Pak Ogah, Dirindu dan Dicaci
Oleh Setia
Naka Andrian
Sepertinya
kita seakan merasa kuwalahan sebagai
pemakai jalan yang kian hari semakin padat saja. Kita tentu sangat kesusahan
jika harus menyeberang di jalanan yang begitu padat. Lebih-lebih jika pagi
hari, suasana jalanan begitu ramai dengan kendaraan orang-orang yang memburu
waktu agar tidak telat menuju tempat kerja. Belum lagi siswa-siswa sekolah,
bus, dan angkutan umum lainnya dengan segenap asap kenalpot yang terkadang
begitu menyebalkan bersanding dengan parfum yang sudah kita kenakan di segenap
badan, polesan wajah para perempuan pun terasa cepat kusam, itu menyakitkan.
Menambah semakin cemas, lautan kendaraan bermotor berlalu-lalang seakan tanpa
jeda. Hingga akhirnya, entah menjadi sebuah keberuntungan atau malah menjadi
semacam pertolongan buat kita, jika tidak sedikit kita begitu dimanjakan oleh
Pak Ogah, sosok berbendera dan bercadar atau berhelm yang senantiasa membantu
kita menyeberang di jalan-jalan yang belum disambangi lampu merah, di persimpangan
jalan atau jalan putaran balik jalan-jalan ramai di kota kita.
Pak
Ogah, begitulah sebutannya. Mereka mau tidak mau, telah banyak membantu kita.
Mereka tidak sedikit yang hanya meminta sekadarnya (seikhlasnya) melalui sebuah
ember kecil, mengharap sebatas recehan dari para pengguna jalan. Namun ada
pula, sebagian dari mereka yang ternyata cukup meresahkan dengan meminta paksa.
Namun memang, kenyataan semacam itu terjadi tidak begitu saja. Tentu sangat
beralasan. Entah yang dimaksudkan mereka dengan dalih membantu, atau bahkan
mengemban misi soasial untuk tidak sekadar membantu pengguna jalan semata,
namun meringankan beban Polisi yang sedang mengatur arus lalu lintas. Tentu itu
sangat wajar, jika kita melihat jumlah pengatur lalu lintas (Polisi) di negeri
ini seakan tidak sebanding dengan perempatan-perempatan atau persimpangan jalan
yang begitu ramai pada tiap harinya.
Pengganggu atau
Penertib
Pak
Ogah, atau kerab disebut sebagai Polisi Cepek, seakan menjadi produk jalanan
modern kita yang kehadirannya terkadang dirindu saat mampu menertibkan jalan,
namun ada pula yang menganggap kehadirannya sangat mengganggu arus perjalanan
kita. Tentu hal tersebut sangat wajar. Tidak sedikit pula sebagian dari mereka
yang dinilai sangat meresahkan masyarakat. Misal saja ketika mereka yang
awalnya berdalih ingin menolong ketika ada perbaikan jalan, ketika jalanan
terpaksa harus dibuka dan ditutup secara bergantian. Mereka seakan mengatur
dengan begitu apik. Dari sisi yang berlawanan, mereka saling berkopmunikasi
jalur mana dulu yang akan diperkenankan untuk berjalan. Bahkan tidak sedikit
pula di antara mereka tidak hanya menggerakkan simbol-simbol melalui bendera
saja, namun sudah merelakan untuk memanfaatkan alat telekomunikasi semacam Handy Talkie (HT) atau bahkan rela
menghabiskan pulsa telepon genggamnya untuk berkomunikasi mngatur jalanan.
Namun
jika kita sempatkan menengok beberapa kicauan masyarakat di media sosial, atau
barangkali di antara kita ada yang sempat mengalami sendiri, tidak sedikit Sdi
antara mereka yang mengumpat ketika para pengguna jalan tidak memberi imbalan,
menggedor kendaraan kita, sambil melotot dan marah-marah dengan
teriakan-teriakannya. Lebih-lebih, sangat dimanfaatkan mereka jika perbaikan-perbaikan
jalan dilalui kita pada saat malam hari atau di jalanan-jalanan yang sepi. Pada
posisi tersebut, mereka seakan begitu memanfaatkan untuk memeras. Tentu sangat
meresahkan. Mengingat, tidak banyak uluran-uluran tangan aparat Polisi yang menjangkau
lalu lintas yang kita temui pada posisi semacam itu. Apalagi malam hari,
sungguh sangat sedikit. Namun kita pun tak bisa menyalahkan. Barang tentu
memang belum begitu banyak aparat penegak lalu lintas kita, mengingat negeri
ini sangat luas. Masih banyak pula jalan-jalan kota, jalan-jalan daerah-daerah
di negeri ini yang masih kerap rusak dan selalu ada perbaikan. Bahkan, masih
banyak pula jalanan pedalaman yang masih bobrok. Di situlah, mereka para oknum
yang berniat jahat mulai beraksi dengan berjuta dalih demi mendapatkan
keberuntungan-keberuntungan, yang bagi mereka sangat mengasyikkan.
Keberadaan
Pak Ogah hingga saat ini seakan masih terbelah antara dirindukan dan dicaci.
Barang tentu, bagi para Polisi Cepek tersebut merasa sangat menguntungkan,
sebab menjadi sebuah lapangan kerja tersendiri. Misal saja mengenai pengisahan Wawan
(27) perantau dari Surabaya, yang saya kutip dari perbincangan dari salah satu
media sosial. Dikisahkan Wawan yang sehari-harinya beroperasi di perempatan
sebuah ruas jalan di Cilincing, Jakarta Utara. Ia bersama 3 orang temannya
sudah setahun beroperasi. Diakui menjalani profesi tersebut karena tidak
mempunyai pekerjaan lain setelah diberhentikan dari pekerjaannya sebagai buruh
pabrik di Jakarta Barat. Wawan dan ketiga temannya mengaku senang dengan
penghasilan dari mengatur lalu lintas kendaraan di persimpangan yang cukup
ramai tersebut. “Kalo dihitung-hitung mah lumayan banget. Apalagi saya setiap
hari emang di sini. Enggak pernah bolos, kecuali kalau emang sakit,” tutur
Wawan. Bersama ketiga temannya, Wawan berpenghasilan 60 ribu sehari dalam waktu
2 jam. Jadi sehari mereka bisa dapat kesempatan 2 kali (pagi dan sore) atau 4
jam, maka kisaran rata-rata penghasilannya mencapai 120 ribu dalam sehari. Sungguh
lumaan menguntungkan bagi mereka. Doa mereka, tentu ingin selalu jalanan ramai.
Namun tetap saja, segala itu masih kita tunggu bagaimana pemerintah memiliki
upaya mulia untuk menyelesaikannya. Penghakiman yang tepat dan tidak merugikan
bagi siapa saja. Utamanya, tidak merugikan pula bagi para Polisi Cepek
tersebut. Semoga.***
─Setia Naka Andrian,
Penyair kelahiran Kendal, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni
Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Penulis buku puisi, “Perayaan Laut” (April
2016), dan menyiapkan penerbitan buku puisi “Manusia Alarm”.