Manusia yang sehat adalah manusia yang mau berpikir dan memikirkan. Berpikir untuk menang dan memikirkan agar yang lain tidak kalah. (SNA)
Jumat, 07 Oktober 2016
Puisi Setia Naka Andrian (Pikiran Rakyat, 4 September 2016)
Hari Kedelapan Belas
hari ini, kita telah
melipat baju-baju
yang kita kenakan di
tahun lalu
di sana dihiasi lampu,
wajah-wajah manusia,
sungai, dan ikan-ikan
yang menguap ketika berenang;
hari ini kita banyak lupa
ingatan,
riwayat kamar-kamar
berserakan di dadamu,
banyak kenangan yang
memilih binasa
dalam takdir sebuah kota,
hingga kini, sebelum menutup
jendela,
kau, memilih menjadi hari
yang paling kuasa;
manusia berangkat kerja,
menjadi pasukan,
menjadi serigala,
pemangsa kebahagiaan,
pejinak tragedi, dan
lain-lain;
hari ini, kita menepi,
melukis bantal
dengan pelangi,
menghabisi diri orang-orang
yang membutakan matanya
sendiri
dengan sendok, garpu,
pecahan beling,
dan tanah sisa hujan;
hari ini, kita belajar
berlari, di tepi jalan
yang sedang dilewati
pasukan malapetaka
ketika kita belum mampu
mengubah diri
menjadi segitiga
Sanggargema, Maret 2015
Hari Sepenuh Puisi
ia kabarkan hari-harinya
sepenuh puisi
dari hutan, dari jalan
raya, dari tembok,
dari sungai, bukit, pohon
dan dari segala arah,
hingga dari dalam kamar,
mereka berebut bernyanyi
dengan irama dan nada
dasar yang berloncatan,
mereka menaiki puisi
pelan-pelan, mengelilingi
kota-kota yang
berloncatan di atas kepalamu,
semacam kera-kera
pemungut hati yang berantakan;
sungguh, kau diamkan
hari-harimu yang berbinar
kau tuangkan kepedihanmu
dalam segelas anggur
dan kau tiadakan kemenanganmu,
malam-malam
mengucur deras, dari
keningmu, dari takdirmu,
dari seberapa dalam doa
mengepal menjadi
riwayat dan takdirmu,
lalu darimu, puisi
berlari mengejar masa depan
yang sedang tidur panjang
ia tak lagi mau sarapan
pagi, katanya, hari sudah
begitu kenyang
menyaksikan penyakit yang piatu
dan lupa menyusui
anak-anaknya,
tak ada lagi obat batuk
yang mampu menyembuhkan
lukanya, hingga kau
jarang memenuhi gizi untuk
puisi-puisimu, padahal
katamu:
puisi adalah satu-satunya anak nuraniku
hingga akhirnya puisi
tinggal nama,
penyair kehilangan nyawa,
puisi semakin memburuk,
tak mau dibujuk,
mereka lari, memilih
mengasingkan diri,
menceburkan diri dalam
sungai yang kering
Saranglilin, Maret 2015
Perihal Tidur
sayang, aku tidur dulu di
pungungmu ya; nanti tolong
bangunkan aku pukul 17
tepat, karena nanti aku harus
mencari hujan; aku ingin
mengajaknya membasahi
pohon yang telah lama
tumbuh di jantungku,
katanya, ia pohon yang
ingin cepat mati,
ia ingin tidur panjang,
dan mengubur dirinya di dadaku,
tolong ya, karena di sana
setiap hari terdapat perempuan
menangis yang bersetia
menunggu peluru,
katanya, ia selalu
bersembunyi di dada-dada para pemerkosa
yang datang tak berkepala;
mereka meminum api-api
di atas ladang rahasia,
hingga ada seperangkat doa
yang kau lahirkan dari
dalam penjara,
ya, benar, mereka dilindungi
para penjaga yang gemar
membakar batu; aku tak
tahu, kenapa batu diam saja,
ia tak kepanasan, ia tak
kedinginan,
atau barangkali ia sedang
tidur, ia lelah, karena sering
dipinjam orang-orang yang
keras kepala,
ah, kau malah mengira
jika aku bohong,
padahal sungguh, semua menyaksikan,
bahkan jika kau mau,
mereka siap untuk membinasakan
dirinya sendiri; termasuk
kelak kau, aku, dan semua orang
yang membenci hari-hari tidur,
kita akan lelap bersama,
menyaksikan mimpi-mimpi
yang menidurkan kita, sebagai
diri yang sementara,
sebagai jiwa yang paling
pura-pura,
TBRS, Maret 2015
Sabtu, 10 September 2016
Membangun Kota dengan Seni (Tribun Jateng, 10 September 2016)
Membangun Kota dengan Seni
Oleh Setia
Naka Andrian
Nasib
kota sebuah kota tentu menjadi tanggung jawab bersama. Tidak melulu urusan
pemerintah saja, yang biasanya kerap kali lebih mementingkan bangunan
infrastrukturnya ketimbang sumber daya manusianya.
Peran
seniman lokal bisa jadi sebagai tumpuan utama. Kenapa begitu, karena
bagaimanapun sejarah dan usia kota tidak bisa lepas dari nilai-nilai
estetis di dalamnya. Baik terkait ketahanan filosofis dan kulturalnya. Itu
tanggung jawab seniman, bukan?
Saya
ingat, apa yang dikisahkan Tubagus P. Svarajati (2012) dalam sepenggal esainya,
“Meski kita paham, hingga sekarang, langka seniman kita yang mendokumentasikan
perkembangan atau riwayat kota secara serius dan metodis.”
Seniman
kita, seakan begitu abai dengan kota yang melahirkan dirinya. Bahkan, jika di
antara mereka masih selalu dihinggapi beragam apologia sebelum melakukan
apa-apa. Maka cepat atau lambat, takdir sebuah kota akan berhenti begitu saja.
Dalam
hal ini, jika kita simak di Kendal, selama lima tahun terakhir telah banyak
bermunculan komunitas-komunitas seni kreatif. Baik yang fokus bersastra, seni
rupa, teater, musik, film, dan lainnya. Seakan menyibak belantara kota melalui
seabrek aktivitas saban harinya. Namun apa arti semua itu, jika program-program
kreatif belum menyentuh bahkan sangat jauh dengan aktivitas pendokumentasian
riwayat kota secara serius. Sebab, nasib sebuah kota akan tetap selalu bertarik
magnet, antara sebuah kenyataan dan gagasan.
Komunitas
seni kreatif layaknya hanya akan menjadi angin lalu, yang akan tumbuh
berkembang beberapa saat. Lalu pada akhirnya pelan-pelan menunggu tumbang atau
menemui ajal, kehancuran, mati suri, dan entah istilah mengerikan lainnya.
Memang, sangat sulit kita temukan, misalnya, beberapa kelompok yang begitu
berjaya pada masa lalu dan hingga saat ini masih bergerak atau menyisakan
catatan kemuliaan di mata publik.
Sebut
saja, jika di Kendal memiliki Teater Semut, dengan Aslam Kusatyo sebagai
sutradara sekaligus aktor kawakan yang konon salah satu tokoh yang begitu
mati-matian menghidupi khazanah teater dan sastra di tanah Bahurekso ini.
Tentu, hingga saat ini masih terdengar, mengingat bagaimana ia diakui telah
melahirkan jawara-jawara lomba teater, baca dan tulis puisi misalnya, bagi
kalangan pelajar.
Begitu
pula, ia dicatat melahirkan generasi penerus yang khusyuk menekuni sebagai
pengajar ekstrakurikuler teater di beberapa sekolah. Bolehlah kita sebut
beberapa tokoh muda. Di antaranya Akhmad Nasori, Hidayat Kliwon, dan Sobiron,
misalnya. Ada pula yang mendirikan kelompok baru, sebut saja Akhmad Sofyan
Hadi, aktor yang sempat menyabet juara II monolog dalam ajang Peksiminas (Pekan
Seni Mahasiswa Nasional) 2008, sebagai salah seorang pendiri Jarak Dekat dengan
beberapa aktivitas yang berniat menghidupi teater di Kendal. Walaupun tetap
saja, jika di kota tetangga (Semarang) kesenian teaternya
dihidupi oleh teater-teater kampus, maka di Kendal diramaikan dengan
teater-teater sekolah (pelajar SMA sederajat). Hal tersebut dibuktikan selama
bertahun-tahun dengan terselenggaranya beberapa parade teater yang dihuni oleh
berjubel kelompok teater dari sekolah.
Generasi
Patah-Patah
Sudah
sepatutnya, masa lalu kesenian kota memiliki generasi kebanggaan, komunitas
yang diagung-agungkan, atau tokoh-tokoh yang diidamkan menjadi tumpuan masa
depan sebuah kelompok pada khususnya, atau nasib kota pada umumnya. Namun
kenyataannya, kota seakan tak mampu memberikan apa-apa. Seorang seniman yang
seharusnya menjadi ujung tombak, motor penggerak roda kesenian di
sebuah kota, yang konon katanya karena persoalan klasik, maka di antara mereka
pelan-pelan meninggalkan kota ini. Sebut saja misalnya, salah seorang sastrawan
ternama di negeri ini, Ahmadun Yosi Herfanda. Penyair kelahiran Kaliwungu Kendal,
mantan redaktur sastra koran Republika yang kini telah menetap di Jakarta
sebagai penyair religius-sufistik. Ia banyak menulis cerpen, kolom dan esei
sastra. Sehari-hari ia mengajar di Universitas Multimedia Nusantara (UMN)
Serpong dan ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Tentunya,
sederet persoalan tadi, atau kendala apapun tidak akan mampu menghalangi sebuah
gerakan kesenian yang benar-benar khusyuk dan berasyik-masyuk
dalam bidangnya masing-masing. Semua lini sudah seharusnya mampu berbaur untuk
menentukan nasib sebuah kota. Barangtentu kita ingat, beberapa waktu lalu
ketika Kendal Expo 2016, Bupati Kendal, Mirna Annisa, meluncurkan program
“Kendal Permata Pantura”. Bupati yang masih terhitung belum lama ini menjabat,
dengan seabrek program yang diidamkannya, tentu perlu dukungan dan kawalan yang
ketat.
Mengingat
pada bulan-bulan ini, sedang fokus pada peresmian Kawasan Industri Kendal dan
mulai aktifnya Pelabuhan Tanjung Kendal. Lalu, apakah konsep besar yang
disuarakan melalui Kendal Permata Pantura cukup masyhur dengan didirikannya
kawasan industri dan pelabuhan baru saja? Lalu bagaimana nasib beberapa
destinasi wisata semacam Pantai Sikucing, Goa Kiskendo, Curug Sewu? Jika
mengidamkan kota ini menjadi permatanya pantura, apakah tempat-tempat itu hanya
akan dibiarkan dengan pola pengembangan yang setengah-setengah dan sewajarnya
saja?
Tentu
jawabannya, sudah waktunya Kendal memiliki agenda festival kesenian yang
diselenggarakan tahunan. Jika kita mau tengok kota-kota tetangga, taruhlah
festival rutin FKY (Festival Kesenian Yogyakarta), lalu Dieng Culture Festival.
Sudah sepatutnya, Kendal tidak hanya sekadar menciptakan kegiatan sebatas
selebrasi semata, atau bahkan yang hanya terkesan sebagai pasar malam semata.
Maka dalam hal ini, peran serta segenap seniman dalam berbagai bidang pun
sangat dibutuhkan. Pemerintah kabupaten dengan dinas-dinas terkaitnya sangat
mustahil mampu mensukseskan kerja besar tersebut.
Jika
sudah ada keterlibatan kelompok-kelompok seniman, yang kebanyakan anak muda
tersebut, tentu kota ini saya yakin tidak akan kesulitan menentukan arah gerak
masa depan kotanya. Tentu, jika semua sudah benar-benar niat ingsun
untuk meriwayatkan kota secara serius dan metodis. Baik melalui sastra, seni
rupa, film, maupun teater. Festival yang menyuarakan seni kontemporer yang
tidak mengesampingkan nilai tradisi dan filosofis kota. Tentu Kendal
pelan-pelan akan menggema di penjuru kota, bahkan seantero negeri ini. Dengan
seruan, “Kenali Kendal!” Tempat-tempat wisata dikelola dengan sajian tontonan
sekaligus tuntunan seni dan budaya. Selanjutnya, pundi-pundi pendapatan daerah
pun akan terdongkrak. Kota berangsur-angsur akan semakin merekonstruksi masa
depannya yang kian gemilang. Semoga.***
─Setia Naka
Andrian, Penyair kelahiran Kendal, Dosen Universitas PGRI Semarang.
Buku puisinya “Perayaan Laut” (April 2016).
Senin, 01 Agustus 2016
Makam Leluhur dan Kemuliaannya (Jawa Pos, 31 Juli 2016)
Makam Leluhur dan Kemuliaannya
Oleh Setia
Naka Andrian
Judul Buku :
Tarian Dua Wajah
Penulis :
S. Prasetyo Utomo
Penerbit :
Alvabet
Cetakan : I,
Juni 2016
Jumlah Halaman :
268 halaman
ISBN :
978-602-9193-86-2
Prasetyo memilih pengisahan
novelnya ini dengan gaya realis-imajinatif. Membaca novel ini, sederhana
memang, namun sadar atau tidak, pembaca akan disuguhi seabrek goncangan batin
terkait bergelimang fenomena spiritual.
Novel diyakini menjadi cara
ampuh bagi sebagian pengarang untuk lebih dalam menemui pembacanya, ketimbang
melalui karya sastra lain termasuk puisi dan cerpen.
Itu disebabkan novel setidaknya
lebih lantang menyuarakan pengisahannya, dengan tidak perlu banyak mengerutkan
dahi pembaca. Seperti yang dapat pula kita rasakan ketika membaca novel S.
Prasetyo Utomo, Tarian Dua Wajah (Alvabet, Juni 2016).
Prasetyo menggiring pembaca
dengan suguhan persoalan makam leluhur di sebuah perkampungan dengan begitu
bergejolak. Pertanyaan-pertanyaan di benak pembaca pelan-pelan menyambar tanpa
henti, tatkala tokoh-tokoh mulai dihadirkan.
Termasuk tokoh Sukro yang
begitu sentral sebagai salah satu keturunan Nyai Laras, leluhur kampung yang
sudah meninggal. Nyai Laras adalah penari istana pada masa silam yang tenar
seantero negeri. Yang kemudian diyakini terdapat titisannya, Dewi Laksmi, penari
muda berbakat yang berkesempatan berkeliling dunia karena lenggok tubuhnya yang
memukau.
Prasetyo memilih pengisahan
novelnya ini dengan gaya realis-imajinatif. Sebuah ikhtiar tersendiri untuk
lebih luas mencapai semua kalangan pembaca. Cerita awal dibuka dengan begitu
getir, terkait kehidupan keluarga kecil Sukro yang tengah mempersiapkan proses
melahirkan dari istrinya, Aya.
Masalah klise menghadang
mereka, perihal kekurangan uang untuk biaya kelahiran. Akhirnya, Sukro, sang
suami harus menagih kekurangan uang yang belum diberikan oleh pembeli. Seorang
pengusaha yang membayar tanah Sukro, tanah bukit warisan leluhur yang terdapat
makam leluhurnya, Nyai Laras.
Makam yang berangsur-angsur
menjadi perdebatan bagi barga sekitar. Sebab, makam tersebut kerap digunakan
sebagai tempat pemujaan bagi orang-orang di luar daerah yang setiap hari
hilir-mudik berdatangan.
Membaca novel ini, sederhana
memang, namun sadar atau tidak, pembaca akan disuguhi seabrek goncangan batin
terkait gelimang fenomena spiritual. Prasetyo begitu pelan mengaduk-aduk batin
pembaca, dengan nuansa realis-imajinatifnya, seakan menggiring keberhasilan
dalam menguasai keyakinan pembaca.
Di situ, mulailah sejarah
manusia baru diciptakan atas pergulatan persoalan yang sudah sangat sering kita
jumpai dalam keseharian. Namun pengisahan-pengisahannya seakan diombang-ambing
hingga menuju penyelesaikan yang tak terduga. Atau bahkan jawaban-jawaban atas
segenap persoalan tersebut sangat sulit dipijaki dalam keseharian kita.
Misalnya saja, dalam
pengisahan tokoh Aji, anak dari Sukro (dituduh merampok, membunuh) dan seorang ibu bernama Aya
(penyanyi kelab malam). Aji yang sejak lahir sudah ditinggal ayahnya mendekam
di penjara, kemudian ketika usia satu tahun, ia dititipkan kepada pakde Rustam
(kakak kandung Sukro).
Aji tumbuh dalam penuh
tekanan. Hari-harinya yang sangat jauh dengan kasih sayang kedua orang tua. Ditambah
kekerasan fisik dan mental yang terus dilakukan oleh bude dan anak-anak pakdenya.
Namun setelah beranjak dewasa,
Aji memilih untuk meninggalkan rumah pakdenya. Dia meyakinkan diri untuk belajar
di pesantren Kiai Sodik. Setelah berproses di pesantren, ternyata nampak
kemuliaan-kemuliaan jiwa Aji. Hingga akhirnya, dia dinikahkan dengan Salma,
anak Kiai Sodik yang jernih hatinya. Walaupun awalnya, hal tersebut kurang
disetujui oleh istri Kiai Sodik, mengingat siapa Aji, siapa orangtuanya.
Prasetyo, dalam novel ini pun
mengisahkan sosok Kiai Sodik dalam sisi kebimbangan-kebimbangannya.
Menggambarkan betapa diri manusia, entah seberapa tinggi derajat dan
kemuliaannya di mata masyarakat, tetap saja masih ada celah-celah
kekurangannya.
Kerap dikisahkan Kiai Sodik
mengadu kepada ibunya, ia meminta pendapat, atas kekhilafan yang dilakukan.
Misalnya saja ketika dia sempat mampu menyembuhkan orang sakit keras, namun
lain waktu dia gagal meski sempat begitu yakin mampu mengulangi keberhasilan
sebelumnya.
Orang sakit kedua yang
berusaha disembuhkannya meninggal. Proses persiapan pemakaman pun akhirnya
dilakukan di lingkungan pesantren, masyarakat dan santri menyaksikan,
menghadiri ritual pemakaman.
Hal itu seakan diciptakan
Prasetyo untuk mengajak kita melihat bagaimana kondisi masyarakat saat ini.
Biasanya segala sesuatu bermuara pada ruang-ruang santri, lingkaran-lingkaran
kiai. Namun, tatkala waktu terus bergerak, masyarakat kita seakan bergerak pula
kepandaian pemahamannya dalam menyikapi kehidupan.
Semua bisa goyah, semua
memiliki celah kebimbangan jika dipertemukan dengan segenap peranti duniawi.
Begitu kiranya sedikit kemuliaan yang dikisahkan dalam novel. Karya Prasetyo
ini setidaknya memberi beberapa pandangan terhadap kita, mengajak kita
menelusuri ruang-ruang kecil yang melimpah nilai.***
─Setia Naka Andrian, Dosen
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Menulis
buku puisi “Perayaan Laut” (April 2016).
Roh Spiritual di Jagat Fiksi (Suara Merdeka, 31 Juli 2016)
Roh Spiritual di Jagat Fiksi
Oleh Setia Naka Andrian
Novel terbaru S Prasetyo Utomo, Tarian Dua Wajah (2016) seakan
menyeret saya memaknai gelimang kisah manusia dari tokoh-tokoh yang
dihadirkannya. Benak saya diguyur aroma spiritual yang memadukan seni dan
moralitas, seperti ditegaskan sampul apik bergambar penari cantik dengan dua
topeng di kedua tangannya. Nyai Laras, seorang penari istana, yang diyakini
sebagai leluhur sebuah daerah dalam latar novel.
Prasetyo, membuka dengan kisah getir lelaki muda kekar bernama
Sukro, keturunan Nyai Laras yang dihadapkan persoalan ekonomi. Sukro berupaya
keras memenuhi biaya kelahiran istrinya. Ia harus menjual tanah warisan yang
terdapat pekuburan leluhurnya yakni, makam Nyai Laras. Persoalan muncul, ketika
tak semua uang pembayaran tanah diberikan. Sukro membunuh pengusaha yang
membeli tanahnya, karena tidak melunasi kekurangan penjualan tanah tersebut.
Sukro dipenjara 15 tahun atas tuduhan perampokan dan pembunuhan.
Keluarga kecil Sukro menjadi berantakan. Aya, istri Sukro, selepas melahirkan
anaknya, Aji, kembali menjadi penyanyi di sebuah kelab malam. Aji dititipkan
kepada kakak iparnya di kota. Aji tumbuh meremaja dengan penuh tekanan dari
istri kakak ipar beserta anak-anaknya.
***
Prasetyo pelan-pelan menyuguhkan roh spiritual selebar-lebarnya
dalam segenap pengisahannya. Spiritual di sini memberi arah serta melakukan
kritik atas realitas yang ada. Pun terkait pengisahan nilai-nilai kemuliaan
begitu leluasa disuguhkan melalui tokoh-tokohnya dengan lantang, panjang dan
saling berkaitan. Gelimang gerak manusia ditawarkan melalui tema, karakter dan
ideologi tertentu. Prasetyo seakan menekuri catatan keyakinan yang bertebaran
dalam keseharian hidupnya. Aktivitas kemanusiaan yang luhur pun sedemikian rupa
ditawarkan tanpa mengerutkan dahi pembaca. Siapa pun seolah tergerak untuk tak
habis-habis menemukan diri sendiri dalam pengisahannya.
Misalnya Aji, santri muda yang merupakan anak Sukro (pembunuh,
perampok) dan Aya (penyanyi kelab malam), kemudian menjadi menantu kiainya,
Kiai Sodik. Ia dinikahkan dengan seorang anaknya yang cantik dan jernih
hatinya. Dalam hal ini, Prasetyo mencoba mendobrak kelaziman yang barangkali
sangat jarang ditemukan dalam kehidupan kita. Prasetyo mengupayakan keyakinan
Barker (2013) dalam melaksanakan kerja empiris yang ditekankan dalam tradisi
kulturalis, mengeksplorasi cara manusia menciptakan makna kultural.
Dikisahkan pula, sosok Kiai Sodik, yang tetap teguh tidak mengusik
sarang lebah madu di pesantrennya. Ada pembeli yang berkali-kali datang namun
tetap saja tidak diberikan. Hingga suatu ketika, Kiai Sodik jatuh sakit,
istrinya menyarankan agar salah seorang santri mengambil sarang lebah madu
untuk Kiai Sodik. Namun ia menolak, katanya masih banyak obat dari dokter yang
belum diminum. Suatu saat, lebah ratu dan gerombolannya berterbangan memasuki
kamar Kiai Sodik dan bersarang di usuk kamar sang kiai. Madu memenuhi tiap-tiap
liang sarang, hingga madu leleh, menetes tepat di bibir Kiai Sodik yang
terbaring di bawahnya. Kiai Sodik berangsur membaik, hingga akhirnya sembuh.
Kiai Sodik pun mampu menerawang gerak manusia. Termasuk Aji dan
ayahnya, Sukro. Bahkan ia mampu menyembuhkan orang sakit. Namun, tidak semua
yang dijalani dan kemampuan yang dimilikinya berjalan mulus. Suatu saat ia bisa
menyembuhkan orang sakit, lain waktu tidak, ketika ia lalai dan takabur, seakan
mendahului kehendak tuhannya.
***
Prasetyo seakan membangun realitasnya sendiri melalui
persoalan-persoalan pelik yang belum tentu dapat diselesaikan dalam dunia
nyata. Konflik dimunculkan dengan mengejutkan dan diselesaikan sedemikian
panjang dan tak terduga. Ini menjadi kekuatan tersendiri, sebagaimana
Kuntowijoyo (2013) menyatakan sastra menjadi sistem simbol yang fungsional,
bukan sekadar trivialitas rutin sehari-hari dan biasa-biasa saja. Prasetyo
mencoba melarikan pengisahannya jauh dari kedangkalan persoalan keseharian yang
membosankan dan tidak terselesaikan, yang sering kita temui dalam kehidupan
nyata.
Prasetyo menciptakan penjara apik antara diri pembaca, moralitas,
dan dunia teksnya sendiri. Ia mencoba mengurai persoalan sederhana di sekitar
kita yang diselesaikan dengan takjub. Walaupun, lagi-lagi ia mengulang
kegetiran yang hampir sama dalam novel pertamanya, Tangis Rembulan di Hutan
Berkabut (2009).
─Setia Naka Andrian, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI
Semarang (UPGRIS). Menulis buku puisi “Perayaan Laut” (April 2016).
Selasa, 26 Juli 2016
Senin, 18 Juli 2016
Kutukan untuk Pemalsu Vaksin (Wawasan, 14 Juli 2016)
Kutukan untuk Pemalsu Vaksin
Oleh Setia
Naka Andrian
Banyak pihak
sangat menyayangkan terhadap tindakan pemalsuan vaksin yang sementara ini peredarannya
dikendalikan oleh tiga produsen, yakni Agus, Syariah, serta pasanga suami-istri
Hidayat Taufiqurahman dan Rita Agustina. Hingga saat ini semua tersangka masih
dikenai tindak pidana pencucian uang. Penyidik melacak semua aset tersangka.
Selain itu, semua tersangka juga dikenai pasal berlapis karena melanggar
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU No. 8/1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
Kejadian keji
ini begitu menggetarkan seantero dada para orangtua di negeri ini, lebih-lebih
bagi para ibu yang setiap waktu ingin selalu memberikan yang terbaik untuk
kesehatan dan pertumbuhan buah hatinya. Segalanya pasti akan siap dikorbankan
untuk kebutuhan kesehatan anak-anaknya. Beberapa waktu ini pun begitu ramai di
berbagai media sosial, semua orang seakan mengecam tindakan yang dilakukan para
pemalsu vaksin tersebut. Seperti halnya Change.org Indonesia pun dengan lantang
melayangkan petisi dengan seruan, “@KemenkesRI @NilaMoeloek Selamatkan nyawa Balita Indonesia, Usut Tuntas
#VaksinPalsu!”
Petisi tersebut
berisi, 1) Mendukung penyidikan kasus
ini, meminta agar POLRI dapat membasmi secara tuntas tindakan pemalsuan vaksin
dan mendukung penindakan yang tegas pada para pelaku. 2) Meminta Pemerintah,
Bareskrim dan pihak berwenang lainnya untuk menarik semua vaksin yang saat ini
beredar dan menggantinya dengan vaksin yang ASLI dan AMAN guna menjamin keamaan
dan perlindungan kesehatan bayi-balita Indonesia. 3) Meminta Pemerintah,
Bareskrim dan pihak berwenang lainnya untuk mengumumkan nama-nama distributor,
Rumah Sakit, Klinik atau tempat kesehatan lainnya yang terindikasi dan/terbukti
menggunakan vaksin palsu. 4) Mendorong Pemerintah untuk melakukan vaksin
ulangan terhadap anak-anak yang lahir antara tahun 2003 – 2016 guna menjamin
generasi indonesia yang sehat dan bebas penyakit berbahaya. 5) Mendorong BPOM
untuk lebih agresif dalam mengawasi dan memfilter distribusi vaksin dan
obat-obatan pada umumnya.
Minggu lalu di
Nusa Dua, Bali (26/6), Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek mengatakan, anak
balita yang telah mendapatkan vaksin palsu perlu diimunisasi ulang. Sebab di
tubuh mereka tak terbentuk kekebalan. Imunisasi ulang pada anak usia 10 tahun
dimungkinkan. Yang pasti, segala ini sangat tidak dibenarkan, karena menyangkut
keberlangsungan kesehatan bagi anak-anak yan tentunya merupakan generasi
penerus bangsa dan negara ini. Lebih-lebih hingga saat ini 194 negara
menyatakan bahwa imunisasi terbukti aman dan bermanfaat untuk mencegah sakit
berat, wabah, cacat dan kematian akibat penyakit berbahaya. Melalui imunisasi
yang lengkap dan teratur dimasukkan ke dalam tubuh bayi-balita, maka akan
timbul kekebalan spesifik yang mampu mencegah penularan, wabah, sakit berat,
cacat atau kematian akibat penyakit-penyakit tersebut. Setelah diimunisasi
lengkap, bayi-balita masih bisa tertular penyakit-penyakit tersebut, tetapi
jauh lebih ringan dan tidak berbahaya, dan jarang menularkan pada bayi-balita
lain sehingga tidak terjadi wabah.
Ini sebuah
kasus yang tidak boleh disepelekan begitu saja. Pemerintah memberi perhatian
khusus. Pihak-pihak yang berwenang harus mengusut hingga tuntas. Bahkan hingga
saat ini, (Kompas, 28/6) polisi telah menetapkan 15 tersangka di sejumlah kota,
seperti Jakarta, Tangerang Selatan (Banten), Subang dan Bekasi (Jabar), serta
Semarang. Polisi juga memeriksa 18 saksi dari rumah sakit, apotek, toko obat,
dan saksi yang terlibat dalam pembuatan vaksin palsu. Hasilnya, terungkap empat
rumah sakit di Jakarta serta dua apotek dan satu toko obat di Jakarta terlibat
peredaran vaksin palsu. Bayangkan saja, yang lebih mengerikan lagi ternyata
tindakan pemalsuan vaksin ini telah dilakukan sejak tahun 2003, maka dapat kita
ungkap bahwa sindikat pemalsu vaksin ini telah beroperasi selama 13 tahun dan
telah tersebar ke beberapa daerah di Indonesia.
Sungguh sangat
mengerikan, beberapa itu baru yang ditemukan, lalu bagaimana dengan yang masih
aman, yang masih beroperasi mengedarkan dan mengonsumsi vaksin-vaksin palsu.
Bagaimana nasib anak-anak di negeri ini, yang seharusnya sangat membutuhkan
kekebalan untuk mencegah sakit berat, wabah, cacat dan kematian akibat penyakit-penyakit
berbahaya. Umpatan, kutukan, tangis, bahkan doa-doa buruk bermunculan dari para
ibu kepada mereka para pelaku. Sepertinya, jika melihat kasusnya yang tidak
hanya penipuan semata, tidak hanya pemalsuan semata, namun sudah menyangkut
keselamatan banyak nyawa. Kasus ini pun sudah sangat direncanakan, secara tidak
langsung inilah perencanaan membunuh, tidak hanya nyawa seorang, namun nyawa
dari jutaan orang, jutaan generasi penerus bangsa dan negara ini. Maka, belum
adil jika para pelaku hanya mendapatkan hukuman mati saja. Apalagi hanya
dipenjara puluhan tahun, atau hanya didenda saja. Semoga hukum ditegakkan
setegak-tegaknya untuk kasus ini. Semoga dan semoga.***
Setia Naka Andrian, Penyair
kelahiran Kendal, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI
Semarang (UPGRIS), Penulis Buku Puisi Perayaan Laut (April 2016).
Langganan:
Postingan (Atom)