Kamis, 12 September 2013

Puisi: Eksistensi Tubuh yang Bersilaturahmi

Oleh Setia Naka Andrian

Puisi adalah makhluk penyair yang paling berbudi. Tindakan serta segala hal mengenai tingkah lakunya menjurus pada harkat dan martabat sebagai hamba yang luhur. Mengalir atas kemuliaan daya saing yang tak tertandingi oleh mahluk (puisi) ciptaan penyair lain. Sanggup menemukan pelbagai masalah dan memilah solusi atas pengungkapan yang paling bijaksana.
Namun ada kalanya puisi belum sanggup menyelesaikan kecemburuan di antara sesamanya. Seringkali egonya meninggalkan prasangka buruk bagi estetika puisi lainnya. Tingkah laku dalam pemenuhan kesehariannya pun menjadi ujung yang paling agung untuk memilih dan memilah pelbagai perselisihan dalam silaturahmi di media.

Idealisme Penyair sebagai Jurus Tersembunyi
Budi murni seseorang tak mungkin mengenal yang di luar pengalaman, karena pengetahuan budi itu selalu mulai dengan pengalaman. Metafisika murni tidak mungkin terjadi (Kant dalam Poedjawijatna, 1978).
Hal itu memberi sepetak penerangan bahwa penyair akan selalu dihadapkan pelbagai tindakan menyeluruh. Sebagai dirinya, dari, oleh dan untuk dirinya sendiri pula. Penyair mengakui keberadaan puisinya, puisi ‘ada’ atas dirinya. Lahir sebagai pribadinya, dan akan meneruskan hidupnya sendiri yang pendek atau berkepanjangan. Maka ia akan merasa sama sekali tidak mengikat maupun tidak pula ingin diikat oleh sesamanya. Dalam arti benar-benar berdiri sebagai individu yang mampu menaruh persoalan dan memecahkannya—menanam penyakit dalam dirinya sekaligus akan mengobatinya.
Segala bentuk pengorbanan pun akan senantiasa menjadi persoalan yang pelik bagi sesamanya. Misal hal tersebut kurang disepakati oleh orang lain yang paling terdekat secara biologis maupun psikis, antara ia dengan orangtua, saudara, hingga kepada pasangan (baca: pacar, suami/ istri). Dikarenakan ia ingin menjadi individu yang benar-benar tunggal untuk penemuan dan perenungan tertentu dalam masa depan harkat dan martabatnya sebagai penyair seutuhnya. Pertanggungjawabannya dilakukan ketika ia harus menentukan pilihan yang tersembunyi atas dasar perilaku yang sering dianggap menyimpang dan kurang disepakati oleh sesamanya. Namun hal itu mutlak sebagai jalan yang wajib ditempuh penyair.

Konservasi Puisi dalam Jagad Penyair
Kita sering menguping bahwa individu tak dapat terbelah lagi. Ia hadir atas kehendak diri sendiri sebagai manusia perseorangan. Lahir untuk menemukan kontrol sebagai “aku” (penyair) untuk bersaing dengan sesamanya. Pun puisi yang dilepas oleh penyair dan telah dibekali nasibnya masing-masing. Entah akan diam saja atau berusaha untuk mengubah agar lebih baik.
Individu bukan berarti manusia sebagai suatu keseluruhan yang tak dapat dibagi, melainkan sebagai kesatuan yang terbatas. Yakni sebagai manusia perseorangan. Sebagai diri sendiri untuk melakukan kesehariannya masing-masing agar menemukan kesejatian dirinya masing-masing pula (Lysen, 1967).
Dapat kita lihat penyair di sekitar penyair lainnya. Mereka berdiri sendiri dalam pelbagai hal yang sama. Namun sesungguhnya berbeda. Penyair dibilang sejenis, tapi tidak sama. Karena para penyair berupaya untuk membeda-bedakan diri. Masing-masing ingin menunjukkan capaian estetika kepada penyair lain agar mendapat pengakuan sebagai hadiah atas kerja cerdas yang dilakukannya. Sehingga penyair lain akan merasa bahwa ia mampu memperoleh yang diinginkan. Maka otomatis penyair yang lain itu akan mempelajari pemenuhan capaian tersebut.
Para penyair pada puncaknya masing-masing dapat dilihat dari rumahnya (kelompok/ komunitas) jika mereka telah mencapai tingkat peradaban yang lebih tinggi dibandingkan rumah lain. Sedangkan penyair yang primitif adalah penyair yang masih sedikit diferensiasinya. Maka para penyair/ rumah yang lebih maju tersebut menunjukkan corak dari sifat-sifat dan tabiat yang semakin berkasta dalam jagad estetika. Mereka akan lebih tangguh, dapat melakukan beraneka rupa pekerjaan dapur estetika yang dijalankan dalam perkembangan arus perpuisian modern.
Lalu bagaimanakah diferensiasi itu terjadi? Penyair yang “primitif” tidak dapat berkembang dalam berdikari semata. Ia tidak mungkin mampu mencapai peradaban estetika yang lebih baik jika hanya mengandalkan pembawaan alam sahaja yang telah dimiliki sejak lahir. Karena tanpa pengaruh faktor-faktor tertentu dari luar tubuh penyair, perkembangan tidak akan begitu saja terguyur dari langit. Maka, mari bersilaturahmi.***

RumahDiksi, Agustus 2012

Tidak ada komentar: