Tampilkan postingan dengan label Esai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Esai. Tampilkan semua postingan

Minggu, 02 Juni 2019

Lapak Baca Bergerak di Mandar (Suara Merdeka, 2 Juni 2019)


Lapak Baca Bergerak di Mandar
Oleh Setia Naka Andrian


Belakangan ini begitu menjamur laku literasi di berbagai daerah. Entah apa sebab, namun pasti segala itu bukan karena Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang digemborkan pemerintah. Para pegiat literasi seakan berasyik masyuk dalam geraknya, meski dalam lingkup lebih kecil, yakni di kampung halamannya masing-masing. Jika di dekat kampung halaman saya, di Kendal Jawa Tengah, ada geliat beberapa ruang (komunitas) yang kerap menjaga napas literasi yang tidak sekadar bergegiatan apa-adanya lalu seusai acara langsung berfoto dengan mengacungkan jari tangan berbentuk “L”.
Misalnya, Komunitas Lerengmedini Boja Kendal dengan salah satu programnya Wakul Pustaka, Pelataran Sastra Kaliwungu Kendal dengan diskusi dan penebitannya, Lapak Baca Ora Niat dengan program lapak jalanannya, Jarak Dekat Kendal dengan program forum Jurasik (Jumat Sore Asik), diskusi-diskusi, serta penerbitan buku-buku indie-nya, Lesbumi Kendal, Sanggar Kejeling dengan perpustaan di kampung Sidomulyo, Lestra Kendal dengan program Hajatan Kebun Sastra.
Mei ini, terhitung sejak 1 Mei 2019 hingga nanti bulan ini usai, saya berkesempatan mengikuti Residensi Sastrawan Berkarta ke Wilayah 3T. Saya ditempatkan di Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Barat. Tentu, bayangan saya sebelum berangkat residensi sudah menerawang jauh bagaimana geliat “Pusataka Bergerak” yang begitu kentara di Sulawesi Barat, khusunya di Polewali Mandar (Polman). Maka tak ambil waktu lama, beberapa hari selepas di Polman, saya langsung memburu beberapa pegiat literasi ‘bergerak’ di sini. Alhasil, berkat koneksi beberapa teman lama serta berkat jaringan internet yang aman, saya lekas dapat menghubungi beberapa pegiat literasi tersebut untuk lekas berjumpa. Sebutlah, di antaranya ada Muhammad Ridwan Alimuddin (Nusa Pustaka), Ramli Rusli (Rumah Pustaka), dan M. Rahmat Muchtar (Uwake’ Culture Foundation).
Suatu hari, saya pagi-pagi mengunjungi Nusa Pustaka. Disambut dengan hangat oleh Ridwan, yang tak lain, ia adalah penulis buku-buku kebaharian. Di antaranya berjudul Mengapa Kita (Belum) Cinta Laut? (2004), Sandeq: Perahu Tercepat Nusantara (2009), Kabar Dari Laut (2013), Ekspedisi Bumi Mandar (2013), Orang Mandar Orang Laut (2013), dan beberapa judul lain. Bahkan saat ini, ia juga tengah proses penulisan buku tentang perhajian di tanah Mandar.
Pagi hari hingga siang, kami berbincang banyak hal perihal Mandar. Saya begitu terbantu, banyak informasi yang saya dapatkan tentang Mandar. Bagaimana alamnya, budaya, dan manusianya. Dan sore hari, saya berkesempatan untuk diajak melapak bersamanya. Ridwan pada sore itu hendak menuju ke sebuah perkampungan di tepi pantai Desa Pambusuang, Kec. Balanipa, Kab. Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Ia membawa sepeda yang membawa buku-buku bacaan. Buku-buku bacaan anak-anak diangkut dalam tas yang digantungkan di kanan dan kiri boncengan sepedanya. Armada itu ia beri nama “Sepeda Pustaka”. Meski, Ridwan juga kerap melapak dengan menggunakan ATV Pustaka, serta “Perahu Pustaka” yang begitu moncer itu.
Bagi Ridwan, sesungguhnya bukan persoalan minat baca yang kurang bagi anak-anak, khususnya di sebuah perkampungan nelayan yang disinggahinya. Tidak sedikit didapati anak-anak yang berkerumun dan begitu antusias untuk memilih serta meminjam buku yang dibawanya. Begitu sampai tepi pantai (yang tak lain juga didapati para pembuat perahu Sandeq, perahu tercepat Nusantara itu), Ridwan menggelar lapaknya. Buku-buku ditata. Tanpa jeda lama, anak-anak di kampung pantai itu langsung bergegas memilih buku-buku yang dilapaknya. Ya, mereka anak-anak dari para nelayan dan pembuat perahu di tepi pantai itu.

Penuh Ketelatenan
Mereka berdesakan, mengantri, untuk meminjam buku. Mereka pinjam buku itu selama beberapa hari. Ridwan mencatat buku-buku yang mereka pinjam. Jika di antara mereka ada yang tak bisa hadir untuk meminjam, maka orangtua merekalah yang turut serta mengantrikan untuk meminjam buku. Hari lainnya pun, Ridwan akan dikerumuni anak-anak pantai itu. Terus begitu, berkelanjutan. Tiada pernah berkesudahan.
Pegiat lain yang saya jumpai, ialah M. Rahmat Muchtar dan Ramli Rusli. Kedua pegiat ini tak beda dengan apa yang dikerjakan Ridwan. Rahmat menggunakan “Bendi Pustaka” dan Ramli pun menggunakan “Sepeda Pustaka” seperti yang digunakan oleh Ridwan. Mereka sama-sama, menelusuri kampung-kampung di sekitar tempat tinggal mereka. Segala itu mereka kerjakan dengan penuh ketelatenan, kesabaran, dan ketabahan.
Ridwan, Rahmat, dan Ramli, tak jarang harus menyisihkan bahkan mengalahkan segala kebutuhan pribadi demi memanjangkan napas “Pustaka Bergerak” yang mereka kerjakan. Sudah tentu segala itu sangat menyita materi, tenaga, waktu, dan pikiran. Mereka harus berkeliling, menjemput para pembaca di kampung-kampung. Sebab bagi mereka, begitu yang lebih efektif. Anak-anak di jemput, lapak-lapak digelar di jalan-jalan kampung.
Sesungguhnya, mereka pun memiliki perpustakaan yang dikelola secara mandiri. Baik dibangun di dekat rumah atau di dalam rumah para pegiat literasi itu. Bahkan, ada di antara mereka yang rela menggunakan sepetak tanahnya untuk didirikan perpustakaan dan tak membangun rumah di area itu. ***

—Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal, sejak 4 Februari 1989. Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) ini menulis puisi, cerita pendek, esai, dan resensi buku. Kini ia sedang menjalani Residensi Sastrawan Berkarya dari Badan Bahasa di Polewali Mandar Sulawesi Barat.

Minggu, 24 Maret 2019

Jagat Visual pada Musim Politik (Suara Merdeka, 24 Maret 2019)

Jagat Visual pada Musim Politik
Oleh Setia Naka Andrian



Seantero Indonesia sedang hangat membincangkan pemilihan orang-orang nomor satu, dari wakil rakyat daerah hingga presiden dan wakil presiden. Di mana-mana riuh. Tak hanya suara menggedor telinga, mata khalayak pun dipaksa melihat wajah-wajah yang hendak berlaga di panggung pemilu. Wajah yang dipajang di jalan, menggoda sepenuh senyuman, menebar keramahan.
Para pegiat desain komunikasi visual Universitas Selamat Sri (Uniss) Kendal menyambut hal itu, beberapa waktu lalu. Mereka berpameran seni rupa “Ajar Wanter” di gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kendal. Instalasi dari bambu tak bercat dan tali rafia begitu rupa menyangga karya mereka, menyulap ruang selayaknya gedung pameran. Siang itu, terselenggara pula obrolan, membincang “Desain Grafis dalam Pusaran Politik”. Pemantik dua dosen muda Uniss, Didung Pamungkas dan Dwi Hantoro, serta Hevy Indah Oktaria dari KPU Kendal. Ada kegelisahan di antara mereka.
Keinginan, impian, niatan untuk turut serta mewujudkan pesta demokrasi yang bersih, aman, dan penuh godaan visual. Bukan sampah visual. Sampah visual setidaknya tak lagi hanya ditempel semena-mena dan tak berizin resmi. Namun sebagai sesuatu yang mampu membuat mata khalayak jemu. Puluhan karya itu begitu menggoda.
Karya bermula dari duplikasi sederhana benda-benda di sekitar kita; sepatu tanpa kaki, botol minuman dalam pangkuan, potret wajah, kehidupan kecil di kampung halaman. Semua itu menggiring, menuju ke keberanian; menggoda siapa pun untuk belajar berani, bersuara, berbuat sesuai dengan kehendak diri dan khalayak. Segenap obrolan dan karya yang dipajang mengajak kita makin memahami kehadiran diri bagi diri sendiri, orang terdekat, dan khalayak lebih ramai. Bagaimana posisi dan tanggung jawab kita untuk menjaga, merawat, dan menyangga pesta penyerahan suara itu?

Tokoh Lama, Tokoh Baru
Kesadaran kolektif hadirin jadi riwayat tersendiri bagi kenyataan yang lewat, yang telah berlalu. Yang kerap menggedor, bahkan melukai mata kita. Benar, segala itu telah jadi santapan sehari-hari. Kita seakan disuguhi segala sesuatu yang sama.
Beragam foto yang dipajang dan dipamerkan, mengintai mata kita. Merekalah tokoh lama yang percaya diri berlaga kembali, sedangkan tokoh baru turut serta ambil gaya. Kita rindu, kapan lagi menemukan tokoh baru yang bermunculan karena laku dan gerak kemaslahatan mereka. Bukan tokoh yang menghadirkan wajah duluan di jalan dengan desain dan editan sedemikian rupa, tanpa kita ketahui seluk-beluk dan takdir dia di hadirat khalayak. Makin hari kita kian rindu tokoh yang hadir di lingkaran publik tanpa kehendak sendiri. Tokoh yang terpanggil, tercipta bersama suara alam, suara Tuhan yang dititipkan pada rakyat. Segala peristiwa dan kegelisahan itu menyadarkan kita, betapa tidak sedikit tokoh dan pemimpin yang selalu ingin tampak di muka.
Kerap berupaya mengendalikan tatapan mata kita, melalui foto program kerja, keberhasilan pemerintahannya. Segalanya dinampakkan melalui gambar dia. Bukan gambar rakyat, bukan figur yang menjalankan program atau sosialisasi yang ditawarkan pemangku kepentingan.
Betapa semua itu hadir begitu saja, berterus-terang, tanpa upaya meraih godaan visual di mata publik. Di forum di tengah pameran, beragam kegelisahan bertumpahruah. Adalah tanggung jawab bersama, tugas besar pegiat desain grafis, untuk memikirkan keberlangsungan gerak visual masyarakat. Sebab, makin hari pemangku kebijakan, para pemimpin, politikus, telah dibentuk dan disiapkan dengan cara apa saja untuk menggapai puncak.
Mereka hadir dengan diri yang seolah-olah, diri yang dipercantik melalui gerak media massa. Diri yang menguasai media massa atau bahkan memiliki media massa. Upaya pegiat desain komunikasi visual itu jadi jawaban tersendiri atas keinginan menjaga, merawat, dan menyangga pesta demokrasi yang sebentar lagi bergulir. Mereka memberanikan diri berbuat, menyumbang, dan memenuhi kesadaran kolektif khalayak. Mereka menyuguhkan, mengajak, menciptakan tatanan yang memberi harapan bagi harkat hidup rakyat. (28)

—Setia Naka Andrian, lahir di Kendal, 4 Februari 1989, bermukim pula di kota itu. Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) ini menulis puisi, cerita pendek, esai, dan resensi buku.

Minggu, 16 September 2018

Seni dan Ruang Berkesenian di Kendal (Suara Merdeka, 16 September 2018)


Seni dan Ruang Berkesenian di Kendal
Oleh Setia Naka Andrian



Tak banyak yang mengira digedung kecil di belakang GOR Bahurekso Kendal kerap terselenggara aktivitas dari para pegiatseni. Tak sedikit seniman cukup belia berproses kreatif di gedung serupa bangunan taman kanak-kanak itu.
Ya, bangunan tua itu adalah Balai Kesenian Remaja (BKR). Rumah para pegiat seni dan ruang bertemu beberapa komunitas yang tersudut dipusat kota. Sangat tak tersentuh pembangunan, minim fasilitas. Gedung yang hanya didiami dan dirawat seadanya oleh para pegiatseni di segenap jalan sunyi mereka.
BKR kalah rupa dari taman kota,alun-alun, seputaran jalan pusat kota yang selalu riuh. Orang-orang itu sekadar ingin melepas lelah, mengatasi dahaga, atau mengenyangkan perut semata. Lalu mereka berfoto,bersama beberapa teman,mengabadikan momen seadanya dialun-alun, di Taman Garuda, di bawah lambang Indonesia yang gagah, menjulang ke langit.
Tak ada yang salah denganupaya pemerintah mempercantik pusat kota atau mendirikan bangunan yang gemebyar ke hadirat mata khalayak. Namun para penyuara kebijakan tentu harus mempertimbangkan pula keberadaan ruang kreatif di pusat kota. Sebuah ruang yangkerap menjadi rumah bertemu,berdiskusi, menyibak gagasan, proseskreatif, serta mempresentasikan karya cipta.
Bolehlah kita tengok, misalnya,gelaran Barang Bukti Theater Parade #4, parade teater reguler yang digarap Teater Atmosfer Kendal, beberapa waktu lalu. Kita akan disuguhi parade teater di gedung yang sempit. Sesungguhnya tak jadi soalbesar atau kecil ruang akan tampak dengan seberapa orang yang menghuninya. Nah, saat parade teater itu, penonton membeludak. BKR pecah oleh kisaran 130 penonton pada tiap sesi, baik sore maupun malam. Belum lagi aktivitas lain; forum mingguan Jurasik (Jumat Sore Asik) dan seabrek laku kesenian lain.
Jika memasuki ruang pertunjukan, saat membuka pintu gedung, kita langsung menghadapi penonton yang lesehan di karpet lusuh. Bahkan jika ada penonton yang hendak keluar, pintu gedung tak dapat terbuka dengan leluasa. Harus ada beberapa penonton merelakan diri bergeseratau berdiri. BKR seakan anak tiri, atau bahkan anak yang tak dianggap memiliki orang tua. Ia berdiri lemas diantara gerak pembangunan yangkerap menyuarakan diri untuk mempercantik kota.

Di Mana Saja
Dewasa ini kita seakan tak bisamengelak dan beranggapan: kesenian dapat kita nikmati kapan saja dandi mana saja. Gawai di genggaman seakan mampu menjawab segalanya, termasuk sebagai ruang menyibak jagat estetika. Kita menapaki segenap keindahan di sebuah media, diruang kedua, selepas diabadikan dari ruang pertama yang berdarah-darah.
Kita tentu mafhum, tak sedikit pulayang masih beranggapan kesenian masih selalu butuh gedung. Ruang untuk mempresentasikan karya cipta, selepas beberapa waktu ditempaproses panjang. Ruang yang menjadidapur untuk menggodok berbagai gagasan, ide kreatif, hingga bahasan kerja bersama antarkomunitas. Kendali Seni Kendal, misalnya. Itulah gelaran tahunan, yang disebut embrio festival kesenian, yang telah berlangsung dua kali, 2016 dan 2017. Dan, tahun ini pun sudah mulai digodok.
Bolehlah jika kita bersuara dan meyakini, panggung di ruang publik dibuka begitu lebar. Seniman dapat memanfaatkan untuk menyuguhkan karya cipta. Seniman rupa dapat leluasa menunaikan gagasan di dinding-dinding, di tembok-tembok, bahkan di jalanan yang kerap dilewati manusia, yang ditempa panas dan hujan sekalipun.
Penyair pun dapat membacakan sajak di pasar, di lampu merah, atau dimana saja yang memungkinkan disinggahibanyak mata. Guyuran kata-kata akan bebas memasuki tubuh baru, puluhan, bahkan ratusan hati, akan turut serta menyambut kehadiran upaya mereka menebar kesadaran kolektif.
Namun tetap saja gedung serupa BKR pastilah sangat mereka butuhkan. Apalagi jika ruang serupa itu hanya satu-satunya—gedung di pusat kota, dapat diakses dengan mudah. Rumah yang patut dipertahankan dan dirawat sebagai titik pertemuan para pegiat seni di Kota Bahurekso.***

— Setia Naka Andrian, lahir di Kendal, 4 Februari 1989, dan bermukim pula di kota itu. Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) ini sesekali menulis puisi, cerita pendek, esai, dan resensi buku.

Puisi, Wisata, dan Kota Literasi (Derap Guru, September 2018)


Puisi, Wisata, dan Kota Literasi
Oleh Setia Naka Andrian

Di Padang Panjang Sumatera Barat baru saja terselenggara perhelatan Temu Penyair Asia Tenggara 2018, pada 3 hingga 6 Mei 2018. Para penyair serumpun bahasa menulis puisi tentang kota. Puisi-puisi diberi tugas berat, mencatat kota! Puisi-puisi dipekerjakan oleh para penyair untuk menggiring publik melalui narasi sebuah Kota Hujan, Kota Serambi Makkah: Padang Panjang. Keelokan, kesejukan, hingga sejarah, budaya serta seabrek tetek-bengeknya menggoda penyair untuk menuliskannya dengan sepenuh energi dan estetika.
Ratusan penyair dari Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, dan Timor Leste hadir ke Padang Panjang bersama puisi-puisinya, anak nurani mereka. Ratusan penggubah puisi juga berkhidmat untuk memasang telingan atas paparan materi dari berbagai negara. Di antaranya, Abdul Hadi WM (Indonesia), Rusli Marzuki Saria (Indonesia), Phaosan Jehwae (Thailand), Rahimah Binti A. Hamid (Malaysia), dan Hjh Dyg Fatimah Hj Awang Chuchu Ismayah (Brunei Darussalam).
Penyair dan para puisi mengunjungi kota yang mempertemukan mereka dalam jagat kata-kata. Penyair dan para puisi menyapa kota “sesungguhnya”, mereka menginap dalam kampung-kampung wisata yang disuguhkan panitia, yakni Kubu Gadang dan Sigando. Dikarenakan sebelumnya, melalui puisi para penyair lebih dulu menerka keelokan, kesejukan, sejarah, budaya serta apa saja tentang sebuah kota. Jika barangkali, di antara para penyair ada yang belum sempat singgah di Padang Panjang.
Setidaknya kita mafhum, layak menuduh jika sebelumnya di antara para penyair ada yang hanya menjelajahi mesin pencarian serba tahu (baca: google) untuk melancarkan proses penciptaan puisinya. Bagi mereka yang belum sempat mengunjungi atau sama sekali belum pernah memiliki kontak sejarah maupun batin dengan Kota Hujan tersebut. Meskipun, tetap sah-sah saja.
Puisi masih tetap dituliskan. Puisi diberi tempat untuk menunaikan tugasnya. Puisi-puisi yang lahir dengan mengusung tema yang diminta panitia, segala tentang Padang Panjang. Dengan mengelaborasikan diksi: sejuk, hutan, hujan, kabut, dan gunung. Alhasil, dalam perhelatan tersebut diluncurkanlah buku kumpulan puisi Epitaf Kota Hujan (Padang Panjang dan Puisi-Puisi Penyair Asia Tenggara), yang merupakan puisi-puisi yang lolos seleksi sebagai tiket untuk mengikuti Temu Penyair Asia Tenggara. Puisi-puisi hasil kurasi dari Ahmadun Yosi Herfanda, Iyut Fitra, dan Sulaiman Juned.
Puisi-puisi tidak selesai hanya dibukukan. Puisi-puisi tidak hanya berhenti pada peluncuran dan diskusi. Dalam perhelatan Asia Tenggara itu, puisi-puisi bermisi menggaet pelancong dan pencanangan Padang Panjang sebagai Kota Literasi. Penyair dan para puisi diajak untuk bertandang di sebuah desa wisata, Kubu Gadang. Mereka disuguhi beraneka suasana, jajanan, makanan, rumah-rumah gadang, seni tradisi beladiri Silek Lanyak, serta sejumlah kesenian tradisi lainnya.
Dengan harapan, segala itu mampu menjadi kenangan tersendiri bagi penyair dan para puisi. Agar suatu saat nanti, jika barangkali para penyair Asia Tenggara bepergian di Sumatera Barat, maka Padang Panjang lah satu-satunya tempat untuk dikunjungi, satu-satunya kampung halaman yang patut untuk disinggahi kembali.
Seperti dalam penggalan puisi Badrul Munir Chair dalam buku Epitaf Kota Hujan. Berikut, Sehampar halaman, sesamar lekuk kain buaian/ kukenang hari lalu sebagaimana seorang juru kunci/ menghitung sisa-sisa hari sebelum gunung/ memeluk dan memanggilnya kembali.//
Berkat puisi, atas berbaik-hatinya kata-kata yang segalanya menarasikan Padang Panjang, akhirnya membuat kota itu dinobatkan sebagai Kota Literasi oleh Perpusnas RI. Tak lain, niatan tersebut sebagai wujud keseriusan Kota Padang Panjang mendukung Gerakan Literasi Nasional, yang akhir-akhir ini begitu lantang digemborkan seantero Indonesia ini.
Meskipun, kita boleh juga bertanya-tanya. Bukankah jika yang diundang untuk perhelatan Temu Penyair Asia Tenggara sudah tidak hanya penyair dari dalam negeri saja, sudah tentu pemerintah pusat harus turut serta. Dikarenakan, kali itu panitia yang menghelat acara se-Asia Tenggara tersebut hanya dari Pemerintah Kota Padang Panjang, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Padang Panjang, serta Forum Pegiat Literasi Padang Panjang semata. Sederhananya, bolehlah kita angkat topi kepada Padang Panjang, kepada para junjungan penyair dan segenap pegiat literasi di sana.
Dan di luar segala itu, boleh pula kita turut melempar sinis. Apa pula pengaruh perhelatan se-Asia Tenggara yang telah rampung itu, jika selepas acara tiada kita temukan perubahan apa-apa. Baik pada diri penyair, masa depan puisi, nasib gerakan literasi, hingga segala sesuatu yang berkait-paut pada sastra, kesenian, dan kebudayaan di Indonesia ini.***

─Setia Naka Andrian, Peserta Temu Penyair Asia Tenggara 2018. Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang.

Minggu, 12 Agustus 2018

Festival Seni dan Reproduksi Kegagalan (Suara Merdeka, 12 Agustus 2018)


Festival Seni dan Reproduksi Kegagalan
Oleh Setia Naka Andrian



Tiada lagi dapat ditemukan keberadaan yang mutlak bagi diri seniman, kecuali ruang yang dia ciptakan dari dalam tubuhnya. Seniman bekerja pada diri sendiri. Melakukan segenap aktivitas artistik sendiri.
Selanjutnya, seniman menemukan beragam rintangan, cobaan, dan godaan dalam setiap langkah penemuan diri sebagai pencipta seni yang sesungguhnya. Kerja itu setidaknya menjadi duplikasi terhadap generasi sebelumnya, atau duplikasi bagi diri yang lain. Segenap riwayat itu telah menjadi ladang garapan tersendiri bagi pegiat seni dan komunitas di Kendal.
Pada 14-15 Oktober 2017, di Taman Gajah Mada Kendal, Jarak Dekat Art Production Kendal bersama beragam komunitas mengeksekusi Kendali Seni Kendal 2017. Itu penyelenggaraan kali kedua selepas 2016. Lembaga kesenian dan kebudayaan yang menasbihkan diri sebagai lembaga nirlaba itu didukung 42 komunitas anak muda menyelenggarakan gelaran sebagai embrio festival seni.
Mengingat, bagi mereka, belum pernah ada festival kesenian di Kendal secara periodik dan metodik. Berawal dari kegelisahan itu, komunitas seni dan budaya di Kendal yang didominasi anak muda berupaya menggeliatkan gerakan berkesenian yang tak sekadar selebrasi.
Namun ada niat menciptakan iklim belajar, membangun, dan mempertahankan potensi personal dan komunal. Kendali Seni Kendal (KSK) 2017 sedikit berbeda dari gelaran sebelumnya. Pada 2016 baru diikuti tujuh komunitas, kali kedua menjangkau 42 komunitas.
Pada 2016 baru menjangkau khalayak yang sebagian besar siswa, kali kedua mampu menyedot masyarakat umum dari dalam dan luar kota. Tajuk KSK 2017 “Kendal Aku Pulang”, sebagai salah satu wujud untuk menggerakkan seniman yang telah lama meninggalkan Kendal.
Mereka diajak pulang, menjenguk kota leluhur. Dan yang masih berada di Kendal, diajak berpulang pula. Karena, barangkali tubuh tidak ke mana-mana, tetapi siapa tahu hati mereka belum pulang.
Untuk memperkuat tajuk itu, tradisi gebyuk pun ditanam di area kegiatan. Itu tradisi mencari ikan oleh warga pesisir di sepanjang aliran sungai. Aktivitas itu dilakukan warga secara gotong-royong. Tradisi serupa dipercayai berlangsung turun-temurun di Kendal.

Merawat Tradisi
Gebyuk pada KSK 2017 tak sekadar karya instalasi. Namun upaya produksi kepekaan bagi seniman untuk menjaga dan merawat tradisi leluhur. Gebyuk sebagai alat penangkap ikan, pada KSK 2017 untuk menjaring segenap komunitas seni budaya di Kendal.
Diharapkan, embrio festival kesenian itu berangsur-angsur menjadi gelaran festival seni yang diidamkan. Tak ayal, pada KSK 2018 para pegiat telah cukup percaya diri menyebut gelaranitusebagaifestivalseni.
Festival yang dikabarkan akan bertema “Aku Kendal” itu berupaya meriwayatkan orang Kalang sebagai salah satu etnik di Kendal yang telah diteliti guru dan sejarawan Kendal, Muslichin.
Ikhtiar itu setidaknya menjadi jalan lain untuk meriwayatkan dan mencari solusi atas reproduksi kegagalan dalam berkesenian di Kendal. Para seniman akan menciptakan program kreatif untuk mencari identitas diri secara personal dan komunal. Salah satu ladang garapan untuk menopang KSK, misalnya, program Tilas Balik.
Program itu digagas untuk meriwayatkan kearifan kota. Lewat segala laku kreatif, pegiat berupaya membangun isu, pertimbangan, dan kemungkinan lain dalam gerak seni budaya dari waktu ke waktu.
Melalui laku itu, para seniman akan menyibak riwayat kota (kampung halaman) sebagai penelitian lapangan guna menghadirkan atau menemukan cerita rakyat, sejarah kampung, atau mitos di masyarakat. Selanjutnya, segala penemuan akan digarap melalui bidang seni.
Baik sastra, seni rupa, musik, teater, tari, maupun film. Segenap kerja itu tak lain demi kelangsungan, perkembangan, dan kemajuan kota menuju arah lebih baik. Sampai jumpa pada KSK 2018.***

— Setia Naka Andrian, lahir di Kendal, 4 Februari 1989, dan bermukim pula di kota itu. Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) ini menulis esai, puisi, cerita pendek, dan resensi buku.

Minggu, 06 Mei 2018

Cermin Jiwa: Politik dan Jagat Pesantren (Suara Merdeka, 6 Mei 2018)



Cermin Jiwa; Politik dan Jagat Pesantren
Oleh Setia Naka Andrian



Jagat pesantren, dewasa ini begitu rupa menjadi sorotan bagi elite politik. Santri, ulama, kiai seakan lahir sebagai magnet tersendiri bagi mereka yang hendak menampilkan diri dalam panggung politik. Pesantren setidaknya telah mengambil salah satu posisi (sasaran utama) untuk memperoleh kemenangan yang diidam-idamkan.
Sudah jelas, pesantren diyakini masyarakat sebagai jagat sunyi yang tak henti-hentinya memproduksi makna, identitas, hingga segala hal tentang pembentukan akhlak mulia bagi umat beragama. Rumah bagi para pengeja ilmu agama tersebut pun hingga kini masih begitu kuat menempa ingatan publik. Pesantren dengan segenap isinya, selalu diberi tempat di mata dan batin masyarakat kita.
Untuk itu, tak sedikit calon pemimpin kita yang kerap sowan kepada segenap pesantren seantero tanah Jawa ini. Dari mulai sekadar minta doa restu, hingga menggandeng putra kiai, atau salah seorang insan terbaiknya untuk maju bersama dalam panggung politik.
Seolah-olah pesantren menjadi sebuah tameng, rumah berlindung jika barangkali didapati beragam anggapan buruk yang bertebaran di telinga masyarakat. Atau setidaknya mampu menanam kepercayaan lebih dan yang pasti, mendongkrak ‘suara’. Sebab, sampai kapan pun pesantren tetaplah menjadi rujukan, segala mula dan muara, rumah berteduh bagi insan beragama, atau bagi siapa saja yang berhasrat menanam citra baik dalam tubuhnya.
Melalui novel Cermin Jiwa (Alvabet, Juli 2017), S. Prasetyo Utomo mengisahkan sebuah keluarga yang dihuni sepasang suami-istri setengah baya dan seorang anak perempuan belia. Merekalah Abah, Umi, dan Zahra. Abah mengalami kekalahan dalam pemilihan wakil rakyat. Abah, seorang pemilik ladang dan toko bunga. Suatu ketika ia mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Namun ia gagal, meski segalanya telah dipertaruhkan. Termasuk tanah, mobil, dan tabungan.
Selepas itu, Abah berniat menenangkan diri, kembali berguru di sebuah pesantren yang sempat ia tinggali semasa muda. “Aku ingin kembali berguru pada kiai di pesantren Lembah Bayang-Bayang, seperti pada masa mudaku. Melupakan keguncangan hatiku.” (hlm. 12).
Abah berniat menepikan diri. Ia telah tersadar, bahwa ia tak berjodoh menjadi wakil rakyat. Meski awalnya ia belum bisa sepenuhnya menerima. Selepas Umi, istrinya, mampu menyadarkan, maka Abah berniat kembali berguru ke pesantren. Abah memilih jalan sunyi, selepas persoalan berat menimpa hidupnya. Menapaki kembali jalan yang dikehendaki nuraninya, selepas diterpa kehancuran bertubi-tubi.

Gelagat Elite Politik
Prasetyo dalam novel ini memberikan tawaran lain pula, yakni didapati tokoh yang menyabung nasibnya dalam pemilihan wakil rakyat. Tokoh tersebut menang, namun tidak lama kemudian ia tak mampu mengendalikan nafsu. Maka segala itu menjerumuskannya ke penjara, akibat terbelit kasus korupsi.
Didapati pula kisah lain, seorang tokoh yang hendak maju dalam pemilihan Bupati. Ia berkunjung dan hendak meminta restu kepada Kiai Sepuh, pengasuh Pesantren Lembah Bayang-Bayang, tempat Abah berguru dan menenangkan batin.
Calon bupati tersebut mengumbar janji kepada Kiai Sepuh, termasuk ingin membangun jalan menuju pesantren. Akhirnya, Kiai Sepuh mengizinkan, memberi restu kepada calon bupati. Abah pun sempat heran, kenapa Kiai Sepuh memberikan restu.
Calon bupati tersebut pun menang dan sudah berkuasa, namun jalan menuju pesantren masih tetap belum dibangun seperti yang dijanjikan. Kiai Sepuh tetap tenang, tak mengaharap apa-apa. Abah begitu heran, pasti akan terjadi sesuatu.
Akhirnya terdengar kabar, bahwa bupati yang berkuasa tersebut ditangkap, ditahan, dan dibawa ke pengadilan. Semua orang pun tahu maksud Kiai Sepuh mendukungnya, hanya untuk menggiringnya ke penjara. “Aku baru sadar, Kiai Sepuh mendukung bupati itu untuk menemukan takdirnya di penjara,” kata Kiai Maksum, sebelum menghentak tali kendali kudanya. (hlm. 33).
Dari beberapa penggalan kisah tersebut menunjukkan, betapa Prasetyo menampakkan gelagat elite politik di sekitar kita. Keberadaan pesantren yang kerap kali diperhitungkan dalam melancarkan gerak roda kelompoknya demi mencapai kekuasaan yang mutlak.
Bumbu-bumbu lain pun dihadirkan oleh Prasetyo, yakni terkait persoalan tarik-ulur pembangunan pabrik semen di Lembah Gunung Bokong. Perlawanan, kecaman, pengkhianatan menjadi putaran gerak politik tersendiri. Negara pun turut serta dalam peristiwa daerah tersebut, selepas persoalan berlarut-larut dan memanjang hingga menjadi isu nasional.
Dalam novel ini, Prasetyo seakan menggarap sebuah dunia dengan segala kemungkinan yang kokoh, melalui kejernihan jiwa beberapa tokoh yang dihadirkan. Segalanya seakan menyelinap dalam benak dan batin kita. Menggelinding dalam roda keseharian yang tentu akan begitu mudah kita tunjuk di koran, televisi, dan segala media massa yang beterbangan di sekitar kita.***

Jumat, 17 November 2017

Masyarakat Penerima dan Penyebar Saja (Wawasan, 16 November 2017)

Masyarakat Penerima dan Penyebar Saja
Oleh Setia Naka Andrian

Gerak kemajuan teknologi informasi seakan tak sebanding dengan jagat nalar masyarakat kita. Kini segala sesuatu dapat dengan mudah diterima dan betapa entengnya disebarkan begitu saja, kapan saja, di mana saja. Setiap detik, kita seakan kerap dibanjiri informasi yang tak lagi mampu terbendung. Hadir melalui beragam aplikasi media sosial di gawai dalam genggaman tangan kita.
Sungguh tak terbayangkan lagi, apa jadinya jika kita menjadi masyarakat yang begitu saja berterima atas informasi massal yang setiap detiknya menggedor ponsel kita. Kemudian kita tergoda untuk bergegas menyebarluaskannya, disalin dan disebar dengan menugaskan kepada ibu jari semata. Maka sudah, ratusan bahkan ribuan atau jutaan orang akan menerima informasi itu. Selanjutnya disebarkan lagi, lagi dan lagi oleh si penerima informasi itu. Kita seakan begitu saja lengah dengan godaan pahala jika turut serta menjadi penyebar informasi yang (masih) dianggap sangat bermanfaat itu.
Dengan dalih, apa salahnya jika turut membantu penyebaran informasi itu. Tidak memakan waktu, tidak memakan pulsa mahal, hanya dengan menekan tidak lebih dari tiga kali ketukan di layar sentuh ponsel pintar kita. Tentu akan beda dengan apa yang telah dilakukan oleh generasi pengguna telepon genggam saat masih berfungsi hanya untuk mengirim pesan singkat atau melakukan panggilan suara.
Kala itu, tentu dengan sangat pelan, santun, hati-hati, dan penuh perhitungan ketika hendak mengirim pesan singkat. Bahkan batasan karakter yang menentukan tingkat kemahalan pemakaian pulsa pun turut diperhitungkan. Dari hal itu, entah sadar atau tidak, kita seakan dipaksa agar menjadi para pengguna alat seadanya, seperlunya, tidak cerewet, dan tidak menjadi seseorang yang ketergantungan telepon genggam.
Ketika itu, belum didapati tradisi salin-menyalin dan tempel menempel menyebar informasi yang belum fasih kebenarannya. Belum ada pula penyebaran pengisahan-pengisahan yang tak menentu tuannya. Bahkan, belum kita dapati orang-orang yang seakan begitu mudah menjadi pendakwah, yang kerap kita temukan dalam berbagai grup di berbagai aplikasi di ponsel pintar kita.

Kembali ke Masa Silam
Tradisi yang kita alami melalui ponsel pintar saat ini, seakan menggiring kita untuk kembali pada masa silam yang telah jauh terlewatkan. Pada zaman ketika kita masih mengamini penyebaran-penyebaran kisah, cerita, informasi, atau segala apa pun tanpa mengenal siapa yang menuliskan atau menciptakannya. Kita kenali dengan karya cipta dari NN. Jika ada sesuatu yang bermasalah dari apa yang kita sebarkan, maka akan segera bilang, “Itu bukan saya yang membuat, saya sekadar menyebar saja, menyalin dari grub sebelah!” Beres, merasa aman dan lari dari tanggung jawab!
Namun bagaimana lagi. Kini ponsel pintar telah begitu melekat di genggaman kita. Siapa pun seseorang itu, ketika nampak dalam sebuah pertemuan khalayak ramai, di ruang publik, saat menunggu angkutan, saat menunggu jadwal penerbangan, bahkan saat berpose untuk mengabadikan momen yang (dianggap) istimewa dalam hidup, selalu nampak mentereng dengan genggaman ponsel pintar yang tentu dengan harga tak murah. Lengkap dengan ragam aplikasi yang menggairahkan dan menggoda untuk selalu disentuh.
Sudah sangat jarang, bahkan semakin tiada lagi orang-orang menyentuh buku-buku, koran, atau majalah ketika menghabisi waktu tunggu. Bahkan di sudut-sudut kampus atau di segenap lembaga pendidikan sekalipun. Jarang kita temukan seseorang berkhusyuk menyibak berlembar-lembar kertas bacaan di pangkuannya. Seakan sudah tak terelakkan lagi, kita lebih memilih memenuhi kuota (pulsa) internet dari pada memasukkan judul-judul buku atau berlangganan media massa dalam daftar belanja bulanan.
Upaya pemenuhan nutrisi berliterasi seseorang seakan telah sangat cukup hanya dengan bersentuhan dan menggeser berjubel tawaran informasi yang menggoda di layar ponsel pintarnya. Sudah tentu, tidak sedikit kita temukan tawaran-tawaran itu sebatas informasi yang terpenggal-penggal. Masih dalam permukaan dan sangat perlu ditimbang lagi kedalamannya.
Untuk kali kesekian, kita akan kerap mengamini untuk tidak sanggup mengelak. Bahwa ponsel pintar seakan sudah terlanjur begitu lekat di genggaman tangan. Tiada lagi jarak antara ponsel dan tubuh kita. Seakan tiada pula upaya yang mampu menuntun kita untuk lebih ketat dalam menyaring segala sesuatu yang menggedor pintu ponsel pintar kita. Memilah segenap informasi yang kerap mengguyur dalam setiap detiknya. Kita begitu lemas, kekenyangan, kebingungan, seakan dibuat tak kuasa berkilah apa-apa.

Manusia Gemar Bercuriga
Lebih-lebih saat ini, telah begitu marak grup-grup diciptakan di berbagai aplikasi di ponsel pintar kita. Dari mulai grup alumni sekolah, komunitas, teman kerja, hingga grup warga, yang kerap kali memicu timbulnya persoalan-persoalan baru. Padahal yang sudah seharusnya, grup yang diciptakan melalui beberapa aplikasi dalam ponsel pintar kita menjadi ajang silaturahmi dan bertegur sapa. Namun naga-naganya, segala itu justru semakin memicu kita untuk semakin lebih bertaring untuk berpendapat, menghujat, mengumbar, dan bahkan menebar kebencian-kebencian. Kita seakan selalu dibuat belum usai membersihkan prasangka terhadap sesama, dalam ruang-ruang media sosial kita.
Disadari atau tidak, kini kita seakan semakin berterima menjadi manusia yang lebih gemar bercuriga daripada berpositif pandang terhadap sesama. Segala sesuatu dengan mudahnya menjadi nyinyir batin, begitu sensitif, bahkan membuat kita semakin bersumbu pendek atas segala yang nampak atau hadir di hadapan kita, dalam layar grup di ponsel kita. Entah terkait kebahagiaan, kesuksesan, atau bahkan kegagalan yang sedang melanda sesama kita.
Tentu, segala itu contoh sederhana dari muara kemalasan kita untuk menekuri menjadi masyarakat pencipta. Bukan semata menjadi generasi penerima dan penyebar saja. Generasi yang sibuk menyuntuki banyak hal yang diterima dan kemudian disebarkan begitu saja, tanpa berupaya untuk menjadi generasi pencipta dan kemudian menyebarkan gagasan/ide-idenya. Dan, sepertinya kita sebagai generasi yang (merasa) lebih dewasa, mengemban pekerjaan rumah yang tidak enteng. Jika keseharian kita saja masih terasa diperbudak alat, lalu bagaimana dengan nasib dan masa depan jagat nalar generasi di bawah kita?***

Senin, 14 Agustus 2017

Sastra Lokal dan Kebinekaan (Wawasan, 11 Agustus 2017)

Sastra Lokal dan Kebinekaan
Oleh Setia Naka Andrian

Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (Munsi II) 2017 telah terselenggara pada 18 hingga 20 Juli di Hotel Mercure Ancol Jakarta. Ini kali kedua perhelatan yang diselenggarakan Pusat Pembinaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, selepas Munsi pertama pada tahun lalu.
Jika tahun lalu peserta Munsi dipilih berdasarkan rekomendasi tiap-tiap daerah bagi para pegiat sastra, kali ini peserta yang diundang Munsi lebih diperketat lagi. Yakni di antaranya melalui seleksi buku (karya) yang dikirimkan kepada panitia, kemudian diseleksi oleh dewan kurator. Selain itu, undangan peserta Munsi dari para alumni Munsi I yang telah turut serta dalam penulisan antologi puisi Munsi I tahun 2016. Selanjutnya, undangan Munsi kategori yang ketiga berasal dari para budayawan, pemerhati, dan pakar sastra yang berkompeten.
Perhelatan Munsi II ini tentu telah menjadi sebuah pertemuan yang menghantarkan para sastrawan Indonesia dalam perbincangan hangat. Yakni menyibak Kebinekaan Indonesia yang saat-saat ini kerap didengungkan dalam berbagai gerak perbincangan dan laku, baik di kalangan akademisi, pemerintah, komunitas seni budaya, hingga masyarakat luas. Mengingat berbagai persoalan dinilai kian menjadi-jadi, berupaya menggoyahkan kebinekaan Indonesia.
Dalam sebuah perbincangan yang disampaikan Radhar Panca Dahana, ia menegaskan bahwasanya karya sastra Indonesia tentu sudah sangat mencerminkan kebinekaan Indonesia jika kita semua mau menengok dan kembali pada karya-karya sastra lokal. Bahkan, dunia pun akan tergeleng-geleng melihat karya sastra kita. Jika kita tengok, berapa provinsi yang ada di Indonesia ini, kemudian berapa kabupaten, kecamatan, desa/kelurahan, bahkan berapa kampung yang melingkupinya.
Jika karya sastra lokal dari segenap titik daerah itu kita garap, setiap tahunnya akan bermunculan berapa karya sastra di Indonesia ini? Segala ini akan bergulir sehat jika para sastrawan tergerak untuk lebih memperhatikan dan berupaya sekuat tenaga untuk mengangkat sastra lokal tersebut.
Setidaknya, melalui garapan sastra lokal tersebut dapat menjadi bahan pijakan untuk pembelajaran sastra kita. Sudah tentu, suntikan Kebinekaan Indonesia kepada anak didik di sekolah sebagai sebagai sebuah ikhtiar tercapainya pendidikan karakter bagi generasi penerus bangsa dapat dilalui dengan guyuran karya-karya sastra lokal.
Pada Munsi II ini pun, didapati perbincangan mengenai Sastrawan Masuk Sekolah, dengan tujuan akan terjadi gerak sinergi antara guru bahasa Indonesia dan sastrawan lokal dalam pencapaian gerak pembelajaran sastra yang lebih berdaya guna. Selain itu, sekiranya para sastrawan lokal juga dapat membantu mengaktualisasikan proses kreatifnya kepada siswa, terutama terkait sastra lokal yang hendak atau sedang digarap dan ditekuninya.
Sudah tentu ini terkesan bukan sebagai kerja yang mudah, tidak seenteng membalikkan telapak tangan atau mengubah posisi belahan rambut. Namun, segala ini tentu dapat dilakukan perlahan. Dengan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak terkait, kepedulian Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tentunya, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, serta kesadaran kolektif dari berbagai pihak lain, termasuk bagi para sastrawan lokal. Kenapa perlu dicanagkan program Sastrawan Masuk Sekolah?
Selama ini, tidak sedikit telah dikeluhkan bahwa guru-guru mata pelajaran Bahasa Indonesia kerap melewati (melompati) materi kesastraan dalam pembelajarannya. Jika tidak melewati (melompati), mereka sampaikan dengan seadanya dan sesampainya, atau seingat-ingatnya saja, apa yang masih nyangkut dalam sisa-sisa ingatan masa kuliah.
Apalagi dulu pada masa kuliah hanya didapat di kelas saja, itupun dosennya kerap izin tidak masuk kelas, ditambah lagi tidak ikut unit kegiatan mahasiswa (UKM) sastra, tidak pernah menghadiri acara atau diskusi-diskusi sastra, buku-buku sastra juga hanya koleksi yang diwajibkan dari dosen mata kuliah itu semata. Lalu pengalaman kesastraan dari mana yang dikantongi?
Entahlah, dengan alasan apa pun, tentu segala itu sangat tidak bisa dimaafkan. Dosa besar bagi dunia pengajaran! Dosa turun-temurun yang tiada pernah terampuni! Sudah menjadi rahasia umum, tidak jarang didapati kasus itu, guru melompati materi sastra dalam mengajar di kelas.
Padahal sudah sangat jelas, anak didik sangat perlu disuntik sastra. Bahkan sudah menjadi keharusan bagi negara-negara maju, bahwa bacaan-bacaan sastra wajib dikonsumsi semua siswa, semua mahasiswa dalam bidang ilmu apa pun. Setiap tahun diharuskan mengkhatamkan sekian puluh judul buku sastra.
Nah jika di Indonesia ini bagaimana? Jangankan semua siswa atau mahasiswa semua bidang ilmu, bagi yang jelas-jelas menekuni sastra saja, berapa buku sastra yang diwajibkan untuk ditelan setiap tahunnya? Sudahkah kampus-kampus yang ditangkringi program studi kesastraan memberlakukan aturan itu dengan ketat dan tegas?
Mustahil kita berteriak-teriak, mendengung-dengungkan kebinekaan, toleransi, dan seabrek kemuliaan-kemuliaan berkehidupan. Kita paham, tanpa sastra, sudah tentu hidup ini akan menjadi kaku. Akan semakin sering kita temui generasi penerus bangsa yang kehilangan roh spiritual, moral, dan jiwa nasionalisme. Akan sering pula kita temukan orang-orang yang memiliki sumbu pendek, mudah menyalahkan orang lain yang tidak memiliki kesamaan dengan dirinya.
Bahkan, akan mudah mengkafirkan kaum lain yang katanya tidak sesuai dengan keyakinannya. Begitu panjangnya pekerjaan rumah kita. Lalu hendak kita mulai dari mana? Tentu, yang paling sederhana adalah jawaban klise yang begitu menggedor telinga kita, dimulai dari diri kita sendiri. Dimulai dari kesadaran kolektif berbagai pihak yang telah tersebut sebelumnya tadi.***


─Setia Naka Andrian, Lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Peserta Munas Sastrawan Nasional (MUNSI II) 2017. Bukunya yang telah terbit, kumpulan puisi “Perayaan Laut” (April, 2016) dan bunga rampai “Remang-Remang Kontemplasi” (November, 2016). Tahun ini akan menerbitkan beberapa buku puisi, di antaranya “Manusia Alarm” dan “Orang-Orang Kalang”.

Selasa, 08 Agustus 2017

Spirit Selepas Lebaran Rampung (Derap Guru, Agustus 2017)

Spirit Selepas Lebaran Rampung
Oleh Setia Naka Andrian

Lebaran telah usai. Halal bi halal tinggal sisa-sisa. Tidak sedikit dari lembaga pemerintahan, pendidikan, komunitas, organisasi serta masyarakat luas menjalani ritual tahunan tersebut pada minggu pertama, kedua, ketiga, atau bahkan minggu keempat Lebaran. Saling bermaaf-maafan, setelah mengaku banyak berbuat salah. Halal bi halal dilaksanakan, setelah tunai menjalankan puasa di bulan Ramadan. Datang bersama keluarga lengkap dengan anak-anaknya. Sapa, gurau dan canda menjadi kebahagiaan tersendiri dalam ritual silaturahmi. Sambil menikmati beragam sajian masakan khas daerah.
Pemaknaan halal bi halal ditandai dengan berlangsungnya perayaan Idul Fitri. Tentunya sama halnya yang dilakukan di daerah-daerah lain. Pada intinya, halal bi halal menjadi ajang silaturahmi sesama untuk saling memaafkan, setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan selama satu bulan penuh. Selain itu dimaknai pula sebagai ajang pertemuan setelah seseorang jarang bertemu atau bahkan berpuluh-puluh tahun tidak pernah bertemu. Hingga akhirnya momen penuh berkah tersebut ditandai pula dengan kegiatan reuni.
Bagi masyarakat Kendal misalnya, selain momen tersebut juga didapati tradisi yang menjadi penghormatan tersendiri bagi tokoh penyebar agama Islam di Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal. Dikenal dengan sebutan Syawalan, sebagai peringatan hari meninggalnya Kiai Asy’ari atau dikenal dengan Kiai Guru. Syawalan berlangsung sejak H+1 Lebaran hingga tiba pada puncaknya yakni H+7 atau biasa disebut masyarakat luas dengan sebutan Lebaran Kupat.
Syawalan yang digelar rutin setiap tahun selepas Idul Fitri ini memang sudah rutin digelar tiap tahun. Hingga akhirnya tradisi ini mampu menyedot ribuan orang untuk berduyun-duyun mengunjungi makam di bukit Jabal Desa Protomulyo. Para peziarah datang tidak hanya dari dalam kota saja, namun dari berbagai penjuru kota pula. Mereka berniat tulus untuk mendoakan dan mengharap berkah kebaikan di bulan Syawal. Walaupun untuk menempuh makam, mereka harus berjalan kaki lima kilometer menaiki bukit. Bahkan karena terlalu banyaknya peziarah yang berkunjung, warga harus bergantian untuk mendapatkan kesempatan mendoakan langsung di depan makam Kiai Asy’ari atau Kiai Guru.
Selain itu juga ke makam Sunan Katong, Kiai Mojo, Kiai Mustofa, Wali Musyafa. Makam begitu ramai, ribuan orang berjubel, penuh dan berdesakan. Hingga hal tersebut dimanfaatkan para pedagang untuk menjual makanan, minuman, mainan anak-anak. Syawalan menjadi keberkahan, tradisi masyarakat. Muslichin (2008) menyebutkan bahwa tradisi merupakan sesuatu yang berangkat dari sistem keyakinan. Dalam tradisi masyarakat mengulangi apa yang dilakukan oleh manusia pada masa dahulu.
Tradisi menjembatani apa yang sudah diciptakan dan dimulai oleh nenek moyang sampai generasi yang terakhir. Manusia masa sekarang sebagai pendukung kebudayaan tersebut merasa memiliki dan perlu menjalankan apa saja yang telah melekat menjadi bentuk tradisi. Tradisi tersebut dilaksanakan dengan kesungguhan dan didasari ideologi Islam yang kuat. Maka masyarakat tidak melaksanakan sebatas rutinitas semata, namun mampu menumbuhkan spirit tersendiri. Tentunya akan mereka gunakan untuk bekal pada kelangsungan hidup berikutnya, agar lebih semangat, berkah dan mampu membawa perubahan yang cukup fundamental bagi substansi kebudayaan Indonesia.***


─Setia Naka Andrian, Dosen Universitas PGRI Semarang. Menulis buku Perayaan Laut (April 2016), Remang-Remang Kontemplasi (November 2016).