Kamis, 12 September 2013

Tradisi Instan

Oleh Setia Naka Andrian

Mbah Thomas Alpha Edison mengalami banyak kegagalan sebelum hingga akhirnya mampu menyumbangkan bola lampu untuk ‘dunia’. Bagi Mbah Thomas, dalam setiap kegagalan-kegagalan itu beliau dapat mengetahui bagaimana penyebabnya. Melebarkan pikiran dan membuka diri terhadap masukan atau segala hal yang hadir di dalamnya. Karena tidak mungkin penemuan agung Mbah Thomas itu diperoleh secara santai dan atau hanya dengan udud-udud serta ngopi tanpa melalui pemahaman serta penyelidikan yang surga. Intinya setiap kali Mbah Thomas mengalami kegagalan, maka otomatis beliau tidak akan pernah mengulangi kegagalan tersebut, bukan?
Begitulah proses. Ciptaan apa pun akan terdengar benar-benar agung ketika melewati proses yang mendalam. Bukan semata hasil akhir. Karena setidaknya banyak orang menilai pada satu persen keberhasilan/ kesuksesan, tanpa melirik pada sembilan puluh sembilan persen kegagalan/ kesengsaraan sebelumnya.
Memang dewasa ini kemajuan teknologi telah meremas-remas pemikiran. Segala hal telah disuguhkan secara instan. Sajian telah tercipta manis dalam kemasan yang beraneka warna dan berjuta rupa. Bermacam wujud dan bentuknya. Ada kemasan berbentuk kaleng sekali pakai langsung lempar, ada kemasan plastik sekali pakai langsung bakar, dan ada juga kemasan elastis sekali pasang satu klimaks langsung buangkita telah dihadapkan pada jaman kemasan. Dari segala yang berwujud dan akan bergegas hilang hanya lewat satu kepulan (baca: asap). Misalnya budaya pesan skripsi yang telah mengakar pada kalangan mahasiswa. Banyak terpampang pada pohon-pohon di jalanan, “Skipsi, hubungi nomor xxx xxxxxx.” Apakah kehidupan semudah itu? Kalau seperti ini, apa arti proses penemuan semacam kepunyaan Mbah Thomas?
Semua telah tergantung dan beralih fungsi. Dari generasi kutu buku menjadi generasi nggoogle yang sekali klik langsung beribu informasi. Dari generasi surat pos disulap menjadi generasi update status facebook. Pendek kata, kali ini jarang ditemukan perenungan mendalam untuk segala bentuk penemuan. Semua ingin lansung, singkat dan cepat (baca: instan).
Rasanya kita menjadi malas untuk berprosa. Tak lagi ada narasi yang tepat untuk mengungkap perihal dalam sebuah penemuan. Jarang kita temukan salam pembuka, isi dan penutup. Tinggal ketik sms, ketemuan, langsung deh masuk kamar. Instan bukan?
Jadi tak perlu repot-repot untuk memulai dengan berpuisi. Apa lagi berprosa/ mencipta cerpen untuk melumpuhkan pacar. Tak lagi ada perjalanan yang ranum. Jarang kita jumpai pertemuan kedua belah keluarga, apalagi ritual ‘melamar’. Yang ada: ketemuan, lansung kunci pintu, matikan lampu, dan tiga bulan kemudian telat deh.
Maka jangan heran bila tak lagi ada perjalanan diksi dalam proses penemuan keutuhan ungkap. Bahkan tak ada, kali ini tradisi berprosa hampir terpasung mati dan mendinosaurus. Semua ingin segala sesuatu menjadi cepat-cepat dan singkat.
Tak perlu heran juga bila akan banyak kita jumpai orang tergeletak mati mendadak karena stroke. Mau bagaimana lagi? Penemuan ‘sukses saja diperoleh dengan cara instan, jadi jangan kaget dong bila jatuh dengan jalan instan pula. Haha.
                                   
Katakan ‘Tidak’ untuk:
[Cara Mudah Menembak Pacar; Cara Gampang Menjadi Ganteng; Cara Goblok Menggondol Duit, dll.]

