Jumat, 07 Oktober 2016

Komunitas Penjaga Literasi (Derap Guru, Oktober 2016)


Puisi Setia Naka Andrian (Pikiran Rakyat, 4 September 2016)

Hari Kedelapan Belas

hari ini, kita telah melipat baju-baju
yang kita kenakan di tahun lalu
di sana dihiasi lampu, wajah-wajah manusia,
sungai, dan ikan-ikan yang menguap ketika berenang;
hari ini kita banyak lupa ingatan,
riwayat kamar-kamar berserakan di dadamu,
banyak kenangan yang memilih binasa
dalam takdir sebuah kota,
hingga kini, sebelum menutup jendela,
kau, memilih menjadi hari yang paling kuasa;
manusia berangkat kerja, menjadi pasukan,
menjadi serigala, pemangsa kebahagiaan,
pejinak tragedi, dan lain-lain;
hari ini, kita menepi, melukis bantal
dengan pelangi, menghabisi diri orang-orang
yang membutakan matanya sendiri
dengan sendok, garpu, pecahan beling,
dan tanah sisa hujan;
hari ini, kita belajar berlari, di tepi jalan
yang sedang dilewati pasukan malapetaka
ketika kita belum mampu mengubah diri
menjadi segitiga

Sanggargema, Maret 2015


Hari Sepenuh Puisi

ia kabarkan hari-harinya sepenuh puisi
dari hutan, dari jalan raya, dari tembok,
dari sungai, bukit, pohon dan dari segala arah,
hingga dari dalam kamar, mereka berebut bernyanyi
dengan irama dan nada dasar yang berloncatan,
mereka menaiki puisi pelan-pelan, mengelilingi
kota-kota yang berloncatan di atas kepalamu,
semacam kera-kera pemungut hati yang berantakan;
sungguh, kau diamkan hari-harimu yang berbinar
kau tuangkan kepedihanmu dalam segelas anggur
dan kau tiadakan kemenanganmu, malam-malam
mengucur deras, dari keningmu, dari takdirmu,
dari seberapa dalam doa mengepal menjadi
riwayat dan takdirmu,
lalu darimu, puisi berlari mengejar masa depan
yang sedang tidur panjang
ia tak lagi mau sarapan pagi, katanya, hari sudah
begitu kenyang menyaksikan penyakit yang piatu
dan lupa menyusui anak-anaknya,
tak ada lagi obat batuk yang mampu menyembuhkan
lukanya, hingga kau jarang memenuhi gizi untuk
puisi-puisimu, padahal katamu:
puisi adalah satu-satunya anak nuraniku
hingga akhirnya puisi tinggal nama,
penyair kehilangan nyawa,
puisi semakin memburuk, tak mau dibujuk,
mereka lari, memilih mengasingkan diri,
menceburkan diri dalam sungai yang kering

Saranglilin, Maret 2015


Perihal Tidur

sayang, aku tidur dulu di pungungmu ya; nanti tolong
bangunkan aku pukul 17 tepat, karena nanti aku harus
mencari hujan; aku ingin mengajaknya membasahi
pohon yang telah lama tumbuh di jantungku,
katanya, ia pohon yang ingin cepat mati,
ia ingin tidur panjang, dan mengubur dirinya di dadaku,
tolong ya, karena di sana setiap hari terdapat perempuan
menangis yang bersetia menunggu peluru,
katanya, ia selalu bersembunyi di dada-dada para pemerkosa
yang datang tak berkepala; mereka meminum api-api
di atas ladang rahasia, hingga ada seperangkat doa
yang kau lahirkan dari dalam penjara,
ya, benar, mereka dilindungi para penjaga yang gemar
membakar batu; aku tak tahu, kenapa batu diam saja,
ia tak kepanasan, ia tak kedinginan,
atau barangkali ia sedang tidur, ia lelah, karena sering
dipinjam orang-orang yang keras kepala,
ah, kau malah mengira jika aku bohong,
padahal sungguh, semua menyaksikan,
bahkan jika kau mau, mereka siap untuk membinasakan
dirinya sendiri; termasuk kelak kau, aku, dan semua orang
yang membenci hari-hari tidur,
kita akan lelap bersama, menyaksikan mimpi-mimpi
yang menidurkan kita, sebagai diri yang sementara,
sebagai jiwa yang paling pura-pura,

TBRS, Maret 2015


Sabtu, 10 September 2016

Membangun Kota dengan Seni (Tribun Jateng, 10 September 2016)

Membangun Kota dengan Seni
Oleh Setia Naka Andrian

Nasib kota sebuah kota tentu menjadi tanggung jawab bersama. Tidak melulu urusan pemerintah saja, yang biasanya kerap kali lebih mementingkan bangunan infrastrukturnya ketimbang sumber daya manusianya.
Peran seniman lokal bisa jadi sebagai tumpuan utama. Kenapa begitu, karena bagaimanapun sejarah dan usia kota tidak bisa lepas dari nilai-nilai estetis di dalamnya. Baik terkait ketahanan filosofis dan kulturalnya. Itu tanggung jawab seniman, bukan?
Saya ingat, apa yang dikisahkan Tubagus P. Svarajati (2012) dalam sepenggal esainya, “Meski kita paham, hingga sekarang, langka seniman kita yang mendokumentasikan perkembangan atau riwayat kota secara serius dan metodis.”
Seniman kita, seakan begitu abai dengan kota yang melahirkan dirinya. Bahkan, jika di antara mereka masih selalu dihinggapi beragam apologia sebelum melakukan apa-apa. Maka cepat atau lambat, takdir sebuah kota akan berhenti begitu saja.
Dalam hal ini, jika kita simak di Kendal, selama lima tahun terakhir telah banyak bermunculan komunitas-komunitas seni kreatif. Baik yang fokus bersastra, seni rupa, teater, musik, film, dan lainnya. Seakan menyibak belantara kota melalui seabrek aktivitas saban harinya. Namun apa arti semua itu, jika program-program kreatif belum menyentuh bahkan sangat jauh dengan aktivitas pendokumentasian riwayat kota secara serius. Sebab, nasib sebuah kota akan tetap selalu bertarik magnet, antara sebuah kenyataan dan gagasan.
Komunitas seni kreatif layaknya hanya akan menjadi angin lalu, yang akan tumbuh berkembang beberapa saat. Lalu pada akhirnya pelan-pelan menunggu tumbang atau menemui ajal, kehancuran, mati suri, dan entah istilah mengerikan lainnya. Memang, sangat sulit kita temukan, misalnya, beberapa kelompok yang begitu berjaya pada masa lalu dan hingga saat ini masih bergerak atau menyisakan catatan kemuliaan di mata publik.
Sebut saja, jika di Kendal memiliki Teater Semut, dengan Aslam Kusatyo sebagai sutradara sekaligus aktor kawakan yang konon salah satu tokoh yang begitu mati-matian menghidupi khazanah teater dan sastra di tanah Bahurekso ini. Tentu, hingga saat ini masih terdengar, mengingat bagaimana ia diakui telah melahirkan jawara-jawara lomba teater, baca dan tulis puisi misalnya, bagi kalangan pelajar.
Begitu pula, ia dicatat melahirkan generasi penerus yang khusyuk menekuni sebagai pengajar ekstrakurikuler teater di beberapa sekolah. Bolehlah kita sebut beberapa tokoh muda. Di antaranya Akhmad Nasori, Hidayat Kliwon, dan Sobiron, misalnya. Ada pula yang mendirikan kelompok baru, sebut saja Akhmad Sofyan Hadi, aktor yang sempat menyabet juara II monolog dalam ajang Peksiminas (Pekan Seni Mahasiswa Nasional) 2008, sebagai salah seorang pendiri Jarak Dekat dengan beberapa aktivitas yang berniat menghidupi teater di Kendal. Walaupun tetap saja, jika di kota tetangga (Semarang) kesenian teaternya dihidupi oleh teater-teater kampus, maka di Kendal diramaikan dengan teater-teater sekolah (pelajar SMA sederajat). Hal tersebut dibuktikan selama bertahun-tahun dengan terselenggaranya beberapa parade teater yang dihuni oleh berjubel kelompok teater dari sekolah.

