Tampilkan postingan dengan label Esai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Esai. Tampilkan semua postingan

Minggu, 15 Desember 2019

Catatan Kecil; Kepada Keluarga Coelen


Siapa yang akan mengira, suatu saat kita akan dijatuhkan pada sebuah titik tertentu? Siapa yang dapat meramalkan dengan begitu presisi bagaimana takdir sebuah tubuh? Ya, tentu tak ada yang sanggup. Semua kehendak Tuhan.

Begitu pula, saat saya dan istri dijatuhkan dalam sebuah keluarga yang begitu menerima kami. Sedalam-dalam menyambut begitu baik kehadiran kami. Bahkan telah yakin terhadap kami, sebelum kami hinggap di rumahnya.

Keluarga itu adalah Keluarga Coelen. Jika boleh menyebut, mereka tinggal di Value Island (Pulau Nilai). Nama itu saya ajukan sebagai nama pulau kecil yang begitu tenang dan damai sebagai sebuah daerah hunian. Sebuah pulau kecil yang dikelilingi kanal, dan hanya ada satu jembatan untuk menuju pulau tersebut.

Nama itu saya ajukan saat suatu malam, saya terlibat perbincangan dengan Kang Robert Coelen. Ia mengisahkan tentang sebuah laman yang berisi segala informasi terkait perkembangan dan perencanaan teknologi di sebuah perkampungan kecil di kota tua Leiden itu. Saya diajak untuk melihat laman tersebut, akhirnya saya buka alamatnya melalui laptop saya. Dan, terbukalah dengan otomatis diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Maka nampaklah sebuah nama tampilan laman tersebut, "Pulau Nilai".

Ah, sungguh nama yang menarik. Kami pun berkali-kali menyuarakan nama itu dengan begitu takjub. Lebih-lebih, nama itu merupakan sebuah forum khusus dalam sebuah laman yang hanya bisa diakses oleh warga di kampung itu. Begitu seriusnya sebuah perkampungan kecil itu, bukan? Bahkan suatu malam, Kang Robert sempat berpamitan. Katanya, ia hendak hadir di sebuah forum warga tersebut untuk membahas mengenai teknologi tepat guna yang dapat mengatasi segala wujud alternatif produksi energi. Berat sekali forum warga itu bukan? Entahlah, padahal itu hanya forum warga setempat. Bukan forum yang diselenggarakan oleh sebuah perguruan tinggi atau forum-forum ilmiah lainnya. Bayangkan!

Di Keluarga Coelen tersebut, sejak awal sebelum kami jumpa, segalanya seakan tumbuh dalam segala keyakinan yang begitu mekar. Di antara kami saling yakin. Berkait-paut. Bahkan saya sendiri seperti tak habis pikir, masih ada keluarga yang seperti itu. Menyambut dengan baik, menganggap kami, saya dan istri saya sebagai keluarga. Penuh, serupa anak sendiri.

Ya, kami beruntung bisa dikenalkan dengan Keluarga Coelen tersebut. Tak lain berkat kebaikan Mas Sigit Susanto mengenalkan saya dengan Mas Syahril Siddik, selanjutnya Mas Syahril Siddik mengenalkan saya dengan Teh Tuti Coelen. Akhirnya kami tinggal di rumah Keluarga Coelen. Lebur menjadi satu. Terciptalah keutuhan yang saling berpadu. Meski barangkali, kami yang lebih banyak menyerap pelajaran-pelajaran dari keluarga itu. Meski dalam segala hal, bahkan dalam keyakinan, kami sangat beda.

Namun bukankah segala perbedaan itu jika bertemu, akan semakin menjadi menguatkan segala yang kita miliki dan kita yakini bukan? Dari segala perbedaan itu, kami saling belajar. Dan tentu bukan semakin memudarkan, justru kian menguatkan segala yang kita miliki dan yang kita yakini.

Kiranya dua bulan kami bersama, sejak 16 Oktober 2019 itu. Tinggal dalam satu atap rumah yang begitu hangat. Rumah yang tidak hanya menghalau segala dingin musim yang menampari dari luar saja. Namun, rumah dan seisinya yang utuh menjaga kami dari segala hal yang tak patut kami terima. Dari mulai Teh Tuti dan Kang Robert, serta kedua anaknya begitu baik menyambut serta memelihara benak dan batin kami. Meski sesungguhnya tidak ada ikatan apa pun di antara kami. Sungguh, hampir segalanya kami beda. Barangkali persamaannya hanya satu: kami adalah sama-sama manusia!

Setiap kali makan, kami memasak bersama. Meski sesungguhnya yang kita makan pun akan selalu beda. Ada yang mereka makan, ternyata kami tidak memakannya. Akhirnya, mereka menghormati kami. Bahkan kerap kali sangat menjaga dan lebih mengutamakan makanan kami.

Mereka telah banyak mengenalkan tentang nilai-nilai hidup yang sebelumnya tak pernah kami tahu. Bagaimana menjadi manusia, bagaimana menjadi dewasa, menjadi keluarga, mengelola waktu, mencipta mimpi-mimpi, dan tak sedikit tawaran-tawaran dalam menghadapi segala hidup yang kian tak karuan ini.

Sungguh, kami terkadang merasa aneh dan bingung sendiri. Betapa baiknya orang-orang asing ini. Betapa pedulinya mereka kepada kami yang sesungguhnya entah dan tak jelas ini. Kadang saya berpikir, apakah ini semua hanya mimpi? Ternyata tidak, ini sungguh nyata. Dan saya merasa ini anugerah yang begitu besar bagi kami.

Ya, seperti yang saya sampaikan tadi. Kami begitu rupa dianggap sebagai keluarga sendiri. Persis, kami seperti anak-anak mereka. Hampir setiap hari istri saya memasak, menyiapkan makanan berasama, belanja bersama, dan hingga tak jarang selalu makan bersama. Baik makan pagi, siang, atau malam. Bahkan saat ulang tahun Kang Robert, kami diajak makan malam bersama dengan kedua anaknya.

Tentu, tak henti-hentinya kami mengucapkan terima kasih sangat. Begitu besar terima kasih kami, dan begitu pula kami mengucapkan maaf yang sama besarnya dengan terima kasih itu. Sebab kami yakin, sebagai "anak", kami pasti selalu diberi banyak kebaikan. Begitu pula, kami pasti selalu berbuat kesalahan.

Ya, selama dua bulan, kami merasa hidup dalam sebuah keluarga sendiri. Mendapat kasih dan sayang serupa keluarga sendiri. Perhatian yang diberikan pun serupa perhatian mereka kepada anak-anaknya. Kami seakan hanyut dalam sebuah ruang dan waktu yang sama sekali tak kami duga sebelumnya. Sebab yang kami pikirkan sebelumnya tak seperti itu. Kami kerap was-was, takut dan segala macam perasaan yang entah. Bagaimana lagi, kami akan tinggal selama dua bulan di sebuah tempat yang sangat jauh. Dan itu kali pertama. Jika boleh bilang, kami tak punya modal apa-apa.

Namun saya seakan lenyap, hanyut dalam keluarga yang begitu hangat itu. Hingga suatu saat, perpisahan pun tiba. Ya, hari itu datang saat saya mencoba menuliskan catatan ini. Hari ini, Sabtu, 14 Desember 2019. Siang hari waktu Belanda, kami harus bergegas pulang ke Tanah Air. Burung besi bernama lengkap Qatar Airways akan mengantarkan kami kembali kepada kenyataan, ke kampung halaman. Penerbangan terjadwal sore hari. Akhirnya kami pun di antar ke Schiphol International Airport bersama Teh Tuti dan Kang Robert.

Sebelum berangkat menginjakkan kaki keluar rumah, kami pun menyempatkan diri untuk mengucapkan kata pamit. Meski sungguh, terasa berat saya memulai untuk mengucapkannya.

Saya sempat bingung, harus memulai dari mana. Kata-kata pun seakan menutup dirinya rapat-rapat dalam tubuh ini. Mereka seakan enggan keluar. Begitu rapat, sembunyi, dan malas mengucapkan bait-bait perpisahan itu.

Seusai kami sarapan, dan setelah berulang kali saya coba, akhirnya kata-kata itu keluar dengan begitu terbata-bata. Dengan sangat lambat, tak seperti biasanya. Tak selancar kata-kata yang saya tuliskan kali ini, dalam catatan kecil ini.

Kami berucap pamit. Terima kasih sangat atas segala yang diberikan kepada kami, dan mohon maaf atas segala salah atau khilaf yang tentu kerap keluar dari diri kami. Dan, keluarga itu pun menyambut sama seperti kami. Sama-sama terima kasih dan minta maaf. Teh Tuti berucap, "Bawa yang baik-baik dan tinggalkan segala yang buruk."

Kami pun akhirnya saling melepas. Kami diantar menuju Schiphol. Peluk hangat perpisahan, perasaan tak karuan, mata berkaca-kaca seakan hendak tumpah dengan sendirinya. Namun kami pendam dengan pelan pada diri kami masing-masing. Berusaha tabah, namun kami tak bisa. Meski sungguh, kami saling melihat dan merasakan segala itu di antara kami. Dan kami saling berucap serta meyakinkan dalam hati. Bahwa suatu saat, pasti akan jumpa kembali. Kami berucap dan sangat yakin, "Kita adalah keluarga baru. Suatu saat kita pasti akan jumpa kembali. Pasti. Entah di Indonesia, atau di Belanda, atau di belahan dunia sebelah mana pun." Yang pasti, kami tak akan pernah bisa melupakan segala kebaikan-kebaikan yang begitu bernilai di Pulau Nilai itu.

Teh Tuti dan Kang Robert serta seluruh Keluarga Coelen di Pulau Nilai, kami tunggu di Kendal. Kami ajak singgah pula ke Tayu Pati. Menikmati aneka ikan laut dan tentu kopyor yang begitu menggoda itu. Dan, Ustaz Syahril Siddik pun mengamini, saat sama-sama melepas kami di Schiphol yang bertepatan sedang ada aksi Green Peace yang begitu riuh itu. Beliau juga kami tunggu di kampung halaman kami. Suatu saat. Insya Allah.[]

Sabtu, 14 Desember 2019

Pembatas Buku Itu Cendera Kata



Barangkali memang sudah menjadi kebiasaan bagi siapa saja, selepas bepergian akan selalu ditagih oleh-oleh. Diminta cendera mata oleh siapa saja. Sudah, itu pasti. Entah bagi yang serius meminta, menanti, atau yang hanya iseng semata. Atau entah.

Nah, sama halnya dengan lawatan saya ke Negeri Penjajah kali ini, sejak 16 Oktober hingga 14 Desember 2019. Tidak sedikit teman, saudara, kenalan, mantan, atau siapa pun, yang meminta cendera mata itu.

Terus terang, dan bukan berlagak sombong atau bagaimana. Maaf, jika teman saya, kenalan saya, atau saudara saya sedikit dan bisa dihitung dengan jari, pasti sudah saya bawakan apa pun yang diminta. Entah baju, celana, kaos, topi, sepatu, sandal, kaca mata, meja, kursi, almari, atau bahkan calon pasangan pun akan saya bawakan bagi teman-teman yang masih mengidap jomblo akut. Hehe.

Selain itu, lawatan saya ini sangat terbatas. Barangkali tak sesederhana yang terbayangkan. Bahkan terbatas tidak hanya ukuran nominal uang saja, namun waktu dan banyak hal lain. Dan memang, sejak dulu kala, saya paling malas membawakan apa pun. Diminta atau dititipi apa pun yang tentunya segala itu di luar kerja lawatan saya. Jika itu masih terkait dalam lingkaran kerja kreatif, bisa jadi saya masih akan membantu. Itu pun jika kerja lawatan saya sudah aman.

Sering saya diumpat, dicibir, atau apa pun di sekitar itu, sebab tak bisa memenuhi. Dan barangkali saya akan dianggap egois, tidak tahu diri, tidak mau membantu, dan lainnya di sekitar itu. Tolong dan maaf, barangkali Anda tak tahu kondisi yang sesungguhnya dihadapi. Bagaimana kaki-kaki dan tangan-tangan saya, mata saya, telinga saya, mulut dan hidung saya bergerak dalam kerja lawatan ini. Bagaimana tubuh yang selalu berperang dengan musim yang durjana dan lainnya. Ya, barangkali dikira semua enak, nyaman, melenggangkan tubuh di tanah residensi sebagai turis bergelimang kemewahan. Tidak, sungguh, tidak sesederhana itu, Kawan! Suatu saat akan saya kisahkan satu-satu.

Ini lawatan saya kali ketiga, jika diukur sebagai sebuah kerja kreatif yang cukup lama dan jauh. Kali pertama saat hinggapi Kelantan Malaysia, lalu sebulan di Polewali Mandar Sulawesi Barat, dan kali ketiga ini selama dua bulan di Leiden Belanda. Bahkan saat menjalani itu semua, istri saya pun tidak saya beri oleh-oleh apa pun. Duh!

Tentu saya juga ingin belajar adil, satu tidak, ya yang lain tidak. Satu sama, ya yang lain sama. Maka sudah, saat ini saya menciptakan sebuah Cindera Kata. Itu berwujud pembatas buku, memuat sebuah puisi saya dan foto atas lukisan yang saya ambil dari Rijksmuseum Amsterdam.

Ya, puisi itu berjudul "Amsterdam Kemarin". Salah satu puisi yang saya tulis saat menjalani residensi, kerja lawatan di Negeri Penjajah ini. Dan, puisi itu tak lain merupakan salah satu puisi yang bakal masuk dalam buku terbaru saya. Judul buku dan penerbitnya, masih dirahasiakan. Nanti saat yang tepat, pasti akan saya kabarkan.

Ya, begitu sederhananya. Maaf, dan sungguh maaf bagi siapa pun yang kerap mengharap serta memohon segala itu. Sungguh, bukan maksud apa-apa. Jika Anda termasuk yang mau memperoleh Cindera Kata itu, boleh mampir atau temui saya. Selama persediaan masih ada, pasti saya berikan.

Memang, awalnya saya berniat mencipta Cindera Kata berupa buku. Namun segala itu urung, selepas ada tawaran dari sebuah penerbit yang hendak mengapresiasi karya saya. Tentu selepas saya pulang dari residensi ini. Selepas berembuk dan melewati pertimbangan cukup panjang dengan penerbit, maka terputuskanlah jalan baik itu. Cindera Kata tidak lagi sebuah buku, namun sebuah pembatas buku.

Ya, begitulah. Terkadang segala sesuatu tak semulus yang kita rencanakan. Semua bisa berubah. Yang pasti, segala oleh-oleh itu tak jauh-jauh dari kata. Mau bagaimana lagi, hanya itu yang bisa saya berikan. Tidak bisa lebih. Jika hendak minta lebih, mohon maaf, jangan minta kepada saya. Minta saja kepada Pak Jokowi, biar dikasih bonus sepeda sekalian deh!

Dan, jika hendak minta lebih dari itu, bolehlah Anda mengapresiasi buku terbaru saya itu. Bagaimana mau minta gratis pula? Ah, sepertinya maaf juga. Dan sudah cukup sering pula kiranya saya merelakan buku-buku saya untuk digratiskan kepada tidak sedikit orang. Bahkan jika dibanding dengan yang saya jual, tidak akan pernah menutup dengan yang saya gratiskan. Bolehlah bagi Anda yang sempat saya beri salah satu atau dua buku saya secara cuma-cuma, acungkan jari dalam hati saja. Dan bolehlah pula jika ada relawan yang hendak menghitung berapa jumlah orang dan buku yang diterima itu.

Masak sih mau terus-terusan begitu? Bolehlah disimak sejenak bagaimana kerja penerbitan itu. Ada proses panjang di balik terciptanya sebuah buku. Dari mulai proses penulisnya, penyuntingannya, perwajahan dan tata letak isi bukunya, proses cetaknya, dan lain-lain. Ada kerja panjang dan tentu sangat lengang. Akan mulai kapan dan dari mana kita menghargai sebuah kerja kreatif?[]

Kamis, 07 November 2019

Tiga Minggu Sudah di Leiden



Hari Rabu, 6 November 2019 tak terasa telah menginjakkan kaki dalam benak dan batin saya. Ternyata memang selalu benar, waktu begitu cepat menggelinding. Seperti yang ditulis Afrizal Malna dalam puisi Abad Yang Berlari, Dunia berlari, dunia berlari. Seribu manusia dipacu tak habis mengejar.

Seakan kerja waktu begitu rupa melampaui segala jenis putaran apa pun di jagat ini. Terus bergerak, tak pernah mau berhenti. Meski saya sempat yakin, hanya fotografer saja yang mampu sejenak menghentikan waktu. Bersamanya, kita sering diajak menyeberangi lautan detik-detik, kemudian singgah sejenak di masa lalu. Yang terkadang begitu asing dan lampau.

Dan, sudah tiga minggu saja kiranya tubuh ini hinggap di Leiden. Ya, tepat pada Rabu 16 Oktober 2019 yang lalu, saya tiba di tanah residensi ini. Burung besi Qatar Airways itu yang telah membawa tubuhku dari Jakarta hingga mendarat dengan baik di Schiphol International Airport, Belanda. Nama bandara yang begitu saya ingat, atas penegasan Joss Wibisono dalam pesan singkatnya saat masa persiapan residensi saya: Schiphol bukan Schipol (yang katanya kerap ditulis oleh orang-orang Indonesia).

Ya, Schiphol, dengan dua huruf h. Sebuah bandara yang kerap disebut ada di Amsterdam. Dalam keterangan di pemesanan tiket penerbangan pun begitu, tertulis Amsterdam. Dan menurut Joss Wibisono pula, itu Schiphol, bukan Amsterdam. Sebab Schiphol itu terletak di antara Amsterdam dan Leiden. Jarak Schiphol ke Amsterdam berkisar 15 kilometer, begitu pula sama jaraknya jika menuju ke Leiden.

Sesaat selepas saya tiba di Schiphol, saya dijemput oleh Teh Tuti. Ibu kos yang baik hati, yang telah cukup membantu saya dalam berbagai kebutuhan saya di Leiden. Perempuan kelahiran Bandung yang telah menikah dengan orang Belanda, dan selanjutnya menetap di Leiden. Kami sudah saling berkirim pesan sejak saya masih disibukkan diri dalam persiapan residensi. Tak lama kemudian, saya bergerak bersama Teh Tuti menggunakan sebuah mobil yang dikendarainya.

Mobil melaju cukup kencang menuju Waardeiland Leiden, tempat tinggal saya selama dua bulan residensi. Ya, dalam kecepatan sekitar 120 km/jam. Atau bahkan lebih. Namun dalam kendaraan terasa tenang saja. Entah, barangkali karena jenis mobilnya beda dengan yang kerap saya kendarai di Indonesia. Meski saya cukup dikenal sebagai offroder (amatiran), namun kecepatam maksimal di jalanan lapang seringnya maksimal 100 km/jam. Itupun sudah terasa kendaraan bergetar jika melebihi kecepatan itu. Selain jika lebih dari batas kecepatan itu, pasti akan ada navigator yang cubit-cubit perut saya sebelah kiri pula.

Pada hari ini, ada hal yang cukup menengangkan sebenarnya. Ini terkait tempat mukim riset saya. Yakni di Perpustakaan Universitas Leiden (dalam bahasa Belanda: Universiteitsbibliotheek Leiden). Ya, di balik kemanjaan yang ditawarkan UB (sebutan yang akrab di kalangan mahasiswa Universitas Leiden), ternyata ada sesuatu yang membuat begitu deg-degan, sangat khawatir. Bagaimana tidak, tepat pada Selasa kemarin, saya telah meminjam beberapa edisi majalah. Setiap arsip berisi setu tahun terbitan. Lalu saya baca dengan pembacaan cepat, dan saya abadikan bagian yang saya inginkan menggunakan kamera ponsel. Sudah, bertumpuk majalah itu sudah usai saya pinjam. Langsung saya kembalikan.

Dan ternyata, laporan pengembalian buku itu hanya beberapa saja yang tersampaikan. Ada sekitar tujuh laporan pengembalian yang belum tersampaikan. Lalu akhirnya, sudahlah, sambil mencoba melegakan diri, semoga besok sudah beres semua. Sebab saya tahu juga, hari sudah sore. Petugasnya sudah harus istirahat, harus lekas pulang. Saya pun beranjak dari perpustakaan. Bergerak pulang menuju tempat tinggal. Meski sungguh, belum bisa juga menghilangkan rasa takut. Bagaimana tidak, itu majalah lawas. Berbandel-bandel pula! Bayangan saya: bagaimana jika saya harusengganti berbundel-bundel majalah lawas itu. Berapa ratus euro dendanya? Waduh!

Namun ternyata hari berikutnya (Rabu ini), laporan pengembalian peminjaman dalam akun saya masih tetap utuh. Belum bergerak. Padahal ada enam buku yang saya kembalikan pagi hari ini, dalam hitungan beberapa menit saja daftar pinjaman itu telah lenyap. Alias enam buku itu selamat, terkembalikan, hilang dalam daftar peminjaman.

Saya tak habis pikir, kenapa yang saya kembalikan kemarin sore itu belum juga tersampaikan. Dalam akun perpustakaan yang terus saya amati. Saya intai baik melalui ponsel maupun melalui laptop. Namun tetap saja, tak kunjung bergerak.

Ya, apa boleh buat. Akhirnya saya melaporkan segala itu kepada admin perpustakaan. Saya mengirim pesan melalui surat elektronik (e-mail), menuju alamat yang biasanya mengabarkan mengenai beberapa pinjaman pustaka yang siap diambil. Jadi selain ada pemberitahuan dalam laman perpus, juga selalu ada pemberitahuan dalam surat elektronik.

Dan tentu, saya menunggu jawaban itu sambil berdiam diri di perpustakaan, tepatnya di ruang Asian Library. Ruang yang begitu sunyi, meski tak pernah sepi dipenuhi tubuh-tubuh yang fokus dengan kepalanya masing-masing. Khusuk dengan penyelesaian kerjanya masing-masing. Tak ada suara dari mulut. Jika ada, paling hanya bisik-bisik yang begitu lembut.

Dan, alhamdulillah. Tak lama kemudian, ada balasan dalam surat elektronik saya. Begitu cepat responnya. Ini yang awalnya begitu mengagetkan saya. Sungguh, sudah saya rasakan sejak awal mula berhubungan dengan lembaga ini. Benar, tak ada batasan dalam melayani siapa pun. Perlu dicatat: siapa pun! Tidak pandang siapa yang menghubungi. Sungguh tak terbayangkan. Saya sempat berpikir: siapa saya, sudah mengenal saya? Tentu belum dan sama sekali tidak kenal. Namun bagaimana, responnya sungguh sangat cepat. Tidak dalam hitungan hari. Apalagi berbulan-bulan. Yang tentu segala itu pernah saya (kita) alami saat menghadapi birokrasi yang begitu kompleks di Indonesia tercinta.

Meski tidak semua, namun hampir yang saya hadapi begitu. Bahkan sama-sama lembaga pendidikan yang saya hubungi menjelang residensi ini. Yang dari lembaga ini, hanya hitungan jam. Maksimal tiga jam, surat sudah terbalas. Sedangkan bagaimana dengan lembaga pendidikan yang tak akan saya sebutkan namanya itu, yang tak lain adalah sebuah lembaga pendidikan di Indonesia tercinta. Butuh waktu berbulan-bulan. Bahkan saat itu hampir setiap minggu saya menghampiri, menanyakan. Namun apa, sampai detik ini, sampai tulisan ini saya tulis pun, belum ada kabar balasan surat saya. Bayangkan!

Padahal tubuh saya sudah bergerak, sudah menghampiri. Sudah berjumpa tubuh. Saya sowan dengan baik-baik. Akting sedemikian rupa agar tampak lebih sopan dan lain sebagainya. Namun bagaimana, tak ada hasil sama sekali. Saya berpikir: lantas bagaimana jika surat itu hanya dilayangkan melalui surat elekstronik semata? Bagaimana jika pesan itu hanya disampaikan melalui udara atau melalui cahaya (internet)? Yang begitu nyata sudah merelakan diri, tubuh digerakkan dengan begitu disiplinnya setiap minggu saja tak ada hasil, tak ada jawaban. Meski saya sudah turuti untuk berkunjung ke sana, berkunjung lebih ke sana lagi. Sudah ikut untuk naik tangga, turun tangga, lalu naik lagi.

Namun entahlah. Ini sekadar pengisahan kecil, yang tentu saya lalui dengan kaki sendiri. Dengan luapan pikiran dan perasaan yang tidak pinjam. Paling tidak, catatan kecil ini menjadi salah satu 'olahraga kata' di sela-sela menjalani riset selama dua bulan di tanah residensi ini (yang sudah tiga minggu berjalan).

Tentu segala ini akan menjadi penyeimbang saya saat bergerak di antara tumpukan-tumpukan masa lalu yang tersimpan rapi di Belanda, di Negeri Kincir ini. Ya, sebab tak sedikit manuskrip dan segala hal tentang Indonesia ada di sini. Meski, saya sendiri merasa lebih deg-degan daripada persoalan peminjaman pustaka di perpustakaan tadi.

Tentunya segala itu menghantui saya saat berhadapan dengan berderet manuskrip yang telah berusia ratusan tahun. Dengan aksara jawa, dengan berbahasa Jawa kuno, dan belum lagi dengan goresan yang tipis. Bahkan ada pula tulisan bersambung, yang pembacaannya sangat lebih sulit melampaui goresan tangan dokter. Sungguh, sangat butuh kesabaran, kesadaran, serta ketabahan untuk sepenuh lahir dan batin dalam menyelami lembar demi lembar dokumen agung itu.[]

Jumat, 18 Oktober 2019

Beberapa Anugerah dan Hal Lain yang Tak Terduga di Sekitarnya





Alhamdulillah, saat melihat pengumuman Residensi Penulis Indonesia 2019 dari Komite Buku Nasional dan Kemendikbud yang sedang saya jalani ini, saya merasa sedang bermimpi. Ya, dini hari itu. Saat malam 17-an, saya bersama teman-teman di kampung sedang menyimak film-film perjuangan Indonesia yang kami putar di dinding sebuah lapangan.

Sungguh, saya seakan tak bisa berkata apa-apa kala itu. Salah seorang teman sekampung pun berkali-kali menawarkan kopi, dan saya menolak dengan mengiyakan halus. Berkali-kali ditawarkan, berkali-kali pula saya menolaknya.

Dada pun berdebar tak karuan. Bahagia bercampur rasa yang entah. Lalu, seorang perempuan terbaik dalam hidup saya pun menyela mengirim pesan dalam WhatsApp, sesekali melempar panggilan. Saya abaikan pula. Saya masih terpaku dalam layar ponsel pintar yang sudut-sudutnya telah retak.

Ya, ponsel pintar yang tak akan saya sebutkan merknya, yang begitu menyita perhatian saya. Berkali-kali saya segarkan ulang dalam laman pengumuman, barangkali ada kesalahan pasang nama atau entah bagaimana. Tubuh saya jatuhkan pelan-pelan, merebah tanpa bantal di lapangan kecil, di kampung tinggal saya.

Kemudian seperti ada yang membawa diri saya lari, jauh, terbang menuju negeri kincir itu. Saya seakan melihat sungai yang berhenti bergerak. Orang-orang di sekitarnya memandangiku. Tak berkedip. Hanya sesekali menggaruk-garukkan tangannya di kepala mereka masing-masing. Bersamaan. Sangat berpola. Tanpa jeda.

Seorang perempuan terbaik dalam hidup saya tadi, kembali melakukan panggilan di ponsel pintar saya (yang tak akan pernah saya sebutkan merknya itu). Kali ini lebih kencang, melampaui angin diri hari yang menemani begadang kami saat itu. Kali ini lebih kencang.

Ponsel pintar saya bergerak. Melompat dari genggaman tangan. Terus melompat-lompat, memantul seperti bola bekel. Saya mengikutinya. Dan, hingga sampailah saya di depan pintu rumah. Pintu masih terkunci.

Saya diam, berdiri. Menunggu tak cukup lama. Beberapa puluh detik kemudian, pintu seakan membuka sendiri. Seorang perempuan muncul dari balik pintu. Saya dipeluknya erat-erat. Sambil ia bertanya, inikah hadiah 10 tahun perjumpaan kita? Saat kali pertama kau melangitkan cinta di sebuah kedai kecil kala itu

Saya berdiam kata. Bibir ini bergerak pelan menuju keningnya.

Ya, bulan Agustus 2019 ini, menjadi penanda tersendiri bagi hidup saya. Termasuk bagi keluarga kecil saya, bersama seorang istri. Sejak pengumuman malam itu, saat saya sedang menjalani tirakatan malam Agustusan.

Sungguh anugerah tak terkira. Selalu saja ada orang-orang baik yang begitu rupa memberikan kebaikan yang sangat tak masuk akal. Yang pertama, seorang penulis buku kelahiran Boja Kendal, yang sudah cukup lama menetap di Swizerland dan menikah dengan seorang perempuan warga sana.

Dari penulis tersebut, sebut saja Mas S, saya diminta untuk mampir ke Swizerland. Yang selanjutnya saya hendak diajak jalan-jalan, merekam segala hal di sana. Bahkan tidak hanya diminta mampir semata. Namun kami (saya dan istri) akan diberikan tiket bus (Flexbus) untuk perjalanan pergi pulang dari Denhaag ke Swizerland. Ini sungguh sangat tak saya bayangkan sebelumnya.

Sebab, sudah bisa sampai di Leiden Belanda saja saya sudah sangat bahagia tak terkira. Lha ini, saya ditawari untuk mampir ke Swizerland dan diberikan tiket cuma-cuma pula.

Sudah itu, ada seorang kawan baik Mas S, ia bernama Mas Krisna, siap memberikan kamar cuma-cuma saat saya singgah dua hari dua malam di Swizerland bersama istri.

Kata Mas S, "Nanti kamu aku buatkan chat wa grup dengan Krisna, ia temanku di Luzern yang akan siapkan kamar untuk kamu dan istrimu. Kamar 2 malam gratis. Dia biasa sewakan kamar apartemennya untuk backpacker. Namun untuk residensi pengarang, ia tidak mau ambil uangnya. Perkiraanku antara akhir November atau Awal Desember ya, kamu dan istrimu akan singgah dua hari dua malam di Swiss."

Begitulah, sungguh ada nikmat tersendiri bagi kaum residensi dari desa semacam saya ini. Dan Mas S tersebutlah, yang sangat rajin membantu dan mengarahkan segala proes keberangkatan residensi saya. Bayangkan saja, setiap kali ada sesuatu, misalnya rencana saya diajak ke Swizerland, saya dibuatkan grup WhatsApp untuk mempermudah komunikasi. Meski hanya bertiga, yakni Saya, Mas S, dan Mas Krisna. Lalu saat saya hendak mencari tiket, saya dibuatkan grup lagi. Dimasukkan dalam grup dengan beberapa kenalannya yang pernah beli tiket ke Eropa, juga bahkan dengan orang yang bekerja di perusahaan penyedia saja pembelian tiket. Bayangkan!

Ya, begitulah Mas S. Yang saya kenal sudah sejak cukup lama. Bahkan saat saya masih mengenyam proses kuliah sarjana pada sekitar 2008-2009. Saat itu saya menghadiri berbagai kegiatan sastra di Boja. Termasuk gelaran tahunan Parade Obrolan Sastra dan berlanjut Kemah Sastra serta berbagai kegiatan lain. Tentu gelaran tersebut yang digerakkan sepenuhnya oleh Komunitas Lerengmedini Boja Kendal dan Pondok Maos Guyub Boja Kendal. Yang tak lain, kuncennya adalah Mas S dan Mas Heri CS (sastrawan dan jurnalis yang begitu kalem, yang saya kagumi itu).

Paling terbaru perjumpaan saya dengan Mas S pada bulan Syawal lalu, bulan Juli 2019. Selepas Ramadan, ada acara sastra yang terselenggara di Boja Kendal. Ya, di situ juga ada Mas Heri CS yang lengkap dengan anak dan istri tercintanya. Saya pun baca puisi bersama grup musikalisasi puisi Paradoks, yang fokus menggarap karya puisi-puisi penyair Kendal. Termasuk puisi dari Mas S dan Mas Heri CS juga digarap grup musikalisasi yang beranggotakan para guru tersebut.

Bahkan, melalui Mas S pula, saya dikenalkan dengan Mas Syahril Siddik, ia seorang dosen dari UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang kini sedang menempuh program PhD bidang antropologi di Universiteit Leiden. Ini juga ada grub WhatsApp juga. Dibuatkan Mas S pula. Yang berisi saya, Mas S, Mas Syahril, dan Mas Heri CS. Bahangkan lagi! Sungguh saya sangat alhamdulillah bertubi-tubi!

Dalam grup tersebut, boleh saya kata itu grup utama yang menghubungkan selanjutnya dengan grup-grup lain (yang diciptakan Mas S) untuk persiapan residensi saya. Baik yang terkait dengan proses visa, pembelian tiket pesawat, bahkan hingga sesuatu yang berkait dengan jaket, sepatu, copet, sarung, tas kecil untuk paspor, dan banyak lagi hal remeh-temeh lain.

Melalui Mas Syahril, saya mendapat banyak informasi terkait rencana tinggal saya di Leiden. Ia juga mengenalkan saya dengan Teh Tuti Coelen dan berlanjut saya kenal pula dengan suaminya, yakni Mr. Robertus J. Coelen, asli warga Belanda, yang merupakan seorang profesor di sebuah universitas di Belanda.

Teh Tuti dan Pak Robert begitu baik menyambut kedatangan saya dan istri. Kami kadang merasa sangat bingung sendiri. Hampir setiap saat Teh Tuti selalu saja mengirim pesan untuk menanyakan bagaimana proses kami, bagaimana persiapan residensi, jauh hari sejak sebelum memperoleh visa. Ya, sejak Agustus itu. Selepas beberapa hari selepas pengumuman yang lolos residensi.

Bahkan saat pengurusan visa pun, kami sangat dibantu oleh Teh Tuti. Ya, perempuan kelahiran Jawa Barat yang kini menetap di Belanda bersama suami dan anak-anaknya.

Saat mengurus visa, kami cukup kesulitan, ternyata ada satu syarat yang belum terpenuhi. Yakni perihal rencana tinggal kami selama dua bulan di Belanda. Awalnya kami mempercayakan diri dengan menggunakan surat tinggal dari seorang mahasiswa program PhD di Leiden yang hendak menyewakan kamarnya. Namun ternyata, surat itu tak kuat. Alias ditolak saat kami melakukan pengurusan visa di Kedutaan Belanda melalui VFS Global di Kuningan City Mall Jakarta. Surat itu tak bersuara. Jadi kami harus mencari surat Gemeente (dari walikota setempat) yang akan saya tinggali di Belanda. Jika tidak itu, ada saran lain dari VFS Global, yakni kami harus melakukan booking hotel.

Jadi intinya, mereka tidak mau jika ada orang dari luar yang tinggal belum ada kejelasan hendak tinggal di mana. Maka surat itu sangatlah penting. Akhirnya kami pun berusaha untuk memesan hotel. Kami coba berbagai pemesanan online untuk mencari bukti booking hotel. Namun selalu saya, berakhir sama pada saat akhir pemesanan, saat tiba pada tahapan pembayaran selalu saja gagal. Sebab harus membayar melalui kartu kredit. Dan, kartu kredit kami tak cukup. Biaya hotel untuk dua bulan mencapai sekitar 60 juta.

Kami pun sempat putus asa, sebab kami sudah berupaya pinjam pula kartu kredit dari beberapa saudara dan teman baik. Namun tetap saja pemesanan gagal. Entah kenapa, karena limit kartu kredit tak cukup atau entah sebab apa. Karena sempat ada yang hendak pinjami kartu kredit yang limitnya mencapai 44 juta pun, tetap saja kami kesusahan.

Dan, kami pun gelisah. Bingung sebingung-bingungnya. Entah, semakin tak tahu harus berbuat apa. Mengingat waktu yang sudah sangat mepet. Sebab pengajuan visa maksimal 15 hari sebelum keberangkatan. Dan hari Jumat itu, adalah hari-hari akhir sebelum menuju hari paling akhir pada Senin depannya.

Akhirnya, kami pun curhat dengan Teh Tuti. Ia pun memberi solusi, meskipun awalnya tak janji. Ia pun tentu tak akan memberikan harapan lebih bagi kami. Sebab hari pengurusan surat Gemeente (dari walikota setempat) tinggal satu hari, yakni pada Sabtu semata. Dan kebetulan saat itu suaminya, Pak Robert sedang pergi ke luar negeri. Ia bilang dalam pesan singkat melalui WhatsApp, Ini Robert sedang ke luar negeri. Baru nanti malam akan pulang. Semoga besok pagi ia bisa ke walikota dan mengurus surat Gemeente itu. Semoga masih bisa dan segera jadi hari itu juga.

Semoga, semoga, semoga. Doa, doa, doa. Hanya itu yang menyelimuti ikhtiar kami. Pun Teh Tuti sama, hanya mampu berusaha dan berdoa.

Akhirnya, Sabtu itu Pak Robert ke kantor walikota. Alhamdulillah, surat Gemeente, surat keterangan tinggal itu bisa keluar untuk kami. Intinya surat itu berisi, bahwa akan ada kolegateman dari Pak Robert yang akan tinggal di rumahnya selama dua bulan. Dan surat tersebutlah sepertinya aturan baru yang dikeluarkan oleh Kedutaan Belanda saat pengurusan visa. Jadi misalkan tahun-tahun sebelumnya bisa menggunakan surat tinggal dari mahasiswa PhD yang menyewakan kamarnya, kali ini sudah tidak bisa. Harus ada surat Gemeente tersebut, yakni yang dikeluarkan oleh walikota setempat yang diajukan oleh seorang warga Belanda.

Itu salah satu bukti birokrasi di Belanda. Yang tentu dapat dicontoh. Kata seorang teman baik saya, Bung, di Belanda itu birokrasinya kelas kakap. Profesional banget. Tidak hanya hitungan hari. Hanya hitungan jam. Bahkan menit! Beda dengan di Indonesia.

Ya, itu benar. Saya mebuktikan dan mengalami. Bahkan saat saya berkomunikasi (melalui surat elektronikemail), hitungan jam semua beres. Surat-menyurat berkepala surat dan bertanda tangan pejabat bisa keluar hitungan jam. Tidak sampai melewati 3 jam. Bayangkan!

Kembali lagi terkait pengurusan visa tadi. Berkait dengan surat Gemeente tadi. Ya, misalnya hendak menggunakan pilihan lain (yang disarankan VFS Global), yakni harus melampirkan bukti pemesanan hotel. Meski bagi petugas di VFS Global sendiri menyarankan mencari pemesanan hotel yang nantinya bisa dibatalkan tanpa syarat. Alias dibatalkan tanpa potongan biaya. Jadi pemesanan hotel itu pun hanya digunakan untuk keperluan pengajuan visa semata.

Selanjutnya, Senin berikutnya kami ke Jakarta lagi untuk pengajuan visa. Pengajuan itu pun sudah diterima. Menurut dari pihak VFS Global, penyedia jasa layanan visa bagi Kedutaan Belanda itu pun menyatakan segala syarat telah terpenuhi. Namun tetap saja, hasilnya (visa bisa keluar atau tidak) bergantung sepenuhnya dari pihak Kedutaan Belanda.

Kami pun cukup lega saat itu. Meskipun masih menyisakan deg-degan, sebab menunggu kabar dan jawaban, visa akan keluar atau tidak.

Selepas sekitar satu minggu, visa kami keluar. Visa saya duluan keluar, yakni pada hari Jumat, pada minggu yang sama dari pengajuan Senin itu. Ini lagi yang membuat kami deg-degan. Sebab pengajuan kami bersamaan, namun kabar visa dari istri belum juga muncul pada hari yang sama dengan saya. Ditambah lagi deg-degan yang lainnya. Kabar visa sudah ada jawaban itu memang lumayan melegakan, namun sesungguhnya justru semakin menjadikan kami semakin deg-degan. Sebab itu jawaban tersegel, hanya kami sendiri atau orang bersangkutan yang bisa membukan jawabannya visa disetujui atau ditolak!

Lalu meski harus berpegang gambling, istri saya yang bergerak sendirian ke Jakarta. Sebab saya harus menjalani kuliah di Jogja. Awalnya saya hendak bolos, namun dilarang oleh istri. “Nantinya kau akan tidak masuk kuliah dua bulan. Kali ini biar aku saja yang ambil hasil visa ke Jakarta. Meski visaku belum ada kabar,” begitu katanya.

Saya pun menuruti perkataannya. Pesanlah tiket kereta untuk keberangkatan dan kepulangan istri. Jadwal keberangkatan pagi sekitar pukul 06.00 WIB dan akan tiba di Jakarta sekitar pukul 12.00 WIB. Kemudian tiket kepulangannya terjadwal sekitar pukul 18.00 WIB dan akan tiba di Semarang kembali pada sekitar pukul 24.00 WIB.

Ada waktu luang, waktu yang dapat dihitung kotor dari pukul 12.00 hingga 18.00. Digunakan penuh untuk menjemput kabar visa kami. Meski kabar visa punya istri masih belum ada. Ia bergerak sendirian membawa kecemasan. Sendirian. Tanpa seorang kekasih yang begitu setia menemani. Hehe.

Namun alhamdulillah, saat perjalanan berkereta, sekitar pukul 11.00 ada pemberitahuan masuk dalam emailnya. Ada kabar, bahwa kabar visa istri sudah bisa diambil. Dan istri pun semakin deg-degan. Apalagi saya. Lebih!

Selepas sampai pun, istri harus mengantri. Tambah lagi deg-degan saat ia begitu saya tanyai terus bagaimana hasil visa, bagaimana hasil visa. Bahkan tidak hanya saya yang tanya. Saat ia mengantri untuk mengambil hasil visa, ibu dan kakaknya serta teman-teman dekatnya pun turut menanyakan. Bagaimana hasil visa, bagaimana hasil visa. Dan semua itu membuat istri saya semakin nggak karuan. Bahkan saya tiba ia dipanggil untuk dapat giliran mengambil hasil visa, ia sangat deg-degan gemetar nggak karuan.

Apalagi saat membuka bungkusan paspor tersegel yang di dalamnya ada hasil visanya. Ia susah membuka. Gemetar nggak karuan membuka plastil bersegel itu. Namun alhamdulillah, visa kami berdua disetujui. Visa kami keluar. Saya dengan visa short study dan istri saya dengan visa turis.

Sudah, kami cukup lega. Meski selanjutnya kami harus tiba pada bagian persiapan lainnya. Yakni salah satunya memesan tiket penerbangan. Ini cukup berkelok lagi kisahnya.

Selepas saya dibuatkan grup pembelian tiket oleh Mas S, yang tentu ini sangat saya manfaatkan. Sebab mau bagaimana lagi, ini kali pertama pengalaman saya harus membeli tiket penerbangan yang sangat jauh. Penerbangan menuju belahan bumi sebelah sana. Jauh sekali dari tinggal saya. Jadi saya harus mempertimbangkan banyak hal. Terutama harga tiketnya. Harus cari yang paling murah. Juga yang transitnya satu kali. Sebab ada yang bilang, bahaya jika transit berkali-kali. Selain nanti kalau ketinggalan penerbangan, juga nanti terkait dengan keribetan pemeriksaan di bagian imigrasi. Ada yang menyarankan untuk tidak transit di negara tertentu yang ribet pemeriksaannya. Itu sungguh memakan waktu, tenaga, dan lainnya.

Akhirnya kami pun menemukan tiket pilihan atas berbagai pertimbangan. Kami pun berusaha untuk membayarnya. Tiket pulang pergi berdua sekitar 28 juta. Pemesanan dari skyscanner. Ini saya bandingkan, ada selisih 3 jutaan dari pemesanan lain yang saya lakukan dari jasa pesan tiket online di Indonesia.

Akhirnya saat tiba pada tahapan pembayaran, dan hendak bayar namun kami mengalami kesusahan. Pakai kartu debit tak bisa, pakai kartu kredit pun sama. Selalu gagal transaksi. Entah kenapa. Kami pun berpusingan kembali. Sebab yang biasa saya lakukan pun memakai jasa pemesanan online bisa dengan pembayaran menggunakan internet banking.

Sungguh, kami kehabisan akal. Akhirnya kami dibantu oleh Teh Tuti. Ia memesankan tiket dengan harga yang lebih terjangkau, selisih yang sangat lumayan itu. Ya, selisih 3 juta itu sangat banyak. Apalagi jadwal kepulangan kami ke Indonesia pada pertengahan Desember. Itu saat-saat tiket mahal. Momen Natal dan tahun baru.

Teh Tuti pun membantu kami. Memesankan dan membayarkan tiket penerbangan pulang dan pergi senilai sekitar 28 juta itu. Bayangkan, 28 juta tidak sedikit. Kami belum kenal jauh. Kami belum pernah jumpa dengan keluarga Pak Robert Coelen dan Teh Tuti Coelen. Sungguh!

Bahkan tidak hanya dibantu pembayaran tiket saja. Perihal sewa kamar tinggal pun kami dibantu. Dan kami membayarkan kemudian hari. Pengiriman uang dari bank di Indonesia ke bank di Belanda pun butuh waktu. Tidak hitungan detik bisa sampai. Sebab sudah transaksi beda negara.

Pembayaran tiket yang tak murah itu kami telah dibantu. Pun biaya penginapan. Bahkan untuk penginapan pun awalnya kami diminta untuk bayar saat kami sudah tiba di Belanda. Entah, coba misalnya jika kami kabur. Lari atau bagaimana. Pasti mereka akan rugi besar karena telah membayarkan duluan. Ya, jumlah uang yang tak sedikit. Namun, barang tentu semua kembali pada saling percaya. Jika sudah begitu, tak ada yang tak mungkin![]

Kamis, 17 Oktober 2019

Ke Eropa, Berkendara Kata (2)

Tak sedikit yang tanya, kenapa bisa lolos program Residensi Penulis Indonesia dari Komite Buku Nasional dan Kemendikbud ini. Seperti apa proposal yang diajukan, dan pertanyaan lain di sekitar itu, semua terkait kelolosan saya mengikuti residensi penulisan di Belanda ini. Ya, saya jawab hampir sama. Dan jawaban awal yang saya lontarkan adalah, saya ini sepertinya hanya beruntung. Tak lebih dari itu. Bahkan mirip keberuntungan saya sebagai orang desa yang bisa pergi ke mana-mana karena mengendarai kata-kata.

Bahkan saat mendaftar pun, saya sama sekali tak yakin. Sebab saya membayangkan dan mendengar, di luar sana banyak sekali para penulis dan sastrawan-sastrawan "sangar" (besar) yang telah mendaftar. Dan saya hanya modal nekat, meski tetap saya sungguh-sungguh dalam prosesnya. Tak jarang saya bertanya sana-sini, konsultasi pula kepada beberapa kawan, terutama yang telah menjalani residensi serupa pada tahun sebelumnya. Semua itu saya simak dengan baik, segala yang tumbuh dari mulut atau dari kata-kata yang bermunculan di layar percakapan WhatsApp.

Mau bagaimana lagi, saat pengumuman siapa saja yang lolos residensi ini pun, saya sungguh kaget. Kaget pertama, nama saya muncul dalam deretan peserta residensi. Kaget kedua, ternyata total pendaftar hingga 437, dan yang lolos hanya 34 (total peserta residensi di dalam dan luar negeri), sedangkan jika yang di luar negeri saja ada 17 peserta. Lalu jika sudah begitu, apalagi kalau bukan semata-mata karena keberuntungan? Sungguh, tak lebih dari itu.

Bahkan dalam mendaftarkan diri, ini kali pertama bagi saya. Dan alhamdulillah langsung terkabulkan. Sungguh sangat tak saya sangka. Jika boleh saya menengok residensi penulisan di daerah 3T yang saya ikuti beberapa bulan yang lalu itu, saya telah mendaftar kedua kalinya. Barulah selepas pendaftaran kedua saya bisa lolos. Tahun 2018 saya mendaftar, namun tak lolos. Awalnya pun, saat mendaftar residensi ke luar negeri ini saya sempat berpikiran ini salah satu ikhtiar untuk ikut, yang utama ikut dulu. Pikir saya kala itu, daripada tidak ikut sama sekali. Setidaknya, ada ikhtiar yang patut dicatat.

Dan ada hal lain yang saya kira cukup penting serta perlu diperhatikan dalam mendaftar residensi ini. Bahkan ini pun sesungguhnya warisan dari kawan baik saya, yang telah lolos tahun lalu pada residensi serupa yang sedang saya jalani ini. Ya, kawan baik saya yang mohon maaf tak saya sebutkan namanya. Namun bolehlah jika suatu saat ingin lebih tahu, mari kita ngopi bersama, ngobrol lebih jauh, dan tentunya jika diizinkan oleh kawan saya itu, maka akan saya sampaikan siapa nama kawan baik tersebut.

Beberapa hal ini tentu agak berasa di luar ketentuan-ketentuan umum dan khusus yang diterbitkan oleh panitia. Beberapa hal tersebut di antaranya, yang pertama, proposal yang kita ajukan haruslah jelas, ingin melakukan apa, di mana, kenapa memilih itu, memilih tempat atau kota itu dan kenapa tidak yang lainnya. Lalu yang kedua, segala itu tentu yang berkait-paut dengan apa yang telah kita lakukan sebelumnya. Terkait dengan proses kreatif (penulisan karya) yang telah kita lakukan sebelumnya. Yang ketiga,  ini sesungguhnya yang paling penting. Meski kerap ini dianggap klise. Adalah doa kuat.

Kiranya itu, sebab dalam pengajuan proposal itu tak begitu panjang. Dan proposal itu pun hanya diterima panitia melalui pengisian dalam Google Formulir. Jadi, tak panjang-panjang. Tentu harus singkat, padat, dan jelas. Ini juga juga sama, bisa dianggap klise lagi rupanya.

Alhamdulillah, selepas melewati perjalanan di udara yang cukup panjang, tibalah saya di Schiphol International Airport Amsterdam Belanda. Pada Rabu, 16 Oktober 2019 pukul 13.45 waktu di Amsterdam, pesawat yang saya tunggangi mendarat. Sangat melelahkan. Sebab sebelumnya perjalanan dari Jakarta menuju Doha Qatar selama 8,5 jam. Setelah itu transit di Doha Qatar selama 18 jam. Untungnya bisa menjalani City Tour di negeri kaya Qatar selama 3 jam. Lalu ada Sleeping Room gratis bagi para pelancong yang mengikuti City Tour di Qatar.

Kemudian saya harus menunggu hingga pagi, bermalam hanya tidur sejenak-sejenak dan waktu subuh (waktu setempat) saya bangun dan berkemas untuk penerbangan selanjutnya. Selama sekitar 7 jam perjalanan dari Doha Qatar menuju Amsterdam Belanda. 

Ya, begitu melelahkan. Namun saat mendarat di tanah residensi ini, mata saya berkaca-kaca. Kembali lagi saya resapi, sangat tak terbayangkan bagi saya untuk menginjakkan kaki di jagat kincir angin ini. Bismillah. Semoga kerja residensi penulisan selama dua bulan ini berjalan lancar. Sangat diharap doa dari semua pihak. Dan tentu, terima kasih sangat untuk program Residensi Penulis Indonesia 2019 yang telah membawa saya ke Belanda. Terima kasih Beasiswa Unggulan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Komite Buku Nasional, Universitas PGRI Semarang, Jarak Dekat Kendal, serta berbagai pihak yang tak bisa saya sebut satu-satu. Salam.[]

Ke Eropa, Berkendara Kata (1)


Sama sekali tak saya sangka sebelumnya. Sungguh, bahwa kata-kata menjadi kendaraan utama yang mengantarkan saya hinggap ke mana-mana. Bahkan tahun 2019 ini saja, selepas kata-kata mengantarkan saya untuk melakoni residensi penulisan selama satu bulan di Polewali Mandar Sulawesi Barat, kembali kata-kata memberi kesempatan berpetualang lagi kepada saya. Ya, berkat izin Tuhan, kata-kata membawa saya terbang ke Eropa. Kata-kata mengantarkan saya untuk melakukan residensi selama dua bulan di Leiden dan kota-kota lain di Belanda.

Eropa, dalam benak masa kecil saya adalah benda asing yang sulit saya terka wujud atau rupa lainnya. Kecuali yang terpajang di dinding ruang kelas saya saat duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) kala itu.

Ya, semua seakan berhenti hanya dalam peta usang kala itu. Dan Belanda, menjadi sebatas kabar masa silam yang begitu berlalu. Barangkali sempat saya benci, ketika tak sedikit orang-orang di sekitar masa kecil saya yang menganggap bahwa Belanda begitu bertaring kepada bangsa Indonesia.

Jika boleh dihitung, dan tentu jika boleh jujur, ini adalah kali kedua pelancongan saya ke luar negeri. Dan kali pertama ya hanya di negeri tetangga semata. Baru setahun lalu pula saya membuat paspor untuk keperluan acara di Kelantan Malaysia, yang tak lain adalah sebuah kegiatan berkait-paut dengan kata-kata pula. Ya, sebuah Konvemsyen Sastra yang dihelat oleh Persatuan Penyair Malaysia dan Kementrian Pendidikan Malaysia kala itu.

Sungguh, segala itu sama sekali tak pernah terbayangkan. Apalagi bagi masa kanak-kanak saya kala itu. Seorang anak lelaki dekil yang tinggal di sebuah desa, tidak dekat dari jalan raya. Bahkan saat SD pun, anak lelaki kurus itu mengenyam pendidikan dasar di sekolah berkategori IDT (Inpres Desa Tertinggal). Saya ingat betul saat di bangku SD tersebut. Itu di SD N Penjalin Kec. Brangsong Kab. Kendal, Jawa Tengah. Di sekolah bercap tertinggal (kala itu), setiap dua kali dalam seminggu siswa-siswanya mendapatkan asupan makanan dan minuman gratis. Saya ingat, jika tidak susu dan lemper ya bubur kacang hijau dan telur puyuh rebus. Itu yang terkadang membuat saya dan teman-teman sangat bahagia. Paling tidak, sedikit meringankan uang jajan kami kala itu. Dan bagi kami, itu semua adalah jajalan yang bisa terbilang cukup mahal. Sebab biasanya kami hanya jajan es lilin dan kerupuk bakar (kerupuk usek) bersambal semata. Atau jajanan-jajanan lain yang sangat tak bergizi.

Jangankan perihal residensi selama beberapa bulan di Belanda, membayangkan naik pesawat saja ya hanya mampu saya imajinasikan sekenanya saat tak sedikit pesawat yang melintasi di atas rumah, di kampung halaman saya. Ya, pesawat terbang (montor mabur: sebutan untuk pesawat).

