Senin, 01 Agustus 2016

Roh Spiritual di Jagat Fiksi (Suara Merdeka, 31 Juli 2016)

Roh Spiritual di Jagat Fiksi
Oleh Setia Naka Andrian

Novel terbaru S Prasetyo Utomo, Tarian Dua Wajah (2016) seakan menyeret saya memaknai gelimang kisah manusia dari tokoh-tokoh yang dihadirkannya. Benak saya diguyur aroma spiritual yang memadukan seni dan moralitas, seperti ditegaskan sampul apik bergambar penari cantik dengan dua topeng di kedua tangannya. Nyai Laras, seorang penari istana, yang diyakini sebagai leluhur sebuah daerah dalam latar novel.
Prasetyo, membuka dengan kisah getir lelaki muda kekar bernama Sukro, keturunan Nyai Laras yang dihadapkan persoalan ekonomi. Sukro berupaya keras memenuhi biaya kelahiran istrinya. Ia harus menjual tanah warisan yang terdapat pekuburan leluhurnya yakni, makam Nyai Laras. Persoalan muncul, ketika tak semua uang pembayaran tanah diberikan. Sukro membunuh pengusaha yang membeli tanahnya, karena tidak melunasi kekurangan penjualan tanah tersebut.
Sukro dipenjara 15 tahun atas tuduhan perampokan dan pembunuhan. Keluarga kecil Sukro menjadi berantakan. Aya, istri Sukro, selepas melahirkan anaknya, Aji, kembali menjadi penyanyi di sebuah kelab malam. Aji dititipkan kepada kakak iparnya di kota. Aji tumbuh meremaja dengan penuh tekanan dari istri kakak ipar beserta anak-anaknya.
***
Prasetyo pelan-pelan menyuguhkan roh spiritual selebar-lebarnya dalam segenap pengisahannya. Spiritual di sini memberi arah serta melakukan kritik atas realitas yang ada. Pun terkait pengisahan nilai-nilai kemuliaan begitu leluasa disuguhkan melalui tokoh-tokohnya dengan lantang, panjang dan saling berkaitan. Gelimang gerak manusia ditawarkan melalui tema, karakter dan ideologi tertentu. Prasetyo seakan menekuri catatan keyakinan yang bertebaran dalam keseharian hidupnya. Aktivitas kemanusiaan yang luhur pun sedemikian rupa ditawarkan tanpa mengerutkan dahi pembaca. Siapa pun seolah tergerak untuk tak habis-habis menemukan diri sendiri dalam pengisahannya.
Misalnya Aji, santri muda yang merupakan anak Sukro (pembunuh, perampok) dan Aya (penyanyi kelab malam), kemudian menjadi menantu kiainya, Kiai Sodik. Ia dinikahkan dengan seorang anaknya yang cantik dan jernih hatinya. Dalam hal ini, Prasetyo mencoba mendobrak kelaziman yang barangkali sangat jarang ditemukan dalam kehidupan kita. Prasetyo mengupayakan keyakinan Barker (2013) dalam melaksanakan kerja empiris yang ditekankan dalam tradisi kulturalis, mengeksplorasi cara manusia menciptakan makna kultural.
Dikisahkan pula, sosok Kiai Sodik, yang tetap teguh tidak mengusik sarang lebah madu di pesantrennya. Ada pembeli yang berkali-kali datang namun tetap saja tidak diberikan. Hingga suatu ketika, Kiai Sodik jatuh sakit, istrinya menyarankan agar salah seorang santri mengambil sarang lebah madu untuk Kiai Sodik. Namun ia menolak, katanya masih banyak obat dari dokter yang belum diminum. Suatu saat, lebah ratu dan gerombolannya berterbangan memasuki kamar Kiai Sodik dan bersarang di usuk kamar sang kiai. Madu memenuhi tiap-tiap liang sarang, hingga madu leleh, menetes tepat di bibir Kiai Sodik yang terbaring di bawahnya. Kiai Sodik berangsur membaik, hingga akhirnya sembuh.
Kiai Sodik pun mampu menerawang gerak manusia. Termasuk Aji dan ayahnya, Sukro. Bahkan ia mampu menyembuhkan orang sakit. Namun, tidak semua yang dijalani dan kemampuan yang dimilikinya berjalan mulus. Suatu saat ia bisa menyembuhkan orang sakit, lain waktu tidak, ketika ia lalai dan takabur, seakan mendahului kehendak tuhannya.
***
Prasetyo seakan membangun realitasnya sendiri melalui persoalan-persoalan pelik yang belum tentu dapat diselesaikan dalam dunia nyata. Konflik dimunculkan dengan mengejutkan dan diselesaikan sedemikian panjang dan tak terduga. Ini menjadi kekuatan tersendiri, sebagaimana Kuntowijoyo (2013) menyatakan sastra menjadi sistem simbol yang fungsional, bukan sekadar trivialitas rutin sehari-hari dan biasa-biasa saja. Prasetyo mencoba melarikan pengisahannya jauh dari kedangkalan persoalan keseharian yang membosankan dan tidak terselesaikan, yang sering kita temui dalam kehidupan nyata.
Prasetyo menciptakan penjara apik antara diri pembaca, moralitas, dan dunia teksnya sendiri. Ia mencoba mengurai persoalan sederhana di sekitar kita yang diselesaikan dengan takjub. Walaupun, lagi-lagi ia mengulang kegetiran yang hampir sama dalam novel pertamanya, Tangis Rembulan di Hutan Berkabut (2009).


─Setia Naka Andrian, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Menulis buku puisi “Perayaan Laut” (April 2016).

Tidak ada komentar: