Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Kamis, 09 Maret 2017

Kampus Bukan 'Menara Taring' (Derap Guru, Maret 2017)

Kampus Bukan 'Menara Taring'
Oleh Setia Naka Andrian

Seperti apa sesungguhnya kampus yang diidamkan mahasiswa masa kini? Tentu semua tak dapat disamakan atau dipukul rata dengan masa lalu. Misal saja, dulu mahasiswa bimbingan skripsi dengan susah payah menggunakan mesin ketik manual, sedangkan saat ini sangat nyaman menggunakan laptop bermerek dan tentu berharga mahal. Jika dulu setiap salah harus mengetik berulang-ulang dengan kertas yang berbeda hingga menumpuk kertas-kertas yang salah, namun kini dengan sangat mudah mengklik “delete” dengan file tersimpat dan kemudian mencetak lagi dengan kertas baru.
Barang tentu, hal tersebut akan memberi ‘sedikit’ perbedaan ketangguhan yang dialami akademisi masa lalu dengan akademisi masa kini. Melalui tempaan yang begitu keras, dilakukan berulang-ulang, maka ilmu akan sangat membekas dan kuat tertanam dalam diri. Seharusnya dengan segala kemudahan dan perkembangan teknologi saat ini, akan mampu menciptakan generasi yang lebih unggul. Jika generasi kita mampu memanfaatkan segala kelebihan-kelebihannya. Termasuk terkait teknologi yang tentu tidak ditemukan pada masa lalu. Tinggal bagaimana sikapnya memuliakan gelimang kecanggihan tersebut, karena informasi dan segalanya sudah dengan sangat mudah didapatkan.
Tentu kita yakin, jika mahasiswa, masyarakat akademis yang berproses di kampus, memiliki cita-cita mulia untuk memajukan dirinya dalam tugas sebagai manusia terdidik. Hal tersebut sejalan dengan yang dipaparkan Satmoko (1999) bahwa manusia sebagai makhluk sosial yang berbahasa (untuk media berpikir dan berkomunikasi) sehingga mampu mencipta, belajar, bekerja, berproduksi, membedakan antara baik-buruk, beriman dengan yang gaib, menahan nafsu yang liar, memiliki kodrat, berusaha mengejar cita-cita idealnya, membina hubungan sosial dengan orang lain, hidup bermasyarakat dan berusaha menguasai sumber daya alam.

Perlakuan Lain
Maka sudah sepatutnya, ada perlakuan lain. Tindakan beda kepada mahasiswa dalam aktivitas pemerolehan ilmu di kampus. Harus ada upaya lain dalam pengelolaannya antara siswa dengan ‘maha’ siswa. Barang tentu mahasiswa sudah sepantasnya mendapat wilayah luas dalam pengembangan dirinya. Sudah saatnya mahasiswa mampu mencipta, belajar, bekerja, berproduksi, membedakan antara baik-buruk. Lalu tugas pengajar/dosennya bagaimana? Haruskah benak mahasiswa di kampus masih beranggapan sebagai gedung-gedung yang seram?
Tentu, mahasiswa, generasi perubahan bangsa ini sangat mengidamkan kampus yang segar, bergairah dan sangat anak muda. Lingkungan yang akan membuat mereka lebih leluasa dalam berpendidikan dan mengembangkan diri. Mengingat, posisi usia mahasiswa sangatlah perlu dipompa semaksimal dan seoptimal mungkin untuk menggapai segala angan dan cita-cita. Kita juga tentu tidak ingin, melihat lebih banyak lagi persoalan-persoalan yang bergelimang dalam dunia anak muda masa kini. Misalnya terkait kenakalan-kenakalannya, gaya hidup yang terlalu bebas, bahkan hingga menuju tindak kriminalitas.
Sepertinya kita perlu kembali memutar ingatan menuju pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang begitu mulia menjadi pijakan pendidikan di negeri ini. Konsep-konsep yang diberikannya tentu tidak kalah dengan pemikiran dan teori pendidikan modern yang berkembang hingga saat ini. Barang tentu sudah sangat kita ketahui, bahwa Ki Hadjar Dewantara jauh lebih dulu mengenalkan konsep Tri-Nga dari Taxonomy Bloom (cognitive, affective, psychomotor) yang kita ketahui sangat terkenal itu. Konsep tersebut di antaranya Ngerti (kognitif), Ngrasa (afektif) dan Nglakoni (psikomotorik).
Belum lagi konsep belajar yang selayaknya taman, proses pembelajaran yang menyenangkan. Melakoni dan menyelesaikan segala sesuatu dengan pemecahan bersama melalui perbincangan-perbincangan yang menyenangkan. Jika sudah seperti itu, tentu kita pelan-pelan akan sedikit menyingkirkan wabah penyakit dari gerakan teroris dan faham-faham radikalisme lainnya yang saat-saat ini begitu berkembang pesat di negeri ini, tidak sedikit pula yang bermunculan dan mengakar begitu kuat di kampus-kampus.
Tentu pemerintah dan lembaga-lembaga terkait termasuk kampus, tidak boleh gegabah. Jangan sampai timbul aktivitas latah akibat ada niatan besar untuk pencapaian program secara cepat dan instan. Pendidikan nasionalisme memang sangat penting dan sangat perlu. Namun, segala itu tidak dapat begitu saja dilakukan dengan mudah seperti halnya membalikkan telapak tangan. Segala itu membutuhkan proses. Membutuhkan perjalanan dan perlakuan pelan melalui pembiasaan aktivitas-aktivitas yang sehat.
Sudah saatnya kita memberikan kebebasan sepenuhnya bagi mahasiswa untuk berekspresi positif. Seluas-luasnya. Jangan sampai kampus menetapkan larangan-larangan yang terkesan menyudutkan mahasiswa atau seolah-olah memposisikan mahasiswa sebagai manusia yang selalu salah. Tentu kita sejenak harus sedikit merenungkan, bahwa sejatinya mahasiswa adalah ujung kemuliaan siswa. Mereka pada posisi atas. Beri kesempatan yang paling atas untuk mengembangkan posisi mulianya sebagai masyarakat akademis.
Seperti halnya yang disampaikan Prayitno (2009) pemuliaan kemanusiaan manusia dalam kehidupan sehari-hari nampak melalui aktualisasi dimensi-dimensi kemanusiaannya. Di antaranya dimensi kefitrahan, keindividulanan, kesosialan, kesusilaan, dan keberagamaan. Jika penampilan kelima dimensi kemanusiaan tersebut sudah benar-benar tertanam, maka setidaknya mahasiswa akan merasa lebih dimuliakan lebih dari kemuliaannya. Selanjutnya, potensi-potensi baru pun akan mengaliri lautan akademis kita. Kampus bukan lagi menjadi ‘menara taring’ bagi mereka. Semoga.***


─Setia Naka Andrian, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang.

Kamis, 02 Februari 2017

Aroma Tubuh, Erotisme, dan Identitas (Wawasan, 2 Februari 2017)

Aroma Tubuh, Erotisme, dan Identitas
Oleh Setia Naka Andrian

Sarasehan yang digagas Subur L. Wardoyo, Nur Hidayat, serta teman-teman Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Universitas PGRI Semarang dengan tajuk Perempuan, Budaya Pop, dan Erotisme pada 21 Januari 2017 di Rumah Makan Chanadia Jalan Erlangga Semarang, memantik hadirin untuk lebih jauh meriwayatkan keberadaan bau (aroma tubuh perempuan) sebagai identitas dan kekayaan masyarakat kita.
Aroma tubuh, khususnya bagi perempuan, tentu kerap menjadi perhitungan panjang. Seorang perempuan tak akan begitu saja “melepas” tubuhnya di lingkungan masyarakat. Pasti akan dipersiapkan penampilannya, terutama pada sisi aroma tubuh. Barangkali jika penampilan sudah dipersiapkan baik-baik, sosoknya sudah cantik, namun jika urusan bau masih belum selesai, dan masih menyemburkan bau tak sedap, maka runtuhlah “harga” diri seorang perempuan itu.
Yang pasti, ilustrasi tersebut kerap hanyalah menjadi persoalan bagi perempuan semata. Terkait obrolan yang berjalan, di antara peserta diskusi ada yang menyampaikan bahwasanya seorang lagi-lagi tak selamanya selalu menuntut aroma sedap dari tubuh perempuannya. Jika semua itu sebatas tempelan, yang hanya diperoleh dari semprotan parfum atau deodoran yang diguyurkan di sekujur tubuhnya. Tak sedikit laki-laki yang mengatakan, bahwa mereka masih sangat merindukan aroma alami dari pasangannya atau perempuan yang diidamkannya.
Disampaikan oleh Subur, bahwa body chemistry akan menentukan seorang perempuan dan laki-laki saling terangsang. Pada posisi tertentu seorang laki-laki, misalnya, akan lebih memilih pasangannya dengan tanpa menggunakan aroma parfum. Ia lebih menghendaki pasangannya menyemburkan aroma tubuh yang alami. Biar pun selepas beraktivitas, berolahraga, dan berkeringat, namun sang laki-laki justru semakin berhasrat.
Di antara perempuan dan laki-laki itu, akan timbul reaksi alamiah yang kemudian berlanjut pada ruang-ruang pergerakan jasmani. Terutama pada laku spontan dari organ jasmaniah, seperti dari otak, jantung, otot-otot yang terpicu oleh rangsangan dari indra penciuman kita. Kemudian, segala itu akan kita yakini sebagai sebuah kecocokan, merasa berjodoh dan klik.
Barang tentu sangat kita lihat, dan sangat kita yakini, seorang perempuan justru cenderung akan menutupi bau badannya dengan pemenuhan aneka parfum pilihan yang dibelinya dengan harga yang begitu mahal. Kali pertama yang dilakukan selepas ia mengenakan pakaian, tentulah menyemprot sekujur pakainnya dengan aroma parfum tertentu. Segala itu, tak lain hanya demi sebuah kesan yang hendak ia sajikan kepada pasangannya (lawan jenis). Dengan harapan, akan terjalin sebuah pertemuan, perbincangan, dan hubungan yang hangat.
Perihal bau, yang awalnya kita percaya sebagai segala sesuatu yang keluar dari apa saja yang dapat ditangkap oleh indra penciuman kita, seperti bau anyir, harum, busuk. Maka kini, riwayat bau (aroma tubuh) tidak selesai atau berhenti begitu saja. Misalnya, peserta diskusi lain, Nanda Goeltom, salah seorang pria kelahiran Batak, turut serta mengisahkan perjumpaannya dengan bau. Ia menjelaskan bagaimana bau telah menjadi warisan dari leluhur kita.
Dalam obrolan yang berlangsung, bau yang ternyata sudah menjadi bagian dari identitas masyarakat kita, sejak dahulu kala. Orang Batak misalnya, akan sangat hafal dengan bau orang Madura, begitu pula sebaliknya. Di antara mereka akan sanggup mengenali, hanya berdasar pada bau yang ia terima melalui indra penciumnya. Seolah-olah, bau mengambil posisi yang melampaui dari tubuh yang memproduksi bau itu sendiri.
Selanjutnya, bau pun menjadi penanda keberadaan atau identitas tersendiri bagi sebuah kota/daerah tertentu. Bau atau aroma masakan misalnya, ditebarkan begitu rupa, disebar setinggi-tinggi ke udara. Dengan harapan, pada waktu-waktu tertentu saat aroma masakan itu dihadirkan, pada saat-saat yang menunjukkan waktu makan pagi, makan siang, atau makan malam, masyarakat akan mengetahui, bahwa ini sudah waktunya untuk makan. Waktunya untuk menepi, beristirahat sejenak, dan menikmati hidangan makanan.
Tentu, segala itu menggiring godaan tersendiri bagi masyarakat kita. Khususnya bagi yang sedang bepergian. Di tepi jalan, tak jarang warung-warung makan yang menggunakan metode aroma masakan untuk menarik minat pelanggan. Tak jarang di antara mereka mengudarakan aroma-aroma masakan khas kota/daerahnya. Sehingga, selain bernalar untuk berdagang, mereka juga punya tanggung jawab dalam usaha memanjangkan riwayat kota/daerah. Menjunjung tinggi identitas kota melalui pertahanan dan tawaran dalam godaan aroma-aroma masakan.
Bahkan kita ketahui bagaimana masyarakat lampau, sebelum ditemukan Global Positioning System (GPS) sebagai sistem navigasi berbasis satelit yang kerap menemani kita dalam setiap perjalanan, masyarakat kita saat itu akan mengetahui dan mengenal wilayah-wilayah tertentu hanya dengan bau (aroma). Kepekaan indra masyarakat kita saat itu akan benar-benar diuji. Saat mencium bau ikan-ikan asin, tentu kita yakin telah berada di wilayah pesisir pantai. Selanjutnya pada kota atau daerah lain pastinya meriwayatkan pula hal serupa.***


─Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Bukunya yang telah terbit, “Perayaan Laut” (2016) dan “Remang-Remang Kontemplasi” (2016). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan buku puisi “Manusia Alarm”.

Rabu, 18 Januari 2017

Narasi 'Miring' Pendidikan Kita (Wawasan, 18 Januari 2017)

Narasi ‘Miring’ Pendidikan Kita
Oleh Setia Naka Andrian

Lagi-lagi ada kasus yang mencoreng pendidikan kita. Sepertinya tidak pernah ada henti-hentinya persoalan menyelimuti pendidikan kita. Jika tidak persoalan dari dalam, ada masalah terkait kekerasan terhadap siswa yang dilakukan guru,  dan yang dilakukan wali murid terhadap guru. Selanjutnya baru-baru ini masih ada saja didapati hukuman fisik terhadap siswa kita. Mereka terlambat masuk sekolah, lalu diberi hukuman fisik di bawah guyuran hujan deras. Akhirnya membuat mereka tumbang pingsan dan harus menjalani perawatan di puskesmas dan rumah sakit.
Melihat kasus tersebut, tentu masyarakat kita tidak akan terima alasan apa pun dari pihak sekolah. Kasus ini, tentu menjadi tambahan untuk deretan persoalan pendidikan kita. Bagaimana akan maju dan berkualitas sesuai cita-cita pendidikan nasional kita, jika masih saja ada hambatan-hambatan. Pastinya segala hal yang merugikan bagi siswa, guru, sekolah, bahkan bagi masa depan pendidikan kita.
Apa pun alasannya, segala bentuk kekerasan, baik verbal maupun fisik, tak seharusnya dilakukan oleh pengelola sekolah. Sekolah yang tentunya diidamkan bagi siswa sebagai tempat menuntut ilmu, bersosialisasi, berproses kreatif, menemukan jati diri, dan tentu sebagai ruang menjalani proses pendewasaan. Namun, jika masih saja ada suatu hal yang seperti kasus tindak kekerasan di sekolah tersebut. Maka, pendidikan di benak anak didik kita akan menjadi tempat yang membosankan, keras, dan menakutkan.

Butuh Pendidikan Ideal
Masyarakat kita, orangtua murid, barang tentu anak didik kita, sangat butuh pendidikan yang ideal. Seperti halnya yang dicatat Sutari Imam Barnadib (1983), bahwasanya Ki Hajar Dewantara dalam Taman Siswa selalu menitik-beratkan pendidikan yang bertumpu pada pertumbuhan anak didik secara harmonis.
Pendidikan kecerdasan, pikiran, kesusilaan, keindahan, dan keluhuran budi pekerti. Tidak lupa pula terkait pertumbuhan dan perkembangan jasmani. Juga pekerjaan tangan (keterampilan) mendapatkan perhatian, termasuk pendidikan kesenian yang mendapat perhatian istimewa, di antaranya seni suara, seni tari, seni lukis, seni sastra. Meskipun, segala itu perlu penggenjotan terus-menerus.
Laku harmonis dalam pendidikan, keselarasan dalam mensukseskan rencana dan cita-cita pendidikan, tentu yang utama menjadi tanggung jawab bagi pengelola sekolah. Lebih-lebih bagi nakhoda sekolah, yang tentu bertugas memegang komando tertinggi di atas kapal pelayaran pendidikan.
Kita semua pasti juga telah sadar. Masyarakat kita sadar. Bagaimana kondisi anak didik kita sekarang ini. Pola pikir dan segenap pemahamannya tentu berbeda dengan masa-masa anak didik yang hidup pada era 1980 atau 1990. Anak didik kita saat ini seakan merasa telah memiliki banyak pilihan. Segalanya seakan telah terpenuhi, dan dengan mudah mereka peroleh. Apa lagi era cyber seperti sekarang ini. Interaksi mereka terhadap teman sepergaulan, komunitas anak muda, bahkan terhadap dunia luar, segalanya dapat ditempuh hanya dalam hitungan detik.
Informasi tumbuh dan berlangsung dengan begitu cepat. Tentu, segala itu membuat anak didik kita seakan kehilangan kendali, jika memang misalnya, lingkungan tertentu kurang berpihak atau mungkin kurang menyenangkan baginya. Maka selanjutnya, anak didik kita akan mengambil keputusan tanpa berpikir panjang. Tidak peduli yang dilakukannya berdampak positif atau negatif.

Memberi "Nilai Lain"
Terkait berderet penggambaran tersebut, sekolah yang dalam hal ini sebagai ruang berproses bagi anak didik kita. Maka, haruslah berupaya atau bahkan harus mampu menciptakan segala yang dibutuhkan anak, agar sekolah mendadi ruang menjalani proses pendidikan yang harmonis tadi.
Paling tidak, kepala sekolah sebagai nakhoda harus memberikan contoh positif. Mampu memberikan kebijakan atas tawaran yang menarik terhadap anak-anak didiknya. Harus sanggup memberikan ‘nilai’ lain, selain proses mengguyur materi pelajaran semata. Sekolah harus memompa penciptaan godaan bagi anak didiknya. Misalnya yang sempat disinggung tadi, terkait penyediaan ekstrakurikuler jasmani dan kesehatan (olahraga), kesenian, atau keistimewaan dukungan terhadap beragam kegiatan positif lainnya.
Setidaknya, godaan tersebut akan menjadi rangsangan lain, agar siswa merasa betah berproses di sekolah. Dengan adanya kegiatan-kegiatan tersebut, paling tidak akan mengurangi aktivitas mereka di luar sekolah yang kiranya tidak bermanfaat. Kali ini, sekolah perlu mempertimbangkan iklim kegiatan positif bagi segenap anak didik dengan berbagai perlakuan istimewanya. Bukan malah membatasi atau malah melarang mereka. Maka yang berkembang saat ini, sekolah-sekolah sudah mulai berlomba-lomba dalam memberikan godaan atas penyediaan ekstrakurikulernya. Baik ekstra olahraga, kesenian, maupun tawaran aktivitas positif lainnya.***


─Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Bukunya yang telah terbit, “Perayaan Laut” (2016) dan “Remang-Remang Kontemplasi” (2016). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan buku puisi “Manusia Alarm”.

Selasa, 10 Januari 2017

Narasi Bus Masyarakat Kita (Wawasan, 10 Januari 2017)

Narasi Bus Masyarakat Kita
Oleh Setia Naka Andrian

Kita tentu paham, transportasi umum di negeri ini tentu masih meriwayatkan berderet persoalan yang belum kunjung selesai. Terutama di Semarang. Meskipun Pemerintah Kota (Pemkot) telah menciptakan Bus Rapid Transit (BRT) Trans Semarang dengan patokan tarif yang begitu murah, sekali jalan hanya dengan biaya umum Rp 3.500, dan pelajar hanya Rp 1.000. Namun masih saja menyisakan pekerjaan rumah yang dilontarkan masyarakat. Misalnya saja terkait kenyamanan, ketersediaan bus, serta jalur operasi.
Wali Kota Semarang, Hendar Prihadi (Radar Semarang, Minggu, 8/1) mengungkapkan bahwa pihaknya terinspirasi atas peristiwa ‘Om Telolet Om’ untuk menarik minat masyarakat agar beralih ke transportasi umum. Momen tersebut dimanfaatkan Pemkot dengan meluncurkan armada baru. Godaan diberikan dengan sebanyak 20 armadanya dilengkapi dengan klakson telolet. Akan diluncurkan pada Kamis (12/1) untuk Koridor I Mangkang - Penggaron. Selanjutnya, pada bulan Februari 2017, akan diluncurkan armada Koridor V PRPP – Dinar Mas, dan Koridor VI Undip – Unnes.
Upaya penambahan armada bus BRT serta perbaikan lainnya yang dilakukan Pemkot Semarang, tentu menjadi jalan tersendiri dalam rangka pemenuhan alat transportasi umum yang memadahi. Hal tersebut tentu menjadi godaan tersendiri dan akan membentuk mental masyarakat kita untuk lebih menggemari angkutan umum daripada menggunakan kendaraan pribadi. Paling tidak, upaya tersebut akan sedikit mengurangi beragam persoalan lalu lintas, termasuk kecelakaan dan kemacetan di jalan raya.
Jika kita simak saat ini, kemacetan yang menggila sudah tidak lagi menjadi milik ibukota semata. Angka kecelakaan lalu lintas pun tiap tahun selalu meningkat. Kota-kota lain seperti Semarang, kini turut serta meramaikan persoalan tersebut. Barang tentu, kecelakaan, kemacetan, hingga kontak emosi bagi para pengguna jalan itu sebagian besar disebabkan karena kepadatan arus kendaraan.

Tak Percaya Angkutan Umum
Selama ini, masyarakat kita seakan tidak lagi percaya dengan keberadaan transportasi/angkutan umum. Mereka berdalih, bahwa dengan menggunakan angkutan umum, perjalanan mereka akan lebih lambat untuk sampai tujuan. Lebih lagi, perihal penyelenggara jasa angkutan umum yang dinilai kerap kurang berpihak kepada masyarakat kita. Serupa dengan sepenggal pengisahan God Bless dalam lagunya Bis Kota berikut.
Kulari mengejar laju bis kota. Belomba-lomba saling berebutan. Tuk sekedar, mendapat tempat di sana. Kucari dan terus kucari-cari. Namun semua kursi telah terisi dan akhirnya aku pun harus berdiri. Bercampur dengan peluh semua orang. Dan bermacam aroma bikin kupusing kepala. Serba salah, nafasku terasa sesak. Berimpitan berdesakan, bergantungan. Memang susah, jadi orang yang tak punya. Kemanapun naik bis kota.
Dalam lagu tersebut, begitu jelas bagaimana bus kota diriwayatkan. Berebut bus kota, kursi penuh, serta bermacam aroma keringat yang membuat udara pengap. Hingga ditegaskan, dengan terpaksa bus kota akhirnya hanya diminati orang-orang tak punya saja. Dikisahkan oleh /rif, dalam pengisahan serupa, bus kota hanya dinikmati bagi orang tak punya saja, Salah Jurusan. Tapi sayang uangku tak cukup. Hanya cukup untuk bayar bis. Tapi sayang uangku tak cukup. Hanya cukup untuk bayar bis kota. Ku terjepit dalam bis. Yang telah penuh beraneka aroma.
Lagu berjudul Bis Kota yang dipopulerkan Franky Sahilatua pun memberikan ruang pengisahan serupa mengenai bus kota. Berikut syairnya, Berjalan di bawah lorong pertokoan. Di Surabaya yang panas. Debu-debu ramai beterbangan. Di hempas oleh bis kota. Bis kota sudah miring ke kiri. Oleh sesaknya penumpang. Aku terjepit disela-sela ketiak para penumpang yang bergantungan. Bis kota sudah miring ke kiri. Oleh sesaknya penumpang. Aku terjepit disela-sela ketiak para penumpang yang bergantungan. Berjalan di bawah lorong pertokoan. Di Surabaya yang panas. Debu-debu ramai beterbangan dihempas oleh bis kota.
Belum lagi yang dikisahkan Slank dalam lagunya berjudul BMW. Kemacetan, kesumpekan, menjadi santapan masyarakat kita. Berikut penggalan syairnya, Kebenaran mau rekaman di Jack Sound. Naik bis dari Potlot ke Pluit. Jalanan berantakan, semberautan. Agak sumpek, macet... Sore hari capek habis rekaman. Naik taksi dari Pluit ke potlot. Biar cepat terpaksa lewat jalan tol. Tetap aje (uughhh) macet...
Beberapa lagu tersebut, setidaknya telah mewakili seabrek riwayat persoalan transportasi umum kita. Bus sebagai salah satu angkutan umum yang sesungguhnya diidamkan masyarakat kita. Namun karena angkutan umum kita banyak menyisakan persoalan, akhirnya mereka lebih memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi.

Mengakar Lama
Walaupun sesungguhnya, narasi bus sudah begitu lama mengakar di benak masyarakat kita. Jika kita tengok, misalnya saja pada anak-anak muda (remaja) sejak era 60-an, mereka telah menggemari dan begitu akrab dengan narasi tentang bus. Hingga mereka tergiring melalui pengisahan syair Koes Plus dalam lagu Bis Sekolah, dalam penggalan berikut. Bila ku pergi bersama kekasihku. Ku kan merasa gembira riang slalu. Bila menunggu sendiri. Sendiri hatiku sunyi. Dan hatiku kan bernyanyi. Bernyanyi lagu sepi. Bis sekolah yang kutungu. Kutunggu tiada yang datang. Ku telah lelah berdiri. Berdiri menanti nanti.
Narasi tentang bus bagi masyarakat kita, tentu telah meriwayatkan banyak hal. Dari mulai kritik terhadap gerak roda transportasi, fenomena telolet yang menggila, upaya pemerintah dalam menanggapinya, hingga pada wilayah keindonesiaan. Barang tentu, cerminan masyarakat kita akan begitu nampak ketika berada di bus. Misalnya saja, bagaimana penyikapan ‘kelelakian’ atau ‘kepemudaan’ masyarakat kita. Bagaimana laku kita ketika melihat ada penumpang lain yang berjenis kelamin perempuan, ibu-ibu yang menggendong anak, orang cacat, atau bahkan bagi penumpang yang lebih tua. Kita akan tetap diam saja, pura-pura baca buku, pura-pura memejam (mengantuk), atau kita relakan tempat duduk kita untuk mereka. Walaupun sudah pasti, banyak tempelan di bus yang mengingatkan kita.***


─Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Buku puisinya “Perayaan Laut” (April 2016). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan buku puisi keduanya “Manusia Alarm”.

Rabu, 14 Desember 2016

Menimbang (Ketiadaan) UN (Wawasan, 14 Desember 2016)

Menimbang (Ketiadaan) Ujian Nasional
Oleh Setia Naka Andrian

Saya masih ingat betul, betapa ketakutannya diri saya ini ketika kali pertama hendak menghadapi Ujian Nasional (UN). Yakni pada jenjang pendidikan dasar (SD), saat itu masih disebut Evaluasi Belajar Tahap Nasional (Ebtanas) tahun 2001.  Barangtentu hal itu sangat dirasakan pula oleh siswa saat ini. Jika kita runut beberapa istilah ujian tersebut, di antaranya Ujian Negara (1965-1971), Ujian Sekolah (1972-1979), Evaluasi Belajar Tahap Nasional (1980-2002), Ujian Akhir Nasional (2003-2004), dan Ujian Nasional (2005-sekarang).
Dalam perjalanan panjangnya, deretan ujian tersebut menjadi riwayat momok yang tiada terkira bagi siswa kita. Ujian menjadi sebuah titik akhir yang diyakini sebagai jalan penting. Jalan sangat akhir dan satu-satunya. Seolah proses-proses sebelumnya dan proses lainnya tidak begitu berarti jika sudah hendak berhadapan dengan UN. Mata pelajaran (mapel) lain yang tidak diujikan nasional pun menjadi terabaikan, tidak diajarkan dengan sebagai manamestinya seperti mapel nasional tersebut. Jika saya kala itu hendak UN pada jenjang SD, ya hanya Matematika, bahasa Indonesia, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) saja yang diguyur mati-matian oleh guru kelas saya.
Bahkan, saya ingat betul kala itu. Dari mulai SD hingga SMA, kerap kali pada semester akhir menjelang ujian, segenap siswa diguyur mati-matian untuk menyuntuki mata pelajaran (mapel) yang akan diujikan nasional. Maka tentu, mapel yang tidak diujikan nasional kerap kali dirampas waktunya. Misalnya pada mapel yang dinilai sangat sulit semacam matematika, pagi merampas jam mapel lain, dan siangnya masih ada tambahan jam pelajaran lagi. Bahkan sempat pula, pagi hari ada tambahan jam pelajaran pula sebelum waktu masuk kelas pada jam pelajaran yang semestinya.
Bayangkan, pengisahan tersebut sungguh sangat mengerikan. Tentu hal serupa masih terjadi hingga saat ini. UN menjadi ujian akhir yang menyeramkan. Lebih-lebih, pada masa saya kala itu, tidak ada ujian ulang. Jika tidak lulus ya sudah. Akan mengulang sekolah pada jalur kejar paket, di antaranya Kejar Paket A (SD), Kejar Paket B (SMP), dan Kejar Paket C (SMA). Itu bagi saya sangat mengerikan. Semester akhir menjelang ujian, saya sangat kehilangan waktu bermain. Begitu pula kehilangan waktu untuk sekolah diniah (madrasah) yang biasa dijalankan pada siang hingga sore hari. Lalu malamnya pun, saya juga kehilangan waktu untuk mengaji kepada kiai di kampung halaman. Semua tersita untuk mempersiapkan ujian.
Orangtua pun tentu tak berani mengganggu. Segala aktivitas yang seharusnya dilakukan semacam mencuci baju, membersihkan kamar, semua tidak diperintahkan kepada saya. Sungguh, segalanya begitu menyeramkan. Jika saya ingat kembali masa itu, saya rasa begitu tragis. Seakan UN menjadi penentu utama dan sama sekali tidak ada lainnya. Sebagai tolok ukur utama, dan sangat menutup penilaian lainnya.
Hingga akhir-akhir ini begitu ramai diperbincangkan mengenai moratorium UN. Berhari-hari bergulir menjadi diskusi publik yang bergelimang seakan tiada hentinya. Segenap pemangu kepentingan pendidikan, praktisi, politikus, bahkan hingga Presiden Jokowi turut andil dalam persoalan yang sebenarnya sudah menjadi penyakit tahunan bagi dunia pendidikan kita.
Tidak sedikit pihak pun, menginginkan agar dilaksanakan penghentian pelaksanaan UN. Wacana yang digulirkan Mendikbud Muhadjir Effendy ini, sekan hanya menungu ketuk palu peraturan presiden tentang penghentiannya. Namun, tentu segala ini harus benar-benar ditimbang dengan baik. Jangan sampai segala ini hanya akan menjadi tindakan-tindakan yang terkesan gegabah. Jangan sampai pula, segala ini akan dinilaimasyarakat sebagai penyakit lama, yakni pemerintahan (menteri) baru maka hadir pula kebijakan baru. Menteri baru, maka bergulirlah kurikulum baru.
Tentu masyarakat kita sudah sangat pandai. Masyarakat sudah mampu menilai. Tentu kita semua juga sangat paham, setiap orang (pemimpin) memiliki caranya masing-masing untuk memajukan bangsa dan negara ini. Barangtentu, segala itu ada baik dan buruknya. Ada pula kekurangan dan kelebihannya. Maka, barangtentu yang terpenting adalah segala yang diputusan itu sudah menjadi keharusan yang memang sudah melalui pertimbangan dan riset yang matang. UN hilang bagus, diganti dengan evaluasi lain, tentu bagus. Asal tepat dan sesuai dengan kebutuhan serta tetappada jalur tujuan pendidikan kita.
Seperti halnya misalnya jika benar jadi, UN tingkat dasar dan menengah dikelola pemerintah daerah, lalu UN tingkat atas dikelola pemerintah provinsi, misalnya. Segala itu butuh persiapan yang matang. Pmerintah harus mempersiapkan siapa saja yang akan membuat soal di tingkat daerah dan provinsi terebut. Sudah layak atau belum para pembuat soal tersebut. Jika belum, bagaimana solusinya.
Lalu tetap harus pula mengantisipasi kecurangan-kecurangannya. Tingkat nasional saja banyak ditemui kasus, bagaimana lagi jika tingkat dan provinsi yang ruang lingkupnya lebih kecil. Seperti itu kiranya. Yang pasti, ujian harus tetap ada. Entah bentuknya seperti apa. Karena jika sampai tidak ada ujian, bisa jadi siswa kita tidak akan pernah akan belajar sama sekali. Tentu ujian juga perlu sebagai ajang kompetisi positif, sebagai pembentuk mental petarung sejati tentunya. Semoga.


─Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Buku puisinya “Perayaan Laut” (April 2016). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan buku puisi keduanya “Manusia Alarm”.

Minggu, 23 Oktober 2016

Wakul Pustaka dan Godaan Berliterasi (Jawa Pos, 23 Oktober 2016)

Wakul Pustaka dan Godaan Berliterasi
Oleh Setia Naka Andrian

Belakangan tidak jarang dan begitu panjang diperdebatkan perihal dunia cetak dan digital. Semua seakan memberikan riwayat masing-masing yang dirasa sama-sama kuat atas dua hal tersebut.
Namun, tetap saja buku-buku cetak, koran, atau majalah cetak tetap yang masih tetap dan perlu diperjuangkan. Seperti halnya yang dilakukan oleh Komunitas Lerengmedini (KLM) Boja Kendal Jawa Tengah.
Komunitas sastra di daerah kecil di Lereng Kebun Teh Medini yang begitu intens dalam program-program mulia dalam menggerakkan denyut sastra. Dari mulai Parade Obrolan Sastra dan Kemah Sastra yang sudah digelar tahunan dengan menghadirkan tokoh-tokoh sastra maestro, di antaranya Agus Noor, Ahmad Tohari, Remy Sylado, Korrie Layun Rampan, Martin Aleida, Iman Budhi Santosa dan sederet sastrawan lain.
Mereka kerap menjalankan gerakan tersebut selama berhari-hari di Bumi Perkemahan Lereng Medini. Menyuntuki buku, pentas baca puisi, hingga obrolan-obrolan kreatif yang terus didengungkan di sana.
Itu pun belum cukup atau menghentikan kegelisahan. Mereka buktikan, akhir-akhir ini KLM tengah gencar-gencarnya menggalakkan program mulianya yang diberi nama Wakul Pustaka. Dengan niatan sederhana, kata mereka, bahwasanya manusia tidak hanya cukup memberikan asupan untuk tubuh dengan hanya mengisi perut. Namun, bacaan-bacaan pun diperlukan manusia, khususnya bacaan sastra.
Buku-buku sastra tersebut, yang berupa puisi, cerpen, dan novel akan mereka letakkan di sebuah wakul, tempat nasi yang terbuat dari anyaman bambu yang biasanya digunakan oleh warga desa.
Wakul Pustaka itu kemudian mereka tawarkan ke warung-warung makanan yang ada di Boja. Dengan begitu, para pembeli akan menyantap buku-buku sastra tersebut. Mereka bisa menikmati puisi, cerpen atau novel atau bahkan buku-buku umum lainnya sembari menunggu makanan disajikan, atau selepas menyantap makanan.
Tentu sudah sangat wajar kita temukan di warung-warung makan, bertebaran koran-koran yang setiap hari diletakkan di meja-meja. Dengan dalih, para pelanggan merasa sedikit tergoda untuk membaca berita-berita atau apa saja yang ditawarkan dalam koran.
Godaan Wakul Pustaka seolah ingin menawarkan jika bacaan umum, dan sastra pada khususnya, itu juga sangat diperlukan untuk asupan gizi bagi jiwa manusia. Barangtentu, selain buku-buku dari tokoh-tokoh sastra nasional, buku terbitan komunitas mereka pun akan ditampilkan.
Jika ternyata dalam buku-buku bacaan tersebut juga didapati penulis lokal yang ternyata dikenal oleh para pelanggan di warung, KLM pun sangat berharap dengan begitu setidaknya akan membuat masyarakat Boja tergugah untuk mengenal dunia komunitas, dunia baca, dan dunia tulis-menulis lebih lanjut.
Lebih-lebih akan semakin mengepakkan sayap KLM yang selama ini berproses di Taman Baca Masyarakat (TBM) Pondok Maos Guyub di Desa Bebengan, Kecamatan Boja, Kendal. Banyak aktivitas yang dilakukan oleh KLM di taman baca tersebut.
Misalnya, Reading Group, proses tadarus novel buku dengan pelan-pelan setiap seminggu sekali yang dilakukan bersama anak-anak seusia sekolah di lingkungan desa tersebut. Dari mulai pembacaan novel-novel sastrawan Indonesia, hingga tokoh dunia semacam Ernest Hemingway dengan karyanya The Old Man and The Sea pun sempat disuntuki di ruang taman baca kampung tersebut. Bayangkan!
Bahkan, sempat pula dilakukan penghargaan tahunan yang diberikan kepada penulis puisi, cerpen, pembaca puisi, dan beberapa pelaku kreatif lainnya yang semua berasal dari lingkungan tersebut.
Segala aktivitas itu tentu dapat dicontoh dan dapat dikembangkan di daerah-daerah lain. Tentu butuh kesadaran dan penyadaran. Baik bagi para pegiat agar siap berdarah-darah menyusun strategi gerakan. Dan, dukungan bagi siapa saja untuk turut serta meramaikan, menyuarakan, dan menjaga makna gerakan literasi tersebut. Tentu semua akan berjalan beriringan. Patut kita contoh apa yang telah dilakukan KLM tersebut.***


─Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Buku puisinya “Perayaan Laut” (April 2016). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan buku puisi keduanya “Manusia Alarm”.

Sabtu, 22 Oktober 2016

Pengajaran Sastra Kita (Tribun Jateng, 22 Oktober 2016)

Pengajaran Sastra Kita
Oleh Setia Naka Andrian

Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia baru saja digelar di Hotel Bidakara Jakarta Selatan, 18-20 Oktober ini. Pusat Pembinaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengundang 107 sastrawan dalam perhelatan bertajuk Peran Sastrawan dalam Pendidikan Karakter Masyarakat tersebut.
Beberapa narasumber yang hadir di antaranya Dadang Sunendar, Gufran Ali Ibrahim, Remy Sylado, Putu Fajar Arcana, Maman Suherman, Maman S. Mahayana, Nirwan Dewanto, dan Dino Umanuk.
Dalam musyawarah tersebut berlangsung diskusi masalah kesastraan yang ada di seluruh Indonesia yang dibahas bersama-sama sehingga menjadi bahan rekomendasi.
Ada beberapa hal menarik yang diperbincangkan. Terutama pada sidang komisi pembinaan sastra terkait peningkatan mutu apresiasi sastra melalui pengajaran. Misalnya saja dalam pembelajaran sastra banyak didapati karya sastra yang sebenarnya tidak cocok dengan teori sastra yang ada, namun dicocok-cocokkan. Seharusnya, teori mengikuti karya sastra yang ada, jika tidak ada teorinya, maka ciptakan teori yang baru.
Lebih-lebih pada peredaran buku-buku sastra di sekolah atau di perguruan tinggi. Tidak sedikit di antara sekolah/kampus yang masih belum update buku-buku sastra yang berkembang saat ini. Perpustakaan masih dinilai belum menampung karya-karya sastra baru. Misalnya, pada karya-karya sastra yang mendapat penghargaan dalam perhelatan-perhelatan sastra tertentu.
Maka pada forum, sastrawan yang hadir menyuarakan betapa sangat penting negara atau Badan Bahasa berkenan untuk merekomendasikan buku-buku sastra yang layak untuk diedarkan di sekolah/kampus. Perlu adanya kurator yang berkompeten untuk menentukan buku-buku sastra mana saja yang harus dikonsumsi siswa/mahasiswa.
Barang tentu peredaran karya-karya sastra yang bagus dan bernas akan menunjang penciptaan generasi unggul yang kreatif, baik di lingkungan sekolah maupun kampus. Siswa/mahasiswa saat ini masih dinilai sangat kering dan begitu jauh dengan iklim dunia literasi yang seharusnya.
Bolehlah, misalnya, dapat kita lihat, saat ini siswa/mahasiswa dalam hal apresiasi sastra masih hanya terhenti pada apresiasi baca. Sangat banyak didapati lomba baca puisi/cerpen. Belum pada tahapan mencipta karya, menulis karya. Entah dalam lomba atau lokakarya tertentu untuk menciptakan generasi-generasi pencipta.
Persoalan sangat rendahnya masyarakat kita dalam hal membaca buku, tentu menjadi masalah besar bagi bangsa ini. Segenap peserta forum pun begitu gelisah menyikapi virus malas membaca ini.
Coba kita simak saja, msyarakat kita akan sangat lebih menyukai menyaksikan/menonton film daripada membaca kisah yang difilmkan tersebut. Masyarakat kita akan lebih berbahagia terbahak-bahak menyaksikan Dono beserta teman-teman Warkopnya dari pada mencoba mencari buku-buku novel karyanya.
Lebih-lebih, tidak sedikit guru-guru atau pengajar di sekolah atau di perguruan tinggi yang masih begitu abai dengan pergerakan atau apa saja yang terjadi pada perkembangan sastra saat ini. Sastra koran seperti apa, sastra dari gerakan komunitas seperti apa, siapa saja sastrawan muda yang bermunculan, atau siapa saja sastra yang menjadi nominasi berbagai ajang penghargaan kesastraan, entah puisi, cerpen atau kritik sastra.
Tidak malah hanya melulu berkutat pada karya sastra masa lalu yang terkadang sudah sangat ketinggalan. Itu terkadang yang membuat pengajaran sastra kita menjadi sangat kuno. Sudah sangat puas hanya saja mengajarkan atau membacakan puisi "Aku Ingin" dari Sapardi Djoko Damono dengan cuma hasil "copy paste" dari internet, tanpa mengetahu seperti apa dalam bukunya.
Belum ada upaya pengajar kita berkeinginan melek literasi, dengan cara update karya-karya baru yang lebih segar. Misalnya saja jika puisi bolehlah diajak menekuri buku puisi Tidak Ada New York Hari Ini karya M Aan Mansyur yang begitu populer dalam film Ada Apa dengan Cinta 2, buku puisi Sarinah karya Esha Tegar Putra, Mendengarkan Coldplay karya Mario F. Lawi atau bahkan mengajar menyuntuki buku puisi karya penyair sarung Joko Pinurbo yang terbaru, Malam Ini Aku Akan Tidur di Matamu.
Belum lagi sangat sedikit pengajar kita yang mau mendatangi beberapa gerakan sastra yang ada di sekitar. Misalnya, saja jika di dekat-dekat Semarang dan Kendal ini, siapa yang mau meluangkan waktu untuk mendatangi acara obrolan buku semacam yang diselenggarakan oleh Kelab Buku Semarang dengan tawaran buku-buku sastra bagus yang dibahas dalam forum. Belum lagi perhelatan sastra tahunan yang diselenggarakan Komunitas Lerengmedini Boja Kendal, misalnya dalam Parade Obrolan Sastra atau Kemah Sastra.
Padahal sudah menjadi rahasia umum jika dalam forum obrolan dan kemah tersebut mendatangkan banyak tokoh-tokoh sastra kita. Sebut saja Agus Noor, Ahmad Tohari, Remy Sylado, Korrie Layun Rampan, Martin Aleida, dan sederet maestro lainnya banyak didatangkan di situ.
Belum lagi gerakan literasi Wakul Sastra yang saat ini sedang dijalankan Heri C. Santosa dalam komunitas tersebut dengan meletakkan buku-buku di warung-warung makan di Boja. Niatan mereka sederhana, bahwa diri manusia tidak hanya butuh kenyang perut saja. Jika hanya itu, lalu apa bedanya manusia dengan hewan. Namun jika sudah begini, sesunggunya hanya ada satu jawaban. Yakni, semua butuh kesadaran. Jika karya sastra itu kemuliaan, maka tentu pengajaran sastra adalah ibadah yang begitu mulia.***

─Setia Naka Andrian, Penulis Buku “Perayaan Laut” (2016). Peserta Munas Sastrawan Nasional 2016.


Sabtu, 10 September 2016

Membangun Kota dengan Seni (Tribun Jateng, 10 September 2016)

Membangun Kota dengan Seni
Oleh Setia Naka Andrian

Nasib kota sebuah kota tentu menjadi tanggung jawab bersama. Tidak melulu urusan pemerintah saja, yang biasanya kerap kali lebih mementingkan bangunan infrastrukturnya ketimbang sumber daya manusianya.
Peran seniman lokal bisa jadi sebagai tumpuan utama. Kenapa begitu, karena bagaimanapun sejarah dan usia kota tidak bisa lepas dari nilai-nilai estetis di dalamnya. Baik terkait ketahanan filosofis dan kulturalnya. Itu tanggung jawab seniman, bukan?
Saya ingat, apa yang dikisahkan Tubagus P. Svarajati (2012) dalam sepenggal esainya, “Meski kita paham, hingga sekarang, langka seniman kita yang mendokumentasikan perkembangan atau riwayat kota secara serius dan metodis.”
Seniman kita, seakan begitu abai dengan kota yang melahirkan dirinya. Bahkan, jika di antara mereka masih selalu dihinggapi beragam apologia sebelum melakukan apa-apa. Maka cepat atau lambat, takdir sebuah kota akan berhenti begitu saja.
Dalam hal ini, jika kita simak di Kendal, selama lima tahun terakhir telah banyak bermunculan komunitas-komunitas seni kreatif. Baik yang fokus bersastra, seni rupa, teater, musik, film, dan lainnya. Seakan menyibak belantara kota melalui seabrek aktivitas saban harinya. Namun apa arti semua itu, jika program-program kreatif belum menyentuh bahkan sangat jauh dengan aktivitas pendokumentasian riwayat kota secara serius. Sebab, nasib sebuah kota akan tetap selalu bertarik magnet, antara sebuah kenyataan dan gagasan.
Komunitas seni kreatif layaknya hanya akan menjadi angin lalu, yang akan tumbuh berkembang beberapa saat. Lalu pada akhirnya pelan-pelan menunggu tumbang atau menemui ajal, kehancuran, mati suri, dan entah istilah mengerikan lainnya. Memang, sangat sulit kita temukan, misalnya, beberapa kelompok yang begitu berjaya pada masa lalu dan hingga saat ini masih bergerak atau menyisakan catatan kemuliaan di mata publik.
Sebut saja, jika di Kendal memiliki Teater Semut, dengan Aslam Kusatyo sebagai sutradara sekaligus aktor kawakan yang konon salah satu tokoh yang begitu mati-matian menghidupi khazanah teater dan sastra di tanah Bahurekso ini. Tentu, hingga saat ini masih terdengar, mengingat bagaimana ia diakui telah melahirkan jawara-jawara lomba teater, baca dan tulis puisi misalnya, bagi kalangan pelajar.
Begitu pula, ia dicatat melahirkan generasi penerus yang khusyuk menekuni sebagai pengajar ekstrakurikuler teater di beberapa sekolah. Bolehlah kita sebut beberapa tokoh muda. Di antaranya Akhmad Nasori, Hidayat Kliwon, dan Sobiron, misalnya. Ada pula yang mendirikan kelompok baru, sebut saja Akhmad Sofyan Hadi, aktor yang sempat menyabet juara II monolog dalam ajang Peksiminas (Pekan Seni Mahasiswa Nasional) 2008, sebagai salah seorang pendiri Jarak Dekat dengan beberapa aktivitas yang berniat menghidupi teater di Kendal. Walaupun tetap saja, jika di kota tetangga (Semarang) kesenian teaternya dihidupi oleh teater-teater kampus, maka di Kendal diramaikan dengan teater-teater sekolah (pelajar SMA sederajat). Hal tersebut dibuktikan selama bertahun-tahun dengan terselenggaranya beberapa parade teater yang dihuni oleh berjubel kelompok teater dari sekolah.

Generasi Patah-Patah
Sudah sepatutnya, masa lalu kesenian kota memiliki generasi kebanggaan, komunitas yang diagung-agungkan, atau tokoh-tokoh yang diidamkan menjadi tumpuan masa depan sebuah kelompok pada khususnya, atau nasib kota pada umumnya. Namun kenyataannya, kota seakan tak mampu memberikan apa-apa. Seorang seniman yang seharusnya menjadi ujung tombak, motor penggerak roda kesenian di sebuah kota, yang konon katanya karena persoalan klasik, maka di antara mereka pelan-pelan meninggalkan kota ini. Sebut saja misalnya, salah seorang sastrawan ternama di negeri ini, Ahmadun Yosi Herfanda. Penyair kelahiran Kaliwungu Kendal, mantan redaktur sastra koran Republika yang kini telah menetap di Jakarta sebagai penyair religius-sufistik. Ia banyak menulis cerpen, kolom dan esei sastra. Sehari-hari ia mengajar di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Serpong dan ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Tentunya, sederet persoalan tadi, atau kendala apapun tidak akan mampu menghalangi sebuah gerakan kesenian yang benar-benar khusyuk dan berasyik-masyuk dalam bidangnya masing-masing. Semua lini sudah seharusnya mampu berbaur untuk menentukan nasib sebuah kota. Barangtentu kita ingat, beberapa waktu lalu ketika Kendal Expo 2016, Bupati Kendal, Mirna Annisa, meluncurkan program “Kendal Permata Pantura”. Bupati yang masih terhitung belum lama ini menjabat, dengan seabrek program yang diidamkannya, tentu perlu dukungan dan kawalan yang ketat.
Mengingat pada bulan-bulan ini, sedang fokus pada peresmian Kawasan Industri Kendal dan mulai aktifnya Pelabuhan Tanjung Kendal. Lalu, apakah konsep besar yang disuarakan melalui Kendal Permata Pantura cukup masyhur dengan didirikannya kawasan industri dan pelabuhan baru saja? Lalu bagaimana nasib beberapa destinasi wisata semacam Pantai Sikucing, Goa Kiskendo, Curug Sewu? Jika mengidamkan kota ini menjadi permatanya pantura, apakah tempat-tempat itu hanya akan dibiarkan dengan pola pengembangan yang setengah-setengah dan sewajarnya saja?
Tentu jawabannya, sudah waktunya Kendal memiliki agenda festival kesenian yang diselenggarakan tahunan. Jika kita mau tengok kota-kota tetangga, taruhlah festival rutin FKY (Festival Kesenian Yogyakarta), lalu Dieng Culture Festival. Sudah sepatutnya, Kendal tidak hanya sekadar menciptakan kegiatan sebatas selebrasi semata, atau bahkan yang hanya terkesan sebagai pasar malam semata. Maka dalam hal ini, peran serta segenap seniman dalam berbagai bidang pun sangat dibutuhkan. Pemerintah kabupaten dengan dinas-dinas terkaitnya sangat mustahil mampu mensukseskan kerja besar tersebut.
Jika sudah ada keterlibatan kelompok-kelompok seniman, yang kebanyakan anak muda tersebut, tentu kota ini saya yakin tidak akan kesulitan menentukan arah gerak masa depan kotanya. Tentu, jika semua sudah benar-benar niat ingsun untuk meriwayatkan kota secara serius dan metodis. Baik melalui sastra, seni rupa, film, maupun teater. Festival yang menyuarakan seni kontemporer yang tidak mengesampingkan nilai tradisi dan filosofis kota. Tentu Kendal pelan-pelan akan menggema di penjuru kota, bahkan seantero negeri ini. Dengan seruan, “Kenali Kendal!” Tempat-tempat wisata dikelola dengan sajian tontonan sekaligus tuntunan seni dan budaya. Selanjutnya, pundi-pundi pendapatan daerah pun akan terdongkrak. Kota berangsur-angsur akan semakin merekonstruksi masa depannya yang kian gemilang. Semoga.***



─Setia Naka Andrian, Penyair kelahiran Kendal, Dosen Universitas PGRI Semarang. Buku puisinya “Perayaan Laut” (April 2016).

Senin, 18 Juli 2016

Kutukan untuk Pemalsu Vaksin (Wawasan, 14 Juli 2016)

Kutukan untuk Pemalsu Vaksin
Oleh Setia Naka Andrian

Banyak pihak sangat menyayangkan terhadap tindakan pemalsuan vaksin yang sementara ini peredarannya dikendalikan oleh tiga produsen, yakni Agus, Syariah, serta pasanga suami-istri Hidayat Taufiqurahman dan Rita Agustina. Hingga saat ini semua tersangka masih dikenai tindak pidana pencucian uang. Penyidik melacak semua aset tersangka. Selain itu, semua tersangka juga dikenai pasal berlapis karena melanggar Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Kejadian keji ini begitu menggetarkan seantero dada para orangtua di negeri ini, lebih-lebih bagi para ibu yang setiap waktu ingin selalu memberikan yang terbaik untuk kesehatan dan pertumbuhan buah hatinya. Segalanya pasti akan siap dikorbankan untuk kebutuhan kesehatan anak-anaknya. Beberapa waktu ini pun begitu ramai di berbagai media sosial, semua orang seakan mengecam tindakan yang dilakukan para pemalsu vaksin tersebut. Seperti halnya Change.org Indonesia pun dengan lantang melayangkan petisi dengan seruan, “@KemenkesRI @NilaMoeloek Selamatkan nyawa Balita Indonesia, Usut Tuntas #VaksinPalsu!
Petisi tersebut berisi,  1) Mendukung penyidikan kasus ini, meminta agar POLRI dapat membasmi secara tuntas tindakan pemalsuan vaksin dan mendukung penindakan yang tegas pada para pelaku. 2) Meminta Pemerintah, Bareskrim dan pihak berwenang lainnya untuk menarik semua vaksin yang saat ini beredar dan menggantinya dengan vaksin yang ASLI dan AMAN guna menjamin keamaan dan perlindungan kesehatan bayi-balita Indonesia. 3) Meminta Pemerintah, Bareskrim dan pihak berwenang lainnya untuk mengumumkan nama-nama distributor, Rumah Sakit, Klinik atau tempat kesehatan lainnya yang terindikasi dan/terbukti menggunakan vaksin palsu. 4) Mendorong Pemerintah untuk melakukan vaksin ulangan terhadap anak-anak yang lahir antara tahun 2003 – 2016 guna menjamin generasi indonesia yang sehat dan bebas penyakit berbahaya. 5) Mendorong BPOM untuk lebih agresif dalam mengawasi dan memfilter distribusi vaksin dan obat-obatan pada umumnya.
Minggu lalu di Nusa Dua, Bali (26/6), Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek mengatakan, anak balita yang telah mendapatkan vaksin palsu perlu diimunisasi ulang. Sebab di tubuh mereka tak terbentuk kekebalan. Imunisasi ulang pada anak usia 10 tahun dimungkinkan. Yang pasti, segala ini sangat tidak dibenarkan, karena menyangkut keberlangsungan kesehatan bagi anak-anak yan tentunya merupakan generasi penerus bangsa dan negara ini. Lebih-lebih hingga saat ini 194 negara menyatakan bahwa imunisasi terbukti aman dan bermanfaat untuk mencegah sakit berat, wabah, cacat dan kematian akibat penyakit berbahaya. Melalui imunisasi yang lengkap dan teratur dimasukkan ke dalam tubuh bayi-balita, maka akan timbul kekebalan spesifik yang mampu mencegah penularan, wabah, sakit berat, cacat atau kematian akibat penyakit-penyakit tersebut. Setelah diimunisasi lengkap, bayi-balita masih bisa tertular penyakit-penyakit tersebut, tetapi jauh lebih ringan dan tidak berbahaya, dan jarang menularkan pada bayi-balita lain sehingga tidak terjadi wabah.
Ini sebuah kasus yang tidak boleh disepelekan begitu saja. Pemerintah memberi perhatian khusus. Pihak-pihak yang berwenang harus mengusut hingga tuntas. Bahkan hingga saat ini, (Kompas, 28/6) polisi telah menetapkan 15 tersangka di sejumlah kota, seperti Jakarta, Tangerang Selatan (Banten), Subang dan Bekasi (Jabar), serta Semarang. Polisi juga memeriksa 18 saksi dari rumah sakit, apotek, toko obat, dan saksi yang terlibat dalam pembuatan vaksin palsu. Hasilnya, terungkap empat rumah sakit di Jakarta serta dua apotek dan satu toko obat di Jakarta terlibat peredaran vaksin palsu. Bayangkan saja, yang lebih mengerikan lagi ternyata tindakan pemalsuan vaksin ini telah dilakukan sejak tahun 2003, maka dapat kita ungkap bahwa sindikat pemalsu vaksin ini telah beroperasi selama 13 tahun dan telah tersebar ke beberapa daerah di Indonesia.
Sungguh sangat mengerikan, beberapa itu baru yang ditemukan, lalu bagaimana dengan yang masih aman, yang masih beroperasi mengedarkan dan mengonsumsi vaksin-vaksin palsu. Bagaimana nasib anak-anak di negeri ini, yang seharusnya sangat membutuhkan kekebalan untuk mencegah sakit berat, wabah, cacat dan kematian akibat penyakit-penyakit berbahaya. Umpatan, kutukan, tangis, bahkan doa-doa buruk bermunculan dari para ibu kepada mereka para pelaku. Sepertinya, jika melihat kasusnya yang tidak hanya penipuan semata, tidak hanya pemalsuan semata, namun sudah menyangkut keselamatan banyak nyawa. Kasus ini pun sudah sangat direncanakan, secara tidak langsung inilah perencanaan membunuh, tidak hanya nyawa seorang, namun nyawa dari jutaan orang, jutaan generasi penerus bangsa dan negara ini. Maka, belum adil jika para pelaku hanya mendapatkan hukuman mati saja. Apalagi hanya dipenjara puluhan tahun, atau hanya didenda saja. Semoga hukum ditegakkan setegak-tegaknya untuk kasus ini. Semoga dan semoga.***


Setia Naka Andrian, Penyair kelahiran Kendal, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS), Penulis Buku Puisi Perayaan Laut (April 2016).