Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Jumat, 27 Mei 2016

Pak Ogah, Dirindu dan Dicaci (Wawasan, 12 Mei 2016)

Pak Ogah, Dirindu dan Dicaci
Oleh Setia Naka Andrian

Sepertinya kita seakan merasa kuwalahan sebagai pemakai jalan yang kian hari semakin padat saja. Kita tentu sangat kesusahan jika harus menyeberang di jalanan yang begitu padat. Lebih-lebih jika pagi hari, suasana jalanan begitu ramai dengan kendaraan orang-orang yang memburu waktu agar tidak telat menuju tempat kerja. Belum lagi siswa-siswa sekolah, bus, dan angkutan umum lainnya dengan segenap asap kenalpot yang terkadang begitu menyebalkan bersanding dengan parfum yang sudah kita kenakan di segenap badan, polesan wajah para perempuan pun terasa cepat kusam, itu menyakitkan. Menambah semakin cemas, lautan kendaraan bermotor berlalu-lalang seakan tanpa jeda. Hingga akhirnya, entah menjadi sebuah keberuntungan atau malah menjadi semacam pertolongan buat kita, jika tidak sedikit kita begitu dimanjakan oleh Pak Ogah, sosok berbendera dan bercadar atau berhelm yang senantiasa membantu kita menyeberang di jalan-jalan yang belum disambangi lampu merah, di persimpangan jalan atau jalan putaran balik jalan-jalan ramai di kota kita.
Pak Ogah, begitulah sebutannya. Mereka mau tidak mau, telah banyak membantu kita. Mereka tidak sedikit yang hanya meminta sekadarnya (seikhlasnya) melalui sebuah ember kecil, mengharap sebatas recehan dari para pengguna jalan. Namun ada pula, sebagian dari mereka yang ternyata cukup meresahkan dengan meminta paksa. Namun memang, kenyataan semacam itu terjadi tidak begitu saja. Tentu sangat beralasan. Entah yang dimaksudkan mereka dengan dalih membantu, atau bahkan mengemban misi soasial untuk tidak sekadar membantu pengguna jalan semata, namun meringankan beban Polisi yang sedang mengatur arus lalu lintas. Tentu itu sangat wajar, jika kita melihat jumlah pengatur lalu lintas (Polisi) di negeri ini seakan tidak sebanding dengan perempatan-perempatan atau persimpangan jalan yang begitu ramai pada tiap harinya.

Pengganggu atau Penertib
Pak Ogah, atau kerab disebut sebagai Polisi Cepek, seakan menjadi produk jalanan modern kita yang kehadirannya terkadang dirindu saat mampu menertibkan jalan, namun ada pula yang menganggap kehadirannya sangat mengganggu arus perjalanan kita. Tentu hal tersebut sangat wajar. Tidak sedikit pula sebagian dari mereka yang dinilai sangat meresahkan masyarakat. Misal saja ketika mereka yang awalnya berdalih ingin menolong ketika ada perbaikan jalan, ketika jalanan terpaksa harus dibuka dan ditutup secara bergantian. Mereka seakan mengatur dengan begitu apik. Dari sisi yang berlawanan, mereka saling berkopmunikasi jalur mana dulu yang akan diperkenankan untuk berjalan. Bahkan tidak sedikit pula di antara mereka tidak hanya menggerakkan simbol-simbol melalui bendera saja, namun sudah merelakan untuk memanfaatkan alat telekomunikasi semacam Handy Talkie (HT) atau bahkan rela menghabiskan pulsa telepon genggamnya untuk berkomunikasi mngatur jalanan.
Namun jika kita sempatkan menengok beberapa kicauan masyarakat di media sosial, atau barangkali di antara kita ada yang sempat mengalami sendiri, tidak sedikit Sdi antara mereka yang mengumpat ketika para pengguna jalan tidak memberi imbalan, menggedor kendaraan kita, sambil melotot dan marah-marah dengan teriakan-teriakannya. Lebih-lebih, sangat dimanfaatkan mereka jika perbaikan-perbaikan jalan dilalui kita pada saat malam hari atau di jalanan-jalanan yang sepi. Pada posisi tersebut, mereka seakan begitu memanfaatkan untuk memeras. Tentu sangat meresahkan. Mengingat, tidak banyak uluran-uluran tangan aparat Polisi yang menjangkau lalu lintas yang kita temui pada posisi semacam itu. Apalagi malam hari, sungguh sangat sedikit. Namun kita pun tak bisa menyalahkan. Barang tentu memang belum begitu banyak aparat penegak lalu lintas kita, mengingat negeri ini sangat luas. Masih banyak pula jalan-jalan kota, jalan-jalan daerah-daerah di negeri ini yang masih kerap rusak dan selalu ada perbaikan. Bahkan, masih banyak pula jalanan pedalaman yang masih bobrok. Di situlah, mereka para oknum yang berniat jahat mulai beraksi dengan berjuta dalih demi mendapatkan keberuntungan-keberuntungan, yang bagi mereka sangat mengasyikkan.
Keberadaan Pak Ogah hingga saat ini seakan masih terbelah antara dirindukan dan dicaci. Barang tentu, bagi para Polisi Cepek tersebut merasa sangat menguntungkan, sebab menjadi sebuah lapangan kerja tersendiri. Misal saja mengenai pengisahan Wawan (27) perantau dari Surabaya, yang saya kutip dari perbincangan dari salah satu media sosial. Dikisahkan Wawan yang sehari-harinya beroperasi di perempatan sebuah ruas jalan di Cilincing, Jakarta Utara. Ia bersama 3 orang temannya sudah setahun beroperasi. Diakui menjalani profesi tersebut karena tidak mempunyai pekerjaan lain setelah diberhentikan dari pekerjaannya sebagai buruh pabrik di Jakarta Barat. Wawan dan ketiga temannya mengaku senang dengan penghasilan dari mengatur lalu lintas kendaraan di persimpangan yang cukup ramai tersebut. “Kalo dihitung-hitung mah lumayan banget. Apalagi saya setiap hari emang di sini. Enggak pernah bolos, kecuali kalau emang sakit,” tutur Wawan. Bersama ketiga temannya, Wawan berpenghasilan 60 ribu sehari dalam waktu 2 jam. Jadi sehari mereka bisa dapat kesempatan 2 kali (pagi dan sore) atau 4 jam, maka kisaran rata-rata penghasilannya mencapai 120 ribu dalam sehari. Sungguh lumaan menguntungkan bagi mereka. Doa mereka, tentu ingin selalu jalanan ramai. Namun tetap saja, segala itu masih kita tunggu bagaimana pemerintah memiliki upaya mulia untuk menyelesaikannya. Penghakiman yang tepat dan tidak merugikan bagi siapa saja. Utamanya, tidak merugikan pula bagi para Polisi Cepek tersebut. Semoga.***


─Setia Naka Andrian, Penyair kelahiran Kendal, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Penulis buku puisi, “Perayaan Laut” (April 2016), dan menyiapkan penerbitan buku puisi “Manusia Alarm”.

Selasa, 03 Mei 2016

Kartini dan Keajaiban Surat (Wawasan, 25 April 2016)

Kartini dan Keajaiban Surat
Oleh Setia Naka Andrian

Bulan April, seakan kerap kali menjadi beban kita saat ini. Berat rasanya jika kita mengenang momen mulia yang setiap tahun diperingati ini hanya sebatas selebrasi semata, tanpa ada upaya pemuliaan-pemuliaan di dalamnya. Kita tentu paham, ada banyak upaya besar yang disuarakan RA. Kartini pada masa itu, hingga saat ini berdampak besar bagi bangsa kita ini, khususnya bagi kaum perempuan. Misalnya saja surat-surat Kartini yang dikirimkan kepada teman-temannya di Eropa. Surat-surat yang berisi pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial masyarakat kita saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Kartini dalam sebagian besar surat-suratnya mengisahkan keluhan dan gugatan-gugatan, di antaranya perihal budaya di Jawa yang seolah-olah menghambat kemajuan perempuan. Misalnya saja terkait keterbatasan pemerolehan pendidikan bagi kaum perempuan.
Selepas Kartini wafat, Mr. J. H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan Kartini kepada teman-temannya di Eropa tersebut. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia-Belanda. Buku tersebut berjudul Door Duisternis tot Licht (Dari Kegelapan Menuju Cahaya" (terbit 1911). Buku dicetak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini. Selanjutnya pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul yang diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran”, diterjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938, keluarlah kembali "Habis Gelap Terbitlah Terang" versi Armijn Pane (Sastrawann Pujangga Baru). Surat-surat Kartini semakin diminati di mana-mana, hingga akhirnya juga pernah terbit dalam bahasa Inggris yang diterjemahkan Agnes L. Symmers. Selain itu, juga pernah diterjemahkan dalam daerah, yakni bahasa Jawa dan Sunda.
Hingga kini, kita tentu selalu mengingat, sejak kita masih duduk di bangku SD, kelahiran Kartini selalu diperingati. Setiap tahun, Jepara dan 21 April selalu terngiang-ngiang di benak kita. Walau usia hidupnya hanya seperempat abad (25 tahun) namun hal besar telah dicapai. Kartini diriwayatkan sebagai seorang tokoh perempuan Jawa yang mempelopori kebangkitan perempuan pribumi. Putri R.M. Sosroningrat dan pasangan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat ini memberi angin segar bagi kaum perempuan. Ia sepenuhnya memperjuangan perempuan agar memperoleh kebebasan-kebebasan, berotonomi dan memperoleh persamaan hukum setara dengan laki-laki. Hingga dampak besar dapat kita simak saat ini, pemimpin-pemimpin di negeri kita ini dari mulai kepala desa, kepala daerah, bahkan kepala negara sempat dipimpin oleh kaum perempuan.
Barangkali, baru kali itu terdapat surat-surat seorang perempuan pribumi yang begitu menarik perhatian masyarakat Belanda. Selanjutnya, pemikiran-pemikiran yang dilambungkan Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Kartini mengubah pandangan kita terhadap perempuan. Kita semakin meyakini dan mengamini keberadaan mereka. Bahkan suatu ketika jika perempuan begitu menakjubkan dalam sikap laku dan gerak berkehidupan, kita begitu percaya hingga mengangkat tinggi posisi mereka di atas kita. Kita sangat yakin, pemikiran-pemikiran Kartini begitu menginspirasi generasi kita. Namun apakah segala itu hanya mampu kita kenang begitu saja. Kita rayakan setiap tahun. Kita ledakkan setiap April. Sedangkan jika sejenak kita kontemplasikan kecil-kecilan, kita saat ini sudah terasa malas menarasikan segala yang kita keluhkan dan yang kita gelisahkan dalam berkehidupan ini.
Kita seakan malas beranjak untuk mencatat hal-hal kecil di sekitar kita, dan barangkali segala yang kita anggap kecil itu belum tentu hal kecil pula di mata orang-orang. Kita lebih memilih berdiam di kamar, mendekam dalam kondisi paling sepi, berpeluk gawai, lalu berkicau di beberapa media sosial, bercakap-cakap dengan beberapa teman melalui pesan pribadi, begitu serampangan, tak terarah, dan pasti tak terdokumentasikan. Kita terkadang tak merasa, begitu berarti pengisahan-pengisahan semacam yang dilakukan Kartini pada masa itu. Ia begitu rajin menulis surat-surat untuk teman-temannya di Eropa, terkait segala yang digelisahkannya tentang kehidupan perempuan pribumi yang masih begitu banyak pengekangan-pengekangan, misalnya. Kaum perempuan yang belum memiliki persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat.
Walaupun begitu, perjuangan-perjuangan perempuan terhadap kaumnya hingga saat ini masih terus digaungkan, misalnya saja pengisahan Dewi Nova yang begitu memperjuangkan diri, keluarga, dan anak-anaknya, dalam buku kumpulan cerita pendeknya, Perempuan Kopi (2012), dalam penggalan cerpennya, Belum tuntas khotbah pagi itu, suara gergaji mesin di kebun kopi menghentak jemaat. Beberapa nama menjerit, menangis berguling-guling, seolah gergaji itu merobek tubuh mereka. Anak-anak menangis kencang ketakutan, dipeluk erat ibu mereka. Melalui sepenggal pengisahan tersebut, kita seakan disuguhkan kenyataan hidup kita yang masih lekat dengan posisi perjuangan kaum perempuan (ibu) yang tiada batas. Pada segala lapis kehidupan kita, sampai kapanpun posisi perempuan masih selalu kita perhitungkan.***


─Setia Naka Andrian, Penyair kelahiran Kendal, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Penulis buku puisi, “Perayaan Laut” (April 2016), dan menyiapkan penerbitan buku puisi “Manusia Alarm”.

Rabu, 30 Maret 2016

Digitalisasi Ojek dan Taksi (Wawasan, 30 Maret 2016)

Digitalisasi Ojek dan Taksi
Oleh Setia Naka Andrian

Tentu kita sangat menyadari, betapa kian hari, diri kita ini semakin malas beranjak dari titik aman dan kenyamanan. Seakan rasa-rasanya diri kita ini ingin dilayani segalanya, diantar, dibelikan, semua diimpikan datang sendiri ke hadapan kita. Seperti halnya akhir-akhir ini marak diperbincangkan kontroversi Gojek, kemudian dilanjutkan dengan kemunculan digitalisasi bagi pelanggan taksi. Keduanya serupa, seolah memanjakan diri kita dengan segenap kemudahan-kemudahan dalam berkehidupan. Sama-sama memanfaatkan aplikasi dalam hal pelayanan kepada para pelanggan.
Sempat dikabarkan di merdeka.com terkait kabar aplikasi pemesanan Gojek yang menjadi sorotan berbagai pihak. Berawal dari sikap Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang mendukung para tukang ojek untuk bergabung dengan aplikasi tersebut. Sontak, sikap Ahok itu dikritik oleh Ketua DPD Organda DKI Jakarta, Shafruhan Sinungan. Ditimpali tindakan tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Angkutan Umum Orang dan Barang, yakni sepeda motor bukan diperuntukkan sebagai angkutan umum orang dan barang. Lalu bagaimana dengan kemunculan digitalisasi pelanggan taksi, apa lagi timpalan yang akan mendarat sebagai dalih pembelaan terhadap gerak konvensional yang sudah lazim mereka lakukan selama berpuluh-puluh tahun?
Sebelum kemunculan kedua ‘momok’ bagi para tukang ojek dan sopir taksi ‘konvensional’, sebenarnya telah banyak beredar berbagai usaha jasa yang disertai dengan jemput dan antar barang. Misalnya saja, jasa fotokopi atau mencetak (printing) dokumen. Para pelanggan dimudahkan dengan dijemput orderannya, hingga setelah orderan jadi akan diantarkan kembali kepada pelanggan. Hal tersebut tentu sangat dekat dengan kita, terutama bagi para mahasiswa/karyawan yang tinggal indekos. Jasa cuci pakaian dilayani dengan begitu manjanya, pakaian kotor dijemput, setelah selesai dicuci, dikeringkan bahkan hingga diberi pewangi dan sudah setrika baru diantarkan kembali.