Generasi Patah-Patah
Sudah sepatutnya, masa lalu kesenian kota memiliki generasi kebanggaan, komunitas yang diagung-agungkan, atau tokoh-tokoh yang diidamkan menjadi tumpuan masa depan sebuah kelompok pada khususnya, atau nasib kota pada umumnya. Namun kenyataannya, kota seakan tak mampu memberikan apa-apa. Seorang seniman yang seharusnya menjadi ujung tombak, motor penggerak roda kesenian di sebuah kota, yang konon katanya karena persoalan klasik, maka di antara mereka pelan-pelan meninggalkan kota ini. Sebut saja misalnya, salah seorang sastrawan ternama di negeri ini, Ahmadun Yosi Herfanda. Penyair kelahiran Kaliwungu Kendal, mantan redaktur sastra koran Republika yang kini telah menetap di Jakarta sebagai penyair religius-sufistik. Ia banyak menulis cerpen, kolom dan esei sastra. Sehari-hari ia mengajar di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Serpong dan ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Tentunya, sederet persoalan tadi, atau kendala apapun tidak akan mampu menghalangi sebuah gerakan kesenian yang benar-benar khusyuk dan berasyik-masyuk dalam bidangnya masing-masing. Semua lini sudah seharusnya mampu berbaur untuk menentukan nasib sebuah kota. Barangtentu kita ingat, beberapa waktu lalu ketika Kendal Expo 2016, Bupati Kendal, Mirna Annisa, meluncurkan program “Kendal Permata Pantura”. Bupati yang masih terhitung belum lama ini menjabat, dengan seabrek program yang diidamkannya, tentu perlu dukungan dan kawalan yang ketat.
Mengingat pada bulan-bulan ini, sedang fokus pada peresmian Kawasan Industri Kendal dan mulai aktifnya Pelabuhan Tanjung Kendal. Lalu, apakah konsep besar yang disuarakan melalui Kendal Permata Pantura cukup masyhur dengan didirikannya kawasan industri dan pelabuhan baru saja? Lalu bagaimana nasib beberapa destinasi wisata semacam Pantai Sikucing, Goa Kiskendo, Curug Sewu? Jika mengidamkan kota ini menjadi permatanya pantura, apakah tempat-tempat itu hanya akan dibiarkan dengan pola pengembangan yang setengah-setengah dan sewajarnya saja?
Tentu jawabannya, sudah waktunya Kendal memiliki agenda festival kesenian yang diselenggarakan tahunan. Jika kita mau tengok kota-kota tetangga, taruhlah festival rutin FKY (Festival Kesenian Yogyakarta), lalu Dieng Culture Festival. Sudah sepatutnya, Kendal tidak hanya sekadar menciptakan kegiatan sebatas selebrasi semata, atau bahkan yang hanya terkesan sebagai pasar malam semata. Maka dalam hal ini, peran serta segenap seniman dalam berbagai bidang pun sangat dibutuhkan. Pemerintah kabupaten dengan dinas-dinas terkaitnya sangat mustahil mampu mensukseskan kerja besar tersebut.
Jika sudah ada keterlibatan kelompok-kelompok seniman, yang kebanyakan anak muda tersebut, tentu kota ini saya yakin tidak akan kesulitan menentukan arah gerak masa depan kotanya. Tentu, jika semua sudah benar-benar niat ingsun untuk meriwayatkan kota secara serius dan metodis. Baik melalui sastra, seni rupa, film, maupun teater. Festival yang menyuarakan seni kontemporer yang tidak mengesampingkan nilai tradisi dan filosofis kota. Tentu Kendal pelan-pelan akan menggema di penjuru kota, bahkan seantero negeri ini. Dengan seruan, “Kenali Kendal!” Tempat-tempat wisata dikelola dengan sajian tontonan sekaligus tuntunan seni dan budaya. Selanjutnya, pundi-pundi pendapatan daerah pun akan terdongkrak. Kota berangsur-angsur akan semakin merekonstruksi masa depannya yang kian gemilang. Semoga.***



─Setia Naka Andrian, Penyair kelahiran Kendal, Dosen Universitas PGRI Semarang. Buku puisinya “Perayaan Laut” (April 2016).

Senin, 01 Agustus 2016

Makam Leluhur dan Kemuliaannya (Jawa Pos, 31 Juli 2016)


Makam Leluhur dan Kemuliaannya
Oleh Setia Naka Andrian

Judul Buku                : Tarian Dua Wajah
Penulis                         : S. Prasetyo Utomo
Penerbit                       : Alvabet
Cetakan                       : I, Juni 2016
Jumlah Halaman          : 268 halaman
ISBN                           : 978-602-9193-86-2

Prasetyo memilih pengisahan novelnya ini dengan gaya realis-imajinatif. Membaca novel ini, sederhana memang, namun sadar atau tidak, pembaca akan disuguhi seabrek goncangan batin terkait bergelimang fenomena spiritual.
Novel diyakini menjadi cara ampuh bagi sebagian pengarang untuk lebih dalam menemui pembacanya, ketimbang melalui karya sastra lain termasuk puisi dan cerpen.
Itu disebabkan novel setidaknya lebih lantang menyuarakan pengisahannya, dengan tidak perlu banyak mengerutkan dahi pembaca. Seperti yang dapat pula kita rasakan ketika membaca novel S. Prasetyo Utomo, Tarian Dua Wajah (Alvabet, Juni 2016).
Prasetyo menggiring pembaca dengan suguhan persoalan makam leluhur di sebuah perkampungan dengan begitu bergejolak. Pertanyaan-pertanyaan di benak pembaca pelan-pelan menyambar tanpa henti, tatkala tokoh-tokoh mulai dihadirkan.
Termasuk tokoh Sukro yang begitu sentral sebagai salah satu keturunan Nyai Laras, leluhur kampung yang sudah meninggal. Nyai Laras adalah penari istana pada masa silam yang tenar seantero negeri. Yang kemudian diyakini terdapat titisannya, Dewi Laksmi, penari muda berbakat yang berkesempatan berkeliling dunia karena lenggok tubuhnya yang memukau.
Prasetyo memilih pengisahan novelnya ini dengan gaya realis-imajinatif. Sebuah ikhtiar tersendiri untuk lebih luas mencapai semua kalangan pembaca. Cerita awal dibuka dengan begitu getir, terkait kehidupan keluarga kecil Sukro yang tengah mempersiapkan proses melahirkan dari istrinya, Aya.
Masalah klise menghadang mereka, perihal kekurangan uang untuk biaya kelahiran. Akhirnya, Sukro, sang suami harus menagih kekurangan uang yang belum diberikan oleh pembeli. Seorang pengusaha yang membayar tanah Sukro, tanah bukit warisan leluhur yang terdapat makam leluhurnya, Nyai Laras.
Makam yang berangsur-angsur menjadi perdebatan bagi barga sekitar. Sebab, makam tersebut kerap digunakan sebagai tempat pemujaan bagi orang-orang di luar daerah yang setiap hari hilir-mudik berdatangan.
Membaca novel ini, sederhana memang, namun sadar atau tidak, pembaca akan disuguhi seabrek goncangan batin terkait gelimang fenomena spiritual. Prasetyo begitu pelan mengaduk-aduk batin pembaca, dengan nuansa realis-imajinatifnya, seakan menggiring keberhasilan dalam menguasai keyakinan pembaca.
Di situ, mulailah sejarah manusia baru diciptakan atas pergulatan persoalan yang sudah sangat sering kita jumpai dalam keseharian. Namun pengisahan-pengisahannya seakan diombang-ambing hingga menuju penyelesaikan yang tak terduga. Atau bahkan jawaban-jawaban atas segenap persoalan tersebut sangat sulit dipijaki dalam keseharian kita.
Misalnya saja, dalam pengisahan tokoh Aji, anak dari Sukro (dituduh merampok,  membunuh) dan seorang ibu bernama Aya (penyanyi kelab malam). Aji yang sejak lahir sudah ditinggal ayahnya mendekam di penjara, kemudian ketika usia satu tahun, ia dititipkan kepada pakde Rustam (kakak kandung Sukro).
Aji tumbuh dalam penuh tekanan. Hari-harinya yang sangat jauh dengan kasih sayang kedua orang tua. Ditambah kekerasan fisik dan mental yang terus dilakukan oleh bude dan anak-anak pakdenya.
Namun setelah beranjak dewasa, Aji memilih untuk meninggalkan rumah pakdenya. Dia meyakinkan diri untuk belajar di pesantren Kiai Sodik. Setelah berproses di pesantren, ternyata nampak kemuliaan-kemuliaan jiwa Aji. Hingga akhirnya, dia dinikahkan dengan Salma, anak Kiai Sodik yang jernih hatinya. Walaupun awalnya, hal tersebut kurang disetujui oleh istri Kiai Sodik, mengingat siapa Aji, siapa orangtuanya.
Prasetyo, dalam novel ini pun mengisahkan sosok Kiai Sodik dalam sisi kebimbangan-kebimbangannya. Menggambarkan betapa diri manusia, entah seberapa tinggi derajat dan kemuliaannya di mata masyarakat, tetap saja masih ada celah-celah kekurangannya.
Kerap dikisahkan Kiai Sodik mengadu kepada ibunya, ia meminta pendapat, atas kekhilafan yang dilakukan. Misalnya saja ketika dia sempat mampu menyembuhkan orang sakit keras, namun lain waktu dia gagal meski sempat begitu yakin mampu mengulangi keberhasilan sebelumnya.
Orang sakit kedua yang berusaha disembuhkannya meninggal. Proses persiapan pemakaman pun akhirnya dilakukan di lingkungan pesantren, masyarakat dan santri menyaksikan, menghadiri ritual pemakaman.
Hal itu seakan diciptakan Prasetyo untuk mengajak kita melihat bagaimana kondisi masyarakat saat ini. Biasanya segala sesuatu bermuara pada ruang-ruang santri, lingkaran-lingkaran kiai. Namun, tatkala waktu terus bergerak, masyarakat kita seakan bergerak pula kepandaian pemahamannya dalam menyikapi kehidupan.
Semua bisa goyah, semua memiliki celah kebimbangan jika dipertemukan dengan segenap peranti duniawi. Begitu kiranya sedikit kemuliaan yang dikisahkan dalam novel. Karya Prasetyo ini setidaknya memberi beberapa pandangan terhadap kita, mengajak kita menelusuri ruang-ruang kecil yang melimpah nilai.***

─Setia Naka Andrian, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Menulis buku puisi “Perayaan Laut” (April 2016).

Roh Spiritual di Jagat Fiksi (Suara Merdeka, 31 Juli 2016)

Roh Spiritual di Jagat Fiksi
Oleh Setia Naka Andrian

Novel terbaru S Prasetyo Utomo, Tarian Dua Wajah (2016) seakan menyeret saya memaknai gelimang kisah manusia dari tokoh-tokoh yang dihadirkannya. Benak saya diguyur aroma spiritual yang memadukan seni dan moralitas, seperti ditegaskan sampul apik bergambar penari cantik dengan dua topeng di kedua tangannya. Nyai Laras, seorang penari istana, yang diyakini sebagai leluhur sebuah daerah dalam latar novel.
Prasetyo, membuka dengan kisah getir lelaki muda kekar bernama Sukro, keturunan Nyai Laras yang dihadapkan persoalan ekonomi. Sukro berupaya keras memenuhi biaya kelahiran istrinya. Ia harus menjual tanah warisan yang terdapat pekuburan leluhurnya yakni, makam Nyai Laras. Persoalan muncul, ketika tak semua uang pembayaran tanah diberikan. Sukro membunuh pengusaha yang membeli tanahnya, karena tidak melunasi kekurangan penjualan tanah tersebut.
Sukro dipenjara 15 tahun atas tuduhan perampokan dan pembunuhan. Keluarga kecil Sukro menjadi berantakan. Aya, istri Sukro, selepas melahirkan anaknya, Aji, kembali menjadi penyanyi di sebuah kelab malam. Aji dititipkan kepada kakak iparnya di kota. Aji tumbuh meremaja dengan penuh tekanan dari istri kakak ipar beserta anak-anaknya.
***
Prasetyo pelan-pelan menyuguhkan roh spiritual selebar-lebarnya dalam segenap pengisahannya. Spiritual di sini memberi arah serta melakukan kritik atas realitas yang ada. Pun terkait pengisahan nilai-nilai kemuliaan begitu leluasa disuguhkan melalui tokoh-tokohnya dengan lantang, panjang dan saling berkaitan. Gelimang gerak manusia ditawarkan melalui tema, karakter dan ideologi tertentu. Prasetyo seakan menekuri catatan keyakinan yang bertebaran dalam keseharian hidupnya. Aktivitas kemanusiaan yang luhur pun sedemikian rupa ditawarkan tanpa mengerutkan dahi pembaca. Siapa pun seolah tergerak untuk tak habis-habis menemukan diri sendiri dalam pengisahannya.
Misalnya Aji, santri muda yang merupakan anak Sukro (pembunuh, perampok) dan Aya (penyanyi kelab malam), kemudian menjadi menantu kiainya, Kiai Sodik. Ia dinikahkan dengan seorang anaknya yang cantik dan jernih hatinya. Dalam hal ini, Prasetyo mencoba mendobrak kelaziman yang barangkali sangat jarang ditemukan dalam kehidupan kita. Prasetyo mengupayakan keyakinan Barker (2013) dalam melaksanakan kerja empiris yang ditekankan dalam tradisi kulturalis, mengeksplorasi cara manusia menciptakan makna kultural.
Dikisahkan pula, sosok Kiai Sodik, yang tetap teguh tidak mengusik sarang lebah madu di pesantrennya. Ada pembeli yang berkali-kali datang namun tetap saja tidak diberikan. Hingga suatu ketika, Kiai Sodik jatuh sakit, istrinya menyarankan agar salah seorang santri mengambil sarang lebah madu untuk Kiai Sodik. Namun ia menolak, katanya masih banyak obat dari dokter yang belum diminum. Suatu saat, lebah ratu dan gerombolannya berterbangan memasuki kamar Kiai Sodik dan bersarang di usuk kamar sang kiai. Madu memenuhi tiap-tiap liang sarang, hingga madu leleh, menetes tepat di bibir Kiai Sodik yang terbaring di bawahnya. Kiai Sodik berangsur membaik, hingga akhirnya sembuh.
Kiai Sodik pun mampu menerawang gerak manusia. Termasuk Aji dan ayahnya, Sukro. Bahkan ia mampu menyembuhkan orang sakit. Namun, tidak semua yang dijalani dan kemampuan yang dimilikinya berjalan mulus. Suatu saat ia bisa menyembuhkan orang sakit, lain waktu tidak, ketika ia lalai dan takabur, seakan mendahului kehendak tuhannya.
***
Prasetyo seakan membangun realitasnya sendiri melalui persoalan-persoalan pelik yang belum tentu dapat diselesaikan dalam dunia nyata. Konflik dimunculkan dengan mengejutkan dan diselesaikan sedemikian panjang dan tak terduga. Ini menjadi kekuatan tersendiri, sebagaimana Kuntowijoyo (2013) menyatakan sastra menjadi sistem simbol yang fungsional, bukan sekadar trivialitas rutin sehari-hari dan biasa-biasa saja. Prasetyo mencoba melarikan pengisahannya jauh dari kedangkalan persoalan keseharian yang membosankan dan tidak terselesaikan, yang sering kita temui dalam kehidupan nyata.
Prasetyo menciptakan penjara apik antara diri pembaca, moralitas, dan dunia teksnya sendiri. Ia mencoba mengurai persoalan sederhana di sekitar kita yang diselesaikan dengan takjub. Walaupun, lagi-lagi ia mengulang kegetiran yang hampir sama dalam novel pertamanya, Tangis Rembulan di Hutan Berkabut (2009).


─Setia Naka Andrian, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Menulis buku puisi “Perayaan Laut” (April 2016).

Senin, 18 Juli 2016

Kutukan untuk Pemalsu Vaksin (Wawasan, 14 Juli 2016)

Kutukan untuk Pemalsu Vaksin
Oleh Setia Naka Andrian

Banyak pihak sangat menyayangkan terhadap tindakan pemalsuan vaksin yang sementara ini peredarannya dikendalikan oleh tiga produsen, yakni Agus, Syariah, serta pasanga suami-istri Hidayat Taufiqurahman dan Rita Agustina. Hingga saat ini semua tersangka masih dikenai tindak pidana pencucian uang. Penyidik melacak semua aset tersangka. Selain itu, semua tersangka juga dikenai pasal berlapis karena melanggar Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Kejadian keji ini begitu menggetarkan seantero dada para orangtua di negeri ini, lebih-lebih bagi para ibu yang setiap waktu ingin selalu memberikan yang terbaik untuk kesehatan dan pertumbuhan buah hatinya. Segalanya pasti akan siap dikorbankan untuk kebutuhan kesehatan anak-anaknya. Beberapa waktu ini pun begitu ramai di berbagai media sosial, semua orang seakan mengecam tindakan yang dilakukan para pemalsu vaksin tersebut. Seperti halnya Change.org Indonesia pun dengan lantang melayangkan petisi dengan seruan, “@KemenkesRI @NilaMoeloek Selamatkan nyawa Balita Indonesia, Usut Tuntas #VaksinPalsu!
Petisi tersebut berisi,  1) Mendukung penyidikan kasus ini, meminta agar POLRI dapat membasmi secara tuntas tindakan pemalsuan vaksin dan mendukung penindakan yang tegas pada para pelaku. 2) Meminta Pemerintah, Bareskrim dan pihak berwenang lainnya untuk menarik semua vaksin yang saat ini beredar dan menggantinya dengan vaksin yang ASLI dan AMAN guna menjamin keamaan dan perlindungan kesehatan bayi-balita Indonesia. 3) Meminta Pemerintah, Bareskrim dan pihak berwenang lainnya untuk mengumumkan nama-nama distributor, Rumah Sakit, Klinik atau tempat kesehatan lainnya yang terindikasi dan/terbukti menggunakan vaksin palsu. 4) Mendorong Pemerintah untuk melakukan vaksin ulangan terhadap anak-anak yang lahir antara tahun 2003 – 2016 guna menjamin generasi indonesia yang sehat dan bebas penyakit berbahaya. 5) Mendorong BPOM untuk lebih agresif dalam mengawasi dan memfilter distribusi vaksin dan obat-obatan pada umumnya.
Minggu lalu di Nusa Dua, Bali (26/6), Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek mengatakan, anak balita yang telah mendapatkan vaksin palsu perlu diimunisasi ulang. Sebab di tubuh mereka tak terbentuk kekebalan. Imunisasi ulang pada anak usia 10 tahun dimungkinkan. Yang pasti, segala ini sangat tidak dibenarkan, karena menyangkut keberlangsungan kesehatan bagi anak-anak yan tentunya merupakan