Senin, 27 Agustus 2018

Puisi Setia Naka Andrian (Media Indonesia, 26 Agustus 2018)







Bacalah Kami

Bacalah kami. Bacalah.
Indonesia seperti ini lagi.
Bacalah. Kami seakan tidur lagi.
Saban hari menata bantal
yang berduri-duri

Bacalah kami. Bacalah.
Bangunkan kami. Bangunkanlah.
Hari seperti apa lagi
yang hendak kau turunkan
dari istanamu
yang menjulang tinggi

Bacalah kami. Bacalah.
Indonesia bangun pagi.
Sedangkan kau masih keringetan
di ujung tidur yang gemetar.
Lihatlah, kami hinggap
dalam episode yang penuh dengan
hamparan tanah tak berpasir lagi

Bacalah kami. Bacalah.
Kami singgah sesekali
dalam diri lain.
Bacalah kami. Bacalah.
Surga beranak-pinak
dalam dasar lelap
dan godaanmu
yang bermekaran lagi

Bacalah kami. Bacalah.
Indonesia membangunkanmu
dari setiap petaka.
Bacalah kami. Bacalah.
Pagi semakin gundah.
Mengeja hari-harimu
yang kian patah-patah.

Kendal, Agustus 2017


Kami Membacamu

Kami membacamu. Kami mengeja.
Bagaimana degup dada dan hentak kaki berirama.
Kami membacamu. Kami mengeja.
Bagaimana suaramu menghantam semangat kami.
Dalam batin dan segenap jiwa.

Kami membacamu. Kami mengeja.
Tanah air bergerak menuju ke hadirat raga kami
yang tak pernah sempurna. Kami membacamu.
Kami mengeja. Peluh dan keringat tumpah mengaliri
setiap waktu. Saat kami tumbuh menjadi jejak
yang tak sanggup bersuara tanpa kemerdekaan darimu.

Kami membacamu. Kami mengeja.
Betapa hidupmu tak pernah sia-sia.
Betapa perjuanganmu tak pernah kunjung reda.
Kami membacamu. Kami mengeja.
Betapa segalanya tumpah menjadi satu.
Menjadi Indonesia. Negeri yang tak pernah goyah
sepanjang masa. Selama-lamanya.
Selama kami membacamu. Selama kami mengejamu.

Kendal, Agustus 2017


Dua Hari Dua Malam

Dua hari dua malam
Lewat dalam dua jam yang getar
Aku ingin sejenak bertapa
di bahumu sebelah kanan

Dua hari dua malam
Roda tak lagi diputar pelan
Aku ingin bersamamu pulang
Menuju hari-hari berlalu lalang
di sekitar rintik dan telapak tangan

Dua hari dua malam
Aku tak ingat apa-apa
Begitu pula denganmu
Yang lenyap dalam pelajaran
dan masa silam

Dua hari dua malam
Aku tak kunjung bangun
Dari sisa-sisa pengembaraan
dan kau, meninggalkan jasadku
Yang gemuruh di balik doa-doa
Hingar-bingar dalam dada-dada

Kendal, Agustus 2017


Berdiri di Luar

Maka berdirilah kami
Di atas tubuh-tubuh yang berapi-api
Maka melambunglah dada-dada kami
Di bawah ruang yang tak bersekat lagi

Maka berdirilah kami
Dari dalam benak dan batin yang paling sunyi
Dari dalam angan dan ingatan
yang kerap tidur di siang hari
Dari dalam takdir yang dikelilingi kehadiran
yang tak mati-mati

Maka berdirilah kami
Dari segalanya yang selalu mencoba belajar
Memahami banyak hal di luar tubuh kami
Menekuri beragam ruang di luar kegagalan kami

Kami kerap berupaya untuk menjadi diri lain di luar tubuh kami
Kami kerap bersandiwara untuk memutar rupa lain
Selain wujud yang diriwayatkan di luar rumah-rumah kami
Kami hendak menjadi serupa, tapi apakah bisa
Kami hendak menjadi seragam, tapi lihatlah
Di luar sana, orang-orang mulai mencangkok lengan tangan-tangannya
Orang-orang menanam beton di punggungnya

Mereka telah lupa, betapa masa lalu
telah membentuk diri sangat lain bagi sesamanya
Mereka telah lupa, betapa masa depan
telah menjunjung berjabat-jabat cerita
Kini, kami seakan belajar lagi
Untuk tidak sekadar tenggelam dalam keriuhan
yang sesungguhnya diciptakan saudara sendiri

Maka berdirilah kami, melampaui pagar dan dinding
yang sesungguhnya hanya telah dibuat
oleh orang-orang di rumah kami sendiri

Maka berdirilah kami
Saat kami melihat, betapa megahnya diri mereka
menjelmakan diri kami
Maka berdirilah kami, bersama-sama mereka,
atau siapa saja, untuk mengembalikan segalanya
Kembali merenungkan betapa eloknya rumah kita
Rumah yang didirikan atas berupa rumah-rumah
Rumah yang telah berdiri di atas kepala leluhur milik kita sendiri..

Semarang, September 2017


Kiai Syarif

Kami tak tahu, sudah tumbuh
dukuh-dukuh baru
Kami tak tahu,
Sudah mekar pengikut-pengikut baru
Kami tak tahu,
Sudah berapa ratus kemuliaan
tumbang
dalam punggung sejarah baru

Lihatlah, kami bisa apa
Jika bumi tunduk
Lihat, di sekitar Wanglu Gedhe itu
Bukti bagi ke hadirat
kepada iman
dalam satu musim
yang melipatgandakan tubuhnya

Bahkan kami tak tahu, ada apa
dengan Kyai Syarif
Ia dirikan rumah, tempat bersembah
Bagi penyebaran Islam
di sekujur Poncorejo

Masa itu, ia mengajarkan agama
Meriwayatkan ketiadaan dan keabadian
Yang kerap menyundul-nyundul di dada
masyarakat Dukuh Binangun,
Bandingan, Kaumsari, dan Planjen

Meski bagi Kalang,
tiada bisa tertembus syiar
yang dibawa olehnya
Tubuh mereka tergeletak
Membaca tuhan dalam terbata
Membaca diri dalam sepenuh tiada

Kendal, September 2017



Minggu, 12 Agustus 2018

Festival Seni dan Reproduksi Kegagalan (Suara Merdeka, 12 Agustus 2018)


Festival Seni dan Reproduksi Kegagalan
Oleh Setia Naka Andrian



Tiada lagi dapat ditemukan keberadaan yang mutlak bagi diri seniman, kecuali ruang yang dia ciptakan dari dalam tubuhnya. Seniman bekerja pada diri sendiri. Melakukan segenap aktivitas artistik sendiri.
Selanjutnya, seniman menemukan beragam rintangan, cobaan, dan godaan dalam setiap langkah penemuan diri sebagai pencipta seni yang sesungguhnya. Kerja itu setidaknya menjadi duplikasi terhadap generasi sebelumnya, atau duplikasi bagi diri yang lain. Segenap riwayat itu telah menjadi ladang garapan tersendiri bagi pegiat seni dan komunitas di Kendal.
Pada 14-15 Oktober 2017, di Taman Gajah Mada Kendal, Jarak Dekat Art Production Kendal bersama beragam komunitas mengeksekusi Kendali Seni Kendal 2017. Itu penyelenggaraan kali kedua selepas 2016. Lembaga kesenian dan kebudayaan yang menasbihkan diri sebagai lembaga nirlaba itu didukung 42 komunitas anak muda menyelenggarakan gelaran sebagai embrio festival seni.
Mengingat, bagi mereka, belum pernah ada festival kesenian di Kendal secara periodik dan metodik. Berawal dari kegelisahan itu, komunitas seni dan budaya di Kendal yang didominasi anak muda berupaya menggeliatkan gerakan berkesenian yang tak sekadar selebrasi.
Namun ada niat menciptakan iklim belajar, membangun, dan mempertahankan potensi personal dan komunal. Kendali Seni Kendal (KSK) 2017 sedikit berbeda dari gelaran sebelumnya. Pada 2016 baru diikuti tujuh komunitas, kali kedua menjangkau 42 komunitas.
Pada 2016 baru menjangkau khalayak yang sebagian besar siswa, kali kedua mampu menyedot masyarakat umum dari dalam dan luar kota. Tajuk KSK 2017 “Kendal Aku Pulang”, sebagai salah satu wujud untuk menggerakkan seniman yang telah lama meninggalkan Kendal.
Mereka diajak pulang, menjenguk kota leluhur. Dan yang masih berada di Kendal, diajak berpulang pula. Karena, barangkali tubuh tidak ke mana-mana, tetapi siapa tahu hati mereka belum pulang.
Untuk memperkuat tajuk itu, tradisi gebyuk pun ditanam di area kegiatan. Itu tradisi mencari ikan oleh warga pesisir di sepanjang aliran sungai. Aktivitas itu dilakukan warga secara gotong-royong. Tradisi serupa dipercayai berlangsung turun-temurun di Kendal.

