Hari Kedelapan Belas
hari ini, kita telah
melipat baju-baju
yang kita kenakan di
tahun lalu
di sana dihiasi lampu,
wajah-wajah manusia,
sungai, dan ikan-ikan
yang menguap ketika berenang;
hari ini kita banyak lupa
ingatan,
riwayat kamar-kamar
berserakan di dadamu,
banyak kenangan yang
memilih binasa
dalam takdir sebuah kota,
hingga kini, sebelum menutup
jendela,
kau, memilih menjadi hari
yang paling kuasa;
manusia berangkat kerja,
menjadi pasukan,
menjadi serigala,
pemangsa kebahagiaan,
pejinak tragedi, dan
lain-lain;
hari ini, kita menepi,
melukis bantal
dengan pelangi,
menghabisi diri orang-orang
yang membutakan matanya
sendiri
dengan sendok, garpu,
pecahan beling,
dan tanah sisa hujan;
hari ini, kita belajar
berlari, di tepi jalan
yang sedang dilewati
pasukan malapetaka
ketika kita belum mampu
mengubah diri
menjadi segitiga
Sanggargema, Maret 2015
Hari Sepenuh Puisi
ia kabarkan hari-harinya
sepenuh puisi
dari hutan, dari jalan
raya, dari tembok,
dari sungai, bukit, pohon
dan dari segala arah,
hingga dari dalam kamar,
mereka berebut bernyanyi
dengan irama dan nada
dasar yang berloncatan,
mereka menaiki puisi
pelan-pelan, mengelilingi
kota-kota yang
berloncatan di atas kepalamu,
semacam kera-kera
pemungut hati yang berantakan;
sungguh, kau diamkan
hari-harimu yang berbinar
kau tuangkan kepedihanmu
dalam segelas anggur
dan kau tiadakan kemenanganmu,
malam-malam
mengucur deras, dari
keningmu, dari takdirmu,
dari seberapa dalam doa
mengepal menjadi
riwayat dan takdirmu,
lalu darimu, puisi
berlari mengejar masa depan
yang sedang tidur panjang
ia tak lagi mau sarapan
pagi, katanya, hari sudah
begitu kenyang
menyaksikan penyakit yang piatu
dan lupa menyusui
anak-anaknya,
tak ada lagi obat batuk
yang mampu menyembuhkan
lukanya, hingga kau
jarang memenuhi gizi untuk
puisi-puisimu, padahal
katamu:
puisi adalah satu-satunya anak nuraniku
hingga akhirnya puisi
tinggal nama,
penyair kehilangan nyawa,
puisi semakin memburuk,
tak mau dibujuk,
mereka lari, memilih
mengasingkan diri,
menceburkan diri dalam
sungai yang kering
Saranglilin, Maret 2015
Perihal Tidur
sayang, aku tidur dulu di
pungungmu ya; nanti tolong
bangunkan aku pukul 17
tepat, karena nanti aku harus
mencari hujan; aku ingin
mengajaknya membasahi
pohon yang telah lama
tumbuh di jantungku,
katanya, ia pohon yang
ingin cepat mati,
ia ingin tidur panjang,
dan mengubur dirinya di dadaku,
tolong ya, karena di sana
setiap hari terdapat perempuan
menangis yang bersetia
menunggu peluru,
katanya, ia selalu
bersembunyi di dada-dada para pemerkosa
yang datang tak berkepala;
mereka meminum api-api
di atas ladang rahasia,
hingga ada seperangkat doa
yang kau lahirkan dari
dalam penjara,
ya, benar, mereka dilindungi
para penjaga yang gemar
membakar batu; aku tak
tahu, kenapa batu diam saja,
ia tak kepanasan, ia tak
kedinginan,
atau barangkali ia sedang
tidur, ia lelah, karena sering
dipinjam orang-orang yang
keras kepala,
ah, kau malah mengira
jika aku bohong,
padahal sungguh, semua menyaksikan,
bahkan jika kau mau,
mereka siap untuk membinasakan
dirinya sendiri; termasuk
kelak kau, aku, dan semua orang
yang membenci hari-hari tidur,
kita akan lelap bersama,
menyaksikan mimpi-mimpi
yang menidurkan kita, sebagai
diri yang sementara,
sebagai jiwa yang paling
pura-pura,
TBRS, Maret 2015
2 komentar:
Nita Yustitia Rahmayani 2D 16410160
setelah saya membaca puisi yang berjudul hari sepenuh puisi saya memhami isi puisi tersebut, isinya yaitu pada zaman yang sudah modern ini banyak penyair puisi meningglkan dunia puisinya karena mengikuti perkembangan zaman ini sehingga sangat sulit untuk menemukan penyair puisi pada sekarang ini
Faidatun Mujawanah
16410169/PBSI/2D
Puisi"perihal Tidur" sangat bagus meskipun harus dibaca berulang-ulang untuk bisa memahami isinya.
Posting Komentar