Masyarakat dan Peralihan
Jika dihadapkan pada peralihan semacam ini, pastilah di antara kita tidak sedikit yang menggunjingi atau bahkan berteriak selantang-lantangnya. Padahal, mau atau tidak mau, segalanya pasti akan berubah. Cepat atau lambat, kita akan hanya semakin disiksa jika kita tidak berupaya menatap dunia peralihan yang kian hari mengguyur diri dan kehidupan kita.
Tiada di antara kita yang kuasa menghentikan waktu. Bahkan jika kita berupaya untuk menolah perubahan, pastilah yang kita rasakan malah seakan waktu semakin kejam menenggelamkan diri kita dalam kubangan kecemasan yang panjang. Gerak waktu tak pernah mau berhenti, semakin dilawan, ia akan semakin cepat memutar jarumnya. Selanjutnya kita hanya akan merasa sangat berkesusahan. Kita menjadi sangat gelisah, jika ada hal-hal baru atau segala sesuatu yang mendahului kita.
Segala ini tentu menjadi persoalan yang tak pernah selesai. Jika diri kita masih merasa sebagai orang-orang yang terlalu mendewakan masa lalu yang begitu lazim dalam setiap gerak mengamini dan mengimani aktivitas berkehidupan. Kita tentu ingat, bagaimana pengisahan Gojek, kemudian dilanjutkan dengan kemunculan digitalisasi pelanggan taksi yang sama-sama berdalih mempermudah bahkan merajakan pelanggan. Semua dianggap sebagai pemberangusan kelaziman dan gerak konvensional kehidupan kita.
Lalu, kita akan merasa bahwa peralihan ini akan memojokkan bahkan bisa membunuh para pekerja konvensional yang telah berpuluh-puluh tahun dilakukan tukang ojek dan sopir-sopir taksi. Namun, apa daya kita, jika sesungguhnya diri kita sendiri, diri pelanggan mereka sendirilah terasa mengamini dan begitu membanggakan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan tersebut. Memang benar pula, ada kalanya kita tetap harus mendukung, perjuangan dan segala upaya yang dilakukan oleh pelaku konvensional, walaupun sudah semestinya, semuanya sama-sama memiliki pelanggan. Sama-sama memperoleh bagiannya masing-masing. Kita tentu yakin, tidak sedikit masyarakat kita yang belum menggunakan ponsel-ponsel pintar, tidak sedikit pula di antara orang-orang tua di sekitar kita yang masih merasa bertahun-tahun kesulitan beradaptasi dengan gadget di genggam tangannya.
Saya ingat, terkait pengisahan Scott Lash (1990), bahwasanya dalam beberapa dasawarsa sekitar pergantian abad menuju abad dua puluh, kehidupan kultural dalam kota-kota di dunia belahan Barat perlahan mulai berubah. Sifat dan arti perubahan pun menjadi salah satu pertanyaan yang ada dalam inti perdebatan sepanjang zaman, misalnya hingga saat ini mengenai modernitas dan modernisme. Tentu kita yakin, di belahan dunia mana pun megalami masa-masa peralihan yang serupa yang kita alami ini. Pelan-pelan, segalanya akan digiring menuju gerak digitalisasi yang membuat sebagian oang di sekitar kita merasa geram.
Semua seolah diharuskan menyelami dunia digital. Misal saja yang berkembang di segenap lembaga pemerintahan, perpajakan, lembaga pendidikan, dan lain sebagainya, semua diharuskan melaporkan hasil kerja, melaporkan proses hingga penilaian pembelajaran, dan semua harus direkam secara detail di laman yang sudah disediakan. Tentu segala ini bukanlah semacam gerakan subversif. Fenomena ini dapat kita yakini sebagai takdir dari zaman yang semakin bergerak, bergerak dan bahkan berlari. Mau tidak mau, cepat atau lambat, kita tetap akan menyinggahinya. Begitu.***


─Setia Naka Andrian, Penyair kelahiran Kendal, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Menerbitkan buku puisi pertama, “Perayaan Laut” (April 2016), dan menyiapkan buku puisi kedua “Manusia Alarm”.

Kamis, 24 Maret 2016

Urbanisme dan Riwayat Kampung (Wawasan, 23 Maret 2016)

Urbanisme dan Riwayat Kampung
Oleh Setia Naka Andrian

Ingatan saya membuka lebar menuju beberapa lagu-lagu terkait urbanisme, di antaranya Tunggu Aku di Jakarta (Sheila on 7), Sapa Suruh Datang Jakarta (Melky Goeslaw), serta Preman Urban (Slank), ketika menjadi salah satu saksi pemanggungan teater yang digelar Teater Gema di Gedung Pusat Lantai 7 Universitas PGRI Semarang, Rabu (16/3). Mereka menggarap lakon Ronggeng Keramat (RK) karya Eko Tunas yang disutradarai oleh Alfiyanto (Komunitas Panggung Semarang). Panggung teater diciptakan sedemikian rupa, bersikeras meyakinkan diri dan berupaya menyuarakan teater sebagai sebuah peristiwa. Mereka coba tunaikan tugas besar untuk menjaga peristiwa dengan memproduksi teater dari lakon yang meriwayatkan kampung serta kehidupan urban.
Jakarta dan kampung halaman menjadi dua sisi mata uang yang saling berseberangan. Jakarta menjadi kota impian untuk memanjangkan iman tentang upaya mengubah kehidupan menjadi lebih baik dalam tataran ekonomi. Sedangkan kampung, diriwayatkan sebagai tubuh yang masih alami, segala sesuatunya terasa manual, lambat dan jauh dari kemajuan-kemajuan, hingga ditakdirkan sebagai tempat yang serba sulit untuk memperoleh banyak uang (pekerjaan). Dalam cerita, dikisahkan Dukuh Keramat yang masih alami, penuh aroma bunga melati yang menjadi khas kampung dan dicita-citakan memberi kemakmuran. Namun ternyata segalanya tidak sesuai yang diimpikan,
Dalam lagu Sheila on 7, setidaknya melambungkan keyakinan Jakarya sebagai kota penancap mimpi. Penggalan syairnya, Tunggulah aku, di Jakarta mu. Tempat labuhan, semua mimpiku. Seperti halnya dalam lakon RK ini, Paijo dan Paimin, pada awal pertunjukan digambarkan sebagai warga kampung Dukuh Keramat yang hendak hijrah ke kota dengan mimpinya untuk memperoleh kemakmuran. Namun sebaliknya, ada penggambaran lain yang berkebalikan dengan Paimin dan Paijo. Terdapat dua tokoh, Raden Bos dan Katak. Keduanya merupakan kaum kota yang berkeinginan menguasai kampung.
Raden Bos, dalam kisahnya ditakdirkan sebagai orang yang sangat kaya raya, ia memiliki kekuasaan, dan Katak sebagai orang kepercayaannya. Mereka berdua berpikir bagaimana menciptakan surga buatan di kampung. Dengan dalih ‘negatif’ menyelamatkan kesenian kampung (ronggeng), mereka ciptakan tempat-tempat hiburan dan perempuan-perempuang ronggeng sebagi objek pemuas nafsu para pelanggan. Pada akhirnya, Raden Bos merasa telah memiliki segalanya, dari mulai harta, tahla, hingga akhirnya wanita menjadi titik akhir keruntuhannya. Raden Bos menyerahkan kekuasaan dan segala hartanya untuk orang kepercayaannya, Katak. Termasuk juga senjata, sebagai simbol kemenangan atas kekuasaan dalam pengisahan lakon. Akhirnya, saat Raden Bos sedang lengah dengan wanita-wanitanya (para ronggeng), ia mati ditangan Katak, ditembak dengan menggunakan senjata yang dimiliki Raden Bos sendiri.

Isu Urban dan Teater Modern
Isu-isu urbanisme, setidaknya menjadi garapan yang cukup menggairahkan bagi teater-teater modern (kontemporer) saat ini. Teater yang membentuk ingatan dan makna baru dalam setiap gagasan dalam garapan-garapannya mengenai takdir sebuah kota serta kekejaman-kekejamannya. Seperti pengisahan Radhar Panca Dahana (2001), teater modern menjadi teater yang berada di kota besar, menggunakan meode-metode kerja yang serupa yang serupa dengan teater di Barat, serta memiliki kebebasan fakultatif dalam proses kreatif maupun pemilihan idiom-idiomnya. Sebut saja, Teater Sae, Teater Koma, Teater Mandiri, Teater Garasi.
Barang tentu, proses penciptaan teater bagi para pembuat teater sangat berpengaruh gerak zaman yang selalu menjadi langkah dan pijakan manusia dalam menciptakan penanda kehidupan dan lingkungannya. Bahkan, persoalan kekalahan, kegagalan, kemuraman, menjadi dalih memperoleh keimanan kita dalam menyimak takdir panggung teater yang seolah-olah ‘sesungguhnya’. Seperti halnya kegagalan Paimin dan Paijo, setelah berjuang di Jakarta, ternyata segalanya sangat tidak sesuai dengan yang mereka bayangkan dan mereka impikan sebelumnya. Jakarta menjadi tempat yang suram.
Dalam dialog, mereka mengeluhkan, “Di Jakarta, kita ini kayak coro-coro saja ya!” (Kayak coro-coro: seperti para kecoa). Itu bukti, bahka kota telah menelantarkan mereka. Hal ini seperti yang disuarakan Slank dalam lagunya Preman Urban yang mengisahkan teman dari desa yang berniat mengejar mimpi di Jakarta. Syairnya, temanku seorang pengembara, yang datang dari timur negeri ini. Mencoba mengadu nasib di Jakarta, karena di desa kelahirannya susah mengejar mimpi.
Melki Goeslaw pun seolah turut menyalahkan juga dalam lagunya, Sapa Suru Datang Jakarta. Berikut penggalan syairnya, Ado kasian yeng mama. Jauh-jauh merantau mancari hidup mama. Nasib tidak beruntung. Siang dan malam yeng mama. Jalan kesana kemari. Sanak saudara mama. Semua tidak peduli. Sapa suru datang Jakarta. Hingga pada akhir cerita, Paimin dan Paijo berkeinginan untuk pulang kampung, karena merasa kota tidak memberikan apa-apa, kota telah menelantarkan mereka. Setelah sampai di kampung Dukuh Keramat, mereka kaget, semua telah berubah. Tidak lagi mereka temukan aroma melati, yang dulu menjadi aroma khas Dukuh Keramat. Kampung tumbuh menjadi bangunan-bangunan yang menjulang tinggi. Kampung tak lagi mampu mengisahkan dirinya sebagai ruang gerak berkemanusiaan yang selalu dirindukan.***


─Setia Naka Andrian, Penyair kelahiran Kendal, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Menerbitkan buku puisi pertama, “Perayaan Laut” (April 2016), dan menyiapkan buku puisi kedua “Manusia Alarm”.

Rabu, 02 Maret 2016

Nasib ‘Tayangan Jalanan’ pada Era Petisi Cyber (Wawasan, 2 Maret 2016)

Nasib ‘Tayangan Jalanan’ pada Era Petisi Cyber
Oleh Setia Naka Andrian

Pada era cyber seperti yang bergulir hingga detik ini, barang tentu segalanya dapat menyebar dengan begitu cepat. Apa pun itu, terlepas dari sisi baik dan buruknya, tentu kita sebagai ‘umat digital’ yang cerdas harus menyikapi semulia mungkin. Seperti halnya beberapa hari ini, saya mendapat kiriman surat elektronik (electronic mail) dari Change.org Indonesia, dari webnya sendiri, menulis dan sekaligus menobatkan ‘dirinya’ sebagai platform petisi terbesar di dunia, memberdayakan orang di mana pun untuk menciptakan perubahan yang ingin mereka lihat.
Petisi, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dimaksudkan sebagai surat permohonan resmi kepada pemerintah. Saat ini sedikit bergeser, surat dimaksudkan tidak harus yang tertulis di dalam kertas saja, dan hanya satu atau segelintir orang saja yang membubuhkan tanda tangan di bawahnya. Namun, pada era cyber saat ini, penanda tangan (pendukung) petisi sangatlah banyak, bahkan mencapai jutaan. Tidak tanggung-tanggung pula, melalui Change.org telah berhasil mencatat keberhasilan petisi yang dibuat.
Sungguh sangat besar respons masyarakat terhadap platform petisi yang diudarakan oleh Change.org. Dicatatnya, hingga saat ini sudah mencapai lebih dari 70 juta pengguna di 196 negara. Saya membuktikan sendiri, setiap hari ada saja kiriman-kiriman permohonan dukungan atas petisi dari Change.org. Jika kita sudah sekali saja memberikan dukungan, maka selanjutnya secara otomatis akan dikirimi penawaran-penawaran dukungan. Petisi yang dilayangkan sangat beragam, dari mulai ersoalan lokal hingga pada persoalan global. Misalnya terkait persoalan yang sedang memanas di media, hingga persoalan-persoalan yang sebenarnya dipandang sangat sederhana namun perlu diperhatikan dan menjadi isu publik.
Misalnya, ada perjuangan seorang ibu melawan bullying di sekolah putrinya, pelanggan/perusakan lingkungan, persoalan pengeboran Lapindo di Sidoarjo, dan lain sebagainya. Petisi-petisis dengan sangat mudah dapat diluncurkan, dari mulai atas nama komunitas/lembaga tertentu hingga atas nama perorangan. Segalanya dapat dikampanyekan dengan cepat dan mudah.
Beberapa petisi yang sudah dilayangkan di antaranya, “Cabut Izin Pengeboran Baru Lapindo di Sidoarjo!” yang dibuat oleh Urban Poor Consortium Jakarta Selatan Indonesia dengan dukungan 25.064 (Februari 2016), selanjutnya ada pula petisi “Kapolri, Kapolda Metro Jaya; Copot Kapolres Jakpus yang dukung sweeping FPI!” yang dibuat oleh Damar Juniarto, warga Jakarta, dengan pendukung 37.256 orang (Januari 2016). Ada pula yang ditujukan kepada Presiden Jokowi, dengan petisi “Presiden @Jokowi, @Portal_Kemlu_RI; Tolak Donald Trump dan Bisnisnya Masuk Indonesia” dengan pendukung 45.393 orang.
Banyak yang dinyatakan petisi yang diluncurkan berhasil. Setelah para pendukung melalui surel/e-mail (surat elektronik) memberikan dukungan, pendukung akan diberi balasan secara otomatis dan jika petisi tersebut berhasil, maka akan diberitahukan pula kegembiraan kabar keberhasilan tersebut. Tak jarang pula dari para petinggi negara, bahkan hingga presiden yang menanggapi petisi dengan baik, serta mendukung atau mengabukan permintaan dari petisi yang dilayangkan memalui Change.org tersebut.

Saatnya Petisi Cyber Perangi ‘Tayangan Jalanan’
Pada minggu ini, baru saja saya mendapat kiriman permohonan dukungan terkait petisi yang dibuat oleh Generasi Pemuda Peduli Indonesia untuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, “@KPI-Pusat, @OfficialRCTI, Hentikan Tayangan Anak Jalanan!” KPI, sebuah lembaga independen di Indonesia  yang memiliki tugas sangat mulia sebagai alat pengatur (regulator) segala penyelenggaraan penyiaran di Indonesia, termasuk yang ditayangkan di televisi.
Memang benar, fakta membuktikan, bahkan riset kecil-kecilan saya kepada beberapa tetangga yang kebanyakan ABG, 98% sangat menggilai tayangan sinetron “Anak Jalanan”. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang sudah terpengaruh secara penampilan, gaya, bahkan beberapa aktivitas kecil lain yang sangat dekat dan hanya digeser saja dari layar televisi menuju kenyataan hidup mereka.
Barang tentu benar jika petisi tersebut dibuat. Sinetron “Anak Jalanan” yang tayang mulai Oktober 2015 tersebut sepertinya sangat tidak cocok untuk masyarakat kita. Khususnya bagi anak muda kita, generasi penerus bangsa ini. bangsa ini sudah terpuruk, banyak persoalan yang menjangkiti para politisi, para petinggi negara ini. Maka jangan sampai anak-anak muda generasi bangsa kita juga turut dilukai akibat tayangan-tayangan televisi yang kurang mendidik. Walaupun tetap saja segalanya diserahkan pada masing-masing pribadi anak muda kita tersebut. Namun setidaknya, KPI sudah seharusnya menjalankan tugas yang seharusnya dijalankan. Benar-benar menjadi komisi yang ‘bertaring’ untuk menentukan tayangan mana yang layak dan mana yang tidak layak.
Kita tentunya akan sangat prihatin melihat dampak besar televisi bagi masyarakat kita. Tidak seharusnya pula ukuran money oriented saja yang dikejar. Ibaratnya, catatan keberhasilan yang dilakukan seseorang pastilah tidak melulu harus dihitung berdasarkan seberapa uang yang didapatkan, atau seberapa kekayaan yang dicapai. Tentunya, keberhasilan juga dapat diukur berdasarkan seberapa posisi ketercapaian moral dan spiritual seseorang dalam berkehiduan. Sudah cukup KPI membuka kran lebar terhadap segala yang kurang cocok untuk bangsa kita yang cenderung/mayoritas berbudaya timur ini. Sudah cukup hedonisme begitu diguyurkan di acara-acara televisi kita. Sudah tidak jarang lagi tayangan-tayangan televisi memberi dampak buruk serta menjadi contoh yang tidak baik bagi generasi muda kita.
Seperti halnya kekerasan yang dicontoh dari televisi, hubungan di luar batas kenormalan dalam adat dan budaya kita yang ditiru dari televisi, lalu masih banyak lagi contoh lain yang saya rasa sudah sangat akrab dengan diri kita, yang sudah tidak sebentar menjadi saksi tayangan televisi kita. Tentu, kita semua sangat berharap, KPI harus tegas dalam memberi restu terhadap tayangan-tayangan di televisi. Jangan sampai terus-terusan sajian di televisi menjadi contoh buruk dan menimbulkan efek negatif bagi generasi muda yang menontonnya.
Mari kita beri dukungan petisi yang diluncurkan Change.org baru-baru ini. Kita beri dukungan Generasi Pemuda Peduli Indonesia menggedor KPI. Sudah saatnya kita semua menjadi generasi ‘cerdas’ dan menyikapi aktivitas positif dalam menjadi penganut ‘era cyber’. Semoga kita mampu menyadarkan KPI agar menyingkirkan tayangan-tayangan semacam “Anak Jalanan” tersebut. Tentunya masih banyak pula ‘tayangan jalanan’ lain yang dirasa sangat mengganggu kesehatan pembangunan tubuh generasi penerus bangsa kita. Kita tunggu kemuliaan KPI.***


─Setia Naka Andrian, Dosen FPBS Universitas PGRI Semarang. Tahun ini akan menerbitan dua buku puisinya, “Perayaan Laut” dan “Manusia Alarm”. Salah satunya akan diluncurkan bulan April, bertepatan dengan ritual mengakhiri masa lajangnya.

Selasa, 23 Februari 2016

Bioskop Sesuai Kategori Umur (Wawasan, 23 Februari 2016)

Bioskop Sesuai Kategori Umur
Oleh Setia Naka Andrian

Saya ingat, saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), kali pertama saya mulai menonton bioskop. Saat itu saya sangat penasaran dengan gedung bioskop yang ‘katanya’ menampilkan film-film yang bagus, terbaru dan tentu saya bayangkan sebagai tontonan yang begitu mutakhir. Awal perjumpaan saya tersebut bermula ketika boomming film Ada Apa Dengan Cinta (2002) yang ditulis Jujur Prananto, Prima Rusdi dan Rako Prijanto. Film cinta yang begitu romantis pada masa itu di kalangan remaja dengan sutradara Rudy Soejarwo itu menandai awal perjumpaan saya mengenal bioskop.
Meskipun awalnya saya menyaksikan film itu tidak di bioskop, melainkan melalui tayangan yang saya putar melalui VCD bajakan yang saya ambil diam-diam dari kakak saya. Video dengan gambar seadanya tersebut saya nikmati diam-diam ketika rumah sepi. Lalu karena saya penasaran dan cukup keasyikan dengan film romantis tersebut, maka saya bersama teman, tetangga yang sudah kuliah, mengajak menonton bioskop di Semarang. Mengingat saat itu saya belum berani pergi sendirian dari Kendal ke Kota Lunpia tersebut, dan pasti tidak mendapat izin dari orangtua jika akan pulang cukup malam.
Beberapa tahun kemudian, perjumpaan kedua dengan film kisah cinta yang begitu kocak, 30 Hari Mencari Cinta (2004) yang ditulis dan disutradarai Upi Avianto. Kedua film tersebut menjadi sebuah penanda personal bagi saya, setidaknya juga bagi anak seusia saya pada masa itu. Itu beberapa di antara film-film remaja yang bermunculan dan terekam begitu kuat dalam ingatan saya, bahkan masih saja terngiang hingga saat ini.

Film Konsumsi Remaja Masa Kini
Kedua film pada masa saya di atas, tentu belum seberapa dengan film-film yang dikonsumsi remaja yang bermunculan saat-saat ini. Masih pada batas-batas kewajaran. Namun, kita ketahui bersama, beberapa film konsumsi remaja masa kini yang tidak mendidik bermunculan begitu saja. Seperti digelontorkan begitu deras tanpa penyaringan. Kita simak saja, film-film horor yang sangat digemari anak muda zaman sekarang dengan bumbu-bumbu panas. Entah dari mulai arwah suster-suster yang gemar keramas, ngesot, hingga segenap film-film bernada kisah anak muda dengan balutan gaya hidup hedonisme serta tampilan tubuh-tubuh perempuan seksinya.
Bahkan, fenomena semacam tersebut, pada era digital saat ini, siapa saja begitu mudah menikmati film-film dari youtube selepas ditayangkan di bioskop. Siapa saja dapat mengkonsumsinya. Walaupun jika kita ketahui, saat ini alamat website tertentu harus disesuaikan dengan umur, dan itu hanya pada umur yang dicantumkan dalam akun surat elektronik (e-mail). Tentu masih bisa dilewati dengan mudah oleh anak-anak yang belum cukup umur. Tinggal buat saja akun dengan usia yang dituakan. Beres, dan selanjutnya bisa berselancar dengan mudah menikmati unggahan-unggahan video yang belum selayaknya ditonton.
Lebih-lebih saat ini bioskop sudah menjadi gaya hidup bagi sebagian orang. Ibaratnya, kalau tidak pernah nonton bioskop maka akan menyandang olokan “katrok!” Maka sudah pasti, siapa saja akan berupaya untuk mengejar agar tidak disemprot dengan ejekan tersebut. Sangat disayangkan lagi, beberapa hari yang lalu, 12 Februari. Beredar petisi “@cinema21, @CGVblitz, @cinemaxxtheater, Jual Tiket Bioskop kepada Penonton Sesuai dengan Kategori Umur!” yang dilayangkan di Change.org Indonesia oleh Fellma Panjaitan, warga Jakarta.
Fellma dengan petisinya tersebut muncul akibat kegelisahannya ketika beberapa kali melihat anak-anak menonton film-film yang belum saatnya ditonton. Barang tentu kita juga tidak jarang melihat semacam yang disaksikan Fellma tersebut. tidak sedikit film yang bergelimah bumbu sex bebas (free sex), bahasa kotor (foul language), kekerasan (violence), dan narkoba (drugs).
Mengingat segala itu sangat penting, tentu selanjutnya pihak-pihak yang terlibat dalam penyeberan film-film dalam bioskop, termasuk 21, XXI, Blitz atau Cinemaxx, harus mau mengambil langkah mulia demi keselamatan generasi penerus bangsa ini. Harus dipertegas tayangan dengan kategori Rated G (Semua Umur),  Rated PG (Bimbingan Orang Tua), Rated PG-13 (Bimbingan Orang Tua untuk Anak Dibawah 13 tahun), dan Rated R (Restricted/terbatas).
Memang saatnya itu semua digalakkan. Jangan sampai pula orang-orang tua mengajak anak-anak yang belum seharusnya menonton tayangan yang diputar di bioskop. Agar tidak lagi kita dengar berita-berita kriminal yang dilakukan oleh anak di bawah umur, agar tidak ada lagi anak di bawah umur memperkosa karena nonton porno. Ini semua terjadi di negeri kita tercinta ini. Kalau perlu, untuk mendeteksi para penonton bioskop, sepertinya mereka perlu menunjukkan tanda pengenal, termasuk KTP/SIM. Ini yang bermunculan di bioskop, lalu bagaimana dengan yang beredar luas di televisi? Sungguh, semua ini perlu ketegasan dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Semoga.***


─Setia Naka Andrian, Dosen FPBS Universitas PGRI Semarang. Tahun ini akan menerbitan dua buku puisinya, “Perayaan Laut” dan “Manusia Alarm”. Salah satunya akan diluncurkan bulan April, bertepatan dengan ritual mengakhiri masa lajangnya.

Sabtu, 06 Februari 2016

CommaWiki, Kamus Bahasa Kekinian (Tribun Jateng, 6 Februari 2016)

CommaWiki, Kamus Bahasa Kekinian
Oleh Setia Naka Andrian

CommaWiki, fenomena mutakhir yang saat ini sedang gencar di media sosial. Khususnya bagi kalangan anak muda masa kini. Sebuah file gambar berisi kata beserta makna kata dengan versi ‘sangat anak muda’. Semacam kamus, namun kali ini makna kata begitu jenaka dan kocak. Namun ada kalanya sangat menggugah serta sangat edukatif.
CommaWiki disebut pula sebagai meme kamus. Meme berarti lelucon yang muncul pada era digital seperti sekarang ini. Beredar melalui gambar, video, dan kata-kata. Maka, meme kamus dimaksudkan sebagai kamus kata bermakna lucu. Berdasarkan data yang dikutip dari kaskus.co.id dan hot.detik.com, penemu CommaWiki ialah seorang penulis blog. Ia bernama lengkap Putu Aditya Nugraha, pemuda asal Bali.
Pria pemilik akun @commaditya dan commaditya.com telah mengunggah ribuan CommaWiki melalui twitter pribadinya. Terbukti, akun yang dikelolanya sejak Agustus 2009 ini telah memiliki pengikut hingga 63,4 ribu.