Merawat Tradisi
Gebyuk pada KSK 2017 tak sekadar karya instalasi. Namun upaya produksi kepekaan bagi seniman untuk menjaga dan merawat tradisi leluhur. Gebyuk sebagai alat penangkap ikan, pada KSK 2017 untuk menjaring segenap komunitas seni budaya di Kendal.
Diharapkan, embrio festival kesenian itu berangsur-angsur menjadi gelaran festival seni yang diidamkan. Tak ayal, pada KSK 2018 para pegiat telah cukup percaya diri menyebut gelaranitusebagaifestivalseni.
Festival yang dikabarkan akan bertema “Aku Kendal” itu berupaya meriwayatkan orang Kalang sebagai salah satu etnik di Kendal yang telah diteliti guru dan sejarawan Kendal, Muslichin.
Ikhtiar itu setidaknya menjadi jalan lain untuk meriwayatkan dan mencari solusi atas reproduksi kegagalan dalam berkesenian di Kendal. Para seniman akan menciptakan program kreatif untuk mencari identitas diri secara personal dan komunal. Salah satu ladang garapan untuk menopang KSK, misalnya, program Tilas Balik.
Program itu digagas untuk meriwayatkan kearifan kota. Lewat segala laku kreatif, pegiat berupaya membangun isu, pertimbangan, dan kemungkinan lain dalam gerak seni budaya dari waktu ke waktu.
Melalui laku itu, para seniman akan menyibak riwayat kota (kampung halaman) sebagai penelitian lapangan guna menghadirkan atau menemukan cerita rakyat, sejarah kampung, atau mitos di masyarakat. Selanjutnya, segala penemuan akan digarap melalui bidang seni.
Baik sastra, seni rupa, musik, teater, tari, maupun film. Segenap kerja itu tak lain demi kelangsungan, perkembangan, dan kemajuan kota menuju arah lebih baik. Sampai jumpa pada KSK 2018.***

— Setia Naka Andrian, lahir di Kendal, 4 Februari 1989, dan bermukim pula di kota itu. Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) ini menulis esai, puisi, cerita pendek, dan resensi buku.

Minggu, 15 Juli 2018

Puisi Setia Naka Andrian (Suara Merdeka, 15 Juli 2018)



Dua Hari Lalu

dua hari lalu
kami tiadakan batin
kami tumbalkan tekanan
yang menyumbat ulu hati

dua hari lalu
kami tiadakan nadi

sejenak, kami memihak
banyak hal, kecual diri kami sendiri
kami coba ciptakan
rupa wajahmu yang lain itu,
kabar buruk yang didoakan
dari perpisahan dan kepulangan

dua hari lalu
kami rupa nada dering
yang kau kirim satu persatu
saat kekekalan dan kekalahan
menjadi satu ibu

dua hari lalu
ajarilah kami, menuruti jalan napas
jadikan kami pasir
di halaman rumah
yang tiada lagi
ditemukan butir-butir protein

dua hari lalu
jadikan kami waktu
di atap rumah
yang menyerupai langit-langit
:segala batas ketiadaan
dan pertempuran

dua hari lalu
jadikan kami esok hari
di atas kening
yang diangkat tinggi-tinggi
menuju keberadaan lain
yang tumbuh melampaui

dua hari lalu
di dalam goa
kami mencari
ke mana muara luka
akankah mereka tahu
bagaimana pahala
yang dikucurkan
dari dadanya
yang terbelah
sebelum segalanya
pindah menjadi lupa

dua hari lalu
jadikan kami hari depan
hari baik kami
yang dipindah darimu
menuju ke hadirat
setinggi waktu
yang melampaui
segala hari yang telah lalu

Kendal, November 2017


Kami Telah Saksikan

kami telah saksikan, tuan
perayaan itu, pesta dingin
yang menggiring diri kami
menggiling beban
di sekujur punggung

kami telah saksikan, tuan
kami tiadakan diri
dalam setiap gerak batu-batu
pada banyak rupa
yang tak mungkin bersatu-padu

kami telah saksikan, tuan
kami satu-satunya tanda lahir
yang ditinggalkan
dari matematika itu
dari abad panjang
dari genangan iman
yang dikisahkan tanpa peluru

kami telah saksikan, tuan
kami tiada lagi dapat pastikan
berapa panjang tubuhmu
mengitari luka-luka kami
yang setiap saat kian mekar
mengurung tubuh kami

kami telah saksikan segalanya, tuan
hanya harkat hidup dan mati kami
yang kerap membuat batin ini buyar
lantas, bagaimana kesaksian kehadiran
dan kepergian masa lalu kami
jika hari depan telah menjadi diri lain
selain dirimu?

Kendal, November 2017


Minggu, 06 Mei 2018

Cermin Jiwa: Politik dan Jagat Pesantren (Suara Merdeka, 6 Mei 2018)



Cermin Jiwa; Politik dan Jagat Pesantren
Oleh Setia Naka Andrian



Jagat pesantren, dewasa ini begitu rupa menjadi sorotan bagi elite politik. Santri, ulama, kiai seakan lahir sebagai magnet tersendiri bagi mereka yang hendak menampilkan diri dalam panggung politik. Pesantren setidaknya telah mengambil salah satu posisi (sasaran utama) untuk memperoleh kemenangan yang diidam-idamkan.
Sudah jelas, pesantren diyakini masyarakat sebagai jagat sunyi yang tak henti-hentinya memproduksi makna, identitas, hingga segala hal tentang pembentukan akhlak mulia bagi umat beragama. Rumah bagi para pengeja ilmu agama tersebut pun hingga kini masih begitu kuat menempa ingatan publik. Pesantren dengan segenap isinya, selalu diberi tempat di mata dan batin masyarakat kita.
Untuk itu, tak sedikit calon pemimpin kita yang kerap sowan kepada segenap pesantren seantero tanah Jawa ini. Dari mulai sekadar minta doa restu, hingga menggandeng putra kiai, atau salah seorang insan terbaiknya untuk maju bersama dalam panggung politik.
Seolah-olah pesantren menjadi sebuah tameng, rumah berlindung jika barangkali didapati beragam anggapan buruk yang bertebaran di telinga masyarakat. Atau setidaknya mampu menanam kepercayaan lebih dan yang pasti, mendongkrak ‘suara’. Sebab, sampai kapan pun pesantren tetaplah menjadi rujukan, segala mula dan muara, rumah berteduh bagi insan beragama, atau bagi siapa saja yang berhasrat menanam citra baik dalam tubuhnya.
Melalui novel Cermin Jiwa (Alvabet, Juli 2017), S. Prasetyo Utomo mengisahkan sebuah keluarga yang dihuni sepasang suami-istri setengah baya dan seorang anak perempuan belia. Merekalah Abah, Umi, dan Zahra. Abah mengalami kekalahan dalam pemilihan wakil rakyat. Abah, seorang pemilik ladang dan toko bunga. Suatu ketika ia mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Namun ia gagal, meski segalanya telah dipertaruhkan. Termasuk tanah, mobil, dan tabungan.
Selepas itu, Abah berniat menenangkan diri, kembali berguru di sebuah pesantren yang sempat ia tinggali semasa muda. “Aku ingin kembali berguru pada kiai di pesantren Lembah Bayang-Bayang, seperti pada masa mudaku. Melupakan keguncangan hatiku.” (hlm. 12).
Abah berniat menepikan diri. Ia telah tersadar, bahwa ia tak berjodoh menjadi wakil rakyat. Meski awalnya ia belum bisa sepenuhnya menerima. Selepas Umi, istrinya, mampu menyadarkan, maka Abah berniat kembali berguru ke pesantren. Abah memilih jalan sunyi, selepas persoalan berat menimpa hidupnya. Menapaki kembali jalan yang dikehendaki nuraninya, selepas diterpa kehancuran bertubi-tubi.

Gelagat Elite Politik
Prasetyo dalam novel ini memberikan tawaran lain pula, yakni didapati tokoh yang menyabung nasibnya dalam pemilihan wakil rakyat. Tokoh tersebut menang, namun tidak lama kemudian ia tak mampu mengendalikan nafsu. Maka segala itu menjerumuskannya ke penjara, akibat terbelit kasus korupsi.
Didapati pula kisah lain, seorang tokoh yang hendak maju dalam pemilihan Bupati. Ia berkunjung dan hendak meminta restu kepada Kiai Sepuh, pengasuh Pesantren Lembah Bayang-Bayang, tempat Abah berguru dan menenangkan batin.
Calon bupati tersebut mengumbar janji kepada Kiai Sepuh, termasuk ingin membangun jalan menuju pesantren. Akhirnya, Kiai Sepuh mengizinkan, memberi restu kepada calon bupati. Abah pun sempat heran, kenapa Kiai Sepuh memberikan restu.
Calon bupati tersebut pun menang dan sudah berkuasa, namun jalan menuju pesantren masih tetap belum dibangun seperti yang dijanjikan. Kiai Sepuh tetap tenang, tak mengaharap apa-apa. Abah begitu heran, pasti akan terjadi sesuatu.
Akhirnya terdengar kabar, bahwa bupati yang berkuasa tersebut ditangkap, ditahan, dan dibawa ke pengadilan. Semua orang pun tahu maksud Kiai Sepuh mendukungnya, hanya untuk menggiringnya ke penjara. “Aku baru sadar, Kiai Sepuh mendukung bupati itu untuk menemukan takdirnya di penjara,” kata Kiai Maksum, sebelum menghentak tali kendali kudanya. (hlm. 33).
Dari beberapa penggalan kisah tersebut menunjukkan, betapa Prasetyo menampakkan gelagat elite politik di sekitar kita. Keberadaan pesantren yang kerap kali diperhitungkan dalam melancarkan gerak roda kelompoknya demi mencapai kekuasaan yang mutlak.
Bumbu-bumbu lain pun dihadirkan oleh Prasetyo, yakni terkait persoalan tarik-ulur pembangunan pabrik semen di Lembah Gunung Bokong. Perlawanan, kecaman, pengkhianatan menjadi putaran gerak politik tersendiri. Negara pun turut serta dalam peristiwa daerah tersebut, selepas persoalan berlarut-larut dan memanjang hingga menjadi isu nasional.
Dalam novel ini, Prasetyo seakan menggarap sebuah dunia dengan segala kemungkinan yang kokoh, melalui kejernihan jiwa beberapa tokoh yang dihadirkan. Segalanya seakan menyelinap dalam benak dan batin kita. Menggelinding dalam roda keseharian yang tentu akan begitu mudah kita tunjuk di koran, televisi, dan segala media massa yang beterbangan di sekitar kita.***

Senin, 12 Maret 2018

Pengamen Jamaah Jumat (NU Online, 11 Maret 2018)


Pengamen Jamaah Jumat
cerpen Setia Naka Andrian

“Allahumma shalli shalatan kamilatan wa salim salamaan tamman 'ala sayyidinaa Muhammadin alladzi tankhallu bihil-'uqodu wa tanfariju bihil-kurobu wa tuqdho bihi-lkhawa-'iju wa tunaalu bihi-rroghoibu wa khusnul-khowatimi wa yustatsqol-ghomaamu bi wajhihil-karimi wa 'ala alihi washohbihi fi kulli lamkhatin wa nafasin bi 'adadi kulli ma'luumin laka,” begitulah yang ia lantunkan pada setiap jumat-jumat.
Siapa pun pasti hafal bagaimana tubuh perempuan. Undakan yang berkelok, namun bukan semacam sungai. Banyak yang bilang bentuk biola paling cocok untuk mengingatnya. Juga perawakan semampai yang sering diidamkan lelaki sejagad. Lalu bagaimana jika perempuan itu sudah senja. Orang-orang pasti malas meliriknya. Apalagi membayangkan untuk sekadar inspirasi ketika mandi yang biasa dilakukan anak-anak muda saat kesepian.
Begitulah, seseorang yang kini diperbincangkan di kampung kami. Entah kami tak tahu dari mana datangnya perempuan tua yang menebar resah itu. Ia selalu bershalawat pada setiap hari jumat di masjid kampung kami. Bertepatan ketika shalat jumat. Ia selalu melantunkan lagu yang sama, shalawat Nariyah. Itu yang kadang membuat kami gemetar.
Bagi kami ia lah orang paling misterius yang kami jumpai sepanjang hidup. Ia sangat tak terawat. Baju yang dikenakan lusuh dan kumal. Daster yang kebesaran dan terseret ke tanah. Tubuhnya pun seperti sudah kebal dengan panu atau kadas. Walau terkadang kami melihatnya menggaruk-garuk beberapa petak tubuhnya ketika ia sedang bershalawat.
Dasternya sobek-sobek berserakan dan tak khatam menutupi tubuhnya. Rambutnya yang setengah nggimbal terurai. Mencoba menelungkupi payudaranya yang terlihat kendur serta terombang-ambing ke kanan dan kekiri, ketika ia melangkahkan kaki atau sedikit menggerakkan tubuhnya. Payudara yang telah kusam, sangat kotor dan pastinya juga bau. Sungguh menjijikkan. Jika harus mengingat-ingat perempaun tua itu.
Apalagi jika ada seseorang yang sedang makan melihatnya, maka seketika orang itu pasti langsung mengaburkan mata. Bau busuknya menyengat. Barangkali melebihi mayat yang sudah berbulan-bulan mengapung di sungai. Daster yang dikenakan pun dipenuhi kotoran-kotoran. Kami sering menebaknya sebagai kotorannya sendiri yang telah menghitam dan hampir mengering. Nampak semu kekuningan yang membuat kami semakin yakin kalau yang mengotori sekujur baju dan tubuhnya itu adalah kotorannya sendiri. Bau yang bertebaran pun kami begitu akrab. Karena kami setiap pagi juga mengeluarkan kotoran itu. Jadi dengan sendirinya kami hafal aroma itu.
Jika yang melihat sedang hamil, dalam hati langsung mengucap amit-amit jabang bayi. Lalu kalau yang melihat sedang asyik dengan pacarnya, yang perempuan berbisik kepada lelakinya, “Akankah kau masih setia kepadaku bila aku seperti itu?”
***

Sepertinya daster yang dikenakan itu dulunya berwarna putih. Kini sudah berubah warna tanah akibat kotoran hitam kekuningan yang menebar. Kulit pada sekujur tubuhnya pun telah disulap matahari hingga hitam pekat. Payudaranya yang pucat kotor dan mengendur serta terombang-ambing ke kanan-kiri pun seakan menampakkan betapa tergoncang kehidupannya. Sontak, siapa pun yang melihatnya pasti sangat ketakutan, cemas dan begitu resah akibat lengking suara yang dilantunkannya itu. Walaupun itu shalawat Nariyah. Puji-pujian untuk meminta syafaat nabi.
Itulah sebabnya yang terkadang membuat para pengurus masjid, seluruh warga serta para kiai sepuh imam di masjid kami kebingungan setiap kali perempuan tua itu ikut mengisi jamaah jumat, walaupun sekadar di serambinya.
Sudah beberapa bulan ini ia datang pada setiap jumat-jumat. Seluruh warga pun sama sekali tak tahu dari mana asalnya. Entah, barangkali ia diutus Tuhan sebagai perempuan paling tidak seksi di dunia ini, atau apa pun. Kami sulit untuk menebak serta mengira-ira. Setiap malam kami berlarut-larut mendiskusikan bersama seluruh warga, hanya untuk membahas keberadaan perempuan tua itu.
Namun tetap saja tak ada yang banyak tahu tentang fenomena dadakan itu. Walau kami sering berupaya mendatangkan orang-orang hebat secara bergantian tiap diskusi yang kami adakan. Secara bergantian kami hadirkan orang-orang tersohor yang ahli mistik serta orang-orang sakti, hingga ulama-ulama terkenal yang sering muncul di televisi. Kami minta mereka untuk memberi arahan atau apa saja yang setidaknya mampu sedikit mengurangi keresahan kami.
Namun entah, orang-orang hebat yang kami undang dengan sewa yang cukup mahal itu tetap saja tak menyelesaikan. Malah kami sering disuguhi petuah-petuah yang semakin tak terarah. Hingga ujung-ujungnya tetap saja menunjuknya sebatas orang gila saja.
Memang kenyataannya semacam itu. Siapa pun pasti tak jauh menudingnya sebagai orang gila. Namun kenapa setiap hari jumat perempuan itu selalu datang ke masjid dan bershalawat? Kenapa juga yang ia lantunkan adalah shalawat Nariyah?
Siapa pun pasti akan merinding jika mendengarnya meliukkan shalawat tersebut. Terutama bagi warga kami yang sebagian besar muslim. Begitulah pertanyaan-pertanyaan yang sering beredar ke telinga rumah-rumah.
***

Mbah Kiai Haji Soleh, seorang imam paling sepuh di masjid kami berpendapat. Bahwa sebenarnya tak masalah jika ia tidak melakukannya di masjid. Ia juga tidak pernah meminta imbalan apa-apa. Namun bila ia mengetuk pintu dari rumah ke rumah pasti malah banyak yang merasa iba. Pasti juga tak sedikit yang merelakan sepiring nasi dan teh hangat untuk diberikannya. Tapi jika dilakukan di masjid, bagaimana warga menanggapinya? Siapa pun pasti akan mengalami keresahan yang sama. Entah itu para pengurus masjid, seluruh warga serta para kiai sepuh pun pasti akan tetap saja mengalami keresahan yang sama seperti halnya yang sedang kami rasakan selama ini.
Lebih-lebih, ada warga yang tak sengaja mengamati perempuan tua itu. Katanya, dari hari ke hari ia semakin mendekati serambi masjid. Dari jumat satu ke jumat berikutnya, ia selalu semakin mendekat. Karena pada mulanya ia berada di luar pintu gerbang. Namun lama kelamaan semakin terus mendekat masuk ke area masjid. Sambil tetap bershalawat dengan satu alat musik yang terbuat dari tumpukan beberapa tutup botol yang dipaku pada sebuah balokan kayu kecil.
Entah alat itu dibuat sendiri atau merampas dari para pengamen yang sering berkeliaran di kampung kami. Sejauh mata kami memandang, barangkali perempuan itu tak ada bedanya dengan pengamen-pengamen liar itu. Namun pastinya lebih mencekam. Lantunan shalawatnya begitu menyayat dan melengking ngeri. Kian hari kami semakin cemas. Segala pertanyaan bercampur dengan isu terpanas saat ini. Tentang datangnya hari kiamat dengan berbagai tanda-tanda yang meraung-raung terkabarkan pada berbagai media. Meledak-ledak di telinga kami.
***

Beberapa bulan kemudian, ketakutan kami semakin menjadi-jadi. Perempuan tua itu kian hari semakin menuju ke area masjid. Hingga kali ini, kami sangat kebingungan dan tak kuasa berbuat apa-apa. Ia masuk satu barisan jamaah shalat jumat di masjid kami. Ia menelusup dengan cepat ketika adzan dikumandangkan untuk menunaikan shalat jumat.
Ketakutan kami semakin meledak. Ia tetap bershalawat ketika kami sudah mulai shalat. Melengkingkan shalawat dengan kondisi tubuh yang terus mengenduskan bau busuk. Kami pun tak kuasa melihat daster dan payudaranya yang sama-sama kedodoran, begitu kumal berwarna hitam kekuningan akibat kotorannya sendiri. Kami jijik bercampur merasa tak enak sendiri, ketika harus shalat dengan terpaksa melihat payudara kendur yang kotor bergelantungan terombang-ambing ke kanan-kiri.
Kami semakin tak kusyuk berserah kepada Tuhan. Gurauan anak-anak kecil pun serentak mengumpat dengan semangat, “Orang gila! Orang gila!”
Pikiran kami melayang kemana-mana. Ketakutan bercampur kecemasan serta keresahan yang begitu dalam. Barangkali tak terlukiskan melalui doa apa pun. Suasana menjadi ricuh. Kami semakin sulit memusatkan pendengaran untuk khidmad tertuju imam atau suara lengkingan shalawat perempuan itu. Juga hidung kami sangat terganggu, ketika bau busuk benar-benar menebar ke seluruh penjuru masjid. Hingga parfum wangi yang kami kenakan tak mampu berkutik untuk sekadar barang sesaat menyegarkan hidung pemakainya sendiri.
***

Kami beserta seluruh warga berkumpul. Mengundang semua ustadz dan kiai sepuh di kampung kami untuk membantu menyelesaikan masalah yang tidak bisa dianggap ringan ini. Kami juga terpaksa mengundang para santri dari warga kami yang telah malang melintang menimba ilmu di kota-kota santri seluruh penjuru negeri ini. Melalui orangtuanya masing-masing, mereka disuruh pulang secara paksa. Entah mereka akan pulang naik pesawat atau unta. Yang pasti kami sangat berharap jika dalam diskusi nanti mereka sudah datang.
Ketika diskusi hampir dimulai, tepat pukul sepuluh malam. Mereka, para santri telah tepat waktu untuk ikut bermusyawarah. Kebetulan kami selenggarakan di halaman masjid tempat tragedi perempuan tua itu terjadi.
Kami berunding sangat panas. Hingga dini hari kami belum juga menemukan jalan keluar. Kami sempat putus asa untuk menanggulangi kehadiran perempuan tua itu. Namun kemudian ada warga yang nyeletuk, “Bagaimana kalau masjid dipindah saja? Kita bongkar dan dibangun lagi di tempat lain.”
Akhirnya seluruh warga menyetujui ide dari salah seorang warga kami. Semua sepakat, termasuk para pengurus masjid, para santri, serta seluruh kiai sepuh yang menjadi imam di masjid kami.
***

Keesokan harinya, kami membongkar dan memindahkan masjid sesuai kesepakatan musyawarah malam itu. Kami mengevakuasi masjid beserta seisinya. Kami gunakan kembali barang-barang yang masih layak pakai, dan kami tinggalkan jika sudah tidak layak. Untungnya bahan-bahan pokok bangunan, batu-batu pondasi dan batu bata masih dapat kami gunakan kembali. Termasuk juga keramik yang masih dapat kami bongkar, dan hanya sedikit saja yang pecah ketika kami congkel satu persatu.
***

Pada suatu jumat, masjid sederhana telah dapat kami gunakan untuk kembali berjamaah. Walau masih belum sempurna jadi, namun sudah dapat kami naungi untuk beribadah. Masjid yang kelak akan menjadi sejarah tersendiri bagi anak dan cucu kami.
Seusai jumatan, kami merasa suasana semakin pagi. Hari begitu cerah. Secara tidak sengaja kami bersama-sama berjalan menuju area masjid yang lama. Kaki kami seakan memutar sendiri untuk menyambangi tempat bersejarah itu. Semua serentak mengikuti. Karena bagaimanapun inilah hari jumat pertama kami berjamaah shalat jumat di masjid yang baru saja kami pindahkan.
Selepas sampai di depan area masjid lama, kami melihat perempuan tua itu berdiri tepat pada titik yang dulu digunakan sebagai tempat imam memimpin jamaah. Ia berdiri tegak. Tetap mengumandangankan shalawat. Namun kali ini jauh lebih melengking dari sebelumnya.***

Sanggargema, Juli 2015