Kali ini saya memberanikan diri untuk berkata ‘tidak’ pada hal-hal yang tersebut di atas. Karena tidak sedikit yang menanggapi secara mentah perihal itu. Saya berprasangka buruk segala itu akan mempengaruhi mindset seseorang dalam menanggapi sesuatu. Bahwa segala sesuatu akan diperoleh dengan mudah, gampang, entheng, dsb.
Hemat saya, seperti halnya penanaman yang salah ketika seorang ibu berkata kepada anaknya yang jatuh karena tersangkut sesuatu, benda/ barang. Ibu tersebut berkata dengan lantang, “Sayang, kenapa jatuh? Aduh, lantainya nakal ya? Injak dan pukul saja, Sayang!” Bahkan ada yang lebih parah, “Kodoknya nakal ya, Sayang? Ayo injak saja kodoknya, Sayang!”
Ibunya berkata seperti itu dan mencontohkan menginjak serta memukul lantai. Hingga lantai/ tanah disebut kodok atau hewan lainnya. Lalu anaknya pun mengikuti, menginjak dan memukul seperti yang dicontohkan serta diperintahkan oleh ibunya.
Hal tersebut secara tidak langsung menjadi sebuah kesalahan yang sangat fatal dalam penanaman pola pikir. Seorang ibu tersebut menyuguhkan cara berpikir yang salah ketika menanggapi sesuatu/ masalah. (baca: kekerasan). Setiap kali ada sesuatu/ masalah, yang dilakukan kali pertama adalah membalasnya. Kenapa tidak dengan cara baik-baik? Misalnya dengan memberi pengertian kepada anaknya, bahwa anaknya terjatuh karena lantai yang licin akibat susu dalam botol yang tertumpah, dsb. Lalu ibu menasehati kepada anak agar berhati-hati bila hendak meminum susu atau meletakkan botol susu, dsb.
Kembali pada masalah awal─setidaknya ada banyak pengaruh negatif terhadap seseorang yang menelan mentah judul buku dan atau kiat-kiat khusus untuk mendapatkan/ mempelajari suatu ilmu tertentu. Pikirnya segala sesuatu akan mudah digapai. Segala ilmu akan mudah dipelajari, segala karya dapat dengan mudah diciptakan, dsb. Karena semua butuh proses, pengendapan, perenungan/ kontemplasi. Memerlukan koreksi diri, penyuntingan/ editing. Semua ada tahapan-tahapannya. Tidak hanya langsung teriak saja dengan lantang dan pede: “Jendela untuk mengintip!”
Contoh lainnya─banyak penulis-penulis besar yang mengatakan bahwa butuh sekejap untuk menulis, namun memakan berminggu-minggu, berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun untuk mengeditnya. Hal ini menjadi contoh yang sangat sederhana, bahwa segala sesuatu sangat dibutuhkan proses. “Tak ada yang yang jatuh dari langit dengan cuma-cuma.” (pinjam: Syair Dhani Ahmad). Setiap kita melangkah harus melewati tangga/ tahapan-tahapan tertentu. Bukan semudah kentut yang dapat kita letupkan dengan leluasa tanpa beban dosa.
Kemudian menilik Afrizal Malna─yang baru-baru ini tengah meluncurkan sebuah buku Perjalanan Teater Kedua: Antologi Tubuh dan Kata. Dalam buku tersebut penyair yang banyak memberi perhatian pada fenomena tubuh dan bahasa dalam kesenian─terutama teater, tari, sastra, dan kemudian juga seni rupa. Seseorang yang telah melecit dengan karya-karya handalnya yang sudah terbit meliputi puisi, prosa, teater, sastra dan seni rupa─pembaca akan digiring dalam pengungkapan buku tersebut dengan cara yang sangat sederhana. Lihat saja judul buku tersebut. Ia tidak menggunakan kata ‘membedah’ atau ‘mengupas’ dalam pemilihan judul buku, melainkan ‘perjalanan’. Begitu pula isi buku tersebut yang disajikan dengan bahasa yang sederhana. Lepas dari kesederhanaan tersebut, Michael H. Bodden (University of Victoria, British Columbia, Canada), mengatakan─buku ini penting. Saya menarik kesimpulan bahwa Afrizal termasuk pengamat kegiatan teater dan sastra kontemporer di Indonesia yang paling lihai. Dengan matanya yang tajam─separuh mata seniman, separuh mata sosiolog─dia bisa melihat banyak hal yang gampang luput dari dari pemandangan orang lain. Bagi Afrizal, teater tidak bisa berdiri sendiri: para pemain sudah memiliki pengalaman pribadi di luar maupun di dalam ruang pentas. Tubuhnya pun sudah dibentuk lewat pengalaman sosial dan sulit sekali menyembunyikan pola-pola gerak badan yang sudah lama terdidik.
Kemudian, Marianne Koeing (University of Bern, Switzerland), menambahkan─membaca buku Afrizal ini saya bahkan merasa tidak hanya menghadapi suatu antologi saja, melainkan sebuah kamus ensiklopedi di mana kita bisa mencari dan mendapatkan sekian banyak informasi yang berguna. Namun, informasi di sini bukan informasi biasa saja yang bersifat menjelaskan mengenai kenyataan teater kontemporer Indonesia, melainkan informasi mengenai bagaimana─di bawah tema apa─kita bisa memandang dan memahami teater. Di sini “teater kedua” dari Afrizal masuk, yaitu  teater nyata, yang disaksikannya, seperti yang terjadi dalam renungannya.
Begitulah, sesuatu/ karya yang dilahirkan pun barang tentu harus diawali dengan kesederhanaan. Bukan dengan letupan yang menggelegar namun terkesan kering substansi. Tanpa didasari research dan atau membaca serta mencatat keadaan sekitar. Karena apakah kita akan tahu bagaimana sesuatu itu bagus ketika kita tidak melihat sesuatu yang bagus dan nyata telah dibuktikan dan diamini kebaikan serta substansinya oleh orang lain karena kita hanya melihat sesuatu yang bagus dari anggapan diri sendiri untuk karya kita sendiri dan atau suatu karya yang bagus hanya dilihat dengan kaca mata kita sendiri? Hemat saya, berhenti pada satu titik tanpa melihat dan atau memahami titik-titik yang lain adalah onani.