Kamus Nyeleneh
Dalam hal ini, meme kamus mencatat makna kata yang sedikit nyeleneh atau menyimpang dari pengertian aslinya. Namun makna tersebut tetap bersumber langsung dan sangat dekat dengan kehidupan/pengalaman hidup kekinian.
Berikut beberapa yang tersebar luas di google images, “Kampus: tempat nyari ilmu dan gebetan buat nyemangatin belajar”; “Bad boy: lelaki berperilaku kurang ajar, tidak baik, dan sering tidak tahu diri, tapi ganteng”; “Mantan: yang sudah pergi, namun kadang datang tiba-tiba di pikiran, kadang tiba-tiba ngungkit kenangan”; “Masa lalu: beberapa orang terjebak di sana, bukan karena tidak bisa, tapi kadang memang tidak mau berusaha keluar.”; “Otw: keadaan di mana anda masih berkalung handuk atau di bawah selimut, sedangkan rekan anda sudah membusuk di titik pertemuan”; dan sebagainya.
Ratusan CommaWiki terunggah begitu melimpah juga di akun @CommaWikiIndo dengan pengikut 9.114 dan @CommaWiki dengan pengikut 863. Kedua akun ini, setidaknya menjadi rujukan anak-anak muda. Mereka mengambil file gambar atau kata-katanya untuk dipajang di media sosial yang dimiliki. Misalnya di facebook, twitter, instagram, blackberry messenger, path, dan lain sebagainya.
Berdasarkan pengamatan di google images, gambar-gambar dan kata-kata CommaWiki sebagian besar bersumber dari beberapa akun tersebut. Akun @CommaWikiIndo misalnya, dengan unggahan 3.158 memiliki pengikut lebih banyak dari akun @CommaWiki. Barangkali karena dinilai semua unggahannya bergambar dan tampak lebih menarik, dengan gambar-gambar ilustrasi yang terkait dengan kata-kata dalam meme kamus tersebut. Sedangkan akun @CommaWiki yang hanya menggunggah kata-katanya saja tanpa mengunggah visual/gambar.
Terkait CommaWiki juga sedikit banyak telah disinggung oleh Rahmat Agung Purnama dalam blog pribadinya: rahmatagungp.wordpress.com. Rahmat juga mengakui, bahwa penemu meme kamus ini adalah Putu Aditya Nugraha, salah satu pria yang mendapatkan keberuntungan WHV (Working Holiday Visa) di Sydney selama satu tahun. Ia sempat pula diundang tampil di salah satu TV nasional untuk membahas fenomena meme kamusnya ini. Putu, ternyata tercatat juga sebagai pembuat acara kreatif 'Malam Puisi' di Bali dan kemudian diikuti kota-kota lainnya di Indonesia.

Bahasa, Kreativitas, dan Kekinian
Kamus meme ini dapat dikatakan sebagai temuan baru dalam perkembangan bahasa Indonesia. Kendatipun, tetap saja tak lepas dari sisi positif dan negatifnya. Sisi negatif, misalnya terkait perusakan makna kata, jika dinilai tidak sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Sisi positifnya, tentu pada kreativitas pengelolaan cita rasa pemaknaan bahasa. Seseorang pun akan merasa menemukan ‘tawaran’ makna lain yang lebih ‘segar’ dari setiap kata. Tentunya, tetap pada garis substansi makna kata yang sesuai KBBI tersebut.
Bahkan cepat atau lambat, pihak-pihak yang ‘berwenang’ di dunia bahasa Indonesia akan segera turun gunung untuk menyikapi fenomena ‘kamus bahasa kekinian’ ini. Tak tanggung-tanggung, dengan sebutan CommaWiki Kamus Nyeleneh telah menjelma menjadi aplikasi yang dapat diunduh gratis untuk smart phone.
Jika sudah sampai pada titik penggunaan meme kamus ini di gadget, barang tentu penggunaan CommaWiki akan semakin merajalela. Anak-anak muda seusia sekolah atau mahasiswa akan gonta-ganti memasang meme kamusnya di smart phone, sambil senyum-senyum hingga tertawa lepas. Di sisi lain, guru-guru, dosen hingga peneliti bahasa barangkali akan tercengang dan berupaya mencari jalan keluar untuk merespons. Inikah fenomena kerusakan bahasa Indonesia? Atau ini fenomena kemutakhiran bahasa Indonesia?

─Setia Naka Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS).

Senin, 25 Januari 2016

Mental Plagiarisme (Koran Wawasan, 25 Januari 2016)

Mental Plagiarisme
Oleh Setia Naka Andrian

Plagiarisme menjadi penyakit paling kronis di dunia akademis kita. Penjiplakan yang sudah sangat mutlak melanggar hak cipta tersebut ternyata hingga saat ini tidak sedikit menjangkiti para pelajar, guru, mahasiswa, dosen, bahkan guru besar kita. Tentu kita ingat, kala itu cukup ramai diperbincangkan dan begitu menyeruak di beberapa media massa. Menghadapi kasus plagiarisme, kita seakan kesulitan untuk memeranginya.
Dalam bahasan ini, akan lebih fokus pada plagiarisme karya tulis, baik ilmiah maupun populer, yang kerap kali menggenangi lautan akademis kita. Lebih-lebih, sangat memprihatinkan jika mental plagiarisme meracuni mahasiswa. Walaupun sesungguhnya kebiasaan buruk ini dapat kita bunuh dengan sangat mudah. Pembunuhnya ya diri kita sendiri. Bagaimana pemahaman kita, mental kita, jika berhadapan dengan segala aktivitas kreatif dalam berpendapat atau bergagasan.
Kenapa perlu aktivitas kreatif? Sebelumnya mari kita simak lagu Slank berikut, “Kopi Air Hujan“ (2007): Lemparkan biji di halaman, kelak akan menjadi barang. Menadahkan tangan di jalanan, kelak akan menjadi uang. Pasang tampang pasang aksi, begitupun menghasilkan. Nggak ada tangis bayi kelaparan. Nggak ada dentuman meriam. Nggak usah takut deh. Di kampung di kota orang sibuk pada bisnis. Banyak yang punya rekening di negeri Swiss. Pemboikot sekarang pada modis-modis. Pengemis aja mudik carter bus. Hidup di alam yang ramah, di atas tanah subur dan kaya. Nggak usah pake banyak tenaga. Mikir sedikit pasti jalan. Hidup senang nggak ada perang. Makan kenyang ngapain ribut-ribut?
Sangat gamblang yang dilukiskan Slank dalam lagunya tersebut. Dalam lagu diimajinasikan, bahwa dunia sangat membuka lebar untuk digarap manusia. Kita akan sangat mudah melakukan apa saja. Asalkan ada niatan untuk bergerak. Lemparkan biji di halaman, kelak akan menjadi barang. Sangat sederhana, dan sangat mudah. Begitu saja, dengan tindakan sederhana saja sudah dapat menghasilkan. Apa lagi jika tindakan sederhana tersebut dilanjutkan/dibumbui dengan gerak kreatif. Apa jadinya? Tentu akan lebih bagus dan melimpah lagi hasilnya. Begitu pula dengan tindakan lain, bahkan hingga hal yang seharusnya sangat tidak baik, mengemis. Seseorang pasang tampang memelas, menadahkan tangan, akhirnya mendapat uang.

Upaya Kecil dalam Gerak Kreatif
Sangat benar yang diteriakkan Slank, “Mikir sedikit pasti jalan!” Lalu, apakah para plagiator tidak mau berupaya? Jawabnya tentu, ya benar, mereka malas mikir! Dalam hal ini terkait proses kreatif, misalnya. Seorang plagiator akan lebih bernapsu untuk menyelesaikan sesuatu. Semua ingin instan. Cepat jadi tulisannya, lalu dikirim di media, atau jika mahasiswa ya biar lekas bisa dikumpulkan sebagai tugas, dan lain sebagainya. Padahal, segalanya butuh proses panjang. Tak ada yang jatuh dari langit dengan cuma-cuma. Misal penulis yang sudah sangat “pendekar”, dengan begitu cepat menyelesaikan karyanya, misalnya. Tentu itu bisa jadi kita saat ini hanya melihat 1% hasilnya saja, yang saat ini di hadapan kita. Lalu apa kita paham betul 99% perjuangan dan proses panjangnya yang tentu sangat jungkir-balik itu?
Sungguh sangat membahayakan. Mental plagiarisme, barangkali tidak sedikit dilakukan teman-teman mahasiswa dalam mengerjakan tugas kuliah. Asal comot saja dari internet. Karangan/pendapat orang lain diambil begitu saja, tanpa membubuhkan nama penulisnya. Diramu dari banyak tulisan dari beberapa blogger misalnya, hingga akhirnya menjadi satu jelmaan tulisan baru, menjadi karangan baru, atau makalah baru dengan modivikasi sedemikian rupa. Bahkan ada juga yang ditemukan beberapa paragraf sama persis. Menjadikan karangan/tulisan tersebut seolah-olah karya sendiri. Sungguh sangat sesat.
Barang tentu, semua itu ada karena plagiator tidak mau berusaha, alasannya kehabisan ide, buntu, dan lain sebagainya. Itu semua karena tidak ada upaya, sekecil apa pun upaya itu. Kita bisa menyimak beragam media massa yang terbit setiap harinya. Atau momen-momen penting di sekitar kita. Peristiwa besar, atau kejadian-kejadian sederhana lainnya. Dari situ, kita dapat meramunya menjadi karya. Entah itu karya tulis ilmiah, populer, atau bahkan bisa juga diramu menjadi karya seni. Tinggal semua yang kita tangkap tersebut direkam dengan baik, dicatat, lalu diendapkan. Kiranya apa yang terjadi, ada solusi apa, ada upaya apa untuk menanggulangi atau meluruskan, jika ada yang kurang lurus, misalnya.
Jika masih mentok, lakukan diskusi kecil dengan beberapa teman dekat. Bisa juga bersama teman-teman komunitas. Padahal saat ini sudah sangat banyak forum-forum diskusi, kegiatan-kegiatan seminar, misalnya jika di kampus. Semua itu bisa menjadi ruang galian untuk berproses kreatif. Walaupun dengan cara kere-aktif, kita akan tetap menemukan kebermanfaatan-kebermanfaatan lain. Tentunya, sangat banyak upaya-upaya kecil yang sekiranya dapat kita lakukan dalam proses pembelajaran. Jika seseorang masih mahasiswa, tentu malah sangat banyak ruang yang bisa menampung.
Saya ingat, dulu, saya bersama teman-teman dalam Komunitas Sastra Lembah Kelelawar, sebuah komunitas yang kami dirikan di luar lembaga kampus. Hampir setiap malam kami bertemu, waktu itu komunitas hanya beranggotakan empat orang saja. Kami bertemu, membawa masalah dan kegelisahannya masing-masing dalam wilayah kesenian dan budaya misalnya, atau bahkan hingga menjamah dunia politik. Kami diskusikan, kemudian masing-masing dari kami menuliskannya dalam berbagai jenis tulisan. Entah puisi, cerita pendek, esai, catatan perjalanan, dan tulisan-tulisan lainnya yang sangat sederhana dan bisa dibilang tidak kelihatan jenis kelaminnya.
 Lalu tulisan-tulisan tersebut kami muat sendiri dalam buletin komunitas buatan kami sendiri, yakni Buletin Kelelawar, atau kami kirim ke media kecil kepunyaan teman-teman komunitas lain. Dengan niatan, kami memulai proses. Dari hal-hal kecil yang sangat sederhana. Kami lepas dulu tulisan-tulisan yang bergantung pada gagasan-gagasan orang lain. Intinya, kami saat itu butuh dasar kuat dalam menulis. Kami upayakan sangat berdikari, biar tidak memanjakan diri dengan ketergantungan-ketergantungan gagasan/ide lain. Kami lakukan dan kami tulis segala yang sederhana, yang kami pahami saja, sejauh mana mata, hati dan jiwa kami mengembara dalam jagat kata-kata. Seperti halnya yang tentu sering dikatakan penyair Afrizal Malna dalam setiap pelatihan-pelatihan menulisnya, “Tulislah apa yang kamu lihat, bukan apa yang kamu pikirkan!” Hal tersebutlah pembelajaran yang sangat sederhana. Ibaratnya, kenapa harus jauh-jauh sampai bintang, jika di sekitar kita sangat banyak kunang-kunang. Bukankah begitu?


─Setia Naka Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan dua buku puisinya, “Manusia Alarm” dan “Perayaan Laut”.

Rabu, 02 Desember 2015

Gelimang ‘Kado’ untuk Guru (Koran Wawasan, 14 Desember 2015)

Gelimang ‘Kado’ untuk Guru
Oleh Setia Naka Andrian

Sejak 1994 silam, sesuai Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994 tentang Penetapan Hari Guru Nasional jatuh pada 25 November 1994. Dua puluh satu tahun sudah, pemerintah bersama Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) melakukan peringatan Hari Guru Nasional sekaligus HUT PGRI ke-70 yang biasanya dihadiri Presiden atau Wakil Presiden, para menteri dan pejabat negara lainnya.
Guru, sebagai insan yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Guru menjadi contoh teladan bagi siswa-siswanya. Tentunya juga akan melebihi apa yang dilakukan/dicontohkan oleh gurunya. Misal saja, jika guru kencing berdiri, maka murid akan kencing berlari. Barang tentu sangat benar, kelakuan murid (orang bawahan) selalu mencontoh guru (orang atasannya).
Clifford Geertz dalam Abangan, Santri, Priyayi (1983), menyebutkan bahwa sistem guru diletakkan atas dasar perbedaan bakat spiritual di antara berbagai individu dan kelompok, bakat yang bisa ditingkatkan tetapi hanya sampai titik tertentu. Sehingga kita tak pernah akan mampu membaca status spiritual dan kemampuan batin seseorang hanya melalui aspek-aspek luarnya saja. Sehingga seorang pengamen dalam kenyataannya bisa saja lebih tinggi bakat spiritualnya dari seorang gubernur.
Dapat kita gariskan semacam pertemuan dokter dengan pasien, guru merupakan ayah simbolis bagi muridnya. Barang tentu, kita tak heran jika banyak menjumpai seorang anak yang lebih tenang menceritakan sosok gurunya daripada sejarah orangtuanya sendiri. Kita kali ini pun akan lebih banyak memutar ingatan tentang ayah simbolis tersebut, karena memang banyak hal yang dapat saya kenang dari bangku sekolah, ketimbang dari rumah.
Guru diyakini sebagai pekerjaan mulia. Tak kan pernah ada profesor, dokter, bahkan presiden, jika tanpa guru. Mereka diajari membaca, menulis dan berhitung oleh guru. Kita tak bisa membayangkan betapa besarnya guru tingkat sekolah dasar. Namun apa yang terjadi, seperti sangat jauh mereka dari kebepihakan. Bahkan kebijakan-kebijakan yang ada sangat mempersulitkannya.
Misalnya, ada beberapa komponen yang harus ditunaikan sebelum guru diberi tunjangan pofesi guru (TPG). Di antaranya guru harus melakukan penilaian kinerja guru (PKG), pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB), dan uji kompetensi guru (UKG). Seharusnya guru tidak melulu ditekan dengan beragam uji kompetensi saja, namun diberi pendidikan, pelatihan, dan bimbingan. Jika guru-guru tetap dibebani, maka akhirnya yang bisa mereka lakukan hanya pasrah saja.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan (Media Indonesia, 23/11), meminta guru untuk dapat membuat terobosan dalam mengajar. Anies berpendapat, sudah tidak bisa lagi guru menyamaratakan model pengajaran dulu dengan saat ini. Siswa dipersiapkan untuk menghadapi abad ke-21, sementara guru berasal dari abad ke-20, dan pendidikan yang diemban dari abad ke-19. Anies menilai guru dapat meningkatkan kemampuan murid berdasarkan potensi yang dimiliki oleh setiap murid.
Terobosan itu tentu sangat bagus, namun akan sangat ironis jika mengejar terobosan-terobosan sedangkan pemerataan fasilitas serta sarana-prasarana pendidikan di negeri ini saja belum selesai. Ketua Panitia Temu Netizen Peduli Pendidikan, Nur Febriani Wardi (Media Indonesia, 23/11), pendidikan belum bisa dinikmati secara adil, misalnya sedikitnya jumlah SMA/SMK di daerah-daerah terpencil dan pedalaman, jarak tempuh yang jauh, akses yang tidak memadai, dan belum meratanya pendidikan gratis juga menjadi halangan bagi masyarakat miskin.
Belum lagi persoalan pemerataan guru yang belum memihak di daerah-daerah terpencil. Padahal secara nasional, Indonesia mengalami kelebihan guru. Untuk jenjang pendidikan dasar, misalnya, kebutuhan guru sebanyak 492.765 orang di 34 provinsi. Namun, berdasarkan laporan mulai dari tingkat sekolah, kabupaten/kota, hingga provinsi di seluruh Indonesia yang masuk dalam data pokok pendidikan, ada kelebihan 143.729 guru. Data itu tanpa membedakan status guru sebagai pegawai negeri sipil (PNS) atau guru tidak tetap (GTT).
Namun masih saja ada persoalan kekurangan tenaga pengajar di daerah terpencil. Beberapa waktu lalu, diberitakan di Kompas (23/11), Sarino (32), guru SDN Caringin di Kampung Caringin, Desa Nangela, Kecamatan Tegalbuleud, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Sarino mengajar siswa kelas I hingga kelas IV seorang diri di suatu ruangan agar semua siswa yang jumlahnya 22 siswa dapat terlayani.
Tentu, segala itu menjadi kado tersendiri untuk guru-guru kita. Kado persoalan-persoalan atas kebijakan-kebijakan yang belum selesai juga hingga saat ini. Padahal, tema besar yang diusung dalam peringatan Hari Guru Nasional (HGN) dan HUT ke-70 PGRI tahun ini adalah ‘Memantapkan Soliditas dan Solidaritas PGRI sebagai Organisasi Profesi Guru yang Kuat dan Bermartabat’. Sebuah doa dan harapan tersendiri, agar nasib guru semakin diperhatikan. Terobosan-terobosan yang direncanakan menteri pendidikan kita semoga dapat menjadi angin segar tersendiri. Sehingga selanjutnya, kita tak pernah lagi merasa lelah menyaksikan keluhan-keluhan para guru di koran dan di televisi. Semoga.***

─Setia Naka Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan buku puisi pertamanya, “Manusia Alarm”.

Selasa, 24 November 2015

Kematian Anak di Televisi (Koran Wawasan, 24 November 2015)

Kematian Anak di Televisi
Oleh Setia Naka Andrian

Kita lihat sejenak, ada berapa acara televisi yang memihak anak-anak setiap harinya. Kita dapat menyimak dalam jadwal acara televisi di koran-koran atau internet. Seakan tidak ada lagi chanel yang cocok untuk pertumbuhan masa kanak-kanak. Jika tidak tayangan-tayangan sinetron dengan bergelimang hedonisme kisahnya, ada juga gosip-gosip artis, dan pentas-pentas musik dangdut dengan syair tidak seronoknya.
Menyoal fenomena tersebut, dapat kita kaitkan dengan peringatan Hari Anak Internasional diperingati 20 November, kemarin. Hari yang juga diperingati sebagai hari lahirnya Konvensi Hak-hak Anak di tahun 1989. Edy Ikhsan (2003), menyatakan bahwa masyarakat dunia sekarang ini nampaknya harus berhutang kepada Eglantynee Jebb, pendiri Save the Children Fund (lembaga swadaya masyarakat internasional yang bekerja untuk perlindungan anak).
Jebb merawat para pengungsi anak di Balkan, akibat Perang Dunia I. Ia membuat sebuah rancangan Piagam Anak pada tahun 1923. Dalam ringkasan tersebut, Jebb mengembangkan gagasan mengenai hak-hak anak. Di antaranya, anak harus dilindungi dari segala pertimbangan mengenai ras, kebangsaan dan kepercayaan. Anak harus dipelihara dengan tetap menghargai keutuhan keluarga. Anak juga harus disediakan sarana yang diperlukan untuk perkembangan secara normal, baik material, moral dan spritual.
Barang tentu anak-anak semakin kehilangan kemerdekaannya. Lalu bagaimana dengan hak-hak anak yang sempat diperjuangkan Jebb tersebut. Terutama sajian-sajian yang dihadirkan di televisi. Saya ingat, dulu masa kanak-kanak saya di desa, televisi menjadi hiburan utama bersama teman-teman dan keluarga. Setiap malam sehabis mengaji, saya menyaksikan serial yang sangat mendidik, sebut saja Wiro Sableng.
Pendekar yang fenomenal dengan senjata kapak dan rajah di dada bertuliskan 212 memberikan banyak nilai bagi penontonnya. Di antaranya, Wiro tak akan mungkin bisa menjadi pendekar jika tidak menuruti perintah Sinto Gendeng, gurunya. Serial tersebut mengajarkan bahwa kita harus menghormati guru. Kemudian, walaupun Wiro lahir sebatang kara, namun dia tetap semangat berjuang dan mengembara hingga bisa menjadi orang berhasil (pendekar) untuk menegakkan kebenaran di muka bumi.
Ada pula serial Lorong Waktu yang ditayangkan khusus bulan Ramadhan. Lorong Waktu bercerita tentang seorang ustadz yang menemukan mesin yang mampu membawanya berkelana menuju masa lalu dan masa depan. Dalam perjalanan menjelajah waktu tersebut, ditampilkan orang-orang atau tokoh-tokoh menginspirasi dengan kisah hidup yang bisa diambil sebagai pelajaran.
Selanjutnya serial Anak Ajaib yang dibintangi Joshua Suherman, pelantun lagu anak “Diobok-obok”. Serial yang menumbuhkan trend film anak-anak lokal bertema robotik.  Selain itu, ada serial Keluarga Cemara yang naskahnya ditulis Arswendo. Sangat lekat dengan muatan pendidikan yang sangat berbobot. Bercerita tentang sebuah keluarga sederhana yang harus memperjuangkan kelangsungan hidupnya atas persoalan ekonomi. Seluruh anggota keluarga tukang becak ini bahu membahu untuk meringankan beban hidup dengan cara berjualan makanan ringan (opak), baik ketika di sekolah maupun sepulang sekolah. Namun anak-anak tetap berprestasi dan hidup bahagia.
Ada lagi serial yang saat itu menggugah saya untuk kuliah, yang notabene saya sebagai anak desa. Yakni serial Si Doel Anak Betawi karya Aman Datuk Majuindo yang disutradarai oleh Syumanjaya. Mengisahkan tentang perjuangan anak asli Betawi mengejar cita-citanya, untuk kuliah dan merubah garis takdir keluarga yang berekonomi lemah. Kemudian, sempat pula imanjinasi anak-anak dimanjakan dengan serial laga “Saras 008”. Ketika itu masih awal-awalnya penggunaan telepon genggam (ponsel), ketika hendak menghubungi dan minta bantuan Saras (sang manusia kucing) bisa langsung menekan tombol ponsel dengan angka 008.
Hingga saat ini seakan kita semakin tersudut dalam fenomena tayangan di televisi bagi anak-anak. Selain serial yang kini hadir sangat kurang mendidik dan begitu mengguyur kisah-kisah hedonisme, ada juga gelontoran berita-berita pembunuhan, perkosaan, dan tindak-tindak kekerasan yang merusak generasi penerus kita. Saya menjadi ingat penggalan cerita pendek berjudul Galuh Suka Mencuri Bunga Mawar karya Andy Sri Wahyudi, “Sore harinya Galuh dan ibunya datang ke rumahku. Galuh meminta maaf pada ibu. Galuh mengaku, tiap pulang sekolah ia mencuri bunga mawar ibu lalu meletakkannya di atas televisi, karena setiap hari Galuh melihat orang mati di televisi.”
Seharusnya saat ini segenap perusahaan televisi harus memegang yang disampaikan Umar Kayam (1981), bahwa tayangan harus mampu menjadi media kultur yang mampu mengkomunikasikan semua buah pikiran, cita, cita-rasa, fantasi, harapan, impian, idiologi, nilai-nilai yang menghantar proses antisipasi kepada kebudayaan baru kita. Bukan malah menjadi tayangan yang merusak. Semoga.***


─Setia Naka Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan dua buku puisinya, “Manusia Alarm” dan “Perayaan Laut”.