Oleh Setia Naka Andrian
Mbah Thomas Alpha Edison mengalami banyak kegagalan sebelum hingga akhirnya
mampu menyumbangkan bola lampu untuk ‘dunia’. Bagi Mbah Thomas, dalam setiap
kegagalan-kegagalan itu beliau dapat mengetahui bagaimana penyebabnya. Melebarkan
pikiran dan membuka diri terhadap masukan atau segala hal yang hadir di
dalamnya. Karena tidak mungkin penemuan agung Mbah Thomas itu diperoleh secara
santai dan atau hanya dengan udud-udud
serta ngopi tanpa melalui pemahaman serta
penyelidikan yang surga. Intinya setiap kali Mbah Thomas mengalami kegagalan, maka
otomatis beliau tidak akan pernah mengulangi kegagalan tersebut, bukan?
Begitulah proses. Ciptaan apa pun akan terdengar benar-benar agung ketika
melewati proses yang mendalam. Bukan semata hasil akhir. Karena setidaknya banyak
orang menilai pada satu persen keberhasilan/ kesuksesan, tanpa melirik pada
sembilan puluh sembilan persen kegagalan/ kesengsaraan sebelumnya.
Memang dewasa ini kemajuan teknologi telah meremas-remas
pemikiran. Segala hal telah disuguhkan secara instan. Sajian telah tercipta
manis dalam kemasan yang beraneka warna dan berjuta
rupa. Bermacam wujud dan bentuknya. Ada kemasan berbentuk kaleng sekali pakai
langsung lempar, ada kemasan plastik sekali pakai langsung bakar, dan ada juga
kemasan elastis sekali pasang satu klimaks langsung buang─kita
telah dihadapkan pada jaman kemasan. Dari segala yang berwujud dan akan
bergegas hilang hanya lewat satu kepulan (baca: asap). Misalnya budaya pesan skripsi yang telah mengakar pada kalangan mahasiswa. Banyak
terpampang pada pohon-pohon di jalanan, “Skipsi, hubungi nomor xxx xxxxxx.” Apakah kehidupan semudah itu? Kalau seperti ini,
apa arti proses penemuan semacam kepunyaan Mbah Thomas?
Semua
telah tergantung dan beralih fungsi. Dari generasi kutu buku menjadi generasi nggoogle
yang sekali klik langsung beribu informasi. Dari generasi surat pos disulap
menjadi generasi update status facebook. Pendek kata, kali
ini jarang ditemukan perenungan
mendalam untuk segala bentuk penemuan. Semua ingin lansung, singkat dan cepat
(baca: instan).
Rasanya
kita menjadi malas untuk berprosa. Tak lagi ada narasi yang tepat untuk
mengungkap perihal dalam sebuah penemuan. Jarang kita temukan salam pembuka,
isi dan penutup. Tinggal ketik sms, ketemuan, langsung deh masuk kamar. Instan
bukan?
Jadi
tak perlu repot-repot untuk memulai dengan berpuisi. Apa lagi berprosa/
mencipta cerpen untuk melumpuhkan pacar. Tak lagi ada perjalanan yang ranum. Jarang kita jumpai pertemuan kedua belah
keluarga, apalagi ritual ‘melamar’. Yang ada: ketemuan, lansung kunci pintu, matikan lampu, dan tiga bulan kemudian telat deh.
Maka
jangan heran bila tak lagi ada perjalanan diksi dalam proses penemuan keutuhan
ungkap. Bahkan tak ada, kali ini tradisi berprosa hampir terpasung mati dan ‘mendinosaurus’. Semua ingin segala sesuatu menjadi cepat-cepat dan singkat.
Tak perlu heran juga bila akan banyak kita jumpai orang
tergeletak mati mendadak karena stroke. Mau bagaimana lagi? Penemuan ‘sukses’ saja
diperoleh dengan cara instan, jadi jangan kaget dong bila jatuh dengan jalan
instan pula. Haha.
Katakan ‘Tidak’ untuk:
[Cara Mudah Menembak Pacar;
Cara Gampang Menjadi Ganteng; Cara Goblok Menggondol Duit, dll.]
Kali ini saya memberanikan
diri untuk berkata ‘tidak’ pada hal-hal yang tersebut di atas. Karena tidak
sedikit yang menanggapi secara mentah perihal itu. Saya berprasangka buruk
segala itu akan mempengaruhi mindset seseorang
dalam menanggapi sesuatu. Bahwa segala sesuatu akan diperoleh dengan mudah,
gampang, entheng, dsb.
Hemat saya, seperti
halnya penanaman yang salah ketika seorang ibu berkata kepada anaknya yang
jatuh karena tersangkut sesuatu, benda/ barang. Ibu tersebut berkata dengan
lantang, “Sayang, kenapa jatuh? Aduh, lantainya nakal ya? Injak dan pukul saja,
Sayang!” Bahkan ada yang lebih parah, “Kodoknya nakal ya, Sayang? Ayo injak
saja kodoknya, Sayang!”
Ibunya berkata seperti
itu dan mencontohkan menginjak serta memukul lantai. Hingga lantai/ tanah
disebut kodok atau hewan lainnya. Lalu anaknya pun mengikuti, menginjak dan
memukul seperti yang dicontohkan serta diperintahkan oleh ibunya.
Hal tersebut secara
tidak langsung menjadi sebuah kesalahan yang sangat fatal dalam penanaman pola
pikir. Seorang ibu tersebut menyuguhkan cara berpikir yang salah ketika
menanggapi sesuatu/ masalah. (baca: kekerasan). Setiap kali ada sesuatu/
masalah, yang dilakukan kali pertama adalah membalasnya. Kenapa tidak dengan
cara baik-baik? Misalnya dengan memberi pengertian kepada anaknya, bahwa anaknya
terjatuh karena lantai yang licin akibat susu dalam botol yang tertumpah, dsb.
Lalu ibu menasehati kepada anak agar berhati-hati bila hendak meminum susu atau
meletakkan botol susu, dsb.
Kembali pada masalah
awal─setidaknya ada banyak pengaruh negatif terhadap seseorang yang menelan
mentah judul buku dan atau kiat-kiat khusus untuk mendapatkan/ mempelajari
suatu ilmu tertentu. Pikirnya segala sesuatu akan mudah digapai. Segala ilmu
akan mudah dipelajari, segala karya dapat dengan mudah diciptakan, dsb. Karena
semua butuh proses, pengendapan, perenungan/ kontemplasi. Memerlukan koreksi
diri, penyuntingan/ editing. Semua ada tahapan-tahapannya. Tidak hanya langsung
teriak saja dengan lantang dan pede: “Jendela
untuk mengintip!”
Contoh lainnya─banyak
penulis-penulis besar yang mengatakan bahwa butuh sekejap untuk menulis, namun
memakan berminggu-minggu, berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun untuk
mengeditnya. Hal ini menjadi contoh yang sangat sederhana, bahwa segala sesuatu
sangat dibutuhkan proses. “Tak ada yang yang jatuh dari langit dengan cuma-cuma.”
(pinjam: Syair Dhani Ahmad). Setiap kita melangkah harus melewati tangga/
tahapan-tahapan tertentu. Bukan semudah kentut yang dapat kita letupkan dengan
leluasa tanpa beban dosa.
Kemudian menilik
Afrizal Malna─yang baru-baru ini tengah meluncurkan sebuah buku Perjalanan Teater Kedua: Antologi Tubuh dan
Kata. Dalam buku tersebut penyair yang banyak memberi perhatian pada
fenomena tubuh dan bahasa dalam kesenian─terutama teater, tari, sastra, dan kemudian
juga seni rupa. Seseorang yang telah melecit dengan karya-karya handalnya yang
sudah terbit meliputi puisi, prosa, teater, sastra dan seni rupa─pembaca akan
digiring dalam pengungkapan buku tersebut dengan cara yang sangat sederhana.
Lihat saja judul buku tersebut. Ia tidak menggunakan kata ‘membedah’ atau ‘mengupas’
dalam pemilihan judul buku, melainkan ‘perjalanan’. Begitu pula isi buku
tersebut yang disajikan dengan bahasa yang sederhana. Lepas dari kesederhanaan
tersebut, Michael H. Bodden (University of Victoria, British Columbia, Canada),
mengatakan─buku ini penting. Saya menarik kesimpulan bahwa Afrizal termasuk
pengamat kegiatan teater dan sastra kontemporer di Indonesia yang paling lihai.
Dengan matanya yang tajam─separuh mata seniman, separuh mata sosiolog─dia bisa
melihat banyak hal yang gampang luput dari dari pemandangan orang lain. Bagi
Afrizal, teater tidak bisa berdiri sendiri: para pemain sudah memiliki
pengalaman pribadi di luar maupun di dalam ruang pentas. Tubuhnya pun sudah
dibentuk lewat pengalaman sosial dan sulit sekali menyembunyikan pola-pola
gerak badan yang sudah lama terdidik.
Kemudian, Marianne
Koeing (University of Bern, Switzerland), menambahkan─membaca buku Afrizal ini
saya bahkan merasa tidak hanya menghadapi suatu antologi saja, melainkan sebuah
kamus ensiklopedi di mana kita bisa mencari dan mendapatkan sekian banyak
informasi yang berguna. Namun, informasi di sini bukan informasi biasa saja
yang bersifat menjelaskan mengenai kenyataan teater kontemporer Indonesia,
melainkan informasi mengenai bagaimana─di bawah tema apa─kita bisa memandang
dan memahami teater. Di sini “teater kedua” dari Afrizal masuk, yaitu teater nyata, yang disaksikannya, seperti
yang terjadi dalam renungannya.
Begitulah, sesuatu/
karya yang dilahirkan pun barang tentu harus diawali dengan kesederhanaan.
Bukan dengan letupan yang menggelegar namun terkesan kering substansi. Tanpa
didasari research dan atau membaca serta
mencatat keadaan sekitar. Karena apakah kita akan tahu bagaimana sesuatu itu
bagus ketika kita tidak melihat sesuatu yang bagus dan nyata telah dibuktikan
dan diamini kebaikan serta substansinya oleh orang lain karena kita hanya
melihat sesuatu yang bagus dari anggapan diri sendiri untuk karya kita sendiri
dan atau suatu karya yang bagus hanya dilihat dengan kaca mata kita sendiri? Hemat
saya, berhenti pada satu titik tanpa
melihat dan atau memahami titik-titik yang lain adalah onani.
Onani─dalam
ranah kreatif
Karya merupakan
suatu ciptaan/ kreasi yang terlahirkan untuk orang lain dan atau tidak. Namun
pada dasarnya karya pasti akan dinikmati oleh ‘pihak kedua’. Misalnya pada
‘teater kedua’ Afrizal Malna menyebutkan, bahwa ranah tersebut adalah
pertunjukan yang mutlak milik penonton yang tak lepas dengan kaca mata serta
perenungannya masing-masing─setelah ‘teater pertama’ dibocorkan oleh kreator
dalam pertunjukannya. Sama halnya ketika seseorang menulis/ menciptakan
karyanya─benar, ia disebut kreator, saat itu. Lalu setelah itu kreator memiliki
tanggung jawab besar terhadap ciptaannya. Maka tiba pada fase ‘kedua’ yang
wajib dikitabkan bahwa penulis/ pencipta karya akan otomatis menjadi pembaca
yang harus melepaskan sifat dan sikap ‘penulis’-nya menjadi penyunting/ editor,
dan atau setidaknya sebagai pembaca─berkewajiban untuk menentukan bagus/
tidaknya, layak/ tidaknya, bersubstansi/ tidaknya, dsb.
Sehingga memang
sangat benar dengan yang saya sebutkan di atas─banyak penulis-penulis besar
yang mengatakan bahwa butuh sekejap untuk menulis, namun memakan
berminggu-minggu, berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun untuk mengeditnya. Seperti
halnya para musisi ketika mengemas lagu ciptaannya─butuh waktu sedikit untuk
membungkus/ merekam/ nge-track lagu.
Namun setelah itu memakan waktu lama untuk editing,
mixing, dan mastering.
Onani─sebuah
kenikmatan, kepuasan dan kecemasan yang hanya dirasakan oleh diri sendiri.
Tanpa melibatkan pihak lain. Mau jika disebut ‘penulis’ yang onani, ‘seniman’
yang onani, atau bahkan ‘kreativitas’ yang onani?
Jika tidak mau, mari
kita membuka diri. Bahwa kita tidak ‘berdikari’ (baca: berdiri di atas kaki
sendiri). Kita masih butuh orang lain. Kita masih butuh referensi lain,
buku-buku lain, komunitas-komunitas lain, namun jangan untuk ‘pacar-pacar/
wanita-wanita lain’. Haha.
Namun jika bangga
menyandang ‘onani’─sobek-sobek tulisan ini, bakar dan lupakan. Karena ini semua
bukan apa-apa. Perubahan terjadi atas bagaimana niatan kita dalam mengambil
keputusan. Mari tradisikan proses! Semoga.
Palebooné, 100711, 06.31
pm.