Roh Spiritual di Jagat Fiksi
Oleh Setia Naka Andrian
Novel terbaru S Prasetyo Utomo, Tarian Dua Wajah (2016) seakan
menyeret saya memaknai gelimang kisah manusia dari tokoh-tokoh yang
dihadirkannya. Benak saya diguyur aroma spiritual yang memadukan seni dan
moralitas, seperti ditegaskan sampul apik bergambar penari cantik dengan dua
topeng di kedua tangannya. Nyai Laras, seorang penari istana, yang diyakini
sebagai leluhur sebuah daerah dalam latar novel.
Prasetyo, membuka dengan kisah getir lelaki muda kekar bernama
Sukro, keturunan Nyai Laras yang dihadapkan persoalan ekonomi. Sukro berupaya
keras memenuhi biaya kelahiran istrinya. Ia harus menjual tanah warisan yang
terdapat pekuburan leluhurnya yakni, makam Nyai Laras. Persoalan muncul, ketika
tak semua uang pembayaran tanah diberikan. Sukro membunuh pengusaha yang
membeli tanahnya, karena tidak melunasi kekurangan penjualan tanah tersebut.
Sukro dipenjara 15 tahun atas tuduhan perampokan dan pembunuhan.
Keluarga kecil Sukro menjadi berantakan. Aya, istri Sukro, selepas melahirkan
anaknya, Aji, kembali menjadi penyanyi di sebuah kelab malam. Aji dititipkan
kepada kakak iparnya di kota. Aji tumbuh meremaja dengan penuh tekanan dari
istri kakak ipar beserta anak-anaknya.
***
Prasetyo pelan-pelan menyuguhkan roh spiritual selebar-lebarnya
dalam segenap pengisahannya. Spiritual di sini memberi arah serta melakukan
kritik atas realitas yang ada. Pun terkait pengisahan nilai-nilai kemuliaan
begitu leluasa disuguhkan melalui tokoh-tokohnya dengan lantang, panjang dan
saling berkaitan. Gelimang gerak manusia ditawarkan melalui tema, karakter dan
ideologi tertentu. Prasetyo seakan menekuri catatan keyakinan yang bertebaran
dalam keseharian hidupnya. Aktivitas kemanusiaan yang luhur pun sedemikian rupa
ditawarkan tanpa mengerutkan dahi pembaca. Siapa pun seolah tergerak untuk tak
habis-habis menemukan diri sendiri dalam pengisahannya.
Misalnya Aji, santri muda yang merupakan anak Sukro (pembunuh,
perampok) dan Aya (penyanyi kelab malam), kemudian menjadi menantu kiainya,
Kiai Sodik. Ia dinikahkan dengan seorang anaknya yang cantik dan jernih
hatinya. Dalam hal ini, Prasetyo mencoba mendobrak kelaziman yang barangkali
sangat jarang ditemukan dalam kehidupan kita. Prasetyo mengupayakan keyakinan
Barker (2013) dalam melaksanakan kerja empiris yang ditekankan dalam tradisi
kulturalis, mengeksplorasi cara manusia menciptakan makna kultural.
Dikisahkan pula, sosok Kiai Sodik, yang tetap teguh tidak mengusik
sarang lebah madu di pesantrennya. Ada pembeli yang berkali-kali datang namun
tetap saja tidak diberikan. Hingga suatu ketika, Kiai Sodik jatuh sakit,
istrinya menyarankan agar salah seorang santri mengambil sarang lebah madu
untuk Kiai Sodik. Namun ia menolak, katanya masih banyak obat dari dokter yang
belum diminum. Suatu saat, lebah ratu dan gerombolannya berterbangan memasuki
kamar Kiai Sodik dan bersarang di usuk kamar sang kiai. Madu memenuhi tiap-tiap
liang sarang, hingga madu leleh, menetes tepat di bibir Kiai Sodik yang
terbaring di bawahnya. Kiai Sodik berangsur membaik, hingga akhirnya sembuh.
Kiai Sodik pun mampu menerawang gerak manusia. Termasuk Aji dan
ayahnya, Sukro. Bahkan ia mampu menyembuhkan orang sakit. Namun, tidak semua
yang dijalani dan kemampuan yang dimilikinya berjalan mulus. Suatu saat ia bisa
menyembuhkan orang sakit, lain waktu tidak, ketika ia lalai dan takabur, seakan
mendahului kehendak tuhannya.
***
Prasetyo seakan membangun realitasnya sendiri melalui
persoalan-persoalan pelik yang belum tentu dapat diselesaikan dalam dunia
nyata. Konflik dimunculkan dengan mengejutkan dan diselesaikan sedemikian
panjang dan tak terduga. Ini menjadi kekuatan tersendiri, sebagaimana
Kuntowijoyo (2013) menyatakan sastra menjadi sistem simbol yang fungsional,
bukan sekadar trivialitas rutin sehari-hari dan biasa-biasa saja. Prasetyo
mencoba melarikan pengisahannya jauh dari kedangkalan persoalan keseharian yang
membosankan dan tidak terselesaikan, yang sering kita temui dalam kehidupan
nyata.
Prasetyo menciptakan penjara apik antara diri pembaca, moralitas,
dan dunia teksnya sendiri. Ia mencoba mengurai persoalan sederhana di sekitar
kita yang diselesaikan dengan takjub. Walaupun, lagi-lagi ia mengulang
kegetiran yang hampir sama dalam novel pertamanya, Tangis Rembulan di Hutan
Berkabut (2009).
─Setia Naka Andrian, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI
Semarang (UPGRIS). Menulis buku puisi “Perayaan Laut” (April 2016).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar