Sabtu, 05 Agustus 2017

Film dan Ikhtiar Kesadaran Kolektif (Tribun Jateng, 5 Agustus 2017)

Film dan Ikhtiar Kesadaran Kolektif
Oleh Setia Naka Andrian

Salim Said dalam bukunya Profil Dunia Film Indonesia (1982) mengisahkan bahwasanya Usmar Ismail berusia 29 tahun ketika mendirikan Perusahaan Film Nasional (Perfini) pada 1950. Usmar konon berkata, “Kami tidak akan mempertimbangkan segi komersial.” Dengan bakat dan kemauan ia bertekad menciptakan film nasional. Terbukti, film pertamanya Darah dan Doa (kisah Long March Siliwangi) mengalami keterbatasan dana ketika sedang melakukan pemotretan (pengambilan gambar) di Subang Jawa Barat.
Pengisahan tersebut setidaknya dapat dijadikan pijakan generasi muda kita, khususnya bagi sineas yang sedang berasyik-masyuk dalam gegap komunitas. Bahwa sebuah proses kreatif harus tetap dilakukan, apa pun yang terjadi. Persoalan dana produksi pun sejak masa Usmar hingga saat ini menjadi masalah klasik. Tiada alasan apa pun yang dapat menghentikan roda berkesenian.
Seperti di Kendal, Rumah Kreatif Film Kendal (RKFK) telah menggelar pemutaran perdana filmnya beberapa waktu lalu pada 30 Juli 2017 di Pendopo Kabupaten Kendal. Malam itu, di ruang pemutaran yang seadanya, ruang akustik yang entah, sound system ala kadarnya dan pencahayaan yang semena-mena, tak membuat film berjudul Reksa dengan durasi 44 menit gagal menghampiri khalayak. Gedung pendopo malam itu begitu penuh dengan kisaran 300 pengunjung, sebagian besar di antara mereka adalah anak muda.
Hal serupa itu sekiranya menjadi bukti nyata, bahwa masyarakat kita begitu menggemari film. Ketimbang misalnya, jika dihadapkan dengan pertunjukan teater, apalagi jika diminta untuk merampungkan sebuah kisah dalam novel. Maka terbukti, akhir-akhir ini banyak bermunculan film yang bersumber dari kisah novel. Menjadi upaya lain untuk tetap menghadirkan kemuliaan kisah novel melalui sebuah karya visual dan audio. Lengkap sudah, masyarakat kita hanya diminta untuk duduk manis saja, bisa pula tiduran, atau dengan cara menonton seperti apa pun. Mereka tetap bisa menikmati guyuran kisah dengan tenang.
Apalagi film garapan Mustofa, sineas yang baru berusia 19 tahun tersebut mencoba mengangkat persoalan yang begitu dekat dengan masyakarat Kendal. Benak penonton diguyur bahasa, gerak, seni, budaya, dan segala hal yang begitu lekat dengan kampung halaman mereka. Dari mulai barongan khas Kendal, tradisi mencari ikan (gebyok), hingga persoalan pelik mengenai Tenaga Kerja Wanita (TKW) begitu rupa dihadirkan dalam jagat layar mereka.
Mengingat, Kendal merupakan pengirim TKW terbanyak di Jawa Tengah selepas Cilacap. Ini tentu menjadi persoalan lain, karena RKFK berencana untuk memutar keliling film ini ke kampung-kampung. Akan beda ceritanya jika suatu ketika film tersebut diputar dalam sebuah kampung yang ternyata didapati banyak keluarga TKW. Entah, segala ini dapat melukai mereka atau justru membuat mereka sadar.
Meski siapa pun berharap, melalui tangan Mustofa, sineas yang baru saja mendapatkan beasiswa di Jogja Film Academy tersebut, dapat membuat film ini benar-benar menjadi ikhtiar untuk memantik kesadaran kolektif masyarakat kita. Dihadirkannya sebuah keluarga petani miskin. Mereka adalah Reksa, seorang anak SD yang diperankan oleh Wahyu Zulfahmi. Dilahirkan dari ayah bernama Sukri yang diperankan Jatmiko dan ibu bernama Sum yang diperankan Siti Nur Azizah.
Awalnya Reksa sangat tidak menginginkan jika ibunya berangkat kerja ke Malaysia. Begitu pula ibunya, ia pun sama seperti Reksa. Apa pun yang terjadi, tetap ingin menjalani segenap hidup di negeri sendiri. Namun segala itu tak bertahan lama. Sukri, sang ayah tak kuasa menahan godaan dari tetangganya yang ternyata dapat hidup lebih layak karena sang istri bekerja di luar negeri. Setiap kali mengantarnya anaknya, Sukri menggunakan sepeda butut. Selalu berpapasan dan bertemu dengan tetangganya yang mengenakan sepeda motor saat mengantar anaknya. Sepeda motor hasil keringat sang istri yang bekerja di luar negeri.
Pada akhirnya, Sukri nampak naik pitam. Terlihat memaksakan agar Sum mau bekerja di Malaysia. Sum pun tak kuasa menolak, begitu pula Reksa. Meskipun, keseharian Reksa nampak berantakan selepas ditinggal ibunya. Segala ketidakberesan pun dijalani Reksa, sebagai anak yang begitu merindukan kehadiran sosok ibu, yang baginya sangat tak tergantikan. Reksa mencuci pakaiannya sendiri, suatu ketika baju seragamnya tak kering. Lantas ia tetap mengenakan seragam itu ke sekolah. Akhirnya, ia diledek temannya. Reksa jadi korban.
Selain beberapa hal tersebut, RKFK juga berupaya mengajak masyakarat untuk menumbuhkan rasa kecintaan dan kepekaan terhadap segala sesuatu yang terjadi serta dimiliki daerahnya. Banyak kearifan suatu wilayah yang ternyata belum tergarap, belum tercatat, dan bahkan semakin tak dikenali. Tentu segala ini sesunggunya menjadi pekerjaan rumah bersama. Segenap masyarakat punya hak untuk menyelamatkannya. Sebelum Kendal benar-benar lupa ingatan, karena tiada lagi yang sanggup atau terketuk hati untuk menyelamatkan riwayat kampung halaman. Meskipun dalam peluncurannya, film Reksa tak dihadiri oleh pejabat. RKFK mengaku telah mengirim undangan kepada pemimpin dan segenap dinas terkait.***


─Setia Naka Andrian, Dosen UPGRIS. Pencatat gerak seni budaya Kendal.

Kamis, 27 Juli 2017

Pengajar di Luar Tempurung (Wawasan, 27 Juli 2017)

Pengajar di Luar Tempurung
Oleh Setia Naka Andrian

Tentu setiap orang menyimpan banyak kenangan dari riwayat pengajar/gurunya masing-masing. Barangtentu sudah sangat kita akrabi ungkapan William Arthur, bahwa guru biasa ‘mengatakan’, guru baik ‘menjelaskan’, guru superior ‘mendemonstrasikan’, dan guru luar biasa ‘menginspirasi’. Pasti sepanjang hidup kita hanya akan mengingat beberapa saja pengajar yang menginspirasi, dibandingkan dengan begitu banyak pengajar yang ‘terlupakan’ riwayat kenangannya saat kita mengenyam bangku sekolah.
Entah tentang guru fisika yang selalu tidak membawa apa-apa ketika masuk kelas, namun begitu hafal dengan rumus-rumus dan segenap materi yang disampaikan di kelas. Guru yang berprofesi sebagai pengusaha sukses dengan mobil mewah yang selalu berganti-ganti. Atau guru bahasa Indonesia yang mahir membaca puisi, berteater, menulis, dan langganan juara lomba. Guru penulis buku-buku pelajaran yang diterbitkan penerbit major, dan seabrek kenangan lainnya. Tentu segala itu akan mudah kita riwayatkan kembali sebagai inspirasi hidup. Lebih-lebih, segala itu kita peroleh lebih banyak dari kenangan pengisahan guru kita di kelas pada sela-sela pelajaran sebagai intermezzo, ketimbang pelajaran yang disampaikannya.
Apa lagi di negeri kita ini, pembelajaran yang paling mujarab tentu yang disampaikan melalui metode ceramah. Tentu tidak dapat kita pungkiri, walaupun telah banyak ditemukan seabrek metode pembelajaran oleh pakar pendidikan kita. Tetap saja, dari mulai pagi di sekolah formal, hingga sore hari di sekolah diniah, misalnya. Guru kita akan lebih gemar berceramah. Mengisahkan banyak hal, baik yang masih terkait dengan materi pelajaran, atau bahkan yang sama sekali tidak ada kaitannya. Segala itu, tentu dilakukan atas dasar ikhtiar pembentukan nilai lain. Agar sekolah tidak hanya terkesan mengemban tugas untuk mengguyur ilmu pengetahuan semata.
Guru menginspirasi, tentu yang begitu terkenang di benak siswanya. Guru yang mampu memberikan ‘spirit lain’ atau pandangan lain kepada siswanya. Guru yang mampu menyeret imajinasi siswanya untuk mendalami sesuatu yang memang patut untuk diperjuangkan demi kehidupan diri, yang lebih baik tentunya. Guru yang tidak sekadar memberikan contoh semata, namun benar-benar mengajak untuk bergelut pada bidang tertentu. Entah yang dapat dilakoni pada saat masih menjalani proses pembelajaran di sekolah, atau kelak pada masa selanjutnya.
Seperti halnya tadi, guru fisika yang melampaui guru fisika lainnya, guru bahasa Indonesia pula. Tentu guru-guru tersebut merupakan pengajar yang berani mengambil keputusan lain. Guru yang beraktivitas tidak sekadar menyuntuki tugas-tugas administratif di sekolah tempatnya mengajar saja. Namun, telah mampu mengembangkan segenap potensi diri. Entah  dengan memperbanyak persinggungannya dengan komunitas atau forum-forum tertentu yang memicu semangat untuk menjadi ‘diri lain’ selain sebatas sebagai guru semata.
Guru yang tidak melulu percaya bahwa kehidupannya hanya sebatas menyuntuki segala yang sudah diterimanya saat ini. Artinya, tidak ada niatan untuk lebih memompa potensi dalam diri, keluar dan berpetualang lepas melampaui capaian orang lain di sekitarnya. Seperti halnya yang dikisahkan Benedict Anderson (2016), bahwasanya peneliti (seseorang) yang merasa betah dengan posisi mereka di suatu disiplin, jurusan, atau universitas tidak akan mencoba berlayar keluar dari pelabuhan atau mencoba-coba cari angin. Menurutnya, yang perlu dipegang teguh adalah kesiapan untuk mencari angin itu dan keberanian untuk mengikutinya, manakala ia menembus ke arahmu.
Pastilah setiap orang memiliki potensi lain, baik yang sudah kelihatan, yang masih samar-samar, atau bahkan yang belum nampak sekalipun. Hal ini tentu yang perlu dipicu adalah niatan untuk menemukan sesuatu yang baru, jika barangkali beberapa hal yang sudah ditemukan belum sepenuhnya klik di hati atau belum mampu menggapai capaian tertentu. Maka tidak heran, jika banyak pula masyarakat kita, selepas lulus sekolah/kuliah pada bidang tertentu, setelah itu bekerja pada bidang lain yang sangat berseberangan. Bisa jadi, itu semua akibat diri yang gegabah dan belum sepenuhnya mengamini bahwa hidup di dunia ini sejatinya adalah sebuah proses, sebuah perjalanan panjang untuk menjadi.
Lalu bagaimana dengan nasib pengajar kita saat ini? Dalam segenap aktivitas mereka seolah-olah begitu terbebani dengan kesibukan aktivitas administratif yang bertumpuk-tumpuk. Kegiatan di luar akademik yang membabi-buta, serta seabrek perjumpaan kerja yang seakan semakin menceraikan mereka dari buku, perlombaan bagi guru, atau bahkan pergulatan komunitas dan forum-forum mulia yang seharusnya diperlukan untuk menyambuki diri menjadi pengajar-pengajar yang bergerak di luar tempurung.
Mengingat, pada kenaikan pangkat jenjang tertentu misalnya. Guru Utama dengan pangkat Pembina Utama golongan ruang IV/e diwajibkan untuk melaksanakan kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan. Di antaranya tuntutan pengembangan diri,  publikasi ilmiah, dan/atau pengembangan karya inovatif. Misalnya pada bagian publikasi ilmiah, guru dituntut untuk publikasi buku teks pelajaran, buku pengayaan dan pedoman guru. Jika segala ini dituntut pemerintah, tentu mereka akan mau melakukan. Namun akankah masih mampu mengejar karya yang fenomenal, jika guru masih bernalar di dalam tempurung? Jika guru masih selalu disuntuki kerja-kerja administratif yang bertubi-tubi?***


─Setia Naka Andrian, Lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Bukunya yang telah terbit, kumpulan puisi Perayaan Laut” (April, 2016) dan bunga rampai “Remang-Remang Kontemplasi” (November, 2016). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan beberapa buku puisi, di antaranya “Manusia Alarm” dan “Orang-Orang Kalang”.

Sabtu, 29 April 2017

Jalan Tol dan Kematian Kota (Tribun Jateng, 29 April 2017)

Jalan Tol dan Kematian Kota
Oleh Setia Naka Andrian

Selepas peristiwa pembebasan lahan usai, yang didahului dengan tarik-ulur harga tanah, tragedi kecil dengan pemerintahan desa/kelurahan, atau bahkan hingga berdemo menuju pemerintahan tinggi di atasnya. Kita tak jarang akan melihat di warganet, orang-orang mengunggah foto riwayat rumahnya. Dari mulai potret awal ketika rumah didirikan, diperjuangkan dengan bertaruh keringat dari tahun ke tahun, hingga saat terjadi penggusuran akibat proyek pembangunan jalan tol.
Mereka seakan begitu tak rela melepas tanahnya. Berdalih, segala itu warisan leluhur yang tak terkira nilainya, dan patut dipertahankan sampai kapan pun! Namun akhir kata dalam unggahan foto-fotonya, “Biarlah segala ini berakhir. Biar bagaimanapun, semua ini demi suksesnya gerak pembangunan bangsa dan negara!”
Segala itu belum berakhir begitu saja. Tentu akan menyisakan berbagai persoalan baru bagi masyarakat kita. Awal mulanya, harga bangunan dan tanah yang diganti oleh pemerintah terkesan berduit-duit, melimpah-ruah. Ternyata setelah dibelikan lahan baru, kemudian membangun rumah lagi, uang tersebut tidak cukup. Lalu akhirnya, masyarakat lagi yang kelimpungan. Mengadu lagi, mengumpat lagi! Menyalahkan pemerintah lagi!
Belum lagi persoalan baru yang menimpa kota. Tentu ini bukan lagi hal sepele dan dapat dibiarkan begitu saja. Bergelimang pekerjaan rumah yang tidak hanya menyangkut harkat diri perorangan. Namun sudah berdampak pada kelangsungan hidup khalayak dan masa depan kota. Bayangkan saja, misalnya di kota kecil semacam Kendal. Selepas jalan tol Semarang-Batang dibangun, kemudian selanjutnya beroperasi. Apa yang akan terjadi dengan wilayah yang awalnya sebatas kota singgah ini?
Kota yang sebelumnya dimanfaatkan oleh pengguna Jalan Pantura hanya sebatas untuk merebah selepas mengisi bahan bakar di pom bensin, melucuti lelah sejenak di hotel-hotel melati, atau sekadar mencari warung-warung pinggir jalan untuk mengobati perut yang lapar. Segala itu sebatas mampir, tidak lebih! Kota singgah ini pun, sebelumnya seakan tak kuasa memberikan kemanjaan apa-apa. Baik itu untuk memanjakan mata atau bahkan lidah mereka!
Mata para pengendara, pelancong yang lewat tadi seakan semakin tak menemukan sesuatu yang berkesan. Seakan tiada lagi yang terkenang, membuat mereka kelak akan mampir lagi ketika melewati kota ini. Bahkan untuk urusan lidah, yang kita pahami dapat menjadi keutamaan bagi orang-orang bepergian. Siapa pun pasti ingin menjalani wisata kuliner! Sudahkah itu digarap di kota singgah semacam Kendal ini?
Seharusnya segala ini menjadi kegelisahan bersama. Kita harus sadar, kota ini bukan kota tujuan. Selepas jalan tol Semarang-Batang beroperasi, kita akan kejatuhan dampak yang bertubi-tubi. Bisa jadi, kota singgah yang dahulunya hendak bercita-cita menjadi kota tujuan pun akan pupus seketika. Bahkan untuk mempertahankan menjadi kota singgah (lagi) pun harus melalui jalan lebih panjang dan lengang.
Jika tidak segera mengambil tindakan berarti, cepat atau lambat kota ini akan berangsur-angsur mati. Para pengendara, pelancong, turis lokal maupun manca, akan lebih memilih berselancar di jalan tol yang lepas dan bebas hambatan itu. Menuju kota-kota tujuan semacam Jakarta, Bandung, Surabaya, Denpasar (Bali). Kota singgah ini tidak akan kebagian apa-apa. Masyarakat kita yang (katanya) telah mendapat berduit-duit dari hasil pembebasan tanah pun seakan mereda. Menikmati kehidupan baru di tempat tinggal baru, dan ‘seolah-olah’ merajut kebahagiaan baru.
Lagi-lagi pemerintah kabupaten/kota (Bupati Kendal) harus segera lepas tindakan. Masyarakat pun wajib membantu. Persoalan ini akan mulus dilalui hanya dengan kerja kolektif. Sudah tentu, sangat perlu mendengar pertimbangan dari tokoh/sesepuh masyarakat, sejarawan, budayawan dan seniman dalam gerak pembangunan yang benar-benar meriwayatkan kearifan kota.
Mau diapakan kota ini, hendak dibawa ke mana, mau disulap menjadi apa, dan lain sebagainya. Sudah seharusnya, tatanan kota pun harus dikemas ulang sedemikian rupa. Merujuk yang sudah disinggung sebelumnya, secara sederhana, kota ini wajib memanjakan mata dan lidah para pelancong! Kedua itu tentu dapat kita jadikan sebagai awal pijakan.
Setelah keduanya selesai, maka kemanjaan hati pun akan dilampaui. Para pelancong akan berkesan, mereka akan terkenang atas kemanjaan-kemanjaan yang dihidangkan di hadapan mata, lidah, dan tentunya di hati. Maka mau tidak mau, kelak mereka akan mengulangi persinggahannya lagi. Akan datang kembali, mengajak orang-orang baru, mengabarkan kepada handai-taulan dan sanak-saudara. Otomatis, pundi-pundi pedagang akan semakin penuh, perekonomian masyarakat kota bergerak melambung tinggi.
Sudah seyogianya perlu dipetakan lagi, mana saja tempat-tempat wisata di Kendal ini yang berpotensi digarap lagi. Terutama wisata alam di kota ini yang sekiranya masih bertenaga untuk memanjakan mata khalayak. Tentu hal ini sebetulnya bukan lagi menjadi sesuatu yang sulit. Tidak sedikit wisata alam di kota ini yang memiliki daya pukau. Ada Curug Sewu, Goa Kiskendo, Pulau Tiban, Pantai Sikucing, dan lainnya. Tentu salah satu tugas saat ini, hanya bagaimana mengelolanya lebih baik lagi. Lihat saja beberapa waktu dekat ini, Sungai Bladon yang terletak di Dusun Krayapan-Brangsong telah membuktikan.
Sungai yang tidak disangka-sangka itu tiba-tiba meledak dibanjiri banyak pengunjung. Masyarakat hilir-mudik, tidak hanya dari dalam kota saja yang berdatangan, namun menyedot ratusan warga dari kota-kota tetangga. Sungai yang terkesan masih asri, bersih, dan cocok untuk digunakan berfoto di balon pelampung yang bisa disewa pelancong. Itu menjadi salah satu bukti atas aset alam yang dimiliki kota ini. Sudah saatnya kota berbenah. Proyek pembangunan tol sudah berjalan. Sebentar lagi akan beroperasi. Seluruh lapisan masyarakat wajib urun rembug, turut andil dalam menciptakan masa depan kota yang lebih baik!***


─Setia Naka Andrian, Dosen UPGRIS, Menulis buku Perayaan Laut dan Remang-Remang Kontemplasi.

Minggu, 09 April 2017

Puisi Setia Naka Andrian (Suara Merdeka, 9 April 2017)

Zikir Mimpi

Berzikirlah kami,
di tepi sungai
yang tak berair lagi

Berzikirlah kami,
di tepi kening
yang tak bergaris lagi

Berzikirlah kami,
di tepi leher
yang tak berurat lagi

Berzikirlah kami,
di hadapan kampung
yang tak hidup lagi

Bermimpilah kami,
memohon lahir kembali
berkali-kali

Sarang Lilin, April 2017


Libatkan Benak Kami

Libatkan benak kami
Untuk memiliki umurmu
Yang tinggal sisa-sisa ini

Di surga yang sementara
dan semena-mena ini
Kami seakan lama
dipaksa mengembara
di tanah kelahiran sendiri

Lalu seperti apa kemudian hari
Jika segalanya
dilepas dengan tangan kiri

Hutan lebat kami
Daun-daun hijau yang urung tumbuh lagi
Semua kelimpungan, di musim
yang belum rampung ini
Semua hilang sekelebat

Dan di reruntuhan iman ini
Kami pasrahkan bulat-bulat
Kami geletakkan dengan sekarat
Betapa dunia telah memujimu
Menuju kehampaan
yang tak pernah selesai

Lalu kami semakin bimbang,
Jalan mana yang hendak kau tempuh
untuk benak kami yang tak bersisa ini?

Sarang Lilin, April 2017


Pendidikanmu Apa, Kalang

Pendidikanmu apa, Kalang
Kami baru dengar
Dari suara-suara
yang dibentangkan
di pohon-pohon menjalar
di tanah-tanah yang lapang

Pendidikanmu apa, Kalang
Di atas barisan umat-umat bergelengan
Yang mengepalkan tangannya
untuk menembusmu,
melukai jantungmu
yang biasa dipilih untuk ke hadirat

Pendidikanmu apa, Kalang
Didikanmu atas pertimbangan apa
Pandangan masyarakatmu
pandangan apa
Kini, semua seperti luka
yang diputar kembali
di permukaan punggung kami
yang telah terlanjur berlubang-lubang ini

Sarang Lilin, April 2017