Menimbang (Ketiadaan) Ujian Nasional
Oleh Setia Naka Andrian
Saya
masih ingat betul, betapa ketakutannya diri saya ini ketika kali pertama hendak
menghadapi Ujian Nasional (UN). Yakni pada jenjang pendidikan dasar (SD), saat
itu masih disebut Evaluasi Belajar Tahap Nasional (Ebtanas) tahun 2001. Barangtentu hal itu sangat dirasakan pula oleh
siswa saat ini. Jika kita runut beberapa istilah ujian tersebut, di antaranya Ujian
Negara (1965-1971), Ujian Sekolah (1972-1979), Evaluasi Belajar Tahap Nasional
(1980-2002), Ujian Akhir Nasional (2003-2004), dan Ujian Nasional (2005-sekarang).
Dalam
perjalanan panjangnya, deretan ujian tersebut menjadi riwayat momok yang tiada
terkira bagi siswa kita. Ujian menjadi sebuah titik akhir yang diyakini sebagai
jalan penting. Jalan sangat akhir dan satu-satunya. Seolah proses-proses
sebelumnya dan proses lainnya tidak begitu berarti jika sudah hendak berhadapan
dengan UN. Mata pelajaran (mapel) lain yang tidak diujikan nasional pun menjadi
terabaikan, tidak diajarkan dengan sebagai manamestinya seperti mapel nasional
tersebut. Jika saya kala itu hendak UN pada jenjang SD, ya hanya Matematika,
bahasa Indonesia, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) saja yang diguyur mati-matian
oleh guru kelas saya.
Bahkan,
saya ingat betul kala itu. Dari mulai SD hingga SMA, kerap kali pada semester
akhir menjelang ujian, segenap siswa diguyur mati-matian untuk menyuntuki mata
pelajaran (mapel) yang akan diujikan nasional. Maka tentu, mapel yang tidak
diujikan nasional kerap kali dirampas waktunya. Misalnya pada mapel yang
dinilai sangat sulit semacam matematika, pagi merampas jam mapel lain, dan
siangnya masih ada tambahan jam pelajaran lagi. Bahkan sempat pula, pagi hari
ada tambahan jam pelajaran pula sebelum waktu masuk kelas pada jam pelajaran
yang semestinya.
Bayangkan,
pengisahan tersebut sungguh sangat mengerikan. Tentu hal serupa masih terjadi
hingga saat ini. UN menjadi ujian akhir yang menyeramkan. Lebih-lebih, pada
masa saya kala itu, tidak ada ujian ulang. Jika tidak lulus ya sudah. Akan
mengulang sekolah pada jalur kejar paket, di antaranya Kejar Paket A (SD),
Kejar Paket B (SMP), dan Kejar Paket C (SMA). Itu bagi saya sangat mengerikan.
Semester akhir menjelang ujian, saya sangat kehilangan waktu bermain. Begitu
pula kehilangan waktu untuk sekolah diniah (madrasah) yang biasa dijalankan
pada siang hingga sore hari. Lalu malamnya pun, saya juga kehilangan waktu
untuk mengaji kepada kiai di kampung halaman. Semua tersita untuk mempersiapkan
ujian.
Orangtua
pun tentu tak berani mengganggu. Segala aktivitas yang seharusnya dilakukan
semacam mencuci baju, membersihkan kamar, semua tidak diperintahkan kepada
saya. Sungguh, segalanya begitu menyeramkan. Jika saya ingat kembali masa itu,
saya rasa begitu tragis. Seakan UN menjadi penentu utama dan sama sekali tidak
ada lainnya. Sebagai tolok ukur utama, dan sangat menutup penilaian lainnya.
Hingga
akhir-akhir ini begitu ramai diperbincangkan mengenai moratorium UN. Berhari-hari
bergulir menjadi diskusi publik yang bergelimang seakan tiada hentinya. Segenap
pemangu kepentingan pendidikan, praktisi, politikus, bahkan hingga Presiden
Jokowi turut andil dalam persoalan yang sebenarnya sudah menjadi penyakit
tahunan bagi dunia pendidikan kita.
Tidak
sedikit pihak pun, menginginkan agar dilaksanakan penghentian pelaksanaan UN. Wacana
yang digulirkan Mendikbud Muhadjir Effendy ini, sekan hanya menungu ketuk palu
peraturan presiden tentang penghentiannya. Namun, tentu segala ini harus
benar-benar ditimbang dengan baik. Jangan sampai segala ini hanya akan menjadi
tindakan-tindakan yang terkesan gegabah. Jangan sampai pula, segala ini akan
dinilaimasyarakat sebagai penyakit lama, yakni pemerintahan (menteri) baru maka
hadir pula kebijakan baru. Menteri baru, maka bergulirlah kurikulum baru.
Tentu
masyarakat kita sudah sangat pandai. Masyarakat sudah mampu menilai. Tentu kita
semua juga sangat paham, setiap orang (pemimpin) memiliki caranya masing-masing
untuk memajukan bangsa dan negara ini. Barangtentu, segala itu ada baik dan
buruknya. Ada pula kekurangan dan kelebihannya. Maka, barangtentu yang
terpenting adalah segala yang diputusan itu sudah menjadi keharusan yang memang
sudah melalui pertimbangan dan riset yang matang. UN hilang bagus, diganti
dengan evaluasi lain, tentu bagus. Asal tepat dan sesuai dengan kebutuhan serta
tetappada jalur tujuan pendidikan kita.
Seperti
halnya misalnya jika benar jadi, UN tingkat dasar dan menengah dikelola
pemerintah daerah, lalu UN tingkat atas dikelola pemerintah provinsi, misalnya.
Segala itu butuh persiapan yang matang. Pmerintah harus mempersiapkan siapa
saja yang akan membuat soal di tingkat daerah dan provinsi terebut. Sudah layak
atau belum para pembuat soal tersebut. Jika belum, bagaimana solusinya.
Lalu
tetap harus pula mengantisipasi kecurangan-kecurangannya. Tingkat nasional saja
banyak ditemui kasus, bagaimana lagi jika tingkat dan provinsi yang ruang
lingkupnya lebih kecil. Seperti itu kiranya. Yang pasti, ujian harus tetap ada.
Entah bentuknya seperti apa. Karena jika sampai tidak ada ujian, bisa jadi
siswa kita tidak akan pernah akan belajar sama sekali. Tentu ujian juga perlu
sebagai ajang kompetisi positif, sebagai pembentuk mental petarung sejati
tentunya. Semoga.
─Setia
Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di
Universitas PGRI Semarang. Buku puisinya “Perayaan Laut” (April 2016). Saat ini
sedang menyiapkan penerbitan buku puisi keduanya “Manusia Alarm”.