Rendra, Ziarah Kata dan Doa
Oleh Setia
Naka Andrian
Agustus
lalu, tepat tujuh tahun meninggalnya W.S. Rendra, penyair Si Burung Merak yang
begitu dikenal seantero negeri ini. Beberapa kota di negeri ini, daerah dan
lingkup kecil semacam komunitas sastra, khususnya puisi, seakan khidmad mendengar
gelimang kata-kata yang terus mengalir dari sajak-sajak Rendra.
Begitupun
yang penulis lakukan bersama Forum Ngaji Ngopi Ngudud dan Kelab Buku Semarang,
menyelenggarakan Ziarah Puisi Rendra di Mukti Cafe. Buku puisi Doa untuk
Anak Cucu (Bentang, 2013) dan Puisi-Puisi Cinta (Bentang, 2015) menjadi
riwayat tersendiri bagi khazanah perpuisian Rendra, dan bagi sastra Indonesia
tentunya.
Melaui
Doa untuk Anak Cucu (DUAC), Rendra seakan begitu yakin dalam menerawang
masa depan keyakinannya. Ia seakan nampak berpegang pada Tuhan yang Esa, Allah
SWT, semenjak ia menentukan bahwa Islam sebagai muara imannya. Nampak jelas
dalam puisi Gumamku, ya Allah, berikut penggalannya:
Angin dan langit dalam diriku,/ gelap dan
terang di alam raya,/ arah dan kiblat di ruang dan waktu,/ memesona rasa duga
dan kira,/ adalah bayangan rahasia kehadiran-Mu, ya Allah!
Rendra,
dalam puisi tersebut begitu berserah, segalanya tertuju kepada tuhannya, Allah.
Melalui hal tersebut menjadi catatan lain tentang riwayat keislaman Rendra,
lebih-lebih roh pementasan Kasidah Barzanji menjadi titik temu
perjumpaannya di jalan muslim. Rendra seolah berambisi menyuarakan
kemerdekaannya dalam bertuhan. Rendra sempat mengatakan, “bahwa dalam
sajak-sajakku merupakan yoga bahasa, semacam ruang ibadah, puisiku adalah
sujudku.”
Kuntowijoyo
dalam bukunya Maklumat Sastra Profetik (2006) menyatakan bahwa pengarang
yang shalat dengan rajin, zakatnya lancar, haji dengan uang halal, Islamnya
tidak kaffah kalau pekerjaan sastranya tidak diniatkan sebagai ibadah.
Barangtentu,
itu dilakukan Rendra dalam bukunya DUAC, tanpa beribadah melalui karya, segala
yang dilakukan di dunia seakan belum menyeluruh keislamannya. Bisa juga disimak
melalui bagian akhir puisi Gumamku, ya Allah berikut:
Semua manusia sama tidak tahu dan sama
rindu/ Agama adalah kemah para pengembara/ Menggema beragam doa dan puja/ Arti
yang sama dalam bahasa-bahasa berbeda.
Rendra
bersuara begitu lantang dalam menyuarakan agama. Bahkan dalam penggalan tersebut
menunjukkan betapa agama menjadi pengembaraan umat manusia di dunia. Rendra
mengajak kita, bahwa ragam doa dan puja dalam tubuh-tubuh agama.
Bahkan
agama yang sama pun akan didapati beraneka cara menyuarakan keagungan tuhannya.
Namun tetap dalam muara yang sama, atas kebaikan yang sama dan untuk
kemaslahatan bersama.
Dalam
DUAC menjadi penanda tersendiri bagi perjalanan sajak-sajak Rendra. Buku ini
seakan menjadi karya yang entah dikehendaki atau bahkan sangat tidak
dikehendakinya. Mengingat jika buku ini lahir setelah beberapa tahun ia
meninggal.
Namun,
setidaknya sang penyunting (Edi Haryono) sempat memperbincangkan bersama Rendra
tentang penerbitan buku ini. Edi yang mendapat titipan beberapa sajak yang
terangkum dalam buku ini, dan sebagian lagi yang disimpan Ken Zuraida (ida,
istri Rendra).
Melalui
buku DUAC ini pun, Rendra begitu gelisah, bagaimana nasib anak cucunya kelak. Nampak
dalam penggalan puisinya Kesaksian Akhir Abad berikut:
O, anak cucuku di zaman Cybernetic!/
Bagaimana akan kalian baca prasasti dari zaman kami?/ Apakah kami akan mampu/
menjadi ilham kesimpulan/ ataukah kami justru menjadi masalah di dalam
kehidupan?
Rendra
berpanjang-lebar dalam 6 halaman dalam mencatat doa-doa kegelisahannya dalam
puisi ini. Ia seakan mengajak generasi mendatang lebih tertantang dengan yang
dilontarkannya.
Rendra
ketakukan dengan anak cucunya yang hidup di zaman serba mudah. Segala informasi
dan apa pun bisa dengan leluasa dilahap dengan sangat cepat. Kebaikan dan
keburukan akan berdampingan bahkan saling berlomba untuk mendarat di mata siapa
saja.
Rendra
dalam puisi tersebut pun menanamkan kegetiran atas Indonesia, nampak jelas
dalam penggalan berikut:
O, Indonesia! Ah, Indonesia!/ Negara yang
kehilangan makna!/ Rakyat sudah dirusak atas tatanan hidupnya./ Berarti sudah
dirusak dasar peradabannya./ Dan akibatnya dirusak pula kemanusiaannya./ Maka
sekarang negara tinggal menjadi peta/ itu pun sudah lusuh/ dan hampir sobek
pula.
Ratap
tangis mendera Rendra, atas segala kedaulatan tanah dan air Indonesia yang
belum sepenuhnya digenggam bangsa ini. Melalui buku puisinya DUAC, seakan
Rendra ingin melihat masa depan anak cucunya lebih baik daripada kehidupannya
saat itu, saat ia masih hidup, saat masih gagah menyuarakan segala ratap dan
kegelisahannya melalui sajak-sajaknya.
Selain
buku DUAC, dalam obrolan malam itu pun hadir dengan begitu hangat buku Rendra
yang bertajuk puisi-puisi cintanya. Begitu membius khalayak yang malam itu
melepas perjumpaan dengan doa-doa yang bertebaran untuk almarhum.
Dalam
puisi-puisi cintanya tersebut, terbagi atas tiga bagian, Puber Pertama, Puber
Kedua, dan Puber Ketiga. Dalam kumpulan ini, menjadi bukti masa-masa pencarian
cinta Rendra. Alam semesta menjadi pijakan bagaimana ia menemukan
cinta-cintanya.
Misalnya
saja dalam penggalan puisi Hai, Ma! Berikut:
Kadang-kadang aku merasa terbuang ke
belantara/ dijauhi ayah-bunda/ dan ditolak para tetangga./ Atau aku telantar di
pasar./ Aku berbicara tetapi orang-orang tidak mendengar,/ mereka merobek-robek
buku/ dan menertawakan cita-cita./ Aku marah. Aku takut./ Aku gemetar/ namun
gagal menyusun bahasa.
Seorang
Rendra, dalam puisi tersebut merasa dirinya terbuang. Ia begitu tak berarti
apa-apa. Pada posisi semacam itu, ia seakan semakin berupaya menemukan
cinta-cintanya. Dalam keadaan yang tersudut dan merasa bahwa kehidupan
menggiringnya untuk menjadi semakin dewasa, semakin mendekati sempurna.
Itu
pada bagian puber ketiga, dan tentu akan beda nuansa cintanya pada bagian puber
pertama dan puber kedua. Bagian-bagian tersebut menjadi jarak yang tak pernah
saling meninggalkan, namun sangat erat meriwayatkan bagaimana perjalanan Rendra
dalam menggapai cinta-cintanya di semesta ini. Dan kita saat ini, menyimak
beragam kemuliaan melalui sajak-sajak Rendra, Ziarah kata, doa-doa serta
sejarah manusia, pergulatan penyair menjadi jawaban yang masih terus bergulir
selamanya.***
─Setia Naka Andrian,
Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS).
Penulis buku puisi, “Perayaan Laut” (April 2016). Pegiat Forum Ngaji Ngopi
Ngudud.