Jumat, 17 November 2017

Masyarakat Penerima dan Penyebar Saja (Wawasan, 16 November 2017)

Masyarakat Penerima dan Penyebar Saja
Oleh Setia Naka Andrian

Gerak kemajuan teknologi informasi seakan tak sebanding dengan jagat nalar masyarakat kita. Kini segala sesuatu dapat dengan mudah diterima dan betapa entengnya disebarkan begitu saja, kapan saja, di mana saja. Setiap detik, kita seakan kerap dibanjiri informasi yang tak lagi mampu terbendung. Hadir melalui beragam aplikasi media sosial di gawai dalam genggaman tangan kita.
Sungguh tak terbayangkan lagi, apa jadinya jika kita menjadi masyarakat yang begitu saja berterima atas informasi massal yang setiap detiknya menggedor ponsel kita. Kemudian kita tergoda untuk bergegas menyebarluaskannya, disalin dan disebar dengan menugaskan kepada ibu jari semata. Maka sudah, ratusan bahkan ribuan atau jutaan orang akan menerima informasi itu. Selanjutnya disebarkan lagi, lagi dan lagi oleh si penerima informasi itu. Kita seakan begitu saja lengah dengan godaan pahala jika turut serta menjadi penyebar informasi yang (masih) dianggap sangat bermanfaat itu.
Dengan dalih, apa salahnya jika turut membantu penyebaran informasi itu. Tidak memakan waktu, tidak memakan pulsa mahal, hanya dengan menekan tidak lebih dari tiga kali ketukan di layar sentuh ponsel pintar kita. Tentu akan beda dengan apa yang telah dilakukan oleh generasi pengguna telepon genggam saat masih berfungsi hanya untuk mengirim pesan singkat atau melakukan panggilan suara.
Kala itu, tentu dengan sangat pelan, santun, hati-hati, dan penuh perhitungan ketika hendak mengirim pesan singkat. Bahkan batasan karakter yang menentukan tingkat kemahalan pemakaian pulsa pun turut diperhitungkan. Dari hal itu, entah sadar atau tidak, kita seakan dipaksa agar menjadi para pengguna alat seadanya, seperlunya, tidak cerewet, dan tidak menjadi seseorang yang ketergantungan telepon genggam.
Ketika itu, belum didapati tradisi salin-menyalin dan tempel menempel menyebar informasi yang belum fasih kebenarannya. Belum ada pula penyebaran pengisahan-pengisahan yang tak menentu tuannya. Bahkan, belum kita dapati orang-orang yang seakan begitu mudah menjadi pendakwah, yang kerap kita temukan dalam berbagai grup di berbagai aplikasi di ponsel pintar kita.

Kembali ke Masa Silam
Tradisi yang kita alami melalui ponsel pintar saat ini, seakan menggiring kita untuk kembali pada masa silam yang telah jauh terlewatkan. Pada zaman ketika kita masih mengamini penyebaran-penyebaran kisah, cerita, informasi, atau segala apa pun tanpa mengenal siapa yang menuliskan atau menciptakannya. Kita kenali dengan karya cipta dari NN. Jika ada sesuatu yang bermasalah dari apa yang kita sebarkan, maka akan segera bilang, “Itu bukan saya yang membuat, saya sekadar menyebar saja, menyalin dari grub sebelah!” Beres, merasa aman dan lari dari tanggung jawab!
Namun bagaimana lagi. Kini ponsel pintar telah begitu melekat di genggaman kita. Siapa pun seseorang itu, ketika nampak dalam sebuah pertemuan khalayak ramai, di ruang publik, saat menunggu angkutan, saat menunggu jadwal penerbangan, bahkan saat berpose untuk mengabadikan momen yang (dianggap) istimewa dalam hidup, selalu nampak mentereng dengan genggaman ponsel pintar yang tentu dengan harga tak murah. Lengkap dengan ragam aplikasi yang menggairahkan dan menggoda untuk selalu disentuh.
Sudah sangat jarang, bahkan semakin tiada lagi orang-orang menyentuh buku-buku, koran, atau majalah ketika menghabisi waktu tunggu. Bahkan di sudut-sudut kampus atau di segenap lembaga pendidikan sekalipun. Jarang kita temukan seseorang berkhusyuk menyibak berlembar-lembar kertas bacaan di pangkuannya. Seakan sudah tak terelakkan lagi, kita lebih memilih memenuhi kuota (pulsa) internet dari pada memasukkan judul-judul buku atau berlangganan media massa dalam daftar belanja bulanan.
Upaya pemenuhan nutrisi berliterasi seseorang seakan telah sangat cukup hanya dengan bersentuhan dan menggeser berjubel tawaran informasi yang menggoda di layar ponsel pintarnya. Sudah tentu, tidak sedikit kita temukan tawaran-tawaran itu sebatas informasi yang terpenggal-penggal. Masih dalam permukaan dan sangat perlu ditimbang lagi kedalamannya.
Untuk kali kesekian, kita akan kerap mengamini untuk tidak sanggup mengelak. Bahwa ponsel pintar seakan sudah terlanjur begitu lekat di genggaman tangan. Tiada lagi jarak antara ponsel dan tubuh kita. Seakan tiada pula upaya yang mampu menuntun kita untuk lebih ketat dalam menyaring segala sesuatu yang menggedor pintu ponsel pintar kita. Memilah segenap informasi yang kerap mengguyur dalam setiap detiknya. Kita begitu lemas, kekenyangan, kebingungan, seakan dibuat tak kuasa berkilah apa-apa.

Manusia Gemar Bercuriga
Lebih-lebih saat ini, telah begitu marak grup-grup diciptakan di berbagai aplikasi di ponsel pintar kita. Dari mulai grup alumni sekolah, komunitas, teman kerja, hingga grup warga, yang kerap kali memicu timbulnya persoalan-persoalan baru. Padahal yang sudah seharusnya, grup yang diciptakan melalui beberapa aplikasi dalam ponsel pintar kita menjadi ajang silaturahmi dan bertegur sapa. Namun naga-naganya, segala itu justru semakin memicu kita untuk semakin lebih bertaring untuk berpendapat, menghujat, mengumbar, dan bahkan menebar kebencian-kebencian. Kita seakan selalu dibuat belum usai membersihkan prasangka terhadap sesama, dalam ruang-ruang media sosial kita.
Disadari atau tidak, kini kita seakan semakin berterima menjadi manusia yang lebih gemar bercuriga daripada berpositif pandang terhadap sesama. Segala sesuatu dengan mudahnya menjadi nyinyir batin, begitu sensitif, bahkan membuat kita semakin bersumbu pendek atas segala yang nampak atau hadir di hadapan kita, dalam layar grup di ponsel kita. Entah terkait kebahagiaan, kesuksesan, atau bahkan kegagalan yang sedang melanda sesama kita.
Tentu, segala itu contoh sederhana dari muara kemalasan kita untuk menekuri menjadi masyarakat pencipta. Bukan semata menjadi generasi penerima dan penyebar saja. Generasi yang sibuk menyuntuki banyak hal yang diterima dan kemudian disebarkan begitu saja, tanpa berupaya untuk menjadi generasi pencipta dan kemudian menyebarkan gagasan/ide-idenya. Dan, sepertinya kita sebagai generasi yang (merasa) lebih dewasa, mengemban pekerjaan rumah yang tidak enteng. Jika keseharian kita saja masih terasa diperbudak alat, lalu bagaimana dengan nasib dan masa depan jagat nalar generasi di bawah kita?***

1 komentar:

Desy Panca W mengatakan...

Dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat. Akan ada dampak dari balik itu semua, yaitu dampak positif dan dampak negatif. Contoh dari pekembangan teknologi yaitu, adanya ponsel atau smartphone (handphone pintar) yang mampu memudahkan masyarakat dalam melakukan aktifitas jual beli, menerima informasi, dan sebagainya. Dengan demikian masyarakat akan selalu berfikir bahwa semua mampu di akses secara instan, tanpa membutuhkan bantuan orang sekitar. Yang akan terjadi dalam diri masyarakat dengan peristiwa semacam ini ialah mereka belajar menjadi orang malas.
Hal seperti ini yang membuat saya merindukan masa dimana, seseorang sangat simpati dengan rekan di sekitarnya dan sangat senang dengan kegiatan sosial. Masyarakat pada masa itu juga sangat suka berinteraksi secara langsung dengan orang sekitar, namun apa yang kita lihat saat ini? Masyarakat bahkan tidak perduli dengan sekelilingnya.
Dengan perkembangan teknologi yang mempermudah aktifitas masyarakat, kini masyarakat tidak bisa jauh dengan smartphonenya, bahkan disaat sedang tertidur. Mengapa demikian? Karena smartphone mampu memberi kenyamanan dan kemudahan bagi pemiliknya. Oleh karena itu, masyarakat lebih suka menghabiskan waktu berjam jam hanya untuk memandang smartphonennya.
Dan saya sangat setuju dengan kalimat "Sudah sangat jarang, bahkan semakin tiada lagi orang-orang menyentuh buku-buku, koran, atau majalah". Ini mampu kita simak dalam kehidupan sehari hari, dan orang di sekeliling kita. Dimana masyarakat saat ini jarang sekali membaca buku, koran dna majalah, karena mereka berfikir bahwa itu semua mampu diakses keseluruh penjuru negeri dengan mudah dan cepat melalui smartphonenya tanpa membuka buku lembar per lembar.
Kecacatan negeri ini terjadi karena para pemuda hanya mampu menjadi receiver (penerima) bukan menjadi pendonor (pemberi). Seiring perkembangan zaman pemuda harus mampu menjadikan perkembangan teknologi yang mengembangkan sumber daya manusia dalam segala bidang. Bukan menjadi budak atas perkembangan teknologi di negeri.

Desy Panca Wardani (Mahasiswa UPGRIS)