Selasa, 30 Januari 2018

Hikayat Penyakit Hati (Tribun Jabar, 21 Januari 2018)

Hikayat Penyakit Hati
■cerpen Setia Naka Andrian


Aku ingin suatu saat menemukan orang yang menjual hati. Merelakan salah satu organ terpenting dalam tubuhnya untuk dijual kepadaku yang kali ini sangat membutuhkan. Tentunya hati yang belum terluka seperti hatiku ini. Berapapun harganya pasti akan kubeli. Karena setidaknya aku masih memiliki sisa warisan rumah beserta tanahnya, itu satu-satunya. Apapun taruhan untuk mendapatkan hati yang baru, pasti akan kukorbankan. Aku pun mau bila orang itu menghendaki tukar tambah dengan hatiku, walaupun nantinya orang itu akan menanggung beban hatiku.
Sungguh, aku harus segera menemukan hati, kemanapun akan kucari. Karena kali ini aku merasa tak punya pilihan lain. Sakit hatiku telah terlampau akut. Tak ada yang mampu menyembuhkan. Beberapa kali berkunjung kepada bermacam-macam ahli psikologi namun hasilnya tetap saja nihil. Beberapa kali hinggap di tempat-tempat hiburan dengan berbagai macam minuman keras termahal yang kutenggak hingga ke sebuah lokalisasi dengan sejuta perempuan label atasan, namun semuanya tak mampu mengobati. Karena hati, aku telah kehilangan hatiku. Termasuk kedua orangtuaku juga seorang adikku, mereka telah mati terbunuh perempuan yang sempat mengaduk-aduk hatiku.
Perempuan itu telah menggondol seluruh isi rekening dan surat-surat tanah milik keluargaku yang sebelumnya telah dipercayakan semua kepadaku. Harta yang seharusnya digunakan untuk pengobatan bapakku yang sedang mengidap kanker mata yang sangat ganas. Akhirnya bapakku meninggal.
Selanjutnya ibuku sakit-sakitan akibat tertekan hatinya, lagi-lagi karena hati. Ibuku mati karena tertekan akibat kematian bapakku dan juga karena belum bisa menerima setelah kehilangan seluruh harta benda yang telah lama dikumpulkan, yang sebelumnya diniatkan pula untuk naik haji bapak dan ibuku. Karena ibuku terlampau memikirkan itu dengan hati, maka akhirnya ibuku menyusul bapakku.
Setelah itu giliran adik perempuanku yang sejak lahir mengidap keterbelakangan mental, dan karena sudah tidak ada lagi yang mengurus. Maka ia dibawa oleh tetangga ke sebuah panti asuhan. Namun sungguh malang nasib adikku, setelah beberapa bulan dititipkan, panti asuhan itu terlibat kasus penjualan anak.
Akhirnya adikku pun telah resmi hilang, hingga sekarang belum ada kabar yang jelas. Ada yang bilang telah dijual di luar negeri, dijadikan apa aku kurang tahu. Yang pasti dari kepolisian pun tak becus mengusut kasus tak berduit itu. Karena keseluruhan korbannya adalah anak dari orang-orang terpinggirkan dan bahkan anak-anak yang sudah tidak memiliki keluarga ataupun sanak saudara. Aku pun akhirnya mencoba ikhlas kehilangan bagian hidupku yang terakhir dan satu-satunya itu.
***

Suatu hari aku mencoba keluar rumah, berjalan mengikuti langkah yang entah menuju kemana. Yang pasti tujuan utamaku adalah menemukan hati. Setiap menemui orang, aku menanyakan di mana ada toko, warung, atau apa saja yang menjual hati. Namun mereka malah menganggap aku gila, dan mengumpat yang bermacam-macam kepadaku. Aku pun tidak mempedulikannya, aku terus berjalan dan semakin menjauh dari rumah, terus berlari meninggalkan semakin jauh.
Setelah berjalan cukup jauh, aku melihat kerumunan orang. Aku pun langsung mendekati. Siapa tahu di situ sedang ada perhelatan tawar-menawar hati. Benar, ramai sekali. Aku semakin yakin kalau di situ sedang ada tawar-menawar hati. Benar sekali, aku mendengar mereka meneriakan hati, “Hatimu rusak! Kau sungguh rusak! Kau taruh di mana hatimu, Kakek?”
Ternyata benar, kakek tua itu terluka. Darahnya mengucur di sekujur tubuh dan membasahi bajunya di sekitar dada. Ia pasti sedang ada masalah mengenai hatinya. Mungkin ia senasib denganku atau mungkin ia sedang mempertahankan hatinya yang hendak dirampas orang-orang itu. Ya, aku harus segera berbuat sesuatu untuk menyelamatkan kakek tua itu.
“Maaf, Tuan-tuan! Mau kalian apakan kakek tua tak berdaya ini? Apa salahnya hingga ia diperlakukan seperti ini?”
“Hai bocah ingusan, tahu apa kau ini? Jangan ikut campur urusan kami!”
“Ya, kau tidak tahu apa-apa! Mending kau pergi jauh dari sini! Sebelum kami akan mencelakakanmu juga!”
“Ya, cepat lekas pergi!”
Sial, aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku harus cari cara untuk dapat menolong kakek tua ini. Tanpa banyak pikir, aku langsung membawa lari kakek tua itu. Kuseret dari mereka dan langsung kubopong di bahuku. Untungnya berat badannya ringan, tubuhku juga masih kekar. Jadi aku dapat leluasa membawanya lari. Walaupun dengan sedikit tergopoh aku lari dan mereka tetap mengejarku. Sampai di tikungan aku langsung menyelinap di semak. Aku mengendap-endap sambil menyibak jalan agar menghindar dari kejaran mereka.
Syukurlah, aku telah lari jauh dari kejaran mereka. Walaupun tergopoh dan sungguh terengah-engah. Kududukkan kakek tua ini di suatu tempat yang cukup aman dari kejaran mereka. Ia nampak gemetaran dan nyaris tak mampu berbuat apa-apa. Darah masih juga mengucur dan membasahi sekitar dadanya.
Hingga itu membuat aku tak tega untuk menanyakan sesuatu kepadanya. Sepertinya aku harus mencari sesuatu agar dapat menenangkannya. Mungkin ia lapar. Benar, sepertinya begitu. Wajahnya terlihat begitu pucat. Bibirnya memutih dalam giginya yang menggigil. Hingga ia tak mampu mengucap sepatah kata pun untuk merespon kehadiranku yang mungkin cukup asing baginya. Ya, aku harus segera menyarikannya makan. Apa saja, yang penting dapat mengganjal perutnya.
***

Ternyata benar, ia begitu kelaparan. Tanpa keluar kata ataupun sekadar sapa, ia langsung melahap beberapa pisang yang kubawakan dari memetik di pohon sekitar. Setelah itu ia terdiam dan memandangiku dengan penuh tanya yang aneh. Sepertinya ia ingin menyampaikan sesuatu, bibirnya nampak bergeming. Benar sekali, ia ingin berkata sesuatu. Ya, tubuhnya semakin mendekatiku dan tangannya berusaha meraih tubuhku.
“Anak muda,” datar suaranya menyapaku.
“Ya, Kek.”
“Kenapa kau menolongku?”
“Karena Kakek sedang membutuhkan pertolongan, maka aku berhak untuk menolongmu, Kek.”
“Sederhana itukah?”
“Sebenarnya tidak juga, Kek.”
“Lalu?”
“Awalnya aku tertarik ingin mendekati kerumunan waktu itu karena aku mengira saat itu sedang ada perdebatan tawar-menawar hati, maka seketika aku langsung berniat untuk mendekat.”
“Adakah sesuatu tentang hati yang kau maksud?”
“Aku sedang ingin mencari hati untuk menggantikan hatiku, Kek.”
“Maksudmu, hati yang termasuk salah satu organ tubuh manusia atau hati tentang perasaan manusia?”
”Keduanya, Kek.”
“Hahahahahahahahahaha.”
“Kenapa Kakek tertawa?”
“Kau gila!”
“Aku gila, Kek?”
“Ya, kau gila yang akut.”
“Maaf Kek, bukannya kata mereka hati kakek juga gila?”
“Ya, benar katamu. Hatiku memang gila. Tapi kenapa kau mau menolongku? Yang ternyata kau sudah tahu kalau hatiku gila. Apakah kau ingin mencari hati yang gila? Hahahahahahaha,”
“Sebenarnya ya tidak, Kek. Aku ingin mencari hati yang masih bersih. Hati yang mampu memberiku ketenangan, hati yang mampu meneduhkan hidupku, intinya ya hati yang tidak seperti hati yang kumiliki sekarang ini, Kek. Sakit hatiku telah terlampau akut. Tak ada yang mampu menyembuhkan. Beberapa kali berkunjung kepada bermacam-macam ahli psikologi namun hasilnya tetap saja nihil. Beberapa kali hinggap di tempat-tempat hiburan dengan berbagai macam minuman keras termahal yang kutenggak hingga ke sebuah lokalisasi dengan sejuta perempuan label atasan, namun semuanya tak mampu mengobati. Karena hati, aku telah kehilangan hatiku. Termasuk kedua orangtuaku juga seorang adikku, mereka telah mati terbunuh perempuan yang sempat mengaduk-aduk hatiku. Perempuan itu telah menggondol seluruh isi rekening dan surat-surat tanah milik keluargaku yang sebelumnya telah dipercayakan semua kepadaku. Harta yang seharusnya digunakan untuk pengobatan bapakku yang sedang mengidap kanker mata yang sangat ganas. Akhirnya bapakku meninggal. Selanjutnya ibuku sakit-sakitan akibat tertekan hatinya, lagi-lagi karena hati. Ibuku mati karena tertekan akibat kematian bapakku dan juga karena belum bisa menerima setelah kehilangan seluruh harta benda yang telah lama dikumpulkan, yang sebelumnya diniatkan pula untuk naik haji bapak dan ibuku. Karena ibuku terlapau memikirkan itu dengan hati, maka akhirnya ibuku menyusul bapakku. Setelah itu giliran adik perempuanku yang telah lama mengidap keterbelakangan mental, dan karena sudah tidak ada lagi yang mengurus. Maka ia dibawa oleh tetangga ke sebuah panti asuhan. Namun sungguh malang nasib adikku, setelah beberapa bulan dititipkan, panti asuhan itu terlibat kasus penjualan anak. Akhirnya adikku pun telah resmi hilang, hingga sekarang belum ada kabar yang jelas. Ada yang bilang telah dijual di luar negeri, dijadikan apa aku kurang tahu. Yang pasti dari kepolisian pun tak becus mengusut kasus tak berduit itu. Karena keseluruhan korbannya adalah anak dari orang-orang terpinggirkan dan bahkan anak-anak yang sudah tidak memiliki keluarga ataupun sanak saudara. Aku pun akhirnya mencoba ikhlas kehilangan bagian hidupku yang terakhir dan satu-satunya itu. Begitulah ceritanya, Kek.”
“Ya, aku cukup paham dengan masalahmu. Maukah kau menukar hatimu dengan hatiku?”
“Kakek yakin mau memberikan hati itu untukku?”
“Bila kau mau, ambillah. Silahkan, aku juga sudah terlalu tua dan aku rasa kau yang lebih membutuhkan hatiku yang sudah terlampau renta ini, hidupku pun pasti tidak akan lama lagi.”
“Tapi Kakek tidak memiliki penyakit hati kan? Selain hati yang gila itu, Kek?”
“Ya, tak ada. Aku hanya memiliki penyakit itu saja, hati yang gila, itupun hanya kata orang saja.”
“Ya, kalau begitu aku mau, Kek.”
***

Aku sangat bahagia. Langsung saja Kakek dan aku sepakat untuk bertukar hati. Terasa tak percaya dan tak sadar, aku merobek dadaku dan dada Kakek itu dengan sebilah batu tajam. Lalu kami saling bertukar hati, kakek itu merasa sangat kesakitan setelah kucongkel hatinya, begitu pula aku. Setelah hati kami bertukar, tubuh dan perasaanku terasa ringan dan melayang-layang. Sepertinya ada sesuatu yang aneh, begitu pula yang terjadi di sekitarku.
Pohon-pohon dan segala tumbuhan berubah menjadi warna-warni yang menyala indah dengan beraneka wewangiannya. Kakek itu pun tiba-tiba lenyap entah kemana, dan tiba-tiba banyak orang berdatangan dari berbagai penjuru. Mereka mendekatiku, tangan mereka mencoba meraihku dan sepertinya hendak mengambil hatiku. Mereka meremas-remas dadaku. Semakin keras dan menggila, terus meremas dan mengeroyok berebut tubuhku, mereka berteriak, “Beri aku hati! Hatiku kesakitan! Aku ingin memiliki hati yang sehat! Beri aku hatimu! Aku ingin memiliki hati yang suci! Hati itu ada di tubuhmu!”


Sanggargema, Desember 2016-2017

Minggu, 26 November 2017

Puisi Setia Naka Andrian (Suara Merdeka, 26 November 2017)




Menulismu Adalah

menulismu adalah
puisi di dalam lekuk pipi
yang tiba sesaat
selepas aku malu-malu
berselancar lemas
di atas telapak tanganmu

menulismu adalah
meneguk anggur
saat dunia sedang sibuk
memilih bercuriga
kepada kamu
kepada siapa saja
yang kerap urung bertemu

menulismu adalah
menyibak cahaya
yang kerap melarikan diri
dari balik jendela rumah
dari balik dada
yang melambatkan degubnya

menulismu adalah
tanda tanya
yang tak sempat
dikirimkan
sebagai pesan dan janji
yang tak pernah kunjung matang

menulismu adalah
kalimat pertama
yang sering kita lupakan bersama
sebelum memulai merapal tanya
mana luka
mana duka
mana binar matamu
yang sederhana

Kendal, November 2017


Aku Pesan Namamu

aku pesan namamu
dalam secangkir kopi
selepas adzan tak lagi bunyi
selepas kehilangan
tiada pernah dibaca lagi

aku pesan senyummu
dalam sekental rindu
selepas segalanya
urung mengetuk pintu
lupa datang di pagi-pagi

aku pesan namamu
dalam segelas teh pahit
dalam keheningan
yang diciptakan
dari gelagat matamu
yang tak lagi wajar
mengunjungi sunyi-sunyi

aku pesan namamu
saat semua orang tahu
jika aku adalah kegagalan itu
yang memilih pulang
untuk menemukan
nama-nama baru
selain dari nama-namamu

Kendal, November 2017


Jumat, 17 November 2017

Masyarakat Penerima dan Penyebar Saja (Wawasan, 16 November 2017)

Masyarakat Penerima dan Penyebar Saja
Oleh Setia Naka Andrian

Gerak kemajuan teknologi informasi seakan tak sebanding dengan jagat nalar masyarakat kita. Kini segala sesuatu dapat dengan mudah diterima dan betapa entengnya disebarkan begitu saja, kapan saja, di mana saja. Setiap detik, kita seakan kerap dibanjiri informasi yang tak lagi mampu terbendung. Hadir melalui beragam aplikasi media sosial di gawai dalam genggaman tangan kita.
Sungguh tak terbayangkan lagi, apa jadinya jika kita menjadi masyarakat yang begitu saja berterima atas informasi massal yang setiap detiknya menggedor ponsel kita. Kemudian kita tergoda untuk bergegas menyebarluaskannya, disalin dan disebar dengan menugaskan kepada ibu jari semata. Maka sudah, ratusan bahkan ribuan atau jutaan orang akan menerima informasi itu. Selanjutnya disebarkan lagi, lagi dan lagi oleh si penerima informasi itu. Kita seakan begitu saja lengah dengan godaan pahala jika turut serta menjadi penyebar informasi yang (masih) dianggap sangat bermanfaat itu.
Dengan dalih, apa salahnya jika turut membantu penyebaran informasi itu. Tidak memakan waktu, tidak memakan pulsa mahal, hanya dengan menekan tidak lebih dari tiga kali ketukan di layar sentuh ponsel pintar kita. Tentu akan beda dengan apa yang telah dilakukan oleh generasi pengguna telepon genggam saat masih berfungsi hanya untuk mengirim pesan singkat atau melakukan panggilan suara.
Kala itu, tentu dengan sangat pelan, santun, hati-hati, dan penuh perhitungan ketika hendak mengirim pesan singkat. Bahkan batasan karakter yang menentukan tingkat kemahalan pemakaian pulsa pun turut diperhitungkan. Dari hal itu, entah sadar atau tidak, kita seakan dipaksa agar menjadi para pengguna alat seadanya, seperlunya, tidak cerewet, dan tidak menjadi seseorang yang ketergantungan telepon genggam.
Ketika itu, belum didapati tradisi salin-menyalin dan tempel menempel menyebar informasi yang belum fasih kebenarannya. Belum ada pula penyebaran pengisahan-pengisahan yang tak menentu tuannya. Bahkan, belum kita dapati orang-orang yang seakan begitu mudah menjadi pendakwah, yang kerap kita temukan dalam berbagai grup di berbagai aplikasi di ponsel pintar kita.

Kembali ke Masa Silam
Tradisi yang kita alami melalui ponsel pintar saat ini, seakan menggiring kita untuk kembali pada masa silam yang telah jauh terlewatkan. Pada zaman ketika kita masih mengamini penyebaran-penyebaran kisah, cerita, informasi, atau segala apa pun tanpa mengenal siapa yang menuliskan atau menciptakannya. Kita kenali dengan karya cipta dari NN. Jika ada sesuatu yang bermasalah dari apa yang kita sebarkan, maka akan segera bilang, “Itu bukan saya yang membuat, saya sekadar menyebar saja, menyalin dari grub sebelah!” Beres, merasa aman dan lari dari tanggung jawab!
Namun bagaimana lagi. Kini ponsel pintar telah begitu melekat di genggaman kita. Siapa pun seseorang itu, ketika nampak dalam sebuah pertemuan khalayak ramai, di ruang publik, saat menunggu angkutan, saat menunggu jadwal penerbangan, bahkan saat berpose untuk mengabadikan momen yang (dianggap) istimewa dalam hidup, selalu nampak mentereng dengan genggaman ponsel pintar yang tentu dengan harga tak murah. Lengkap dengan ragam aplikasi yang menggairahkan dan menggoda untuk selalu disentuh.
Sudah sangat jarang, bahkan semakin tiada lagi orang-orang menyentuh buku-buku, koran, atau majalah ketika menghabisi waktu tunggu. Bahkan di sudut-sudut kampus atau di segenap lembaga pendidikan sekalipun. Jarang kita temukan seseorang berkhusyuk menyibak berlembar-lembar kertas bacaan di pangkuannya. Seakan sudah tak terelakkan lagi, kita lebih memilih memenuhi kuota (pulsa) internet dari pada memasukkan judul-judul buku atau berlangganan media massa dalam daftar belanja bulanan.
Upaya pemenuhan nutrisi berliterasi seseorang seakan telah sangat cukup hanya dengan bersentuhan dan menggeser berjubel tawaran informasi yang menggoda di layar ponsel pintarnya. Sudah tentu, tidak sedikit kita temukan tawaran-tawaran itu sebatas informasi yang terpenggal-penggal. Masih dalam permukaan dan sangat perlu ditimbang lagi kedalamannya.
Untuk kali kesekian, kita akan kerap mengamini untuk tidak sanggup mengelak. Bahwa ponsel pintar seakan sudah terlanjur begitu lekat di genggaman tangan. Tiada lagi jarak antara ponsel dan tubuh kita. Seakan tiada pula upaya yang mampu menuntun kita untuk lebih ketat dalam menyaring segala sesuatu yang menggedor pintu ponsel pintar kita. Memilah segenap informasi yang kerap mengguyur dalam setiap detiknya. Kita begitu lemas, kekenyangan, kebingungan, seakan dibuat tak kuasa berkilah apa-apa.

Manusia Gemar Bercuriga
Lebih-lebih saat ini, telah begitu marak grup-grup diciptakan di berbagai aplikasi di ponsel pintar kita. Dari mulai grup alumni sekolah, komunitas, teman kerja, hingga grup warga, yang kerap kali memicu timbulnya persoalan-persoalan baru. Padahal yang sudah seharusnya, grup yang diciptakan melalui beberapa aplikasi dalam ponsel pintar kita menjadi ajang silaturahmi dan bertegur sapa. Namun naga-naganya, segala itu justru semakin memicu kita untuk semakin lebih bertaring untuk berpendapat, menghujat, mengumbar, dan bahkan menebar kebencian-kebencian. Kita seakan selalu dibuat belum usai membersihkan prasangka terhadap sesama, dalam ruang-ruang media sosial kita.
Disadari atau tidak, kini kita seakan semakin berterima menjadi manusia yang lebih gemar bercuriga daripada berpositif pandang terhadap sesama. Segala sesuatu dengan mudahnya menjadi nyinyir batin, begitu sensitif, bahkan membuat kita semakin bersumbu pendek atas segala yang nampak atau hadir di hadapan kita, dalam layar grup di ponsel kita. Entah terkait kebahagiaan, kesuksesan, atau bahkan kegagalan yang sedang melanda sesama kita.
Tentu, segala itu contoh sederhana dari muara kemalasan kita untuk menekuri menjadi masyarakat pencipta. Bukan semata menjadi generasi penerima dan penyebar saja. Generasi yang sibuk menyuntuki banyak hal yang diterima dan kemudian disebarkan begitu saja, tanpa berupaya untuk menjadi generasi pencipta dan kemudian menyebarkan gagasan/ide-idenya. Dan, sepertinya kita sebagai generasi yang (merasa) lebih dewasa, mengemban pekerjaan rumah yang tidak enteng. Jika keseharian kita saja masih terasa diperbudak alat, lalu bagaimana dengan nasib dan masa depan jagat nalar generasi di bawah kita?***

Minggu, 12 November 2017

Puisi Setia Naka Andrian (Media Indonesia, 12 November 2017)


Perintah Demang Kalang

Telunjuk tanganmu,
Tak sebatas peringatan bagi kami
yang diam
Demang ini, yang mengutus
anak buah terpilihnya
untuk menyibak hutan

Mereka menyebut diri
dengan bubak yoso
Telunjuknya menuju Coyudo
Kakinya seakan lihai
menggelinding sendiri
Membuka areal pemukiman
di wilayah Gemuh sebelah barat

Coyudo inilah tokoh kami
yang mengawali
dukuh Wanglu Krajan
melahirkan diri di Poncorejo

Lambat laun, selepas
Coyudo mampu
melaksanakan tugas mulia
mencetak kampung,

ia membawa keluarga
dan sanak saudaranya
untuk tinggal dan menempati
muara hidup kami

Kami memulai suara baru,
mencipta kepantasan berkali-kali
Menimbun keganasan bertubi-tubi

Kendal, Juli 2017


Rumah Tak Berwujud

Sebagai rumah,
kami memilih
untuk tinggal di tengah

Sebagai tanah,
kami memilih
untuk sesekali dalam tengadah

Sebagai air,
kami kerap memilih
tinggal di rumah lain
Yang sama sekali

Sebagai wujud,
Kepada siapa
yang paling pantas
untuk kelalaian kami?

Kendal, Juli 2017


Berapa Meter Angkat Kaki

Sudah berapa meter
kau angkat kaki, Kalang
Lihatlah, Wanglu Krajan
telah bekerja
di kota besar itu
kau nampak seperti api
Jakarta semacam kabut
Yang menyambar
kening-keningmu

Sudah berapa meter
kau angkat kaki, Kalang
Lihatlah, Wanglu Krajan
telah pandai menciptakan
orang-orang baru

Para pekerja membabi-buta
Lihatlah mata mereka, Kalang
Dari nyalanya,
nampak para prajurit
Berkejaran dengan bayangannya
Hingga menjelang
masa akhir tugasnya
Mereka menemukan
pasangan hidup
Dari tepi
bayangannya sendiri

Sudah berapa meter
kau angkat kaki, Kalang
Lihatlah, Wanglu Krajan
telah menjadi orang tua
Mereka tiada lagi dapat
mempertahankan perkawinan
yang kini dikatakan kuno

Sudah berapa meter
kau angkat kaki, Kalang
Lihatlah, Wanglu Krajan
telah mengubah perkawinan
endogami menjadi eksogami

Lihatlah Kalang,
Perjodohan anak-anakmu pun
mengikuti arus perubahan zaman
seperti masyarakat desa-desa lain
Yang kian meninggalkan
muara-muaramu

Kendal, Juli 2017


Ajari Kami Menjadi Beban

Kalang, ajari kami menjadi beban
Tujuan yang bukan pilihan
banyak orang

Kalang, ajari kami menjadi beban
Dunia yang tak dikehendaki
banyak orang

Kalang, ajari kami menjadi beban
Alam pikiran yang tak dipikirkan
banyak orang

Kalang, ajari kami menjadi beban
Seperti yang kau haturkan
Untuk kekekalanmu sendiri

Kalang, ajari kami menjadi beban
Menjadi surga kecil
Menjadi belantara hening
Yang sanggup mengurusi kami
Sebab berhari-hari ini,
lelap telah melanda batin-batin kami

Kendal, Juli 2017


Mesin Penghancur

Kaulah mesin penghancur itu,
Yang mengajarkan kami
Semakin jauh
Meninggalkan banyak jejak
di sekitar rumah-rumahmu

Kaulah mesin penghancur itu,
Yang menjadikan kami
Semakin ragu
Untuk menjawab
Permintaan-permintaanmu

Kaulah mesin penghancur itu,
Yang menuntun kami
Semakin menemukan cara baik
Untuk mengejar banyak wirid
Yang tak pernah kau kehendaki

Kendal, Juli 2017


Jadikan Kami Muridmu

Wanglu Krajan,
Jadikan kami murid-muridmu
Jadikan kami abdi
bagi amalan guru-guru

Wanglu Krajan,
Jadikan kami murid-muridmu
Turunkanlah kepada kami
Kepada kepala-kepala kami
Yang telah lama
Menjadi abdi
bagi benak kami sendiri

Wanglu Krajan,
Jadikan kami murid-muridmu
Bangunkanlah rumah lain
di tubuh kami
Agar alam tak pernah redup
Untuk tak sekalipun
Mengubah arah kemudi
dari segenap petunjuk-petunjukmu

Kendal, Juli 2017



Jumat, 10 November 2017

Meraba Puisi dalam Kumpulan Cerpen (Derap Guru, Oktober 2017)

Meraba Puisi dalam Kumpulan Cerpen
Oleh Setia Naka Andrian

Judul Buku                : Kolektor Mitos
Penulis                         : Halim Bahriz
Penerbit                       : Langgam Pustaka
Cetakan                       : Januari 2017
Jumlah Halaman          : viii + 110 halaman
ISBN                           : 978-602-60094-3-2

Dewasa ini tentu tidak sedikit cerita-cerita yang bermunculan ditulis oleh penyair, baik dipublikasikan dalam media massa maupun media lainnya. Tidak sedikit pula dijumpai cerita-cerita tersebut dengan ciri khas aroma syair. Narasi-narasi yang terbentuk, pengisahan suatu cerita atau kejadiannya, deskripsi suatu kejadian atau peristiwa dalam ceritanya, bahkan tema dan judulnya sangat lekat dengan puisi.
Tidak ada yang salah, baik puisi yang menyerupai prosa ataupun prosa yang menyerupai puisi. Namun, setidaknya keduanya harus memiliki batasan-batasan yang dapat dipercayai, paling tidak oleh pembaca. Penulis haruslah mampu meyakinkan pembaca, bahwasanya yang ditulis itu puisi, atau cerpen.
Fenomena tersebut agaknya dapat dijumpai dalam kumpulan cerpen Kolektor Mitos karya Halim Bahriz (Langgam Pustaka, Januari 2017), yang setidaknya selain menulis cerpen, ia juga kerap menyandang gelar penyair, dan tak sedikit ia dinobatkan sebagai juara dalam ajang lomba penciptaan puisi.
Halim begitu kental menyuguhkan kehadiran puisi-puisinya dalam cerpen. Bangunan narasi dan pengisahannya begitu kental ia tanami puisi-puisi. Entah, apakah ketika menulis cerita ia begitu kesulitan meninggalkan puisi. Atau ketika menulis cerita ia bersanding dengan puisi-puisinya, lalu ia comoti mana yang bisa ditaburkan dalam cerita yang sedang dibuatnya.
Dalam cerpen Sebuah Makam dalam Cahaya, misalnya. Halim seakan terlihat sangat berambisi menghadirkan cerita yang sangat puisi. Mereka terlalu banyak: Jilan dikeroyok. Ia mulai merasakan tubuhnya semakin jauh. Ia dan tubuhnya saling melepas, menuju keharuan yang tak perlu, dadanya disesaki kata yang tak mampu diucapkan lagi, “Tidak! Tidak! Kenapa bahasa tak lagi mencukupi untuk menyatakan aku saja?!... (hlm. 2).
Tentu menjadi kebaikan tersendiri jika pengisahan-pengisahan bernada puisi telah bertabur erat dalam cerita. Kata-kata puitik hadir dan singgah dalam sebuah bangunan narasi yang memadahi. Sehingga, akan menjadikan cerpen memiliki ruang pembacaan yang berlapis. Selain harus menyibak segala sesuatu dalam bangunan kisah, pembaca juga harus berkerut-kening dengan kode-kode yang begitu puitik itu.
Pada persoalan ini, Halim pun memiliki tugas keras dalam menghadirkan sandi-sandi narasinya. Jangan sampai, beragam kode atau sandi-sandi yang digulirkannya menjadi semacam kode rahasia yang tak terjangkau pembaca (gelap). Halim pastinya harus sudah sanggup mempertimbangkannya, karena yang ia garap adalah cerita.
Jangan sampai kehadiran narasi-narasi puitik yang dihadirkan justru menjadi bumerang. Nilai hakiki sebuah cerita yang dihadirkan tak mampu ditembus oleh pembaca. Meminjam apa yang sempat disampaikan Agus Noor dalam sebuah forum diskusi, “kenapa harus dikisahkan dengan rumit dan dengan teknik yang berjungkir-balik, jika dengan pengisahan sederhana saja cerita sudah memikat?”
Hal itu dapat menjadi pijakan, bahwa kisah yang sudah bagus, pasti sudah memiliki tempat di hadapan pembaca, sudah memiliki daya pikat. Maka, pengisahan yang rumit atau cerita yang menggunakan teknik berjungkir-balik, hanya untuk kisah-kisah yang biasa-biasa saja. Agar kisah itu memiliki daya pikat di hadapan pembaca.
Dalam cerpen berjudul Mutan, nampak pula Halim membuka cerpennya dengan sangat puisi. Jingga tipis dari senja melapisi tembok kaca. Seperti mengecat cahaya dengan kesementaraan yang berulang. Ben, sedang berbicara mengenai post-modern, sedikit-sedikit, mirip roh kata-kata yang tersedak; momen tengil antara ketiadaan waktu dan ruang yang kembali bernapas. (hlm. 64).
Dari penggalan itu, nampak seperti apa kehadiran puisi dalam cerpen Halim. Pembaca diajak mengembara, diberi tugas dan beban berat untuk memecah sandi-sandi yang ia ciptakan. Hanya saja, ada kalanya hingga akhir cerita pembaca masih kesulitan untuk memecahkan sandinya.
Walaupun begitu, cerpen-cerpen lain dalam kumpulan cerpen ini, Halim kerap kali berhasil dalam membawakan kisah-kisahnya. Halim sesunggungnya telah sanggup menghadirkan kisah memikat dalam narasi-narasi sederhananya. Dalam Lelampak Lendong Kao, misalnya. Halim begitu rupa menghadirkan persoalan kemanusiaan, rasa syukur, ketabahan, keimanan, dan penghambaan kepada Tuhan.***