generasi penerus bangsa dan negara ini. Lebih-lebih hingga saat ini 194 negara menyatakan bahwa imunisasi terbukti aman dan bermanfaat untuk mencegah sakit berat, wabah, cacat dan kematian akibat penyakit berbahaya. Melalui imunisasi yang lengkap dan teratur dimasukkan ke dalam tubuh bayi-balita, maka akan timbul kekebalan spesifik yang mampu mencegah penularan, wabah, sakit berat, cacat atau kematian akibat penyakit-penyakit tersebut. Setelah diimunisasi lengkap, bayi-balita masih bisa tertular penyakit-penyakit tersebut, tetapi jauh lebih ringan dan tidak berbahaya, dan jarang menularkan pada bayi-balita lain sehingga tidak terjadi wabah.
Ini sebuah kasus yang tidak boleh disepelekan begitu saja. Pemerintah memberi perhatian khusus. Pihak-pihak yang berwenang harus mengusut hingga tuntas. Bahkan hingga saat ini, (Kompas, 28/6) polisi telah menetapkan 15 tersangka di sejumlah kota, seperti Jakarta, Tangerang Selatan (Banten), Subang dan Bekasi (Jabar), serta Semarang. Polisi juga memeriksa 18 saksi dari rumah sakit, apotek, toko obat, dan saksi yang terlibat dalam pembuatan vaksin palsu. Hasilnya, terungkap empat rumah sakit di Jakarta serta dua apotek dan satu toko obat di Jakarta terlibat peredaran vaksin palsu. Bayangkan saja, yang lebih mengerikan lagi ternyata tindakan pemalsuan vaksin ini telah dilakukan sejak tahun 2003, maka dapat kita ungkap bahwa sindikat pemalsu vaksin ini telah beroperasi selama 13 tahun dan telah tersebar ke beberapa daerah di Indonesia.
Sungguh sangat mengerikan, beberapa itu baru yang ditemukan, lalu bagaimana dengan yang masih aman, yang masih beroperasi mengedarkan dan mengonsumsi vaksin-vaksin palsu. Bagaimana nasib anak-anak di negeri ini, yang seharusnya sangat membutuhkan kekebalan untuk mencegah sakit berat, wabah, cacat dan kematian akibat penyakit-penyakit berbahaya. Umpatan, kutukan, tangis, bahkan doa-doa buruk bermunculan dari para ibu kepada mereka para pelaku. Sepertinya, jika melihat kasusnya yang tidak hanya penipuan semata, tidak hanya pemalsuan semata, namun sudah menyangkut keselamatan banyak nyawa. Kasus ini pun sudah sangat direncanakan, secara tidak langsung inilah perencanaan membunuh, tidak hanya nyawa seorang, namun nyawa dari jutaan orang, jutaan generasi penerus bangsa dan negara ini. Maka, belum adil jika para pelaku hanya mendapatkan hukuman mati saja. Apalagi hanya dipenjara puluhan tahun, atau hanya didenda saja. Semoga hukum ditegakkan setegak-tegaknya untuk kasus ini. Semoga dan semoga.***


Setia Naka Andrian, Penyair kelahiran Kendal, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS), Penulis Buku Puisi Perayaan Laut (April 2016).