Kematian Tokoh Perempuan dalam Cerita
Setia Naka Andrian
Jika
kamu seorang tokoh perempuan dalam pertunjukan teater, maka kamu adalah orang
pertama yang patut berbangga. Kamu tiba-tiba akan melompat seribu kali lipat
dibandingkan kehidupanmu yang sebenarnya. Kamu tidak sekadar menjadi tokoh
perempuan dalam panggung, namun kamu telah sampai menjadi cerita sekaligus
panggung pertunjukan itu sendiri. Jika kamu telah melampaui dirimu sendiri
sebagai perempuan, dirimu sebagai cerita serta dirimu sebagai panggung.
Maka
untuk saat ini hingga beberapa saat yang belum dapat saya tentukan, saya yakin,
jika kamu masih merasa sebagai perempuan, maka saya tidak pernah percaya jika
kamu memilih mati begitu saja dalam ceritamu. Kamu berpotensi untuk berkembang
menjadi apa saja. Kamu pasti akan menjadi barang bukti yang paling berlanjut
untuk dibicarakan orang-orang. Semua itu akan mudah, selama kamu masih menjadi
perempuan yang berjalan dan mengepakkan sayap, bukan yang memilih mati dalam
ceritamu sendiri.
Tokoh
perempuan dalam cerpen Kunang-kunang yang
Beterbangan karya Adefira Lestari adalah persoalan pertama yang saya
khawatirkan sejak memulai membaca
cerita. Walaupun sebelum tokoh perempuan tersebut, judul cerita juga membuat
saya cukup kecewa. Bayangan saya sudah lari ke mana-mana. Saya memikirkan hal
yang aneh-aneh mengenai kunang-kunang. Barangkali siapa pun akan merasakan
seperti itu. Kunang-kunang benar-benar saya harapkan akan membangun cerita yang
menghadirkan karakter-karakter yang hidup di dunia realitas keseharian dan
memperlihatkan hal-hal yang tidak sekedar biasa atau bahkan aneh dalam cerita
ini.
Namun
ternyata begitu cerita ini dibuka, saya sepertinya langsung bisa menebak. Waduh
sepertinya kunang-kunang tidak begitu terlibat banyak dalam cerita ini. Saya berpikir,
ini pasti Adefira akan menyuarakan pertarungan emosi dan kehampaan perempuan. Jangan-jangan
cerita ini akan terkesan cerewet dan tergesa-gesa menyuarakan emosinya. Ternyata
benar, barangkali siapa saja yang membaca akan mengalami hal sama seperti yang
saya rasakan. Sebenarnya bisa jadi bukan persoalan serius kalau tokoh perempuan
digarap dengan serius dan tidak tergesa-gesa. Namun cerita sudah dibuka dengan takdir,
dan di situ terdapat perempuan. Siapa saja pasti akan menebak, bahwa cerita ini
adalah kematian tokoh perempuan─ketidakberdayaan perempuan.
“Takdir Tuhan tak pernah salah,
Nora. Termasuk pertemuan kita sekarang. Percayalah. Tuhan lebih tahu sesuatu
yang tidak kita ketahui,” itulah perkataan terakhir Hamid yang kudengar sebelum
ia pergi meninggalkanku di sebuah halte.
Barangkali
takdir dan perempuan dalam cerita Adefira ini sudah terlalu banyak mengotori
pikiran kita. Dari mulai gosip-gosip tetangga hingga yang kerap hadir dari
sinetron. Intinya sama, pemakluman. Perempuan pasti yang memaklumi. Namun saya untuk
sementara ini juga ikut-ikutan memaklumi, dan berusaha untuk melanjutkan
membaca cerita. Saya mencoba sejenak melupakan tokoh perempuan, Nora─yang
terkesan lahir sebagai diri yang tergesa-gesa.
Setelah
saya melanjutkan cerita, ternyata yang saya khawatirkan terjadi lagi. Setelah
dihadapkan dengan tokoh perempuan, kini tiba-tiba muncul lagi tokoh anak
perempuan. Menurut saya ini persoalan baru lagi, kehadiran Abidah juga
tiba-tiba dengan penuh ketidakjelasan. Misalnya mengenai anak yang kemungkinan
hasil hubungan di luar nikah, kenapa juga Abidah bisa sekolah? Padahal tidak
memiliki kejelasan status ayahnya atau status lainnya.
***
Sebenarnya
saya sangat berharap banyak dari cerita Adefira ini, banyak hal yang menurut
saya perlu digarap lagi. Bagi saya, perempuan dalam cerita adalah ladang
garapan utama yang dapat dikembangkan ke mana saja. Saya tidak akan
mempersoalkan bagaimana latar belakang penulis, jika sudah berani menulis,
misalnya mengenai kebinalan perempuan, maka ya seharusnya harus berani
mengembangkan sebinal-binalnya perempuan. Jika sudah berani menenggelamkan kaki
hingga paha, maka harus siap pula jika suatu saat ada tokoh yang harus menenggelamkan
seluruh tubuhnya. Misalnya dalam ending cerita, Nora begitu saja menyerah. Dia
tidak berbuat apa-apa.
....
pernyataan itu kembali kudengar
dari bibir Hamid. Dia menggenggam tanganku. Erat. Sangat erat. Hingga aku pun
sulit melepaskannya.
Saya
rasa, sebejat-bejatnya perempuan, pasti dia juga punya perasaan. Dalam hal ini,
Nora pasti punya cinta yang tulus. Tidak semudah itu dia melupakan penderitaan
selama ditinggal Hamid. Lalu apakah semudah itu Nora? Saya yakin, banyak
pekerja seks komersial yang memiliki pacar sebenarnya, walaupun dia banyak
memiliki pacar hitungan semalam atau hitungan jam. Itu bukti bahwa Nora juga
seharusnya bisa semacam itu, bisa sakit hati, bisa terluka yang sulit sembuh,
dan lainnya.
Selain
tokoh perempuan, dari cerita ini juga saya temukan ada hal kecil yang menurut
saya perlu digarap. Mengenai kehadiran tokoh-tokoh yang sekiranya berpengaruh
atau tidak. Misalnya kehadiran tokoh Wulan dan Tito dengan pernikahannya. Lalu
ada pula Tanu yang menurut saya juga belum digarap secara serius keberadaannya.
Barangkali kehadiran tokoh yang kuat akan membentuk cerita yang kuat pula. Atau
dari cerita yang ampuh akan melahirkan tokoh yang kuat? Namun terserah, itu
pilihan. Percaya atau tidak, itu juga pilihan. Kita juga diperkenankan untuk
memilih memulai dari mana saja. Namun saya yakin, barangkali Adefira akan berhasil
menulis Kunang-kunang yang Beterbangan
ini jika berkenan mempertimbangkan tokoh-tokohnya. Misalnya dengan menghadirkan
Nora yang tidak hanya menjadi perempuan yang menyerah begitu saja. Tidak hanya
melacur yang begitu saja, tidak hanya melahirkan Abidah dari Hamid yang begitu
saja. Atau mungkin berani membunuh tokoh yang sekiranya diperlukan hanya sementara
saja. Barangkali.***
Setia Naka Andrian, berkicau di @setianaka