Nama-Nama yang Muncul dalam Prosa dan Puisi
Oleh Setia
Naka Andrian
Judul Buku :
Perihal Nama
Penulis :
Widyanuari Eko Putra
Penerbit :
Kelab Buku Semarang
Cetakan : I,
Mei 2018
Jumlah Halaman :
170 halaman
ISBN :
978-602-6694-43-0
Pemberian nama dari orangtua
kepada anaknya, kerap kali melewati pertimbangan panjang. Bahkan tidak jarang,
terjadi perdebatan alot di antara kedua orangtua tersebut. Sebelum sepenuhnya menjatuhkan
suatu nama kepada sang anak yang baru saja menghirup napas ke dunia. Terkait
nama yang tidak bisa dikata sederhana tersebut, pun dibahas panjang lebar dalam
buku Perihal Nama karya Widyanuari
Eko Putra (Kelab Buku Semarang, 2018).
Buku yang dicap sebagai
kumpulan enam esai seputar prosa, puisi, dan buku tersebut mencoba menggiring pembaca
menyelami ketidaksederhanaan penamaan tokoh-tokoh dalam sebuah karya sastra,
baik prosa maupun puisi. Nama-nama yang dihadirkan dalam karya kerap
dipertimbangkan pengarang, bagaimana kesesuaiannya dengan cerita yang diusung.
Bagi Widyanuari, dalam esai
berjudul Yang Tersembunyi di Balik Nama, bahwasanya
nama tercipta sebagai konsekuensi atas pertimbangan-pertimbangan: ideologi,
konteks zaman, kebersesuaian dengan tema cerita, hingga eksplorasi yang
semata-mata demi capaian estetik atau efek tertentu. (hlm. 45).
Widyanuari memberikan
perhatian serius terhadap kehadiran nama-nama dalam berderet karya sastra. Di
antaranya, novel Max Havelaar karya
Multatuli (Eduard Douwe Dekker), Azab dan
Sengsara karya Merari Siregar, Student
Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo, novel Tetralogi Buru garapan Pramoedya
Ananta Toer, Para Priyayi karya Umar
Kayam, Mantra Pejinak Ular karya Kuntowijoyo,
hingga karya-karya terbaru Triyanto Triwikromo, Ritus, Anak-Anak Mengasah Pisau, dan Ular di Mangkuk Nabi.
Dalam kasus penamaan yang
dilakukan Triyanto, misalnya, Widyanuari menangkap kecenderungannya menciptakan
nama-nama yang khas, berkesan gaib, mistis, dan ajaib. Nama-nama tersebut, di
antaranya Manyar, Kabrut, Blandrek, Abilawa, Ragaula, Rudrat, Natasja Korolenko,
Nyonya Bangsa.
Meskipun, dalam esai judul serupa,
Widyanuari menghadirkan pernyataan dari Seno Gumira Ajidarma, berikut, “Sukab
hanyalah sembarang nama yang saya pasangkan kepada setiap tokoh, sekadar karena
saya malas “mengarang”,”
Pada kasus tersebut, Seno memberikan
pernyataan bahwa penamaan tokoh-tokohnya dalam cerita dibuat sekenanya saja.
Tentu banyak kita dapati bagaimana Seno menggunakan nama Sukab dalam beberapa
cerpen-cerpennya. Lain kasus ketika Seno menggarap novelnya Kitab Omong Kosong. Tokoh-tokoh
pewayangan serupa Togog, Prabu Janaka, Hanuman, Rama, Sinta, dan lainnya
dihadirkan begitu rupa dalam novel yang mendekonstruksi cerita wayang tersebut.
Selanjutnya, dalam esai
berjudul Sebuah Nama, Sebuah Cerita, Widyanuari
menyingkap maksud pencantuman nama dalam puisi. Penyair-penyair serupa Chairil
Anwar, Afrizal Malna, Iman Budi Santosa, Dorothea Rosa Herliany, Joko Pinurbo, Erich
Langobelen, Alex R. Nainggolan, Nurul Ilmi El-Banna, Sengat Ibrahim, M. Noeris,
dan lainnya.
Nama-nama dicantumkan secara
khusus dalam puisi. Puisi ditujukan untuk seseorang, diberikan, dihadiahkan,
atas rasa kagum, penghormatan, ketakziman, dan lainnya. Seperti gubahan puisi
Chairil Anwar, di antaranya pada judul “Kenangan untuk Karinah Moordjono”, “Hampa kepada Sri”, “Kawanku dan Aku kepada
L. K Bohang” dan lainnya.
Menurut temuan Widyanuari, nama-nama
seakan diabadikan secara terang-terangan di dalam puisi. Kerap kali diletakkan di
bawah judul, atau bahkan tak sedikit pula nama-nama tersebut dicantumkan menyatu
dalam judul, “Kepada Penyair Bohang”. Ada kalanya nama-nama dicantumkan dengan inisial,
“Lelaki Empat Penjuru Kepada ULP” karya
Iman Budi Santosa untuk Umbu Landu Paranggi. Didapati pula puisi-puisi gubahan
Joko Pinurbo, berjudul “Rumah Kontrakan untuk
ulang tahun SDD”, “Memo Celana untuk
Iqbal”, “Rumah Persinggahan untuk S.S.”.
Dalam kedua esai panjang Widyanuari
tersebut, nama-nama memiliki keberadaan yang tidak biasa, baik dalam prosa
maupun puisi. Nama-nama mendapuk peran tersendiri dalam sebuah karya sastra. Nama-nama
yang bermakna dan tidak semena-mena dihadirkan dalam karya sastra, serta
nama-nama yang diberi kehormatan tersendiri saat dicantumkan dalam sebuah
puisi.
Keempat esai berikutnya
dicatat Widyanuari dengan tidak sepanjang esai pertama dan kedua. Judul esai Tidak Ada Jassin hari Ini, Upaya Menulis
Ulang dan Menafsir, Menjelajahi Parodi ala martin, dan Pengorbanan Membaca Buku, seakan menjadi anak-anak yang berusia
pendek. Meski, napas yang ditiupkan Widyanuari kepada esai-esai tersebut tetap
sama. Hanya saja, pembaca barangkali akan merasa terganggu. Pengisahan
nama-nama seakan kian memendek dan memudar.***
─Setia Naka Andrian, Pengajar
di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS).