Kamis, 12 September 2013

Mati Suri─Sastrawan (Kampus)

Oleh Setia Naka Andrian

Siapa yang bertanggung jawab atas keberadaan bibit-bibit (sastrawan) yang mondar-mandir pada lingkungan kampus? Para dosen? Atau keberadaan mahasiswa itu sendiri atas berbagai penunjang kreativitasnya?
Semua benar, berbagai pihak bertanggung jawab atas masalah ini. Dirinya sendiri otomatis, pasti paling bertanggung jawab atas survive-nya. Lalu dosen juga punya pengaruh besar, keterlibatannya pun cukup memiliki singgasana. Ia berfungsi sebagai pengarah dan pengaruh. Memang dalam proses kreatif sesungguhnya tak perlu seorang guru/ dosen pun pasti bisa jadi. Namun, kali ini dan dalam tulisan ini menyatakan bahwa guru/ dosen berpengaruh dalam proses kreatif seseorang. Ia menuntun pada jalur aman. Ketika dalam persidangan kelas seorang guru/ dosen menindaklanjuti beberapa orang yang disinyalir memiliki sedikit amunisi untuk bergelut dalam sastra. Semisal saja diberikan sedikit kelonggaran waktu dan tempat semisal siswa/ mahasiswa tersebut dimungkinkan harus pernah/ sering bolos sekolah/ kuliah. Ini bukan semata-mata karena pembelaan bagi orang-orang yang memiliki sedikit atau bahkan banyak kegiatan di luar pelajaran/ kuliah. Namun ini adalah keadaan yang memang harus diadili.
Beberapa waktu lalu saya pernah menjumpai mahasiswa yang ternyata ia sering tidak masuk kuliah. Bila masuk pun ia sering terlambat masuk kelas. Setelah ditelusuri ternyata ia merupakan mahasiswa yang sering/ aktif mengikuti/ nebeng pada kegiatan/ aktivitas di luar kampus. Nah, karena terlalu serinya membolos, berangkat dengan tidak berangkat lebih banyak tidak berangkatnya, bahkan ia sempat tidak mengikuti ujian tengah semester, juga sempat tidak mengikuti ujian akhir semester. Lalu bagaimana bila Anda sebagai guru/ dosennya? Apa yang akan dijatuhkan terhadap mahasiswa nggondhes tersebut? Dikondom saja otaknya ya? Biar nggak keluyuran kemana-mana imajinasi dan kreativitasnya? Hahaha
Dalam hal ini, diharapkan guru/ dosen mau mempertimbangkan dengan begitu matang. Jangan langsung memvonis begitu saja sehingga mahasiswa tersebut tak mampu berbuat apa-apa ketika kehilangan nilai, bahkan dipersulit untuk mendapatkan nilai. Maka tolong lah, diberi kesempatan mahasiswa tersebut untuk sedikit berbicara pada ujian susulan dengan peran yang sama seperti halnya ujian yanmg dilakukan oleh mahasiswa lainnya. Karena saya yakin hal yang dilakukannya di luar kampus belum tentu dan bahkan tidak dapat dilakukan oleh semua mahasiswa pada umumnya. Memang semua benar, bila yang di kampus selalu datang masuk kuliah dan mengikuti ujian pasti dimungkinkan mendapat nilai bagus. Namun apakah mahasiswa itu juga mampu melakukan hal yang digeluti oleh mahasiswa aktif di luar tadi? Semisal undangan-undangan yang terkait tentang sastra, antologi bersama, festival sastra mahasiswa, baik lokal maupun nasional?
Guru/ dosen juga berpengaruh terhadap iklim sastra di kampus. Semisal ketika dapat menghasilkan para peneliti sastra yang benar-benar matang dengan teori dan lincah menelisik karya. Ia mampu menggiring mahasiswanya yang tidak hanya mencari nilai. Dengan bertanya mendapat nilai (pikir mahasiswa pada umumnya), padahal pertanyaannya terkadang sangat ngawur, asal tanya, pertanyaan yang sudah ditanyakan teman lainnya dan sudah dijawab diulang ditanyakan lagi, pertanyaan yang sudah tak perlu ditanyakan tapi ditanyakan lagi. Uh, kacau-kacau. Haha
Peran dosen/ kampus terhadap iklim sastra juga sebenarnya sangat memiliki singgasana. Semisal, tiap tahunnya berapa kampus melahirkan karya lewat skripsi-skripsinya. Namun, berapa skripsi-skripsinya yang benar-benar berpengaruh dari penulisnya? Skripsi yang benar-benar dari hati ataukah skripsi demi toga? Hehe
Nah, bisa dibilang, mahasiswa yang sering tidak masuk kelas karena sering mengikuti aktivitas di luar tadi, termasuk sebagai mahasiswa yang mati suri. Ia terkesan mati dalam urusan kelas, namun sesungguhnya ia menggelegar hidup di luar sana. Banyak yang dilakukan di luar sana. Tetap sekolah/ kuliah dan juga tetap keluar. Maka ia adalah insan yang patut dibilang ampuh, ketika ia dapat melakukan lebih terhadap sesuatu yang dilakukan oleh orang lain. Maka semoga saja kelak orang-orang tersebut akan mendapatkan sesuatu yang lebih juga dari yang telah didapatkan oleh orang lain, amin.
Seperti halnya seniman yang sering digemborkan telah mati dan jarang beraktivitas. Namun pada kenyataannya ia tetap menjalani proses kreatif, misalnya saja ketika seorang seniman masih tetap berproses kesenian dengan siswa-siswa SD, SMP atau SMA─sebagai guru pengajar tentunya. Namun ia masih tetap menghidupi seni, ia tetap berproses, walaupun terkadang terkesal mati─mati suri. Maka marilah tetap berproses. Jangan lelah terhadap satu hal. Karena masih banyak yang harus dan dapat kita lakukan. Satu tak dapat, cari yang lain. Yang lain belum dapat, maka teruslah berjuang untuk mendapatkan yang lain lagi. Selamat. ***

Tidak ada komentar: