Senin, 03 September 2018

Puisi Setia Naka Andrian (Litera.co.id, 1 September 2018)


Kami Diajak Bertapa

Kami yang telah diajak bertapa
Bersama mereka, anak-anak
yang kerap girang sebelum petang
dititipkan kepada siapa-siapa

Kami yang telah diajak bertapa
Bersama mereka, ibu-ibu
pencuci piring di bawah pohon-pohon
yang gagal kekal
Sebelum segalanya tak tahu
akan ditumpahkan ke mana

Kami yang telah diajak bertapa
Bersamamu, Tuan
Kami rela menjadi rupa atau ketiadaan
Bahkan, kami telah mengirim kepadamu
Satu meter tanda tanya
di bawah kening-kening
yang tak sempat pecah itu
Meski kerap dibanting habis-habisan
di bawah hujan dan terik dadamu
yang kian tak lapang

Kau tahu, Tuan,
Bahwa dalam segenap kegagalan
dan segala degub yang kerap memilih hilang
Kami berupaya mengirim ke hadiratmu
Bersama para pemanjat pilu
Yang kian bersetia
dengan paras wajahmu
dan sisa hujan yang tanggal
dengan malu-malu

Demi keangkuhanmu, Tuan
Telah kami hancurkan
diri kami sendiri
Atas nama keriuhan dan kepenatan
Kami rela menggagalkan waktu
Yang kian bergerak mengelabui
cara buruk bunuh diri sendiri

Demi keangkuhanmu, Tuan
Yang tak pernah rela disiplin
Mengukur jejak-jejak kehilangan
Saat kami diburu benda-benda gagal
Yang kerap malih wujud
di balik kegagapan

Hingga di tengadah jalan
yang tak lagi lengang
Kami bersamamu, Tuan
Menghitung mundur jejak-jejak
yang berlalu
Selepas itu, betapa hari-hari kami
Seakan kian disembunyikan
dalam diri lain
yang tak sempat kita temukan
sebelum atau sesudahnya

Kami seakan tak pernah
mencari mata-matamu
yang urung bertekuk-tubuh itu
Bahkan guyur hujan ini, Tuan
Kali pertama segalamu tanggal
dari diri kami sendiri

Namun kami yakin, Tuan
Tuhan telah melepas kami di sini
Diminta mengembara dalam bara
Merencanakan dalam titik-titik tak berupa
yang mengumpamakan jejak dan doa-doa

Dan di ruang ini, Tuan
Kami seakan diciptakan kembali
Di antara kerangka masa depan
yang terbelah-belah

Kami diajak menumbuhkan kembali
Apa yang bermula dan apa yang bermuara
Bahkan, kami hendak diajak menyuarakan lagi
Bagaimana kepulangan
yang tumbuh di luar alam pikiran

Lalu selepas ini, akan kau kirim
ke mana lagi kami, Tuan
Jutaan jam yang lalu,
kami telah kau ajak
untuk menyeberangi sungai-sungai tanpa perahu
Kami juga kerap kali kau paksa
untuk mengarungi laut-laut
yang tak lagi biru

Dan kami semakin gagal, Tuan
Bahwa kamilah kabar
yang kau kirimkan kala itu
Saat segalanya tak sempat menanami dirinya
dengan segenap rindu
Kamilah misteri yang kau ajarkan
turun-temurun ke hadirat anak-cucu
Mitos dan mimpi buruk
yang telah kau ramu tanpa pintu

Kamilah kerja yang kau ciptakan
dari tubuh-tubuh renta
Riwayat kehilangan
yang terus menggerakkan
segala yang kerap bermula
dan tak pernah berakhir di mana-mana

Dan suatu saat nanti, Tuan
Ketika malam telah begitu berbinar
Memikirkanmu lagi adalah cara lain
Untuk berpandai memilih kekalahan
Segalanya melimpah ruah
Di balik nada dari mulut-mulutmu yang pecah

Kendal, Februari 2018


Maka Hijrahlah Kami

Jika benar, kau tak dikirim
Dari banyak warna dalam kitab suci
Maka hijrahlah kami
Menyusuri pagi-pagi
Yang tak sempat ditiduri
tubuhmu sendiri

Jika benar, kau tak dikirim
Dari banyak warna dalam kitab suci
Maka hijrahlah kami
Dari segala yang tak menemukan
suara yang kau janjikan
Hingga kami menemukan
Patahan-patahan luka
Yang dalam-dalam

Jika benar, kau tak dikirim
Dari banyak warna dalam kitab suci
Maka hijrahlah kami
Meninggalkan rupa wangi
Meninggikan arah telunjuk jari

Jika benar, kau tak dikirim
Dari banyak warna dalam kitab suci
Maka hijrahlah kami
Menyusupi liang-liang kecil
Yang tiada pernah kami temukan lagi

Jika benar, kau tak dikirim
Dari banyak warna dalam kitab suci
Maka bolehlah kami sebut diri
yang gagal ini
Diri yang angkuh,
Yang kerap mandi selepas
Hangus dalam bara apimu

Jika benar, kau tak dikirim
Dari banyak warna dalam kitab suci
Bolehkah kami bersimpuh
Di antara hutan-hutan
Yang tak lagi dikepung nama-namamu?

Kendal, Februari 2018


Lahir dari Rindu

lahirlah kami dari rindu
dan batu-batu
ketika segala hal
telah menjadi
selain dirimu

lahirlah kami dari rindu
dari segala napas
dan segenap kata
yang diucapkan
selain dari mulutmu

lahirlah kami dari rindu
dari duka, yang lupa
dikirimkan penyair,
para pemahat debu itu
yang kerap ragu
menciptakan dirinya
dari segenggam mimpi
yang lucu-lucu

lahirlah kami dari rindu
dari peperangan yang maha benar
yang memilih pergi,
mencari tahu
di mana kadar iman
di mana kepulangan panjang

Kendal, November 2017


Senin, 27 Agustus 2018

Puisi Setia Naka Andrian (Media Indonesia, 26 Agustus 2018)







Bacalah Kami

Bacalah kami. Bacalah.
Indonesia seperti ini lagi.
Bacalah. Kami seakan tidur lagi.
Saban hari menata bantal
yang berduri-duri

Bacalah kami. Bacalah.
Bangunkan kami. Bangunkanlah.
Hari seperti apa lagi
yang hendak kau turunkan
dari istanamu
yang menjulang tinggi

Bacalah kami. Bacalah.
Indonesia bangun pagi.
Sedangkan kau masih keringetan
di ujung tidur yang gemetar.
Lihatlah, kami hinggap
dalam episode yang penuh dengan
hamparan tanah tak berpasir lagi

Bacalah kami. Bacalah.
Kami singgah sesekali
dalam diri lain.
Bacalah kami. Bacalah.
Surga beranak-pinak
dalam dasar lelap
dan godaanmu
yang bermekaran lagi

Bacalah kami. Bacalah.
Indonesia membangunkanmu
dari setiap petaka.
Bacalah kami. Bacalah.
Pagi semakin gundah.
Mengeja hari-harimu
yang kian patah-patah.

Kendal, Agustus 2017


Kami Membacamu

Kami membacamu. Kami mengeja.
Bagaimana degup dada dan hentak kaki berirama.
Kami membacamu. Kami mengeja.
Bagaimana suaramu menghantam semangat kami.
Dalam batin dan segenap jiwa.

Kami membacamu. Kami mengeja.
Tanah air bergerak menuju ke hadirat raga kami
yang tak pernah sempurna. Kami membacamu.
Kami mengeja. Peluh dan keringat tumpah mengaliri
setiap waktu. Saat kami tumbuh menjadi jejak
yang tak sanggup bersuara tanpa kemerdekaan darimu.

Kami membacamu. Kami mengeja.
Betapa hidupmu tak pernah sia-sia.
Betapa perjuanganmu tak pernah kunjung reda.
Kami membacamu. Kami mengeja.
Betapa segalanya tumpah menjadi satu.
Menjadi Indonesia. Negeri yang tak pernah goyah
sepanjang masa. Selama-lamanya.
Selama kami membacamu. Selama kami mengejamu.

Kendal, Agustus 2017


Dua Hari Dua Malam

Dua hari dua malam
Lewat dalam dua jam yang getar
Aku ingin sejenak bertapa
di bahumu sebelah kanan

Dua hari dua malam
Roda tak lagi diputar pelan
Aku ingin bersamamu pulang
Menuju hari-hari berlalu lalang
di sekitar rintik dan telapak tangan

Dua hari dua malam
Aku tak ingat apa-apa
Begitu pula denganmu
Yang lenyap dalam pelajaran
dan masa silam

Dua hari dua malam
Aku tak kunjung bangun
Dari sisa-sisa pengembaraan
dan kau, meninggalkan jasadku
Yang gemuruh di balik doa-doa
Hingar-bingar dalam dada-dada

Kendal, Agustus 2017


Berdiri di Luar

Maka berdirilah kami
Di atas tubuh-tubuh yang berapi-api
Maka melambunglah dada-dada kami
Di bawah ruang yang tak bersekat lagi

Maka berdirilah kami
Dari dalam benak dan batin yang paling sunyi
Dari dalam angan dan ingatan
yang kerap tidur di siang hari
Dari dalam takdir yang dikelilingi kehadiran
yang tak mati-mati

Maka berdirilah kami
Dari segalanya yang selalu mencoba belajar
Memahami banyak hal di luar tubuh kami
Menekuri beragam ruang di luar kegagalan kami

Kami kerap berupaya untuk menjadi diri lain di luar tubuh kami
Kami kerap bersandiwara untuk memutar rupa lain
Selain wujud yang diriwayatkan di luar rumah-rumah kami
Kami hendak menjadi serupa, tapi apakah bisa
Kami hendak menjadi seragam, tapi lihatlah
Di luar sana, orang-orang mulai mencangkok lengan tangan-tangannya
Orang-orang menanam beton di punggungnya

Mereka telah lupa, betapa masa lalu
telah membentuk diri sangat lain bagi sesamanya
Mereka telah lupa, betapa masa depan
telah menjunjung berjabat-jabat cerita
Kini, kami seakan belajar lagi
Untuk tidak sekadar tenggelam dalam keriuhan
yang sesungguhnya diciptakan saudara sendiri

Maka berdirilah kami, melampaui pagar dan dinding
yang sesungguhnya hanya telah dibuat
oleh orang-orang di rumah kami sendiri

Maka berdirilah kami
Saat kami melihat, betapa megahnya diri mereka
menjelmakan diri kami
Maka berdirilah kami, bersama-sama mereka,
atau siapa saja, untuk mengembalikan segalanya
Kembali merenungkan betapa eloknya rumah kita
Rumah yang didirikan atas berupa rumah-rumah
Rumah yang telah berdiri di atas kepala leluhur milik kita sendiri..

Semarang, September 2017


Kiai Syarif

Kami tak tahu, sudah tumbuh
dukuh-dukuh baru
Kami tak tahu,
Sudah mekar pengikut-pengikut baru
Kami tak tahu,
Sudah berapa ratus kemuliaan
tumbang
dalam punggung sejarah baru

Lihatlah, kami bisa apa
Jika bumi tunduk
Lihat, di sekitar Wanglu Gedhe itu
Bukti bagi ke hadirat
kepada iman
dalam satu musim
yang melipatgandakan tubuhnya

Bahkan kami tak tahu, ada apa
dengan Kyai Syarif
Ia dirikan rumah, tempat bersembah
Bagi penyebaran Islam
di sekujur Poncorejo

Masa itu, ia mengajarkan agama
Meriwayatkan ketiadaan dan keabadian
Yang kerap menyundul-nyundul di dada
masyarakat Dukuh Binangun,
Bandingan, Kaumsari, dan Planjen

Meski bagi Kalang,
tiada bisa tertembus syiar
yang dibawa olehnya
Tubuh mereka tergeletak
Membaca tuhan dalam terbata
Membaca diri dalam sepenuh tiada

Kendal, September 2017



Minggu, 12 Agustus 2018

Festival Seni dan Reproduksi Kegagalan (Suara Merdeka, 12 Agustus 2018)


Festival Seni dan Reproduksi Kegagalan
Oleh Setia Naka Andrian



Tiada lagi dapat ditemukan keberadaan yang mutlak bagi diri seniman, kecuali ruang yang dia ciptakan dari dalam tubuhnya. Seniman bekerja pada diri sendiri. Melakukan segenap aktivitas artistik sendiri.
Selanjutnya, seniman menemukan beragam rintangan, cobaan, dan godaan dalam setiap langkah penemuan diri sebagai pencipta seni yang sesungguhnya. Kerja itu setidaknya menjadi duplikasi terhadap generasi sebelumnya, atau duplikasi bagi diri yang lain. Segenap riwayat itu telah menjadi ladang garapan tersendiri bagi pegiat seni dan komunitas di Kendal.
Pada 14-15 Oktober 2017, di Taman Gajah Mada Kendal, Jarak Dekat Art Production Kendal bersama beragam komunitas mengeksekusi Kendali Seni Kendal 2017. Itu penyelenggaraan kali kedua selepas 2016. Lembaga kesenian dan kebudayaan yang menasbihkan diri sebagai lembaga nirlaba itu didukung 42 komunitas anak muda menyelenggarakan gelaran sebagai embrio festival seni.
Mengingat, bagi mereka, belum pernah ada festival kesenian di Kendal secara periodik dan metodik. Berawal dari kegelisahan itu, komunitas seni dan budaya di Kendal yang didominasi anak muda berupaya menggeliatkan gerakan berkesenian yang tak sekadar selebrasi.
Namun ada niat menciptakan iklim belajar, membangun, dan mempertahankan potensi personal dan komunal. Kendali Seni Kendal (KSK) 2017 sedikit berbeda dari gelaran sebelumnya. Pada 2016 baru diikuti tujuh komunitas, kali kedua menjangkau 42 komunitas.
Pada 2016 baru menjangkau khalayak yang sebagian besar siswa, kali kedua mampu menyedot masyarakat umum dari dalam dan luar kota. Tajuk KSK 2017 “Kendal Aku Pulang”, sebagai salah satu wujud untuk menggerakkan seniman yang telah lama meninggalkan Kendal.
Mereka diajak pulang, menjenguk kota leluhur. Dan yang masih berada di Kendal, diajak berpulang pula. Karena, barangkali tubuh tidak ke mana-mana, tetapi siapa tahu hati mereka belum pulang.
Untuk memperkuat tajuk itu, tradisi gebyuk pun ditanam di area kegiatan. Itu tradisi mencari ikan oleh warga pesisir di sepanjang aliran sungai. Aktivitas itu dilakukan warga secara gotong-royong. Tradisi serupa dipercayai berlangsung turun-temurun di Kendal.

Merawat Tradisi
Gebyuk pada KSK 2017 tak sekadar karya instalasi. Namun upaya produksi kepekaan bagi seniman untuk menjaga dan merawat tradisi leluhur. Gebyuk sebagai alat penangkap ikan, pada KSK 2017 untuk menjaring segenap komunitas seni budaya di Kendal.
Diharapkan, embrio festival kesenian itu berangsur-angsur menjadi gelaran festival seni yang diidamkan. Tak ayal, pada KSK 2018 para pegiat telah cukup percaya diri menyebut gelaranitusebagaifestivalseni.
Festival yang dikabarkan akan bertema “Aku Kendal” itu berupaya meriwayatkan orang Kalang sebagai salah satu etnik di Kendal yang telah diteliti guru dan sejarawan Kendal, Muslichin.
Ikhtiar itu setidaknya menjadi jalan lain untuk meriwayatkan dan mencari solusi atas reproduksi kegagalan dalam berkesenian di Kendal. Para seniman akan menciptakan program kreatif untuk mencari identitas diri secara personal dan komunal. Salah satu ladang garapan untuk menopang KSK, misalnya, program Tilas Balik.
Program itu digagas untuk meriwayatkan kearifan kota. Lewat segala laku kreatif, pegiat berupaya membangun isu, pertimbangan, dan kemungkinan lain dalam gerak seni budaya dari waktu ke waktu.
Melalui laku itu, para seniman akan menyibak riwayat kota (kampung halaman) sebagai penelitian lapangan guna menghadirkan atau menemukan cerita rakyat, sejarah kampung, atau mitos di masyarakat. Selanjutnya, segala penemuan akan digarap melalui bidang seni.
Baik sastra, seni rupa, musik, teater, tari, maupun film. Segenap kerja itu tak lain demi kelangsungan, perkembangan, dan kemajuan kota menuju arah lebih baik. Sampai jumpa pada KSK 2018.***

— Setia Naka Andrian, lahir di Kendal, 4 Februari 1989, dan bermukim pula di kota itu. Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) ini menulis esai, puisi, cerita pendek, dan resensi buku.

Minggu, 15 Juli 2018

Puisi Setia Naka Andrian (Suara Merdeka, 15 Juli 2018)



Dua Hari Lalu

dua hari lalu
kami tiadakan batin
kami tumbalkan tekanan
yang menyumbat ulu hati

dua hari lalu
kami tiadakan nadi

sejenak, kami memihak
banyak hal, kecual diri kami sendiri
kami coba ciptakan
rupa wajahmu yang lain itu,
kabar buruk yang didoakan
dari perpisahan dan kepulangan

dua hari lalu
kami rupa nada dering
yang kau kirim satu persatu
saat kekekalan dan kekalahan
menjadi satu ibu

dua hari lalu
ajarilah kami, menuruti jalan napas
jadikan kami pasir
di halaman rumah
yang tiada lagi
ditemukan butir-butir protein

dua hari lalu
jadikan kami waktu
di atap rumah
yang menyerupai langit-langit
:segala batas ketiadaan
dan pertempuran

dua hari lalu
jadikan kami esok hari
di atas kening
yang diangkat tinggi-tinggi
menuju keberadaan lain
yang tumbuh melampaui

dua hari lalu
di dalam goa
kami mencari
ke mana muara luka
akankah mereka tahu
bagaimana pahala
yang dikucurkan
dari dadanya
yang terbelah
sebelum segalanya
pindah menjadi lupa

dua hari lalu
jadikan kami hari depan
hari baik kami
yang dipindah darimu
menuju ke hadirat
setinggi waktu
yang melampaui
segala hari yang telah lalu

Kendal, November 2017


Kami Telah Saksikan

kami telah saksikan, tuan
perayaan itu, pesta dingin
yang menggiring diri kami
menggiling beban
di sekujur punggung

kami telah saksikan, tuan
kami tiadakan diri
dalam setiap gerak batu-batu
pada banyak rupa
yang tak mungkin bersatu-padu

kami telah saksikan, tuan
kami satu-satunya tanda lahir
yang ditinggalkan
dari matematika itu
dari abad panjang
dari genangan iman
yang dikisahkan tanpa peluru

kami telah saksikan, tuan
kami tiada lagi dapat pastikan
berapa panjang tubuhmu
mengitari luka-luka kami
yang setiap saat kian mekar
mengurung tubuh kami

kami telah saksikan segalanya, tuan
hanya harkat hidup dan mati kami
yang kerap membuat batin ini buyar
lantas, bagaimana kesaksian kehadiran
dan kepergian masa lalu kami
jika hari depan telah menjadi diri lain
selain dirimu?

Kendal, November 2017


Minggu, 06 Mei 2018

Cermin Jiwa: Politik dan Jagat Pesantren (Suara Merdeka, 6 Mei 2018)



Cermin Jiwa; Politik dan Jagat Pesantren
Oleh Setia Naka Andrian



Jagat pesantren, dewasa ini begitu rupa menjadi sorotan bagi elite politik. Santri, ulama, kiai seakan lahir sebagai magnet tersendiri bagi mereka yang hendak menampilkan diri dalam panggung politik. Pesantren setidaknya telah mengambil salah satu posisi (sasaran utama) untuk memperoleh kemenangan yang diidam-idamkan.
Sudah jelas, pesantren diyakini masyarakat sebagai jagat sunyi yang tak henti-hentinya memproduksi makna, identitas, hingga segala hal tentang pembentukan akhlak mulia bagi umat beragama. Rumah bagi para pengeja ilmu agama tersebut pun hingga kini masih begitu kuat menempa ingatan publik. Pesantren dengan segenap isinya, selalu diberi tempat di mata dan batin masyarakat kita.
Untuk itu, tak sedikit calon pemimpin kita yang kerap sowan kepada segenap pesantren seantero tanah Jawa ini. Dari mulai sekadar minta doa restu, hingga menggandeng putra kiai, atau salah seorang insan terbaiknya untuk maju bersama dalam panggung politik.
Seolah-olah pesantren menjadi sebuah tameng, rumah berlindung jika barangkali didapati beragam anggapan buruk yang bertebaran di telinga masyarakat. Atau setidaknya mampu menanam kepercayaan lebih dan yang pasti, mendongkrak ‘suara’. Sebab, sampai kapan pun pesantren tetaplah menjadi rujukan, segala mula dan muara, rumah berteduh bagi insan beragama, atau bagi siapa saja yang berhasrat menanam citra baik dalam tubuhnya.
Melalui novel Cermin Jiwa (Alvabet, Juli 2017), S. Prasetyo Utomo mengisahkan sebuah keluarga yang dihuni sepasang suami-istri setengah baya dan seorang anak perempuan belia. Merekalah Abah, Umi, dan Zahra. Abah mengalami kekalahan dalam pemilihan wakil rakyat. Abah, seorang pemilik ladang dan toko bunga. Suatu ketika ia mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Namun ia gagal, meski segalanya telah dipertaruhkan. Termasuk tanah, mobil, dan tabungan.
Selepas itu, Abah berniat menenangkan diri, kembali berguru di sebuah pesantren yang sempat ia tinggali semasa muda. “Aku ingin kembali berguru pada kiai di pesantren Lembah Bayang-Bayang, seperti pada masa mudaku. Melupakan keguncangan hatiku.” (hlm. 12).
Abah berniat menepikan diri. Ia telah tersadar, bahwa ia tak berjodoh menjadi wakil rakyat. Meski awalnya ia belum bisa sepenuhnya menerima. Selepas Umi, istrinya, mampu menyadarkan, maka Abah berniat kembali berguru ke pesantren. Abah memilih jalan sunyi, selepas persoalan berat menimpa hidupnya. Menapaki kembali jalan yang dikehendaki nuraninya, selepas diterpa kehancuran bertubi-tubi.

Gelagat Elite Politik
Prasetyo dalam novel ini memberikan tawaran lain pula, yakni didapati tokoh yang menyabung nasibnya dalam pemilihan wakil rakyat. Tokoh tersebut menang, namun tidak lama kemudian ia tak mampu mengendalikan nafsu. Maka segala itu menjerumuskannya ke penjara, akibat terbelit kasus korupsi.
Didapati pula kisah lain, seorang tokoh yang hendak maju dalam pemilihan Bupati. Ia berkunjung dan hendak meminta restu kepada Kiai Sepuh, pengasuh Pesantren Lembah Bayang-Bayang, tempat Abah berguru dan menenangkan batin.
Calon bupati tersebut mengumbar janji kepada Kiai Sepuh, termasuk ingin membangun jalan menuju pesantren. Akhirnya, Kiai Sepuh mengizinkan, memberi restu kepada calon bupati. Abah pun sempat heran, kenapa Kiai Sepuh memberikan restu.
Calon bupati tersebut pun menang dan sudah berkuasa, namun jalan menuju pesantren masih tetap belum dibangun seperti yang dijanjikan. Kiai Sepuh tetap tenang, tak mengaharap apa-apa. Abah begitu heran, pasti akan terjadi sesuatu.
Akhirnya terdengar kabar, bahwa bupati yang berkuasa tersebut ditangkap, ditahan, dan dibawa ke pengadilan. Semua orang pun tahu maksud Kiai Sepuh mendukungnya, hanya untuk menggiringnya ke penjara. “Aku baru sadar, Kiai Sepuh mendukung bupati itu untuk menemukan takdirnya di penjara,” kata Kiai Maksum, sebelum menghentak tali kendali kudanya. (hlm. 33).
Dari beberapa penggalan kisah tersebut menunjukkan, betapa Prasetyo menampakkan gelagat elite politik di sekitar kita. Keberadaan pesantren yang kerap kali diperhitungkan dalam melancarkan gerak roda kelompoknya demi mencapai kekuasaan yang mutlak.
Bumbu-bumbu lain pun dihadirkan oleh Prasetyo, yakni terkait persoalan tarik-ulur pembangunan pabrik semen di Lembah Gunung Bokong. Perlawanan, kecaman, pengkhianatan menjadi putaran gerak politik tersendiri. Negara pun turut serta dalam peristiwa daerah tersebut, selepas persoalan berlarut-larut dan memanjang hingga menjadi isu nasional.
Dalam novel ini, Prasetyo seakan menggarap sebuah dunia dengan segala kemungkinan yang kokoh, melalui kejernihan jiwa beberapa tokoh yang dihadirkan. Segalanya seakan menyelinap dalam benak dan batin kita. Menggelinding dalam roda keseharian yang tentu akan begitu mudah kita tunjuk di koran, televisi, dan segala media massa yang beterbangan di sekitar kita.***