sebab sempat saya tahu, ada salah seorang penyair muda yang mengirim puisi-puisinya melalui surat elektronik. Ia membalas dan memberikan komentar sangat panjang. Penyair muda itu sontak sangat kaget dan tentu sangat bersyukur mendapatkan komentar panjang atas puisi-puisi yang ditulisnya.
Namun pasti, akan saya kirim puisi-puisi menuju surga keabadianmu di sana. Semoga kau membalas kembali dan memberi komentar atas puisi-puisi yang tak kunjung bagus-bagus juga yang telah saya kirimkan itu. Selamat jalan Sapardi Djoko Damono, karya-karyamu akan selalu abadi di benak dan batin kami. Saya yakin, kau tak akan tersesat dalam menziarahi keabadianmu di sana. Seperti dalam penggalan puisimu dalam buku puisi Babat Batu berjudul Ziarah Batu berikut. /Kami memutuskan untuk memulai ziarah/ menjenguk perigi dekat gua/ meski air di sana tidak lagi/ memantulkan wajah kami// kami sudah menguasai peta hari ini/ tak akan tersesat ke kanan atau ke kiri/[]

— Setia Naka Andrian, pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang.

Selasa, 21 April 2020

Puisi Setia Naka Andrian (Ideide.id, 21 April 2020)


Sudah Berapa Jam Lalu

Sudah berapa jam lalu,
kau tumbuh di atas punggungku
Kau menikam banyak rindu
Yang ditanam pelan
di antara catatan yang lupa
Ditanam di jalan-jalan
Menuju ketiadaanmu

Sudah berapa jam lalu,
kau telah memilih tak megunjungiku
Kau bilang,
“Sudahlah, jangan cemas
Aku telah tumbang
dalam sekejap waktu
Selepas segalamu tumbuh
di punggungku”

Demikianlah kau,
yang menjadikan kami kikir
Yang membiarkan segenap rakyatmu
terlampau fakir
untuk menentukan segala iman

Masa itu, kau begitu rupa
bergegas berlari
Jika pagi datang
dengan berjingkat begitu tinggi
Jika pagi mendesakmu
agar mengangkat lagi
kedua kaki setinggi-tinggi

Kendal, April 2018


Nama-Nama yang Berlalu

Dalam segala nama mereka
Telah disebutkan nama-namamu
yang berlalu
Doa-doa yang telah lama
tanggal di batu-batu.

Dalam segenap raga mereka
Nama-nama kerap digiring dari segala duka
Setiap pagi menyala, siapa saja melihatmu
Mengapung di sungai-sungai panjang
yang sering memilih berubah pikiran
Untuk menemukan muara yang lengang

Lihatlah, nama-nama baik telah berlalu
Doa-doa dengan napas tinggi
lebih memilih singgah
dan menggantung huruf-huruf vokalnya
Di setiap nada yang mengembang di udara
Saat setiap orang telah bergegas lari
Mendirikan badan lain,
sebelum segalanya tumbang
Menjatuhkan banyak hal di luar segala
yang tak lagi dikehendaki

Dalam segala nama-nama yang berucap
Dan dibiarkan mengembang di udara
Maka bergeletakanlah nama-nama kecilmu
di antara tubuh mereka
Sejauh mata yang telanjang
Sejauh kegagalan tumbang
di sebelah ragamu sendiri

Dan sejak saat itu, segala nama telah berlalu
Tumbang di segala arah
yang urung menunjuk kematian tubuhmu

Kendal, April 2018


Pada Mata yang Tak Lagi Retak

Pada mata yang tak lagi retak,
pada alis yang tak sempat bercabang
Kau telah mengirim kami
Dalam kedatangan yang berulang-ulang
Dan kau diam-diam
telah mengunjungi banyak risau
dalam kegundahan

Pada mata yang tak lagi retak,
Pada segala cahaya yang berlalu-lalang
Meninggalkan diri kita
Di antara segenap hujan
yang gagal menidurkanmu

Pada mata yang tak lagi retak,
Kau kembali kepada kami
Yang tiada pernah tega
Menggerakkan mata sendiri
Kau menatapi kami diam-diam
yang tak kunjung matang

Pada mata yang tak lagi retak,
pada hidung yang mencium sedalam-dalam
Kau berjalan mengunjungi kami
Kau berkata dengan pelan,
“Sudah saatnya kami menenangkan batin
dan ragamu
Yang kerap tanggal di pematang
Yang kerap berlinang
saat terik di dada tak kunjung
melambaikan tangan,”

“Pada mata yang tak lagi retak,
Pada segala yang sedang malas berkemarau
Mereka yang sekian kali menabur hujan
yang tak sempat reda,
memanjakan ketiadaan di setiap gerak luka,”

Pada mata yang tak lagi retak,
Semua memanas, membakar televisi, radio, dan koran
Semua hangus, kecuali bibir-bibir yang berdesakan
menempel di media sosial

