Festival Seni dan Reproduksi Kegagalan
Oleh Setia
Naka Andrian
Tiada
lagi dapat ditemukan keberadaan yang mutlak bagi diri seniman, kecuali ruang
yang dia ciptakan dari dalam tubuhnya. Seniman bekerja pada diri sendiri.
Melakukan segenap aktivitas artistik sendiri.
Selanjutnya, seniman menemukan beragam
rintangan, cobaan, dan godaan dalam setiap langkah penemuan diri sebagai
pencipta seni yang sesungguhnya. Kerja itu setidaknya menjadi duplikasi
terhadap generasi sebelumnya, atau duplikasi bagi diri yang lain. Segenap
riwayat itu telah menjadi ladang garapan tersendiri bagi pegiat seni dan
komunitas di Kendal.
Pada 14-15 Oktober 2017, di Taman Gajah
Mada Kendal, Jarak Dekat Art Production Kendal bersama beragam komunitas
mengeksekusi Kendali Seni Kendal 2017. Itu penyelenggaraan kali kedua selepas
2016. Lembaga kesenian dan kebudayaan yang menasbihkan diri sebagai lembaga
nirlaba itu didukung 42 komunitas anak muda menyelenggarakan gelaran sebagai
embrio festival seni.
Mengingat, bagi mereka, belum pernah ada
festival kesenian di Kendal secara periodik dan metodik. Berawal dari
kegelisahan itu, komunitas seni dan budaya di Kendal yang didominasi anak muda
berupaya menggeliatkan gerakan berkesenian yang tak sekadar selebrasi.
Namun ada niat menciptakan iklim belajar,
membangun, dan mempertahankan potensi personal dan komunal. Kendali Seni Kendal
(KSK) 2017 sedikit berbeda dari gelaran sebelumnya. Pada 2016 baru diikuti
tujuh komunitas, kali kedua menjangkau 42 komunitas.
Pada 2016 baru menjangkau khalayak yang
sebagian besar siswa, kali kedua mampu menyedot masyarakat umum dari dalam dan
luar kota. Tajuk KSK 2017 “Kendal Aku Pulang”, sebagai salah satu wujud untuk
menggerakkan seniman yang telah lama meninggalkan Kendal.
Mereka diajak pulang, menjenguk kota
leluhur. Dan yang masih berada di Kendal, diajak berpulang pula. Karena,
barangkali tubuh tidak ke mana-mana, tetapi siapa tahu hati mereka belum
pulang.
Untuk memperkuat tajuk itu, tradisi gebyuk
pun ditanam di area kegiatan. Itu tradisi mencari ikan oleh warga pesisir di
sepanjang aliran sungai. Aktivitas itu dilakukan warga secara gotong-royong.
Tradisi serupa dipercayai berlangsung turun-temurun di Kendal.
Merawat Tradisi
Gebyuk pada KSK 2017 tak sekadar karya
instalasi. Namun upaya produksi kepekaan bagi seniman untuk menjaga dan merawat
tradisi leluhur. Gebyuk sebagai alat penangkap ikan, pada KSK 2017 untuk
menjaring segenap komunitas seni budaya di Kendal.
Diharapkan, embrio festival kesenian itu
berangsur-angsur menjadi gelaran festival seni yang diidamkan. Tak ayal, pada
KSK 2018 para pegiat telah cukup percaya diri menyebut
gelaranitusebagaifestivalseni.
Festival yang dikabarkan akan bertema “Aku
Kendal” itu berupaya meriwayatkan orang Kalang sebagai salah satu etnik di
Kendal yang telah diteliti guru dan sejarawan Kendal, Muslichin.
Ikhtiar itu setidaknya menjadi jalan lain
untuk meriwayatkan dan mencari solusi atas reproduksi kegagalan dalam
berkesenian di Kendal. Para seniman akan menciptakan program kreatif untuk
mencari identitas diri secara personal dan komunal. Salah satu ladang garapan
untuk menopang KSK, misalnya, program Tilas Balik.
Program itu digagas untuk meriwayatkan kearifan
kota. Lewat segala laku kreatif, pegiat berupaya membangun isu, pertimbangan,
dan kemungkinan lain dalam gerak seni budaya dari waktu ke waktu.
Melalui laku itu, para seniman akan
menyibak riwayat kota (kampung halaman) sebagai penelitian lapangan guna
menghadirkan atau menemukan cerita rakyat, sejarah kampung, atau mitos di
masyarakat. Selanjutnya, segala penemuan akan digarap melalui bidang seni.
Baik sastra, seni rupa, musik, teater,
tari, maupun film. Segenap kerja itu tak lain demi kelangsungan, perkembangan,
dan kemajuan kota menuju arah lebih baik. Sampai jumpa pada KSK 2018.***
— Setia Naka
Andrian, lahir di Kendal, 4 Februari 1989, dan bermukim pula di kota
itu. Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang
(UPGRIS) ini menulis esai, puisi, cerita pendek, dan resensi buku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar