Sabtu, 10 September 2016

Membangun Kota dengan Seni (Tribun Jateng, 10 September 2016)

Membangun Kota dengan Seni
Oleh Setia Naka Andrian

Nasib kota sebuah kota tentu menjadi tanggung jawab bersama. Tidak melulu urusan pemerintah saja, yang biasanya kerap kali lebih mementingkan bangunan infrastrukturnya ketimbang sumber daya manusianya.
Peran seniman lokal bisa jadi sebagai tumpuan utama. Kenapa begitu, karena bagaimanapun sejarah dan usia kota tidak bisa lepas dari nilai-nilai estetis di dalamnya. Baik terkait ketahanan filosofis dan kulturalnya. Itu tanggung jawab seniman, bukan?
Saya ingat, apa yang dikisahkan Tubagus P. Svarajati (2012) dalam sepenggal esainya, “Meski kita paham, hingga sekarang, langka seniman kita yang mendokumentasikan perkembangan atau riwayat kota secara serius dan metodis.”
Seniman kita, seakan begitu abai dengan kota yang melahirkan dirinya. Bahkan, jika di antara mereka masih selalu dihinggapi beragam apologia sebelum melakukan apa-apa. Maka cepat atau lambat, takdir sebuah kota akan berhenti begitu saja.
Dalam hal ini, jika kita simak di Kendal, selama lima tahun terakhir telah banyak bermunculan komunitas-komunitas seni kreatif. Baik yang fokus bersastra, seni rupa, teater, musik, film, dan lainnya. Seakan menyibak belantara kota melalui seabrek aktivitas saban harinya. Namun apa arti semua itu, jika program-program kreatif belum menyentuh bahkan sangat jauh dengan aktivitas pendokumentasian riwayat kota secara serius. Sebab, nasib sebuah kota akan tetap selalu bertarik magnet, antara sebuah kenyataan dan gagasan.
Komunitas seni kreatif layaknya hanya akan menjadi angin lalu, yang akan tumbuh berkembang beberapa saat. Lalu pada akhirnya pelan-pelan menunggu tumbang atau menemui ajal, kehancuran, mati suri, dan entah istilah mengerikan lainnya. Memang, sangat sulit kita temukan, misalnya, beberapa kelompok yang begitu berjaya pada masa lalu dan hingga saat ini masih bergerak atau menyisakan catatan kemuliaan di mata publik.
Sebut saja, jika di Kendal memiliki Teater Semut, dengan Aslam Kusatyo sebagai sutradara sekaligus aktor kawakan yang konon salah satu tokoh yang begitu mati-matian menghidupi khazanah teater dan sastra di tanah Bahurekso ini. Tentu, hingga saat ini masih terdengar, mengingat bagaimana ia diakui telah melahirkan jawara-jawara lomba teater, baca dan tulis puisi misalnya, bagi kalangan pelajar.
Begitu pula, ia dicatat melahirkan generasi penerus yang khusyuk menekuni sebagai pengajar ekstrakurikuler teater di beberapa sekolah. Bolehlah kita sebut beberapa tokoh muda. Di antaranya Akhmad Nasori, Hidayat Kliwon, dan Sobiron, misalnya. Ada pula yang mendirikan kelompok baru, sebut saja Akhmad Sofyan Hadi, aktor yang sempat menyabet juara II monolog dalam ajang Peksiminas (Pekan Seni Mahasiswa Nasional) 2008, sebagai salah seorang pendiri Jarak Dekat dengan beberapa aktivitas yang berniat menghidupi teater di Kendal. Walaupun tetap saja, jika di kota tetangga (Semarang) kesenian teaternya dihidupi oleh teater-teater kampus, maka di Kendal diramaikan dengan teater-teater sekolah (pelajar SMA sederajat). Hal tersebut dibuktikan selama bertahun-tahun dengan terselenggaranya beberapa parade teater yang dihuni oleh berjubel kelompok teater dari sekolah.

Generasi Patah-Patah
Sudah sepatutnya, masa lalu kesenian kota memiliki generasi kebanggaan, komunitas yang diagung-agungkan, atau tokoh-tokoh yang diidamkan menjadi tumpuan masa depan sebuah kelompok pada khususnya, atau nasib kota pada umumnya. Namun kenyataannya, kota seakan tak mampu memberikan apa-apa. Seorang seniman yang seharusnya menjadi ujung tombak, motor penggerak roda kesenian di sebuah kota, yang konon katanya karena persoalan klasik, maka di antara mereka pelan-pelan meninggalkan kota ini. Sebut saja misalnya, salah seorang sastrawan ternama di negeri ini, Ahmadun Yosi Herfanda. Penyair kelahiran Kaliwungu Kendal, mantan redaktur sastra koran Republika yang kini telah menetap di Jakarta sebagai penyair religius-sufistik. Ia banyak menulis cerpen, kolom dan esei sastra. Sehari-hari ia mengajar di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Serpong dan ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Tentunya, sederet persoalan tadi, atau kendala apapun tidak akan mampu menghalangi sebuah gerakan kesenian yang benar-benar khusyuk dan berasyik-masyuk dalam bidangnya masing-masing. Semua lini sudah seharusnya mampu berbaur untuk menentukan nasib sebuah kota. Barangtentu kita ingat, beberapa waktu lalu ketika Kendal Expo 2016, Bupati Kendal, Mirna Annisa, meluncurkan program “Kendal Permata Pantura”. Bupati yang masih terhitung belum lama ini menjabat, dengan seabrek program yang diidamkannya, tentu perlu dukungan dan kawalan yang ketat.
Mengingat pada bulan-bulan ini, sedang fokus pada peresmian Kawasan Industri Kendal dan mulai aktifnya Pelabuhan Tanjung Kendal. Lalu, apakah konsep besar yang disuarakan melalui Kendal Permata Pantura cukup masyhur dengan didirikannya kawasan industri dan pelabuhan baru saja? Lalu bagaimana nasib beberapa destinasi wisata semacam Pantai Sikucing, Goa Kiskendo, Curug Sewu? Jika mengidamkan kota ini menjadi permatanya pantura, apakah tempat-tempat itu hanya akan dibiarkan dengan pola pengembangan yang setengah-setengah dan sewajarnya saja?
Tentu jawabannya, sudah waktunya Kendal memiliki agenda festival kesenian yang diselenggarakan tahunan. Jika kita mau tengok kota-kota tetangga, taruhlah festival rutin FKY (Festival Kesenian Yogyakarta), lalu Dieng Culture Festival. Sudah sepatutnya, Kendal tidak hanya sekadar menciptakan kegiatan sebatas selebrasi semata, atau bahkan yang hanya terkesan sebagai pasar malam semata. Maka dalam hal ini, peran serta segenap seniman dalam berbagai bidang pun sangat dibutuhkan. Pemerintah kabupaten dengan dinas-dinas terkaitnya sangat mustahil mampu mensukseskan kerja besar tersebut.
Jika sudah ada keterlibatan kelompok-kelompok seniman, yang kebanyakan anak muda tersebut, tentu kota ini saya yakin tidak akan kesulitan menentukan arah gerak masa depan kotanya. Tentu, jika semua sudah benar-benar niat ingsun untuk meriwayatkan kota secara serius dan metodis. Baik melalui sastra, seni rupa, film, maupun teater. Festival yang menyuarakan seni kontemporer yang tidak mengesampingkan nilai tradisi dan filosofis kota. Tentu Kendal pelan-pelan akan menggema di penjuru kota, bahkan seantero negeri ini. Dengan seruan, “Kenali Kendal!” Tempat-tempat wisata dikelola dengan sajian tontonan sekaligus tuntunan seni dan budaya. Selanjutnya, pundi-pundi pendapatan daerah pun akan terdongkrak. Kota berangsur-angsur akan semakin merekonstruksi masa depannya yang kian gemilang. Semoga.***



─Setia Naka Andrian, Penyair kelahiran Kendal, Dosen Universitas PGRI Semarang. Buku puisinya “Perayaan Laut” (April 2016).

Senin, 01 Agustus 2016

Makam Leluhur dan Kemuliaannya (Jawa Pos, 31 Juli 2016)


Makam Leluhur dan Kemuliaannya
Oleh Setia Naka Andrian

Judul Buku                : Tarian Dua Wajah
Penulis                         : S. Prasetyo Utomo
Penerbit                       : Alvabet
Cetakan                       : I, Juni 2016
Jumlah Halaman          : 268 halaman
ISBN                           : 978-602-9193-86-2

Prasetyo memilih pengisahan novelnya ini dengan gaya realis-imajinatif. Membaca novel ini, sederhana memang, namun sadar atau tidak, pembaca akan disuguhi seabrek goncangan batin terkait bergelimang fenomena spiritual.
Novel diyakini menjadi cara ampuh bagi sebagian pengarang untuk lebih dalam menemui pembacanya, ketimbang melalui karya sastra lain termasuk puisi dan cerpen.
Itu disebabkan novel setidaknya lebih lantang menyuarakan pengisahannya, dengan tidak perlu banyak mengerutkan dahi pembaca. Seperti yang dapat pula kita rasakan ketika membaca novel S. Prasetyo Utomo, Tarian Dua Wajah (Alvabet, Juni 2016).
Prasetyo menggiring pembaca dengan suguhan persoalan makam leluhur di sebuah perkampungan dengan begitu bergejolak. Pertanyaan-pertanyaan di benak pembaca pelan-pelan menyambar tanpa henti, tatkala tokoh-tokoh mulai dihadirkan.
Termasuk tokoh Sukro yang begitu sentral sebagai salah satu keturunan Nyai Laras, leluhur kampung yang sudah meninggal. Nyai Laras adalah penari istana pada masa silam yang tenar seantero negeri. Yang kemudian diyakini terdapat titisannya, Dewi Laksmi, penari muda berbakat yang berkesempatan berkeliling dunia karena lenggok tubuhnya yang memukau.
Prasetyo memilih pengisahan novelnya ini dengan gaya realis-imajinatif. Sebuah ikhtiar tersendiri untuk lebih luas mencapai semua kalangan pembaca. Cerita awal dibuka dengan begitu getir, terkait kehidupan keluarga kecil Sukro yang tengah mempersiapkan proses melahirkan dari istrinya, Aya.
Masalah klise menghadang mereka, perihal kekurangan uang untuk biaya kelahiran. Akhirnya, Sukro, sang suami harus menagih kekurangan uang yang belum diberikan oleh pembeli. Seorang pengusaha yang membayar tanah Sukro, tanah bukit warisan leluhur yang terdapat makam leluhurnya, Nyai Laras.
Makam yang berangsur-angsur menjadi perdebatan bagi barga sekitar. Sebab, makam tersebut kerap digunakan sebagai tempat pemujaan bagi orang-orang di luar daerah yang setiap hari hilir-mudik berdatangan.
Membaca novel ini, sederhana memang, namun sadar atau tidak, pembaca akan disuguhi seabrek goncangan batin terkait gelimang fenomena spiritual. Prasetyo begitu pelan mengaduk-aduk batin pembaca, dengan nuansa realis-imajinatifnya, seakan menggiring keberhasilan dalam menguasai keyakinan pembaca.
Di situ, mulailah sejarah manusia baru diciptakan atas pergulatan persoalan yang sudah sangat sering kita jumpai dalam keseharian. Namun pengisahan-pengisahannya seakan diombang-ambing hingga menuju penyelesaikan yang tak terduga. Atau bahkan jawaban-jawaban atas segenap persoalan tersebut sangat sulit dipijaki dalam keseharian kita.
Misalnya saja, dalam pengisahan tokoh Aji, anak dari Sukro (dituduh merampok,  membunuh) dan seorang ibu bernama Aya (penyanyi kelab malam). Aji yang sejak lahir sudah ditinggal ayahnya mendekam di penjara, kemudian ketika usia satu tahun, ia dititipkan kepada pakde Rustam (kakak kandung Sukro).
Aji tumbuh dalam penuh tekanan. Hari-harinya yang sangat jauh dengan kasih sayang kedua orang tua. Ditambah kekerasan fisik dan mental yang terus dilakukan oleh bude dan anak-anak pakdenya.
Namun setelah beranjak dewasa, Aji memilih untuk meninggalkan rumah pakdenya. Dia meyakinkan diri untuk belajar di pesantren Kiai Sodik. Setelah berproses di pesantren, ternyata nampak kemuliaan-kemuliaan jiwa Aji. Hingga akhirnya, dia dinikahkan dengan Salma, anak Kiai Sodik yang jernih hatinya. Walaupun awalnya, hal tersebut kurang disetujui oleh istri Kiai Sodik, mengingat siapa Aji, siapa orangtuanya.
Prasetyo, dalam novel ini pun mengisahkan sosok Kiai Sodik dalam sisi kebimbangan-kebimbangannya. Menggambarkan betapa diri manusia, entah seberapa tinggi derajat dan kemuliaannya di mata masyarakat, tetap saja masih ada celah-celah kekurangannya.
Kerap dikisahkan Kiai Sodik mengadu kepada ibunya, ia meminta pendapat, atas kekhilafan yang dilakukan. Misalnya saja ketika dia sempat mampu menyembuhkan orang sakit keras, namun lain waktu dia gagal meski sempat begitu yakin mampu mengulangi keberhasilan sebelumnya.
Orang sakit kedua yang berusaha disembuhkannya meninggal. Proses persiapan pemakaman pun akhirnya dilakukan di lingkungan pesantren, masyarakat dan santri menyaksikan, menghadiri ritual pemakaman.
Hal itu seakan diciptakan Prasetyo untuk mengajak kita melihat bagaimana kondisi masyarakat saat ini. Biasanya segala sesuatu bermuara pada ruang-ruang santri, lingkaran-lingkaran kiai. Namun, tatkala waktu terus bergerak, masyarakat kita seakan bergerak pula kepandaian pemahamannya dalam menyikapi kehidupan.
Semua bisa goyah, semua memiliki celah kebimbangan jika dipertemukan dengan segenap peranti duniawi. Begitu kiranya sedikit kemuliaan yang dikisahkan dalam novel. Karya Prasetyo ini setidaknya memberi beberapa pandangan terhadap kita, mengajak kita menelusuri ruang-ruang kecil yang melimpah nilai.***

─Setia Naka Andrian, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Menulis buku puisi “Perayaan Laut” (April 2016).

Roh Spiritual di Jagat Fiksi (Suara Merdeka, 31 Juli 2016)

Roh Spiritual di Jagat Fiksi
Oleh Setia Naka Andrian

Novel terbaru S Prasetyo Utomo, Tarian Dua Wajah (2016) seakan menyeret saya memaknai gelimang kisah manusia dari tokoh-tokoh yang dihadirkannya. Benak saya diguyur aroma spiritual yang memadukan seni dan moralitas, seperti ditegaskan sampul apik bergambar penari cantik dengan dua topeng di kedua tangannya. Nyai Laras, seorang penari istana, yang diyakini sebagai leluhur sebuah daerah dalam latar novel.
Prasetyo, membuka dengan kisah getir lelaki muda kekar bernama Sukro, keturunan Nyai Laras yang dihadapkan persoalan ekonomi. Sukro berupaya keras memenuhi biaya kelahiran istrinya. Ia harus menjual tanah warisan yang terdapat pekuburan leluhurnya yakni, makam Nyai Laras. Persoalan muncul, ketika tak semua uang pembayaran tanah diberikan. Sukro membunuh pengusaha yang membeli tanahnya, karena tidak melunasi kekurangan penjualan tanah tersebut.
Sukro dipenjara 15 tahun atas tuduhan perampokan dan pembunuhan. Keluarga kecil Sukro menjadi berantakan. Aya, istri Sukro, selepas melahirkan anaknya, Aji, kembali menjadi penyanyi di sebuah kelab malam. Aji dititipkan kepada kakak iparnya di kota. Aji tumbuh meremaja dengan penuh tekanan dari istri kakak ipar beserta anak-anaknya.
***
Prasetyo pelan-pelan menyuguhkan roh spiritual selebar-lebarnya dalam segenap pengisahannya. Spiritual di sini memberi arah serta melakukan kritik atas realitas yang ada. Pun terkait pengisahan nilai-nilai kemuliaan begitu leluasa disuguhkan melalui tokoh-tokohnya dengan lantang, panjang dan saling berkaitan. Gelimang gerak manusia ditawarkan melalui tema, karakter dan ideologi tertentu. Prasetyo seakan menekuri catatan keyakinan yang bertebaran dalam keseharian hidupnya. Aktivitas kemanusiaan yang luhur pun sedemikian rupa ditawarkan tanpa mengerutkan dahi pembaca. Siapa pun seolah tergerak untuk tak habis-habis menemukan diri sendiri dalam pengisahannya.
Misalnya Aji, santri muda yang merupakan anak Sukro (pembunuh, perampok) dan Aya (penyanyi kelab malam), kemudian menjadi menantu kiainya, Kiai Sodik. Ia dinikahkan dengan seorang anaknya yang cantik dan jernih hatinya. Dalam hal ini, Prasetyo mencoba mendobrak kelaziman yang barangkali sangat jarang ditemukan dalam kehidupan kita. Prasetyo mengupayakan keyakinan Barker (2013) dalam melaksanakan kerja empiris yang ditekankan dalam tradisi kulturalis, mengeksplorasi cara manusia menciptakan makna kultural.
Dikisahkan pula, sosok Kiai Sodik, yang tetap teguh tidak mengusik sarang lebah madu di pesantrennya. Ada pembeli yang berkali-kali datang namun tetap saja tidak diberikan. Hingga suatu ketika, Kiai Sodik jatuh sakit, istrinya menyarankan agar salah seorang santri mengambil sarang lebah madu untuk Kiai Sodik. Namun ia menolak, katanya masih banyak obat dari dokter yang belum diminum. Suatu saat, lebah ratu dan gerombolannya berterbangan memasuki kamar Kiai Sodik dan bersarang di usuk kamar sang kiai. Madu memenuhi tiap-tiap liang sarang, hingga madu leleh, menetes tepat di bibir Kiai Sodik yang terbaring di bawahnya. Kiai Sodik berangsur membaik, hingga akhirnya sembuh.
Kiai Sodik pun mampu menerawang gerak manusia. Termasuk Aji dan ayahnya, Sukro. Bahkan ia mampu menyembuhkan orang sakit. Namun, tidak semua yang dijalani dan kemampuan yang dimilikinya berjalan mulus. Suatu saat ia bisa menyembuhkan orang sakit, lain waktu tidak, ketika ia lalai dan takabur, seakan mendahului kehendak tuhannya.
***
Prasetyo seakan membangun realitasnya sendiri melalui persoalan-persoalan pelik yang belum tentu dapat diselesaikan dalam dunia nyata. Konflik dimunculkan dengan mengejutkan dan diselesaikan sedemikian panjang dan tak terduga. Ini menjadi kekuatan tersendiri, sebagaimana Kuntowijoyo (2013) menyatakan sastra menjadi sistem simbol yang fungsional, bukan sekadar trivialitas rutin sehari-hari dan biasa-biasa saja. Prasetyo mencoba melarikan pengisahannya jauh dari kedangkalan persoalan keseharian yang membosankan dan tidak terselesaikan, yang sering kita temui dalam kehidupan nyata.
Prasetyo menciptakan penjara apik antara diri pembaca, moralitas, dan dunia teksnya sendiri. Ia mencoba mengurai persoalan sederhana di sekitar kita yang diselesaikan dengan takjub. Walaupun, lagi-lagi ia mengulang kegetiran yang hampir sama dalam novel pertamanya, Tangis Rembulan di Hutan Berkabut (2009).


─Setia Naka Andrian, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Menulis buku puisi “Perayaan Laut” (April 2016).

Senin, 18 Juli 2016

Kutukan untuk Pemalsu Vaksin (Wawasan, 14 Juli 2016)

Kutukan untuk Pemalsu Vaksin
Oleh Setia Naka Andrian

Banyak pihak sangat menyayangkan terhadap tindakan pemalsuan vaksin yang sementara ini peredarannya dikendalikan oleh tiga produsen, yakni Agus, Syariah, serta pasanga suami-istri Hidayat Taufiqurahman dan Rita Agustina. Hingga saat ini semua tersangka masih dikenai tindak pidana pencucian uang. Penyidik melacak semua aset tersangka. Selain itu, semua tersangka juga dikenai pasal berlapis karena melanggar Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Kejadian keji ini begitu menggetarkan seantero dada para orangtua di negeri ini, lebih-lebih bagi para ibu yang setiap waktu ingin selalu memberikan yang terbaik untuk kesehatan dan pertumbuhan buah hatinya. Segalanya pasti akan siap dikorbankan untuk kebutuhan kesehatan anak-anaknya. Beberapa waktu ini pun begitu ramai di berbagai media sosial, semua orang seakan mengecam tindakan yang dilakukan para pemalsu vaksin tersebut. Seperti halnya Change.org Indonesia pun dengan lantang melayangkan petisi dengan seruan, “@KemenkesRI @NilaMoeloek Selamatkan nyawa Balita Indonesia, Usut Tuntas #VaksinPalsu!
Petisi tersebut berisi,  1) Mendukung penyidikan kasus ini, meminta agar POLRI dapat membasmi secara tuntas tindakan pemalsuan vaksin dan mendukung penindakan yang tegas pada para pelaku. 2) Meminta Pemerintah, Bareskrim dan pihak berwenang lainnya untuk menarik semua vaksin yang saat ini beredar dan menggantinya dengan vaksin yang ASLI dan AMAN guna menjamin keamaan dan perlindungan kesehatan bayi-balita Indonesia. 3) Meminta Pemerintah, Bareskrim dan pihak berwenang lainnya untuk mengumumkan nama-nama distributor, Rumah Sakit, Klinik atau tempat kesehatan lainnya yang terindikasi dan/terbukti menggunakan vaksin palsu. 4) Mendorong Pemerintah untuk melakukan vaksin ulangan terhadap anak-anak yang lahir antara tahun 2003 – 2016 guna menjamin generasi indonesia yang sehat dan bebas penyakit berbahaya. 5) Mendorong BPOM untuk lebih agresif dalam mengawasi dan memfilter distribusi vaksin dan obat-obatan pada umumnya.
Minggu lalu di Nusa Dua, Bali (26/6), Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek mengatakan, anak balita yang telah mendapatkan vaksin palsu perlu diimunisasi ulang. Sebab di tubuh mereka tak terbentuk kekebalan. Imunisasi ulang pada anak usia 10 tahun dimungkinkan. Yang pasti, segala ini sangat tidak dibenarkan, karena menyangkut keberlangsungan kesehatan bagi anak-anak yan tentunya merupakan generasi penerus bangsa dan negara ini. Lebih-lebih hingga saat ini 194 negara menyatakan bahwa imunisasi terbukti aman dan bermanfaat untuk mencegah sakit berat, wabah, cacat dan kematian akibat penyakit berbahaya. Melalui imunisasi yang lengkap dan teratur dimasukkan ke dalam tubuh bayi-balita, maka akan timbul kekebalan spesifik yang mampu mencegah penularan, wabah, sakit berat, cacat atau kematian akibat penyakit-penyakit tersebut. Setelah diimunisasi lengkap, bayi-balita masih bisa tertular penyakit-penyakit tersebut, tetapi jauh lebih ringan dan tidak berbahaya, dan jarang menularkan pada bayi-balita lain sehingga tidak terjadi wabah.
Ini sebuah kasus yang tidak boleh disepelekan begitu saja. Pemerintah memberi perhatian khusus. Pihak-pihak yang berwenang harus mengusut hingga tuntas. Bahkan hingga saat ini, (Kompas, 28/6) polisi telah menetapkan 15 tersangka di sejumlah kota, seperti Jakarta, Tangerang Selatan (Banten), Subang dan Bekasi (Jabar), serta Semarang. Polisi juga memeriksa 18 saksi dari rumah sakit, apotek, toko obat, dan saksi yang terlibat dalam pembuatan vaksin palsu. Hasilnya, terungkap empat rumah sakit di Jakarta serta dua apotek dan satu toko obat di Jakarta terlibat peredaran vaksin palsu. Bayangkan saja, yang lebih mengerikan lagi ternyata tindakan pemalsuan vaksin ini telah dilakukan sejak tahun 2003, maka dapat kita ungkap bahwa sindikat pemalsu vaksin ini telah beroperasi selama 13 tahun dan telah tersebar ke beberapa daerah di Indonesia.
Sungguh sangat mengerikan, beberapa itu baru yang ditemukan, lalu bagaimana dengan yang masih aman, yang masih beroperasi mengedarkan dan mengonsumsi vaksin-vaksin palsu. Bagaimana nasib anak-anak di negeri ini, yang seharusnya sangat membutuhkan kekebalan untuk mencegah sakit berat, wabah, cacat dan kematian akibat penyakit-penyakit berbahaya. Umpatan, kutukan, tangis, bahkan doa-doa buruk bermunculan dari para ibu kepada mereka para pelaku. Sepertinya, jika melihat kasusnya yang tidak hanya penipuan semata, tidak hanya pemalsuan semata, namun sudah menyangkut keselamatan banyak nyawa. Kasus ini pun sudah sangat direncanakan, secara tidak langsung inilah perencanaan membunuh, tidak hanya nyawa seorang, namun nyawa dari jutaan orang, jutaan generasi penerus bangsa dan negara ini. Maka, belum adil jika para pelaku hanya mendapatkan hukuman mati saja. Apalagi hanya dipenjara puluhan tahun, atau hanya didenda saja. Semoga hukum ditegakkan setegak-tegaknya untuk kasus ini. Semoga dan semoga.***


Setia Naka Andrian, Penyair kelahiran Kendal, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS), Penulis Buku Puisi Perayaan Laut (April 2016).

Jumat, 27 Mei 2016

Pak Ogah, Dirindu dan Dicaci (Wawasan, 12 Mei 2016)

Pak Ogah, Dirindu dan Dicaci
Oleh Setia Naka Andrian

Sepertinya kita seakan merasa kuwalahan sebagai pemakai jalan yang kian hari semakin padat saja. Kita tentu sangat kesusahan jika harus menyeberang di jalanan yang begitu padat. Lebih-lebih jika pagi hari, suasana jalanan begitu ramai dengan kendaraan orang-orang yang memburu waktu agar tidak telat menuju tempat kerja. Belum lagi siswa-siswa sekolah, bus, dan angkutan umum lainnya dengan segenap asap kenalpot yang terkadang begitu menyebalkan bersanding dengan parfum yang sudah kita kenakan di segenap badan, polesan wajah para perempuan pun terasa cepat kusam, itu menyakitkan. Menambah semakin cemas, lautan kendaraan bermotor berlalu-lalang seakan tanpa jeda. Hingga akhirnya, entah menjadi sebuah keberuntungan atau malah menjadi semacam pertolongan buat kita, jika tidak sedikit kita begitu dimanjakan oleh Pak Ogah, sosok berbendera dan bercadar atau berhelm yang senantiasa membantu kita menyeberang di jalan-jalan yang belum disambangi lampu merah, di persimpangan jalan atau jalan putaran balik jalan-jalan ramai di kota kita.
Pak Ogah, begitulah sebutannya. Mereka mau tidak mau, telah banyak membantu kita. Mereka tidak sedikit yang hanya meminta sekadarnya (seikhlasnya) melalui sebuah ember kecil, mengharap sebatas recehan dari para pengguna jalan. Namun ada pula, sebagian dari mereka yang ternyata cukup meresahkan dengan meminta paksa. Namun memang, kenyataan semacam itu terjadi tidak begitu saja. Tentu sangat beralasan. Entah yang dimaksudkan mereka dengan dalih membantu, atau bahkan mengemban misi soasial untuk tidak sekadar membantu pengguna jalan semata, namun meringankan beban Polisi yang sedang mengatur arus lalu lintas. Tentu itu sangat wajar, jika kita melihat jumlah pengatur lalu lintas (Polisi) di negeri ini seakan tidak sebanding dengan perempatan-perempatan atau persimpangan jalan yang begitu ramai pada tiap harinya.

Pengganggu atau Penertib
Pak Ogah, atau kerab disebut sebagai Polisi Cepek, seakan menjadi produk jalanan modern kita yang kehadirannya terkadang dirindu saat mampu menertibkan jalan, namun ada pula yang menganggap kehadirannya sangat mengganggu arus perjalanan kita. Tentu hal tersebut sangat wajar. Tidak sedikit pula sebagian dari mereka yang dinilai sangat meresahkan masyarakat. Misal saja ketika mereka yang awalnya berdalih ingin menolong ketika ada perbaikan jalan, ketika jalanan terpaksa harus dibuka dan ditutup secara bergantian. Mereka seakan mengatur dengan begitu apik. Dari sisi yang berlawanan, mereka saling berkopmunikasi jalur mana dulu yang akan diperkenankan untuk berjalan. Bahkan tidak sedikit pula di antara mereka tidak hanya menggerakkan simbol-simbol melalui bendera saja, namun sudah merelakan untuk memanfaatkan alat telekomunikasi semacam Handy Talkie (HT) atau bahkan rela menghabiskan pulsa telepon genggamnya untuk berkomunikasi mngatur jalanan.
Namun jika kita sempatkan menengok beberapa kicauan masyarakat di media sosial, atau barangkali di antara kita ada yang sempat mengalami sendiri, tidak sedikit Sdi antara mereka yang mengumpat ketika para pengguna jalan tidak memberi imbalan, menggedor kendaraan kita, sambil melotot dan marah-marah dengan teriakan-teriakannya. Lebih-lebih, sangat dimanfaatkan mereka jika perbaikan-perbaikan jalan dilalui kita pada saat malam hari atau di jalanan-jalanan yang sepi. Pada posisi tersebut, mereka seakan begitu memanfaatkan untuk memeras. Tentu sangat meresahkan. Mengingat, tidak banyak uluran-uluran tangan aparat Polisi yang menjangkau lalu lintas yang kita temui pada posisi semacam itu. Apalagi malam hari, sungguh sangat sedikit. Namun kita pun tak bisa menyalahkan. Barang tentu memang belum begitu banyak aparat penegak lalu lintas kita, mengingat negeri ini sangat luas. Masih banyak pula jalan-jalan kota, jalan-jalan daerah-daerah di negeri ini yang masih kerap rusak dan selalu ada perbaikan. Bahkan, masih banyak pula jalanan pedalaman yang masih bobrok. Di situlah, mereka para oknum yang berniat jahat mulai beraksi dengan berjuta dalih demi mendapatkan keberuntungan-keberuntungan, yang bagi mereka sangat mengasyikkan.
Keberadaan Pak Ogah hingga saat ini seakan masih terbelah antara dirindukan dan dicaci. Barang tentu, bagi para Polisi Cepek tersebut merasa sangat menguntungkan, sebab menjadi sebuah lapangan kerja tersendiri. Misal saja mengenai pengisahan Wawan (27) perantau dari Surabaya, yang saya kutip dari perbincangan dari salah satu media sosial. Dikisahkan Wawan yang sehari-harinya beroperasi di perempatan sebuah ruas jalan di Cilincing, Jakarta Utara. Ia bersama 3 orang temannya sudah setahun beroperasi. Diakui menjalani profesi tersebut karena tidak mempunyai pekerjaan lain setelah diberhentikan dari pekerjaannya sebagai buruh pabrik di Jakarta Barat. Wawan dan ketiga temannya mengaku senang dengan penghasilan dari mengatur lalu lintas kendaraan di persimpangan yang cukup ramai tersebut. “Kalo dihitung-hitung mah lumayan banget. Apalagi saya setiap hari emang di sini. Enggak pernah bolos, kecuali kalau emang sakit,” tutur Wawan. Bersama ketiga temannya, Wawan berpenghasilan 60 ribu sehari dalam waktu 2 jam. Jadi sehari mereka bisa dapat kesempatan 2 kali (pagi dan sore) atau 4 jam, maka kisaran rata-rata penghasilannya mencapai 120 ribu dalam sehari. Sungguh lumaan menguntungkan bagi mereka. Doa mereka, tentu ingin selalu jalanan ramai. Namun tetap saja, segala itu masih kita tunggu bagaimana pemerintah memiliki upaya mulia untuk menyelesaikannya. Penghakiman yang tepat dan tidak merugikan bagi siapa saja. Utamanya, tidak merugikan pula bagi para Polisi Cepek tersebut. Semoga.***


─Setia Naka Andrian, Penyair kelahiran Kendal, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Penulis buku puisi, “Perayaan Laut” (April 2016), dan menyiapkan penerbitan buku puisi “Manusia Alarm”.

Selasa, 03 Mei 2016

Balutan “Luka” di Balik Perayaan Laut

Sebuah Catatan Pendek atas Kumpulan Puisi Setia Naka Andrian *)
Oleh Sawali Tuhusetya


Sebagai sebuah produk budaya, teks sastra tak pernah terlahir dalam situasi kosong. Ia berkelindan dengan berbagai persoalan dan dinamika sosial yang terjadi di seputar kehidupan sang sastrawan. Tidak berlebihan apabila teks sastra tak pernah diam; ia terus menyuarakan luka, derita, bahkan juga kegelisahan sang sastrawan. Teks sastra, dalam konteks demikian, bisa dijadikan sebagai medium sang sastrawan dalam menyuarakan kegelisahan, luka, dan derita yang mengendap dalam ruang batinnya.
Demikian juga halnya dengan teks puisi. Sebagai genre sastra, teks puisi juga tak pernah hadir dalam situasi kosong. Ia senantiasa mengusung berbagai persoalan yang berkelindan dalam diri personal sang penyair (jagat cilik) dan berbagai dinamika sosial yang terjadi di seputar kehidupan sang penyair (jagat gedhe). Melalui kepekaan intuitifnya, sang penyair senantiasa terlibat dalam pergulatan kreatif untuk menyuarakan kegelisahan yang mengerak dalam gendang nuraninya. Melalui bahasa sebagai medium utama dalam berekspresi, sang penyair melakukan transpirasi total kepenyairan sesuai dengan gaya tutur dan licentia poetica yang dimilikinya. Dalam proses pergulatan kreatif yang semacam itu lahirlah berbagai genre puisi dengan corak khasnya masing-masing.
Puisi-puisi karya Setia Naka Andrian (SNA) yang terkumpul dalam Perayaan Laut (PL) pun –dalam penafsiran awam saya– tak luput dari pergulatan yang semacam itu. SNA dengan amat sadar memilih puisi sebagai teks yang dianggap tepat untuk memberikan “kesaksian” dan menyuarakan kegelisahan yang mengendap dalam ruang batinnya. Kepiawaian dalam merawi kosakata, idiom, atau langgam bahasa agaknya dimanfaatkan benar untuk mengekspresikan berbagai persoalan yang bernaung di bawah jagat cilik dan jagat gedhe yang membayang dalam gendang nuraninya. Tak berlebihan kalau sejumlah puisi yang terantologikan dalam PL menyiratkan berbagai persoalan personal dan sosial yang menggelisahkan nuraninya; semacam cinta, idealisme, religi, atau hajat kehidupan yang yang lain.
Tema yang didedahkan dalam setiap puisinya pun tidak terjebak dalam narasi-narasi besar yang berambisi kuat untuk melakukan sebuah perubahan. SNA lebih suka mengakrabi persolan-persoalan keseharian yang seringkali luput dari perhatian banyak orang. SNA agaknya sangat menikmati betul ketika sedang berproses kreatif. Tema-tema keseharian yang diangkatnya justru mampu menumbuhkan imaji-imaji “liar” dan mencengangkan. Ibarat orang mau memetik mangga, ia tidak langsung melemparnya dengan batu, tetapi ia panjat dengan penuh kenikmatan sambil merapal mantra-mantra suci yang dianggap mampu menjadi sugesti untuk mendapatkan buah mangga yang diinginkannya. Dalam proses semacam inilah, SNA menemukan berbagai imaji dari “dunia lain” yang dianggap “liar” dan “mencengangkan”.
***
Jika ditilik dari muatan isi, 74 puisi yang terkumpul dalam anotologi PL sesungguhnya merupakan kisah tali-temali antara jagat cilik dan jagat gedhe yang yang bernaung-turba dalam kehidupan SNA. Sebagai sosok anak manusia yang secara biologis memiliki naluri sebagaimana makhluk Tuhan yang lain, SNA tak luput dari kisah pergulatan dengan masa depan yang “disembunyikan”, percintaannya dengan lawan jenis (fa?), aktivitasnya sebagai awak Teater Gema, hubungan kekerabatan dengan sanak-saudara, atau berbagai respon dan “kesaksian”-nya terhadap berbagai fenomena sosial yang mencuat ke permukaan.
Melalui kelincahannya dalam bertutur dengan permainan metafora yang secara estetik membuka ruang multitafsir, “keliaran” imaji yang mencengangkan tampak melalui dekonstruksi logika yang secara diametral sangat kontradiktif dengan logika awam. Simak saja: //Para masa depan terlihat lelah yang berjamaah/para masa depan mengantuk/lalu kita giring mereka pulang ke rumah/Kita ajak para masa depan untuk minum susu/kemudian mengajak mereka bergegas ke kamar mandi// (“Masa Depan yang Kelelahan”: 93); //kau pasti akan selalu gemetar/setiap mendengar kabar dari rumah/setiap pagi, ponselmu berkeringat/tak segan memukul mata dan telingamu// (“Perempuan Rantau”: 82); //Hari-hari telah sepakat/menjatuhkan bibir kita di laut/agar ikan-ikan semakin gemar/menidurkan petaka kita/dan membunuhnya pelan-pelan/dengan penuh ciuman// (“Perayaan Laut”: 72); //Hujan, maukah kau menjadi temanku/pagi ini sungai terlanjur menggantung dirinya/di atap kamar// (“Hujan, Maukah Kau Jadi Temanku”: 64).
Sebagai pemilik “kemerdekaan berekspresi”, tentu sah-sah saja SNA melakukan proses dekonstruksi logika untuk menciptakan metafora dalam menggarap persoalan yang dipuisikannya. Ia tidak harus mengikuti arus metafora “mainstream” yang sering didaur-ulang untuk menciptakan kekuatan dan daya estetik. Persoalan apakah puisinya bisa dipahami orang lain atau tidak, itu soal lain. “Pulchrum dicitur id apprensio”, begitulah kata filsuf skolastik, Thomas Aquinas. Adagium yang berarti “keindahan bila ditangkap menyenangkan” itu menyiratkan makna bahwa keindahan menjadi mustahil menyenangkan tanpa media sosialiasi. Begitulah, pergulatan kreatif SNA sudah tertunaikan ketika ia berhasil merawinya ke dalam sebuah teks puisi.
Yang tidak kalah menarik, selalu saja ada balutan “luka” yang membayang dalam sebagian besar puisi SNA. Simak saja pada puisi bertitel “Bidadari Tidur dalam Kitab Suci” (:11), “Beberapa Nama yang Sering Muncul di Ponselmu” (:25), “Untuk Pernikahan yang Tak Sebatas Ciuman” (:27), “Kaki dan Kenangan Kita yang Terpisah-pisah” (:29), “Dari Perempuan Elegan hingga Perempuan Es Degan” (:34), “Kita Lahir dari Musim yang Bersebelahan” (:36), “Takdir yang Mempertemukan Kita” (:38), “Seorang Pemuda di Hati Kita” (:43), “Ada yang Tenggelam di Balik Rel Kereta” (:44), “Perihal Sandiwara” (:47), “Munajat Air Mata” (:52), “Tabrakan” (:55), “Seorang Luka” (:57), “Perempuan Berhati Kaca” (:58), “Rindu” (:61), “Lampu Merah” (:62), “Kehidupan Aneh di Balik Jendela” (:63), “Hujan, Maukah Kau Jadi Temanku” (:64), “Negeri Berhidung Panjang” (:66), “Perayaan Laut” (:72), “Perempuan yang Ingin Menjadi Kereta” (:75), atau “Kematian Hari-hari yang Menjadi Kamarmu” (:80).
Meski bertutur tentang “luka”, puisi-puisi tersebut tidak lantas terjebak dalam ungkapan-ungkapan vulgar yang sarat dengan sumpah serapah. Melalui permainan metaforanya, “luka” dibalut dalam kemasan bahasa tutur yang subtil dan lembut. //kau terus membayangi perjalananku/yang semakin subuh mendoakan cinta-cinta/kepada para tetangga yang sedang asyik menyeruput malapetaka dalam rahim istrinya// (:25), //dan orang-orang di sekitar kita/akan membaca hikayat kematiannya masing-masing/yang selalu bermula-mula/karena kesepakatan kita/adalah doa pertanggungjawaban lupa// (:27), //Begitulah takdir, mempertemukan kita/dari perjalanan dan pengkhianatan-pengkhianatan/Ia yang membawa kita menelusuri jejak dan luka-luka// (:38), atau //hendak kau kirim ke mana lagi/air matamu/lihatlah, sungai tiba-tiba dangkal/kesedihan meriwayatkan senyumnya/sebab keridaan tlah tak berpenghuni,/mereka bunuh diri/menggantung kakinya/setinggi-tinggi di atas kepala// (:52).
“Luka” dalam PL agaknya bukanlah fokus dan basis utama SNA dalam berproses kreatif. “Luka” lahir sebagai bagian dari “digresi” pemaknaan arus hidup yang mustahil dihindarinya ketika luka-luka peradaban masih menganga di tengah panggung kehidupan sosial. SNA hanya sekadar mewartakan dan memberikan kesaksian tentang “luka” yang memfosil dalam ceruk kehidupan umat manusia yang belum sepenuhnya terpotong oleh sejarah. Balutan “luka” dalam konteks PL juga bisa dimaknai sebagai pengejawantahan totalitas sikap SNA yang ingin tetap “setia” pada jalur kepenyairan yang “khas” menjadi miliknya; bertutur tentang persoalan apa pun, metafora tetap menjadi bagian esensial dalam sebuah teks puisi. Dengan kata lain, esensi puisi sebagai teks sastra akan kehilangan “roh”-nya apabila menanggalkan bahasa sebagai medium utama dalam membangun kekuatan dan daya estetika.
***
Sebagai sebuah catatan pendek, tulisan ini mustahil dapat menampilkan telaah secara utuh dan lengkap terhadap puisi-puisi SNA dalam PL. Masih banyak aspek dan unsur yang terabaikan. Menelaah puisi SNA membutuhkan kecermatan interteks secara intens. Saya berharap catatan pendek ini bisa dilengkapi melalui diskusi bersama.
Nah, selamat berdiskusi!
***
—————————————————–
*) Disajikan dalam “Bedah Buku Puisi Perayaan Laut Karya Setia Naka Andrian” pada Selasa, 17 Mei 2016 (pukul 19.00-selesai) di Kedai Kopi Jakerham, Sekopek, Kaliwungu” yang digelar oleh Pelataran Sastra Kaliwungu (PSK)

Sumber: http://sawali.info/2016/05/18/balutan-luka-di-balik-perayaan-laut/