Onani─dalam ranah kreatif

Karya merupakan suatu ciptaan/ kreasi yang terlahirkan untuk orang lain dan atau tidak. Namun pada dasarnya karya pasti akan dinikmati oleh ‘pihak kedua’. Misalnya pada ‘teater kedua’ Afrizal Malna menyebutkan, bahwa ranah tersebut adalah pertunjukan yang mutlak milik penonton yang tak lepas dengan kaca mata serta perenungannya masing-masing─setelah ‘teater pertama’ dibocorkan oleh kreator dalam pertunjukannya. Sama halnya ketika seseorang menulis/ menciptakan karyanya─benar, ia disebut kreator, saat itu. Lalu setelah itu kreator memiliki tanggung jawab besar terhadap ciptaannya. Maka tiba pada fase ‘kedua’ yang wajib dikitabkan bahwa penulis/ pencipta karya akan otomatis menjadi pembaca yang harus melepaskan sifat dan sikap ‘penulis’-nya menjadi penyunting/ editor, dan atau setidaknya sebagai pembaca─berkewajiban untuk menentukan bagus/ tidaknya, layak/ tidaknya, bersubstansi/ tidaknya, dsb.
Sehingga memang sangat benar dengan yang saya sebutkan di atas─banyak penulis-penulis besar yang mengatakan bahwa butuh sekejap untuk menulis, namun memakan berminggu-minggu, berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun untuk mengeditnya. Seperti halnya para musisi ketika mengemas lagu ciptaannya─butuh waktu sedikit untuk membungkus/ merekam/ nge-track lagu. Namun setelah itu memakan waktu lama untuk editing, mixing, dan mastering.
Onani─sebuah kenikmatan, kepuasan dan kecemasan yang hanya dirasakan oleh diri sendiri. Tanpa melibatkan pihak lain. Mau jika disebut ‘penulis’ yang onani, ‘seniman’ yang onani, atau bahkan ‘kreativitas’ yang onani?
Jika tidak mau, mari kita membuka diri. Bahwa kita tidak ‘berdikari’ (baca: berdiri di atas kaki sendiri). Kita masih butuh orang lain. Kita masih butuh referensi lain, buku-buku lain, komunitas-komunitas lain, namun jangan untuk ‘pacar-pacar/ wanita-wanita lain’. Haha.
Namun jika bangga menyandang ‘onani’─sobek-sobek tulisan ini, bakar dan lupakan. Karena ini semua bukan apa-apa. Perubahan terjadi atas bagaimana niatan kita dalam mengambil keputusan. Mari tradisikan proses! Semoga.

Palebooné, 100711, 06.31 pm.

Tidak ada komentar: