Sihir Politik Wayang Banyolan
Oleh Setia
Naka Andrian
Pagi
itu, ruangan begitu redup. Backdrop hitam menutup rapat dinding-dinding Balairung Universitas PGRI Semarang. Ratusan penonton yang kebanyakan mahasiswa nampak menyiapkan diri
untuk menjadi saksi pertunjukan Wayang Kampung Sebelah (WKS). Mereka nampak
beku di kursi-kursi yang sengaja ditata melingkar di hadapan panggung. Sayup-sayup
iringan musik digital yang menyayat membuat mereka semakin khidmat untuk segera
menyimak cerita Mawas Diri Menakar Diri dari
WKS.
Blencong menyala. Isi panggung ditembak beberapa
lampu sorot. Cahaya dijatuhkan tepat di gawang kelir, alat-alat musik yang
bergeletakan, jimbe, gitar elektrik, gitar bass, saxophone, flute, kendang, dan
drum. Kenampakan gawang kelir sepanjang tiga meter dan seperangkat alat musik
yang tidak seperti dalam wayang kulit purwa tersebut, seketika merasuki pikiran
penonton untuk menyibak kawah imajinasi yang lepas.
Di
benak penonton, runtuh sudah pemaknaan wayang dengan pakem dan pengisahan melalui bahasa yang berat-berat. Meminjam Umar
Kayam (1981), wayang sudah lama ada di negeri ini. Dikenal sebagai alat
berhubungan dengan roh leluhur lewat patung-patung. Juga sebagai cara mulia
membeberkan cerita-cerita dari kehidupan manusia. Melalui kisah Ramayana dan
Mahabarata, misalnya. Namun tidak yang ditawarkan WKS, suguhan wayang
kontemporer dengan banyolan segar menjadi keutamaan dalam sajiannya.
Mengingat
masyarakat saat ini sudah begitu lelah dengan pekerjaan dan aktivitas
keseharian. Sehingga sangat benar, WKS berupaya mengembalikan hakikat wayang
sebagai tontonan dan tuntunan (perilaku). Wayang-wayang kertas dengan tampilan jenaka/lucu
menjadi jalan tersendiri sebagai daya tarik di mata penonton. Misalnya
tokoh-tokoh perempuan seksi serupa penyanyi dangdut, lelaki bergitar, hansip,
polisi, lelaki bule, dan kakek-kakek tua. Semua siap disajikan sebagai wujud
dari bayang-bayang kenyataan hidup manusia dengan segenap kekonyolannya.
Pertunjukan dimulai. Dalang Ki Jlitheng
Suparman dan tujuh pemain musik melangkah menuju panggung. Tanpa basa-basi mereka
langsung menggeber lagu-lagu dengan
tawaran sound modern yang masih menampakkan
nuansa musik melayu dan dangdut koplo. Syair-syair yang dilantunkan pun begitu membumi,
mengenai takdir, jodoh, kematian, kekayaan, kemiskinan, dan rahasia ilahi.
Selanjutnya lagu-lagu seakan terpaksa diselesaikan, alunan musik digiring
menjadi semakin mencekam.
Dalang menggerak-gerakkan lambang negera
(garuda pancasila) dan gunungan dengan penuh energi. Ilustrasi semakin
menggetarkan. Lanskap alam imajinasi mengenai persoalan negeri dihadirkan dari
estetika dunia wayang. Satu demi satu tokoh wayang dimainkan dengan teknik
muncul berjoged-joged. Kelenturan permainannya ditunjukkan begitu apik. Nampak
detail bagaimana anatomi tubuh wayang dalam gerakan-gerakan kecil dari tangan
dan kakinya. Wayang berjoged, menggoyangkan pinggul, memainkan gitar, dan
banyak lagi gesture yang begitu fasih
semacam dramaturgi pertunjukan teater.
Fenomena Pelik Dunia Politik
Kisah dibuka dengan kehadiran tokoh
bernama Catur. Digambarkan sebagai seniman dekil yang multifungsi. Ia bicara
banyak hal mengenai fenomena pelik di dunia politik. Gawang kelir semakin
menyala dengan kehadiran Pak Lungsur, tokoh masyarakat di desa Bangun Jiwo yang
sedang berkampanye untuk memenangkan pemilihan kepala desa. Pak Lungsur beraksi
dengan ragam bahasa vickinisasi dalam kampanye. Judge lama yang ternyata masih mengundang tawa penonton. Misalnya ungkapan
“kontroversi hati” dan “kudeta miskin”.
Dalam cerita, Pak Lungsur sebagai tokoh
yang menghalalkan segala cara agar menang dalam pemilihan kepala desa. Dibantu
seorang kakek tua sebagai pentolan tim sukses dan menyelinap menjadi ketua
panitia pemilihan. Mengatur kemenangan Pak Lungsur, dari mulai penyelenggaraan
panggung musik hingga manipulasi suara yang diatur dari dalam kepanitiaan
pemungutan suara. Praktik politik uang pun nampak gamblang disuguhkan WKS. Hal
tersebut menjadi gambaran mengenai kondisi panggung politik di negeri ini.
Bahkan sudah tidak sedikit lagi yang terjadi di pedesaan. Sebuah lembaga
pemerintahan terkecil yang sangat memungkinkan menjadi ajang perebutan
kekuasaan dengan praktik-praktik negatifnya.
Desa menjadi lahan subur bagi para calon
penguasa. Desa dihadirkan sebagai ruang gerak untuk menciptakan dan
menghancurkan kekuatan rakyat. Terbukti, pertunjukan WKS dalam rangkaian parade
bulan bahasa yang digelar pada 20 Oktober lalu, memberi gambaran kebobrokan
sebuah negara dimulai dari embrionya di desa. Dari mulai politik uang,
birokrasi kompleks, berafiliasi, hingga praktik pemangkasan dana yang
turun-temurun dari pihak atas ke bawah.
Akhirnya, pihak-pihak bawah hanya
mendapat bagian sangat sedikit. Nduwur penak, ngisor ditekak (baca:
atasan enak, bawahan dicekik). Begitulah yang dilantangkan oleh kelompok wayang
kontemporer asal Solo tersebut. Perihal kritik sekaligus ajakan untuk menjalani
hidup pada jalur yang semestinya. Berpegangan dan mengilhami segala yang sudah
digariskan dalam Pancasila serta UUD 1945. Dalam hal memperjuangkan kedaulatan
berbagai bidang.
WKS berupaya memanjakan penonton dengan
visual kejenakaan yang tak terduga. Mengajak penonton melihat, memeriksa,
mengoreksi diri sendiri secara jujur untuk introspeksi, agar jangan lagi melakukan
kesalahan yang sama. Selain itu, penonton juga diajak menyelami beragam fenomena
sosial melalui sajian musik rakyat (baca: dangdut koplo). Bahkan, yang
seharusnya musik bernuansa melayu, pop, rock, dan musik reggae sekalipun, pada
akhirnya tetap dibumbui dangdut koplo. Barang tentu sudah menjadi hal yang
lumrah, dangdut koplo dengan goyangannya menjadi sihir tersendiri bagi para
calon pemimpin di negeri ini untuk melumpuhkan hati rakyat dalam setiap
kampanye-kampanyenya.***
─Setia Naka
Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan
Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS).