Oleh Setia
Naka Andrian
Seragam dan tawuran
adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan dari ingatan para pelajar di negeri
ini. Pelajar yang pada umumnya anak muda, masih butuh kenakalan dan bertindak hal-hal
yang tidak wajar. Mereka tumbuh dari tubuh yang panas dan ingatan yang cerdas.
Ingin selalu melompat-lompat dari penindasan-penindasan yang sering muncul dari
lingkungan, bahkan dari tubuhnya sendiri. Barangkali kita tak sanggup
membayangkan betapa liarnya mereka. Namun itulah pelajar, butuh tempat yang
teduh untuk lari dari keterasingan-keterasingan dan kejenuhan yang timbul dari
sekolah/ lingkungan belajarnya.
Sebenarnya mereka
sangat sadar dengan apa yang dilakukan. Bahkan mereka juga dapat berhenti
sendiri untuk meninggalkan kenakalan dan tawurannya. Karena barangkali sama
halnya saat mereka melepas seragam sekolahnya ketika sampai di rumah. Benar-benar
lepas. Karena setidaknya seragam mereka telah menjadi sejarah sebelum sampai di
rumah. Seragam telah dikenakan untuk keliling kemana-mana sebelum mencium pintu
kamarnya. Hingga akhirnya lelah dan mengadu pada kasur, bantal, berteriak di
facebook dan barangkali juga berkicau di twitter.
Bayangkan saja,
begitu dahsyatnya seragam sekolah menginap pada ingatan para pelajar. Karena
seragam, mereka dapat leluasa berlari-lari di pinggir-pinggir jalan. Mereka
juga lebih asyik nongkrong di alun-alun kota, berfoto-foto, atau sambil
menggoda lawan jenis yang lewat. Karena seragam, mereka berani saling menghina
antarsekolah gara-gara ikat pinggang dan sepatu dari sekolah lainnya
tergadaikan hanya karena buku suplemen mata pelajaran dan uang saku yang tak
wajar.
Yah, begitulah.
Seragam dan tawuran telah menjadi dua sisi uang logam yang bersebelahan. Lalu kita
dapat memilih perbandingannya, masa lalu kita dulu ketika berabu-abu putih
dengan masa anak kita kali ini. Namun seyogyanya kita tak perlu sakit hati.
Karena bagaimanapun kita kini menyaksikan mereka semakin manja karena seragam.
Air mata tak lagi mampu berlinang gara-gara nilai ujian yang belum keluar. Juga
mengenai sayembara-sayembara kreativitas yang sering terabaikan. Namun bagaimanapun
tangis mereka adalah proposal permintaan tas dan ikat pinggang yang baru. Atau
bahkan membanting-banting tubuhnya sendiri ketika hendak minta motor baru
hingga mobil mewah. Dan, itu bukan kelaparan mereka. Hanya saja kekeliruan yang
terjadi pada tubuh mereka sendiri. Atau bahkan sistem dan keraguan yang sering
muncul dari rumah-rumah yang sering mereka anggap sebagai sekolah, dan sekolah
yang barangkali selalu mereka anggap sebagai rumah. Atau bahkan lebih parah
lagi, sebagai tempat nongkrong dan berpesta yang paling berlabel tralala. Lalu
selanjutnya bagaimana, atau barangkali tak perlu lagi berseragam?***
BilikLipat, November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar