Puisi, Wisata, dan Kota Literasi
Oleh Setia
Naka Andrian
Di
Padang Panjang Sumatera Barat baru saja terselenggara perhelatan Temu Penyair
Asia Tenggara 2018, pada 3 hingga 6 Mei 2018. Para penyair serumpun bahasa
menulis puisi tentang kota. Puisi-puisi diberi tugas berat, mencatat kota! Puisi-puisi
dipekerjakan oleh para penyair untuk menggiring publik melalui narasi sebuah
Kota Hujan, Kota Serambi Makkah: Padang Panjang. Keelokan, kesejukan, hingga
sejarah, budaya serta seabrek tetek-bengeknya menggoda penyair untuk
menuliskannya dengan sepenuh energi dan estetika.
Ratusan
penyair dari Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, dan Timor Leste hadir
ke Padang Panjang bersama puisi-puisinya, anak nurani mereka. Ratusan penggubah
puisi juga berkhidmat untuk memasang telingan atas paparan materi dari berbagai
negara. Di antaranya, Abdul Hadi WM (Indonesia), Rusli Marzuki Saria
(Indonesia), Phaosan Jehwae (Thailand), Rahimah Binti A. Hamid (Malaysia), dan Hjh
Dyg Fatimah Hj Awang Chuchu Ismayah (Brunei Darussalam).
Penyair
dan para puisi mengunjungi kota yang mempertemukan mereka dalam jagat kata-kata.
Penyair dan para puisi menyapa kota “sesungguhnya”, mereka menginap dalam
kampung-kampung wisata yang disuguhkan panitia, yakni Kubu Gadang dan Sigando. Dikarenakan
sebelumnya, melalui puisi para penyair lebih dulu menerka keelokan, kesejukan,
sejarah, budaya serta apa saja tentang sebuah kota. Jika barangkali, di antara
para penyair ada yang belum sempat singgah di Padang Panjang.
Setidaknya
kita mafhum, layak menuduh jika sebelumnya di antara para penyair ada yang
hanya menjelajahi mesin pencarian serba tahu (baca: google) untuk melancarkan
proses penciptaan puisinya. Bagi mereka yang belum sempat mengunjungi atau sama
sekali belum pernah memiliki kontak sejarah maupun batin dengan Kota Hujan
tersebut. Meskipun, tetap sah-sah saja.
Puisi
masih tetap dituliskan. Puisi diberi tempat untuk menunaikan tugasnya. Puisi-puisi
yang lahir dengan mengusung tema yang diminta panitia, segala tentang Padang
Panjang. Dengan mengelaborasikan diksi: sejuk, hutan, hujan, kabut, dan gunung.
Alhasil, dalam perhelatan tersebut diluncurkanlah buku kumpulan puisi Epitaf Kota Hujan (Padang Panjang dan
Puisi-Puisi Penyair Asia Tenggara), yang merupakan puisi-puisi yang lolos
seleksi sebagai tiket untuk mengikuti Temu Penyair Asia Tenggara. Puisi-puisi
hasil kurasi dari Ahmadun Yosi Herfanda, Iyut Fitra, dan Sulaiman Juned.
Puisi-puisi
tidak selesai hanya dibukukan. Puisi-puisi tidak hanya berhenti pada peluncuran
dan diskusi. Dalam perhelatan Asia Tenggara itu, puisi-puisi bermisi menggaet pelancong
dan pencanangan Padang Panjang sebagai Kota Literasi. Penyair dan para puisi
diajak untuk bertandang di sebuah desa wisata, Kubu Gadang. Mereka disuguhi
beraneka suasana, jajanan, makanan, rumah-rumah gadang, seni tradisi beladiri
Silek Lanyak, serta sejumlah kesenian tradisi lainnya.
Dengan
harapan, segala itu mampu menjadi kenangan tersendiri bagi penyair dan para
puisi. Agar suatu saat nanti, jika barangkali para penyair Asia Tenggara bepergian
di Sumatera Barat, maka Padang Panjang lah satu-satunya tempat untuk dikunjungi,
satu-satunya kampung halaman yang patut untuk disinggahi kembali.
Seperti
dalam penggalan puisi Badrul Munir Chair dalam buku Epitaf Kota Hujan. Berikut, Sehampar
halaman, sesamar lekuk kain buaian/ kukenang hari lalu sebagaimana seorang juru
kunci/ menghitung sisa-sisa hari sebelum gunung/ memeluk dan memanggilnya
kembali.//
Berkat
puisi, atas berbaik-hatinya kata-kata yang segalanya menarasikan Padang Panjang,
akhirnya membuat kota itu dinobatkan sebagai Kota Literasi oleh Perpusnas RI. Tak
lain, niatan tersebut sebagai wujud keseriusan Kota Padang Panjang mendukung
Gerakan Literasi Nasional, yang akhir-akhir ini begitu lantang digemborkan
seantero Indonesia ini.
Meskipun,
kita boleh juga bertanya-tanya. Bukankah jika yang diundang untuk perhelatan
Temu Penyair Asia Tenggara sudah tidak hanya penyair dari dalam negeri saja,
sudah tentu pemerintah pusat harus turut serta. Dikarenakan, kali itu panitia yang
menghelat acara se-Asia Tenggara tersebut hanya dari Pemerintah Kota Padang
Panjang, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Padang Panjang, serta Forum Pegiat
Literasi Padang Panjang semata. Sederhananya, bolehlah kita angkat topi kepada
Padang Panjang, kepada para junjungan penyair dan segenap pegiat literasi di
sana.
Dan
di luar segala itu, boleh pula kita turut melempar sinis. Apa pula pengaruh
perhelatan se-Asia Tenggara yang telah rampung itu, jika selepas acara tiada
kita temukan perubahan apa-apa. Baik pada diri penyair, masa depan puisi, nasib
gerakan literasi, hingga segala sesuatu yang berkait-paut pada sastra,
kesenian, dan kebudayaan di Indonesia ini.***
─Setia Naka
Andrian, Peserta Temu Penyair Asia Tenggara 2018. Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan
Seni Universitas PGRI Semarang.