Kendal, April 2018


Musim

Musim telah matang
Ia mengejar hujan
yang sering absen datang

Di balik telapak tangannya
yang kapalan,
musim sering menggerutu
menyaksikan banyak hutan panas
yang sering salah jadwal kunjungan
Melupakanmu, melupakan desa
dan kampung halamanmu

Kendal, April 2018


Hari Sudah Pagi

Hari sudah pagi
Sudah saatnya kita bergegas pergi
Sudahlah, tak ada lagi
yang menyegarkan matamu
Semuanya penuh lika-liku,
membakarmu,
Mengumpat segala celamu

Lihatlah di luar,
bala tentara sudah menunggu,
Berbaris pasukan berkuda
Siap mengawal dari segala udara
Dari segala napas
yang kerap mendengkur duluan

Hari sudah pagi,
Kau akan segera diajak pergi
Kepada segala yang memacu jejak
Saat orang-orang masih direkam
Dalam segala cara cepat
Untuk bergegas meruntuhkan

Kendal, April 2018


Bacakan Kepada Kami

Bacakanlah kepada kami
Ribuan angka yang jatuh
di luar kepala

Bacakanlah kepada kami
Jutaan purnama kesembilan
yang tanggal
sebelum menunda akhirnya

Bacakanlah kepada kami
Kepada segala bibir
yang tumbuh di luar suara
Kepada segala umpatan
yang menempel
di dinding-dinding kening
dan dadamu
yang kian hari
kian saling melambaikan tangan

Kendal, April 2018


Bahasa Ingin Lelap Tidur

Bahasa ingin lelap tidur
Ia sudah kangen bertemu ibunya
Dalam tidur,
Dalam mimpi
yang katanya sudah bolong-bolong

Bahasa ingin lelap tidur
Ia sudah lupa rasanya tamasya
Saat mengunjungi ragam warna
dan makna
Yang kian bertebaran, diciptakan
di sembarang dinding kamus-kamusmu
yang terbakar

Bahasa ingin lelap tidur
Ia sudah ingin menjadi sore hari
Ingin bergegas jadi waktu senyap
Yang memilih mengerami
segala kesunyian

Bahasa ingin lelap tidur
Ia merasa sudah cukup tua
untuk mengenang masa muda
yang tanggal berkali-kali di jendela

Bahasa ingin lelap tidur
Ia ingin sowan kepada para leluhurnya
Yang kabarnya, sudah tak lagi tinggal
di jendela-jendala

Kendal, April 2018


Bergegaslah Menyelam

Bergegaslah, Sayang
Bergegaslah menyelam
Dasar laut hampir tutup
Tiketmu tinggal sepenggal angin

Bergegaslah Sayang
Bergegaslah menyelam
Hari sudah hampir lepas,
pantai telah bergerak
meninggalkan segala panas

Lihat, di sana rumahmu
Yang menawarkan segenap keretakan
Bersama doa yang sedang asyik kabur
Ia telah lama menanam diri
Di atas sana, saat kami telah libur panjang
Saat segalanya telah memilih tunai duluan

Kendal, April 2018


Berjalan ke Utara

Kami lah yang berjalan ke utara itu
Kami lah pencari ladang
Yang kerap tak sempat mengaliri diri
Dengan beragam aroma bunga
Atau apa saja,
selain dari napas-napas panjangmu

Kami lah yang bergegas ke utara itu
Kami lah pejinak pematang
Yang kerap tak kunjung habiskan
cara berupa-rupa
Kami tak tahu, kapan akan menemukan
Segala ubi-ubian, jagung, atau apa saja
Yang leluasa menggerakkan tubuh

Kami lah yang bergegas ke utara itu
Yang berjalan dan tak berani
diam-diam menilai segala ketiadaanmu

Kami lah yang bergegas ke utara itu
Yang hanya mencoba menembus
Segala lubang sela-sela jari kaki
untuk menghamburkan segala rupa
Untuk selalu tunduk, dan berlutut
Di bawah nama-nama keajaibanmu

Kendal, April 2018


Berat Duka

Sudah berapa berat duka
yang ditumbuhi peluru
Sudah berapa berat suka
Ditumbuhi malu

Kami enggan bertapa lagi
Lereng gunung tak lagi asyik
Untuk menyembunyikan kekalahanmu

Sudah berapa berat duka
yang segalanya telah luput
Memikul doa kami yang kerap runtuh
Enggan memilah puncak mana
Yang pertama akan ditempuh

Sudah berapa berat duka
Yang tak lagi bisa berbuat apa-apa    
Kami kian hari seakan kian
membunuh masa depan kami sendiri

Kami sudah tak begitu akrab
Dengan duka-dukamu
Maka bergegaslah kami,
Menuju segala ketiadaan itu
Kami berlarian, menembus segala
yang tak pernah kami temukan
Dalam sekelebat nyawa
Yang diam-diam kerap mengunjungi
duka-duka itu

Kendal, April 2018


Sumber: https://ideide.id/puisi-setia-naka-andrian-2.html