Makam Leluhur dan Kemuliaannya
Oleh Setia
Naka Andrian
Judul Buku :
Tarian Dua Wajah
Penulis :
S. Prasetyo Utomo
Penerbit :
Alvabet
Cetakan : I,
Juni 2016
Jumlah Halaman :
268 halaman
ISBN :
978-602-9193-86-2
Prasetyo memilih pengisahan
novelnya ini dengan gaya realis-imajinatif. Membaca novel ini, sederhana
memang, namun sadar atau tidak, pembaca akan disuguhi seabrek goncangan batin
terkait bergelimang fenomena spiritual.
Novel diyakini menjadi cara
ampuh bagi sebagian pengarang untuk lebih dalam menemui pembacanya, ketimbang
melalui karya sastra lain termasuk puisi dan cerpen.
Itu disebabkan novel setidaknya
lebih lantang menyuarakan pengisahannya, dengan tidak perlu banyak mengerutkan
dahi pembaca. Seperti yang dapat pula kita rasakan ketika membaca novel S.
Prasetyo Utomo, Tarian Dua Wajah (Alvabet, Juni 2016).
Prasetyo menggiring pembaca
dengan suguhan persoalan makam leluhur di sebuah perkampungan dengan begitu
bergejolak. Pertanyaan-pertanyaan di benak pembaca pelan-pelan menyambar tanpa
henti, tatkala tokoh-tokoh mulai dihadirkan.
Termasuk tokoh Sukro yang
begitu sentral sebagai salah satu keturunan Nyai Laras, leluhur kampung yang
sudah meninggal. Nyai Laras adalah penari istana pada masa silam yang tenar
seantero negeri. Yang kemudian diyakini terdapat titisannya, Dewi Laksmi, penari
muda berbakat yang berkesempatan berkeliling dunia karena lenggok tubuhnya yang
memukau.
Prasetyo memilih pengisahan
novelnya ini dengan gaya realis-imajinatif. Sebuah ikhtiar tersendiri untuk
lebih luas mencapai semua kalangan pembaca. Cerita awal dibuka dengan begitu
getir, terkait kehidupan keluarga kecil Sukro yang tengah mempersiapkan proses
melahirkan dari istrinya, Aya.
Masalah klise menghadang
mereka, perihal kekurangan uang untuk biaya kelahiran. Akhirnya, Sukro, sang
suami harus menagih kekurangan uang yang belum diberikan oleh pembeli. Seorang
pengusaha yang membayar tanah Sukro, tanah bukit warisan leluhur yang terdapat
makam leluhurnya, Nyai Laras.
Makam yang berangsur-angsur
menjadi perdebatan bagi barga sekitar. Sebab, makam tersebut kerap digunakan
sebagai tempat pemujaan bagi orang-orang di luar daerah yang setiap hari
hilir-mudik berdatangan.
Membaca novel ini, sederhana
memang, namun sadar atau tidak, pembaca akan disuguhi seabrek goncangan batin
terkait gelimang fenomena spiritual. Prasetyo begitu pelan mengaduk-aduk batin
pembaca, dengan nuansa realis-imajinatifnya, seakan menggiring keberhasilan
dalam menguasai keyakinan pembaca.
Di situ, mulailah sejarah
manusia baru diciptakan atas pergulatan persoalan yang sudah sangat sering kita
jumpai dalam keseharian. Namun pengisahan-pengisahannya seakan diombang-ambing
hingga menuju penyelesaikan yang tak terduga. Atau bahkan jawaban-jawaban atas
segenap persoalan tersebut sangat sulit dipijaki dalam keseharian kita.
Misalnya saja, dalam
pengisahan tokoh Aji, anak dari Sukro (dituduh merampok, membunuh) dan seorang ibu bernama Aya
(penyanyi kelab malam). Aji yang sejak lahir sudah ditinggal ayahnya mendekam
di penjara, kemudian ketika usia satu tahun, ia dititipkan kepada pakde Rustam
(kakak kandung Sukro).
Aji tumbuh dalam penuh
tekanan. Hari-harinya yang sangat jauh dengan kasih sayang kedua orang tua. Ditambah
kekerasan fisik dan mental yang terus dilakukan oleh bude dan anak-anak pakdenya.
Namun setelah beranjak dewasa,
Aji memilih untuk meninggalkan rumah pakdenya. Dia meyakinkan diri untuk belajar
di pesantren Kiai Sodik. Setelah berproses di pesantren, ternyata nampak
kemuliaan-kemuliaan jiwa Aji. Hingga akhirnya, dia dinikahkan dengan Salma,
anak Kiai Sodik yang jernih hatinya. Walaupun awalnya, hal tersebut kurang
disetujui oleh istri Kiai Sodik, mengingat siapa Aji, siapa orangtuanya.
Prasetyo, dalam novel ini pun
mengisahkan sosok Kiai Sodik dalam sisi kebimbangan-kebimbangannya.
Menggambarkan betapa diri manusia, entah seberapa tinggi derajat dan
kemuliaannya di mata masyarakat, tetap saja masih ada celah-celah
kekurangannya.
Kerap dikisahkan Kiai Sodik
mengadu kepada ibunya, ia meminta pendapat, atas kekhilafan yang dilakukan.
Misalnya saja ketika dia sempat mampu menyembuhkan orang sakit keras, namun
lain waktu dia gagal meski sempat begitu yakin mampu mengulangi keberhasilan
sebelumnya.
Orang sakit kedua yang
berusaha disembuhkannya meninggal. Proses persiapan pemakaman pun akhirnya
dilakukan di lingkungan pesantren, masyarakat dan santri menyaksikan,
menghadiri ritual pemakaman.
Hal itu seakan diciptakan
Prasetyo untuk mengajak kita melihat bagaimana kondisi masyarakat saat ini.
Biasanya segala sesuatu bermuara pada ruang-ruang santri, lingkaran-lingkaran
kiai. Namun, tatkala waktu terus bergerak, masyarakat kita seakan bergerak pula
kepandaian pemahamannya dalam menyikapi kehidupan.
Semua bisa goyah, semua
memiliki celah kebimbangan jika dipertemukan dengan segenap peranti duniawi.
Begitu kiranya sedikit kemuliaan yang dikisahkan dalam novel. Karya Prasetyo
ini setidaknya memberi beberapa pandangan terhadap kita, mengajak kita
menelusuri ruang-ruang kecil yang melimpah nilai.***
─Setia Naka Andrian, Dosen
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Menulis
buku puisi “Perayaan Laut” (April 2016).
2 komentar:
M Rizqon Hilmi 15410055 PBSI 4B. Menurut saya novel tersebut sangat menyentuh hati, seakan membuat kita merasakan apa yang diceritakan dalam novel tersebut. Isi dari novrl tersebut-pun sesuai dengan keadaan masyarakat di zaman sekarang ini, dimana orang tua mayoritas menginginkan anaknya menikah dengan seorang yang kaya sudah jelas asal-usulnya baik asal-usul keluarganya maupun kepribadian orang tersebut yang akan dinikahkan dengan anaknya. Padahal semua itu tidak harus diukur dengan material. Kata-kata yang terkandung dalam novel tersebut juga mudah dipahami dan sampai isinya kr hati pembaca
Posting Komentar