Terlambat
Sungkem
Cerpen Setia Naka Andrian
Setelah seharian berlayar, kapal merabun
menatap kejauhan. Dia tiba-tiba menepi karena mendengar dan terbisik. Dan
sejumlah perahu nampak berdesakan berbaris berjajar di pantai. Menyebut dan
mengalihkan ketika semua tertuju untuk pedagang ikan.
Masih saja terselimut bayang-bayang
tentang masa silam. Hari ini tak pernah memberi arti. Masih selalu itu-itu
saja. Apalagi untuk hari esok, aku sama sekali tidak tahu. Lukisan-lukisan masa
silam kupajang di pinggiran jalan, itu tak pernah kusadari. Tentang hidup mati,
bahkan tentang kiamat yang tak pernah kunanti.
Setiap malam ada saja yang menggangguku.
Mengajak berjalan-jalan menelusuri rindu yang terpaksa berhimpitan dengan
bayang-bayang selain di sekitar anganku. Menghafal ayat-ayat hidup hingga mengulang
peristiwa-peristiwa semacam contoh laku. Mulut-mulut semua mengucap sama.
Bagiku sepertinya hanya itu-itu saja. Masih sama dan tak ada sedikit pun yang
mengajak untuk beralih cerita. Aku bosan.
“Anas, kelakuanmu sepertinya kok semakin
aneh saja. Memangnya kamu kenapa, Nas?”
“Aneh-aneh gimana. Bapak jangan
nafsir-nafsir sembarangan. Mentang-mentang bapak pandai ilmu tafsir, lalu
seenak-enaknya nafsir anaknya sembarangan?”
“Heh! Belajar ilmu nentang di mana
kamu? Kamu semakin lama kok semakin susah diatur? Mau jadi apa kamu, Nas?”
“Mau jadi orang, Pak.”
“Orang yang seperti apa?”
“Yang pasti bukan seperti Anda, Pak.”
“Nas, ini balasanmu? Ini balasan buat
bapakmu? Setelah kamu besar seperti ini terus kamu mau melawan?”
“Ah, aku bosan seperti ini terus, Pak!”
“Heh! Mau ke mana kamu, Nas?”
“Berlayar. Aku bosan terus-terusan
seperti ini.”
“Tunggu! Kamu jangan gila, Nas! Kamu mau
berlayar ke mana?”
“Menikmati malam.”
“Nas, hari ini kamu harus di rumah.
Bantu bapak menyiapkan perlengkapan untuk malam takbiran nanti malam di
masjid!”
“Tidak. Aku tidak mau. Aku bosan
terus-terusan seperti ini, Pak. Bapak tidak tahu. Tak pernah mau mengertiku.
Tak pernah mengerti dan memang tak kan pernah mengerti.”
“Terimakasih, Nas. Jika memang itu
balasanmu. Hati-hati di jalan.”
Tanpa banyak pikir, aku langsug pergi.
Kulangkahkan kaki keluar dari rumah. Tempat yang telah melahirkanku dan yang
telah membesarkanku. Di rumah itu aku dihadapkan pada perumpamaan-perumpamaan
yang sulit kukenali. Semenjak lima tahun yang lalu ketika aku masih dalam
pangkuan ibu. Sekarang semua telah pergi. Orang yang mampu mengertiku pergi
begitu saja. Sepertinya tanpa pamit.
Tak tahu langkah ini akan menuju arah
mana. Tak tahu semakin baik ataupun semakin memperburuk. Yang pasti aku ingin
lari dari kebiasaan-kebiasaanku yang seragam dan selalu dituntut untuk seragam
itu. Aku benci penyeragaman. Aku benci penekanan. Aku juga benci keterpaksaan.
Aku ingin bebas, Tuhan.
Sepertinya jalan hidup yang kulewati
semakin melelahkan. Kakiku seakan melangkah tanpa kesadaran. Jiwa yang tadinya
agak tenang, tiba-tiba tak beraturan seperti ada sebuah perhelatan yang tak
kuketahui maksud dan tujuannya. Aku semakin jauh meninggalkan rumah. Semakin
jauh kutinggalkan keseragaman dari bapakku. Aku juga belum begitu yakin tentang
alasan kepergian ibuku. Gantung diri di pintu kamarnya ketika bapakku sedang
menjadi imam shalat subuh di masjid. Aku tak tahu dan tak pernah bapakku mau
memberi tahu. Karena waktu itu aku masih kelas lima sekolah dasar. Mungkin
belum begitu paham. Tapi sangat jelas kulihat ibuku mati gantung diri. Aku pun
juga yakin, kalau semua itu karena bapakku.
Waktu itu ibuku sering menangis ketika
memasak. Ketika mencuci piring dan ketika duduk sendirian menonton televisi.
Saat-saat itu pun sama sekali tak kulihat bapakku. Sepertinya bapakku tidak
pernah mendekati ibuku saat dirasakan ibuku sangat membutuhkan. Tak dapat
kulukiskan betapa sakitnya perasaan ibuku saat itu. Aku percaya kalau ibuku
sangat menghormati bapakku. Tapi aku tak kan percaya kalau bapakku menghargai
ibuku. Sedikitpun tidak. Karena sepertinya bapakku lebih mementingkan
membariskan makmumnya di masjid, dari pada membariskan makmum keluarganya, juga
tentang hal membahagiakan ibuku.
Kenapa aku dulu tak mampu berbuat
apa-apa? Maafkan aku, ibu. Aku terlambat, ketika mungkin saat itu ibu
membutuhkanku. Sungguh berat nasibmu, ibu. Punya anak sebatang kara tapi tak
mampu berbuat apa-apa untukmu. Aku rasakan kesakitanmu saat itu, ibu. Bukan
hanya karena bapakku. Aku yakin itu. Masih kuingat saat itu, ketika ibu sering
sakit-sakitan. Sering batuk-batuk bahkan muntah darah. Masih jelas di benakku,
ketika muntahahan darah itu tanpa disengaja mengotori meja makan. Saat itu ibu
sedang menyiapkan sarapan pagi. Bapakku melihatnya, dia marah besar.
Sampai-sampai meja makan dibalik hingga semua yang ada di atas meja berjatuhan
dan pecah bertebaran di lantai. Aku hanya bisa memandang, walaupun sebenarnya
aku menangis dalam hati.
Suatu saat pernah juga aku melihat ibu
menangis ketika duduk di kursi depan rumah. Aku memandangnya dari jauh, dari
balik jendela kamarku. Karena aku takut dan aku tak tahu apa yang harus
kuperbuat. Tiba-tiba bapakku datang mendekati ibu. Bapakku marah-marah lagi
kepada ibu. Yang kudengar bapakku marah-marah karena ibuku ingin kerja ke
luar negeri sebagai TKI tapi tidak diperbolehkan. Aku ingat betul waktu itu,
ketika bapakku sama sekali tidak bekerja. Hanya mengandalkan satu rumah yang
dijadikan tempat kos bagi para nelayan. Yang kutahu hanya tiga ratus ribu tiap
bulan, karena rumah kos hanya dua kamar. Mungkin karena bapakku terlalu iba
kepada para nelayan yang menyewa rumah kos itu. Karena aku pun tahu para
nelayan itu sangat kesulitan mencari ikan. Yang hanya dengan peralatan yang
sederhana saja saat berlayar mencari ikan.
Bapakku terlalu menghakimi. Selalu ingin
benar dan selalu ingin menang. Padahal bagiku niat ibuku sudah sangat terlalu
melebihi dalam statusnya sebagai seorang istri. Walaupun bapakku juga benar,
bila ingin menjadikan istrinya hanya sebagai ibu rumah tangga yang selalu siap
mengurus keluarga dan mengurus anaknya. Tapi bapakku seharusnya juga harus
sadar. Ketika memang benar bahwa dirinya juga merasa kekurangan dalam menafkahi
keluarga. Aku juga sempat dengar perkataan ibuku di depan bapakku. Ketika ibu
bilang kalau tindakan bapakku tidak salah. Ibuku juga tak pernah sekalipun
mengganggu kegiatan-kegiatan bapakku, malah ibuku sangat mendukung. Karena
ibuku tahu kalau hanya bapakku lah yang merupakan seseorang yang paling
mengerti agama di kampung yang kami huni. Perkampungan di daerah pantai yang
penuh dengan kekeliruan hidup. Sehingga bapakku selalu mengadakan
pengajian-pengajian di masjid bagi warga setiap sehabis shalat Isya’ dan shalat
Shubuh. Itu rutin dilakukan.
Memang semua itu membuat derajat
keluarga kami sedikit terangkat di mata warga. Setiap hari raya idul fitri
rumah kami selalu ramai. Banyak warga yang memberikan makanan, roti, kerupuk
dan makanan-makanan kecil lainnya. Tapi semenjak ibuku tiada, serasa semua tak
berarti apa-apa. Kebahagiaan kami terasa kurang. Aku yang hanya tinggal bersama
bapakku terasa sepi. Aku sangat merasakan perbedaannya. Tapi semua itu tak
membuat bapakku sadar akan tindakan-tindakannya. Bapakku tetap keras pada
kemauan dan keinginannya. Semua dianggap salah. Ibuku saja tak dianggap, terus
apa lagi aku yang hanya seorang bocah ingusan. Apa yang harus kulakukan, Tuhan?
Mungkinkah jalan yang kupilih ini benar,
Tuhan? Semoga ini akan membawa kebaikan bagiku, juga bagi bapakku yang ingin
selalu menang itu. Aku memang sejak dulu kurang sepakat dengan perilaku bapakku
terhadap kami. Terlebih terhadap ibuku, yang aku rasa bapakku tak pernah
membuat ibuku tersenyum. Malahan selalu saja perlakuan bapakku membuat ibuku
selalu menangis. Itu setiap hari. Setiap pagi, siang, sore, malam hingga pagi
lagi perlakuan bapakku selalu saja membuat ibuku menangis.
Ibuku adalah mahluk yang sakit, tidak
hanya jiwanya saja yang sakit. Tapi raga pun juga sakit. Penyakit ibuku tak
keurus. Bapakku lebih mementingkan jemaahnya. Apa itu benar? Ketika harus
melupakan keluarga sedangkan di masjid bapakku menyuarakan menyayangi keluarga?
Mengajak warga untuk memberikan kasih sayang sepenuhnya untuk keluarga? Aku
semakin tak memahami kesedihan ibuku waktu itu.
“Anak muda, mau kemana malam-malam
begini berjalan sendirian?”
“Lha Kakek sendiri kenapa kok di sini
sendirian, Kek?”
“Aku bertanya padamu anak muda. Kenapa
kamu malah balik tanya?”
“Aku mencari kebebasan, Kek.”
“He..he...he...he...he...he....
kebebasan seperti apa yang kamu cari, anak muda? Kamu aneh-aneh saja. Di dunia
ini nggak ada kebebasan. Walaupun kita sudah diberi kebebasan, nantinya juga
toh kita masih menginginkan kebebasan yang lain. Namanya juga manusia, tak
pernah akan puas dengan apa yang kita dapatkan, anak muda.”
“Aku benci dengan keseragaman, Kek.
Rumahku penuh dengan penyeragaman. Aku sendiri pun tak tahu maksud sebenarnya
dari penyeragaman tersebut.”
“Memangnya kenapa? Penyeragaman
terkadang memang menyakitkan, anak muda. Tapi terkadang penyeragaman itu baik.
Tidak semua aturan itu buruk, walaupun ada kalanya kita menganggap semua itu
buruk dan menyakitkan.”
“Kakek tidak tahu apa yang sebenarnya
terjadi padaku dan keluargaku. Jadi Kakek ya bilangnya seperti itu. Tentang
penyeragaman itu, Kek. Aku terlalu tak dianggap, Kek. Aku ingin hidup bebas.”
“Anak muda, kakek mau tanya. Kamu hidup
sudah berapa tahun?”
“Umurku lima belas tahun, Kek.”
“Ha...ha...ha....ha...ha...ha.....”
“Kenapa kakek malah tertawa?”
“Anak muda, kamu baru lima belas tahun
saja sudah berani memvonis seperti itu. Kakek ini sudah hampir satu abad hidup
di dunia ini. Dan semuanya adalah kebebasan-kebebasan yang kamu lagukan itu.”
“Memang Kakek sebenarnya siapa? Dan
kenapa kakek di sini? Lalu apa hubungan Kakek dengan kebebasan itu? Juga dengan
kebebasanku kali ini, Kek?”
“Aku bukan siapa-siapa, anak muda. Tapi
aku juga mengalami apa yang telah kamu alami.”
“Maksud Kakek?”
“Kakek dulu juga pernah kabur dari rumah
seperti kamu, anak muda. Malahan kakek lebih brutal dari kamu. Kakek dulu hidup
pada keluarga yang sangat bahagia. Bapannya kakek seorang kyai ternama di kota
ini. Kedua orang tua kakek berasal keluarga baik-baik. Di situ kakek merasa
kurang nyaman. Kakek terlalu dikekang. Disuruh ini itu, dipaksa melakukan ini
itu, dan kakek lakukan. Kakek menuruti perintah kedua orang tua kakek. Sekolah
di pagi hari, setelah pulang sekolah kakek berangkat ke madrasah dari siang sampai
sore, dan malamnya mengaji bersama bapak kakek yang kebetulan guru ngaji. Lalu
pada suatu saat kakek merasa kalau semua yang kakek lakukan itu hanyalah
sia-sia. Kakek merasa kalau kakek telah membohongi orang tua kakek. Kalau
sebenarnya kakek tidak ikhlas, bahkan tidak pernah ikhlas dan tak kan pernah
ikhlas melakukan semua yang telah diinginkan oleh orang tua kakek. Maka dari
itu kakek melakukan hal ini. Hingga sampai sekarang kakek menjadi seperti ini.
Berjalan menelusuri waktu dan berdiam diri tinggal di tempat sepi ini seorang
diri. Kamu suka kehidupan seperti ini? Perlu kamu ketahui anak muda, semua ini
lebih menyakitkan dari pada yang telah kamu dapatkan di rumah.”
“Lalu apa yang membedakan kalau Kakek
lebih brutal dari aku, Kek?”
“Kakek membunuh bapak kakek.”
“Ya Tuhan, kenapa Kakek sampai melakukan
itu?”
“Waktu itu kakek masih seusiamu. Kakek
waktu itu mual dengan ajaran-ajaran yang telah dijejalkan oleh kedua orang tua
kakek. Waktu itu kakek sempat kenal dengan seorang gadis. Kebetulan gadis itu
tinggal di rumah kos orang tua kakek. Gadis itu yang membuat kakek merasa
seperti memperoleh kebahagiaan dan ketenteraman tersendiri. Juga gadis itu yang
mengajarkanku tentang kebebasan. Tentang kemandirian dan perjuangan dalam hal
keinginan menggapai sesuatu. Gadis itu pengamen yang sering berkeliaran di
alun-alun kota ini. Kakek kagum pada gadis itu. Dan suatu saat oang tua kakek
mengetahui tentang kedekatan kakek pada gadis itu. Kedua orang tua kakek sangat
marah. Karena melihat kakek bersamanya mengamen di jalan. Setelah sesampai di
rumah, kedua orang tua kakek marah besar. Saat itu juga kakek dan gadis yang
kakek kagumi itu dipertemukan. Kita berdua kena marah, malah lebih dari sekedar
marah. Setelah kakek dipaksa untuk mengaku tentang hubungan kakek dengan gadis
itu. Tapi kakek mengaku, kakek jujur kalau kakek menyukai gadis itu. Dan saat
itu pula kedua orang tua kakek sangat terpukul mendengarnya. Juga saat itu pula
kakek memberanikan diri bilang kepada kedua orang tua kakek untuk menikahinya.
Karena kakek pikir itu yang terbaik, dari pada nanti akan timbul fitnah-fitnah
ketika kita berpacaran. Kakek meminta restu kepada kedua orang tua kakek. Tapi
ternyata mereka sangat tidak setuju. Malahan bapak kakek menampar mulut kakek.
Gadis itu pun melakukan pembelaan. Gadis itu memberanikan diri untuk membela
kakek. Lalu semua itu malah memperkeruh suasana. Bapak kakek semakin marah.
Akhirnya memukuli gadis itu. Gadis itu menerima pukulan bertubi-tubi itu. Lalu
akhirnya kakek memberanikan untuk melawan. Tanpa banyak pikir, kakek langsung
menusuk bapak dengan sebuah pisau buah yang ada di ruang tamu. Lalu bapak kakek
kehilangan nyawa. Ibu kakek sangat terpukul. Lalu setelah itu kakek dan gadis
itu memutuskan untuk menjalani hidup bersama. Kakek hidup di jalanan bersama
gadis yang kakek kagumi itu. Kakek pergi meninggalkan kehidupan keluarga. Ibu
kakek tinggal di rumah sendirian. Karena kakek adalah anak satu-satunya.
Seperti halnya kamu, anak muda.”
“Lalu wanita yang Kakek kagumi itu
sekarang dimana? Juga nasib ibu kakek gimana?”
“Sampai saat ini, kakek tidak tahu
bagaimana nasib ibu kakek. Kakek sudah jauh meninggalkannya. Sudah terlalu
lama. Kakek pun lupa dengan keberadaan rumah kakek.”
“Lalu bagaimana wanita yang kakek kagumi
itu?”
“Tak tahu entah kemana juga. Semenjak
itu, ketika kita hidup di jalanan. Karena mungkin terlalu susahnya mencari
uang, dan aku tidak mampu menafkahinya. Gadis itu lama kelamaan merasa bosan
dengan kakek. Suatu saat kakek melihat gadis itu berjalan bareng dengan
laki-laki lain, ketika kakek sedang mengumpulkan barang-barang yang mungkin
masih bisa terpakai di tempat-tempat sampah di pinggiran jalan. Kakek melihat
gadis itu berjalan dengan laki-laki yang terlihat kaya. Kakek melihat sendiri
laki-laki itu membawa masuk gadis kakek ke dalam mobil mewah. Kakek tak mampu
berbuat apa-apa. Kakek merasa terlalu lemah. Juga merasa terlalu tak kuat
melangkahkan kaki menjalani hidup bersama gadis yang ternyata telah
mengkhianati kakek. Lalu saat itu pula, kakek tahu dan menyadari kalau memang
kakek tak layak untuk gadis itu. Dan sampai sekarang ini kakek hidup seorang
diri. Menjelajahi dunia hanya bersandar dengan kaki rapuh dan tongkat ini.”
“Kek, terus dengan yang kulakukan saat
ini apakah aku salah, Kek?”
“Sangat salah, anak muda. Mending kamu
urungkan niatmu. Sebelum terlambat seperti kakek ini. Pulanglah. Bapakmu pasti
menunggumu. Orang tua pasti punya alasan tersendiri ketika melakukan sesuatu.
Kakek yakin kalau yang dilakukan bapakmu itu semata-mata hanya ingin memberikan
yang terbaik buatmu, anak muda. Percaya sama kakek.”
“Tapi, Kek? Kakek belum tahu yang
sebenarnya terjadi padaku.”
“Tapi apa kamu belum juga tahu dan belum
juga memahami cerita-cerita kakek tadi? Kakek nggak mau bila semua ini juga
terjadi padamu, Nak. Malam ini malam idul fitri. Bapakmu pasti sangat menunggu
kedatanganmu. Bapakmu pasti merasa sangat kurang bila pada malam takbiran ini
tanpa ada seorang anak yang menemani. Apa kamu tega?”
“Ah, tidak Kek. Aku tak kan pernah lagi
pulang. Aku terlalu benci dengan rumah. Rumah itu telah merebut segala
kebahagiaan hidupku, termasuk juga kebahagiaan ibuku, Kek.”
“Ya sudah, kalau memang itu yang menjadi
kehendakmu, anak muda. Tapi jangan pernah sesekali kamu menyalahkan kakek bila
suatu saat terjadi apa-apa. Maaf, kakek harus pergi. Kakek mau melanjutkan
perjalanan hidup kakek. Sampai jumpa.”
Perkataan dan cerita kakek itu
sepertinya sedikit meruntuhkan menaraku. Menara yang sempat kubangun beberapa
waktu lalu, yang kusiapkan semenjak dulu ketika ibuku masih bersamaku. Aku
semakin tak yakin untuk meninggalkan bapakku seorang diri. Ya Tuhan? Apa yang
harus kulakukan? Berikan jalan terbaik untuk hambamu ini, Tuhan?
Tidak, betul kata kakek tua tadi. Aku
memang harus pulang. Aku harus kembali ke rumah. Benar kata kakek tua tadi.
Bapakku pasti menunggu kehadiranku di saat malam takbiran seperti ini. Iya, aku
harus pulang.
“Allahu akbar... Allahu akbar... Allahu
akbar... Laa ilaaha illallahu Allahu akbar... Allahu akbar walillaahilhamd...
Allahu akbar... Allahu akbar... Allahu akbar... Laa ilaaha illallahu Allahu
akbar... Allahu akbar walillaahilhamd...”
“Allahu akbar kabiran walhamdulillahi
katsiran wasubhanallahi bukrotan wa’asilaa... Laa ilaha illahu wahdah
sodaq wa’dah wanasoro ‘abdah... Wa’a’azzajundahu wahazamal... Ahzaba wahdah...
Laa ilaha illallahu akbar... Allahu akbar walillahilhamd...”
Ternyata takbir telah berkumandang. Hari
kemenangan yang ditunggu-tunggu oleh sejuta umat Islam di dunia ini telah tiba.
Ramai juga ternyata kampung halamanku ini. Pasti bapakku nanti akan sangat
senang atas kedatanganku ini. Tapi akankah bapak akan memaafkanku?
Ya Tuhan, rumahku ramai sekali. Semua
laki-laki rapi berpeci, dan yang perempuan rapi berjilbab. Tapi kok nggak
terlihat anak-anak kecil ya? Padahal biasanya di depan rumahku selalu ramai
dengan anak-anak yang menyalakan kembang api di malam takbiran seperti ini.
Ya Tuhan, kenapa ada bendera kuning?
Sarangkegelisahan, 170909, o2.45 pm
Sumber: http://www.annida-online.com/terlambat-sungkem.html