Dan kini, sejak memasuki gerbang pendidikan tinggi, saya tak jarang mendapat kesempatan untuk melakoni berbagai aktivitas sastra dan kesenian lain. Mengunjungi kota-kota, menghinggapi daerah lain di luar pulau. Alhamdulillah, hingga berujung terus sampai sekarang kerap diberi kesempatan mengendarai kata-kata untuk hinggap ke mana-mana. Dan tentu, segala kerja itu berkait-paut serta bermula dan bermuara dari kata-kata. Jika saya berangkat karena menunggangi kata-kata, sepulang dari keberangkatan itu pun tentu harus membawa cindera kata.

Barangkali jika boleh jujur, sepertinya saya tak akan pernah ke mana-mana, bahkan tak akan pernah sampai ke Eropa, selain tanpa kata-kata. Sederhananya, uang dari mana untuk biaya hidup berbulan-bulan di negeri-negeri schengen yang begitu mahal segalanya ini? Bayangkan saja, untuk menginap saja perbulan sudah menghabiskan uang 8 jutaan. Itu hitungan tiap kepala. Lalu bagaimana jika dua kepala dan seterusnya?

Senin, 10 Juni 2019

Bahasa dan Emotikon (Jawa Pos, 9 Juni 2019)


Bahasa dan Emotikon
Oleh Setia Naka Andrian



Seperti apa gerak dan produksi bahasa kita hari ini? Tentu kita begitu mafhum, bagaimana bahasa berjalan menelusuri kampung-kampung, kota, sekolah, perguruan tinggi, pondok pesantren, dan segenap ruang-ruang lain yang sangat memungkinkan penuh dengan laku komunikasi diri terhadap liyan. Dari situ, bahasa bergerak sesuai dengan siapa yang menggunakannya. Bahasa menelusuri gerak zaman yang terus melaju dengan cepat, bersanding dan beriringan dengan perkembangan teknologi informasi.
Jika sejenak menengok bagaimana komunikasi jarak jauh yang diselami pada tahun-tahun lampau sebelum ponsel, komputer dan internet bermekaran. Kita akan mendapati masyarakat berkirim surat dari kota satu dengan kota lain, dari pulau satu dengan pulau lain, atau bahkan dari negara satu dengan negara lain. Surat dikirim melalui kantor pos, penerima menanti berhari-hari dengan sepenuh sabar hingga surat itu mendarat. Kemudian, pengirim menanti kembali balasan surat dengan sangat tabah. Berlarik-larik surat dituliskan. Berlembar-lembar pesan, segala rasa dan emosi ditumpahkan dalam surat.
Selepas itu, hadirlah ponsel, komputer, dan internet. Kita seakan dihadapkan pada sebuah jagat yang tak berjarak, tak terbatas. Segalanya nampak begitu dekat. Kita seakan dengan leluasa dapat berkirim pesan dengan begitu cepat.
Bahkan lagi, semenjak media sosial tumbuh subur di antara kita. Segalanya begitu rupa bertumpah-ruah di mana-mana. Pesan singkat begitu mudah kita layangkan. Belum lagi saat marak grup WhatsApp. Ah, segala yang sesungguhnya tak akan pernah diungkapkan, karena ada grup WhatsApp maka diluncurkanlah, disebarkan. Dikarenakan begitu mudah dan sangat murahnya hitungan pengiriman pesan, maka berselancarlah segala kata dan gambar. Menyesaki mata kita, saat membuka ponsel.
Barangkali, kita ingat bagaimana saat belum ada WhatsApp. Kita akan sangat berhati-hati dan sangat menghitung berapa jumlah huruf yang akan kita kirimkan melalui pesan singkat (SMS) dari ponsel jadul kita. Sebuah alat telekomunikasi yang hanya digunakan untuk mengirim pesan singkat dan panggilan suara (telepon).
Bahkan, saat itu sempat terjadi kecemasan di antara para pemerhati dan pecinta bahasa, yang katanya berdalih akan merusak produksi bahasa! Kata-kata sedemikian rupa disingkat hingga setiap kata menyusut menjadi dua atau tiga huruf. Bahkan saya ingat, saat masih duduk di bangku SMA dulu, di kalangan saya dan teman-teman kala itu marak menggunakan pesan singkat tanpa menggunakan spasi, dengan kata-kata yang sudah disingkat pula dengan dua atau tiga huruf. Bayangkan, itu semua karena menghemat biaya pengiriman pesan singkat dari ponsel!
Lantas bagaimana saat ini, saat segalanya sudah tumpah ruah dan dapat dilakukan melalui ponsel pintar dalam genggaman tangan kita. Kita seakan tak berkutik saat ponsel pintar bertengger dalam timangan jari-jari kita. Saat berkumpul bersama teman, duduk dan ngopi bersama, tentu tak jarang di antara kita justru kerap didapati asyik sendiri dengan ponsel pintar.
Tidak fokus dengan perbincangan dalam pertemuan yang sesungguhnya sudah dijanjikan dan direncanakan itu. Bahkan kita pun seakan tak kuasa dengan godaan-godaan yang muncul dari pemberitahuan dalam setiap aplikasi serta segenap fitur dari ponsel pintar kita. Sudah buka WhatsApp, kemudian buka Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, belum lagi saat tergoda mati-matian dalam rentetan permainan (game). Sudahlah, usai sudah! Dalam lingkaran perjumpaan hanya didapati di antaranya senyum-senyum sendiri, tertawa-tawa sendiri, asyik dengan candaan dalam WhatsApp atau media sosial lainnya.
Dari segenap ilustrasi pengisahan yang tak panjang itu, setidaknya kita dapat menelusuk pelan, bagaimana gerak dan produksi bahasa kita saat ini. Jika sudah pasti, kita cukup dibuat tergesa-gesa dalam setiap langkah komunikasi kita. Setiap ada informasi, tanpa ditimbang matang, langsung saja dilempar, disebar ke seluruh media sosial yang kita miliki. Ya, jika informasi itu benar. Namun jika segala informasi yang kita sebar itu hoax, pasti kita jadi ikut andil pula dalam kerja penyebaran kebohongan. Bayangkan! Semua itu karena kemudahan.
Warganet pun saat ini mudah terbakar atas segala pemberitaan yang digoreng di sana-sini. Siapa saja mudah berkomentar, melepas segala perkataan dengan tanpa filter apa pun. Tidak hanya bergurau, meledek, atau menghina teman. Bahkan kepada presiden pun, mereka begitu leluasa melempar hinaan dan tuduhan-tuduhan. Ujaran-ujaran kebencian pun diproduksi dengan begitu masif, melenggang bergerak ke mana-mana, menampar dan dilempar kepada siapa saja.
Lalu, jika awalnya ada yang gelisah dengan penyingkatan kata-kata, kini tidak lagi berhenti di situ. Pada era media sosial kali ini, kita begitu gandrung untuk setiap saat menatap layar ponsel pintar kita. Komunikasi bergerak dengan cepat, murah, dan sangat mudah. Saat begitu banyaknya media sosial yang kita pegang, akirnya kita seakan dibuat mentah dalam memproduksi bahasa. Dari situ, emotikon menjadi sandaran utama.
Emotikon dikenal akrab dalam KBBI V sebagai sebuah ilustrasi, ikon, atau kelompok karakter pada papan tombol yang menunjukkan ekspresi wajah, sikap, atau emosi, biasa digunakan dalam komunikasi elektronik, media sosial, dan sebagainya. Emotikon seakan tengah meremukkan bahasa komunikasi kita.
Saat zaman surat bergelimang, segala rasa dan emosi tumpah ruah dalam berlarik kata-kata, dalam untaian ukiran tulisan tangan di atas berlembar-lembar kertas. Kini rasa dan emosi yang ditumpahkan dalam kata-kata seakan kian usai. Kita lebih memilih menggunakan emotikon untuk mewakili segala rasa dan emosi kita. Entah dengan menggunakan emotikon senyum, sedih, tertawa kecil, hingga tertawa lebar (besar). Sedikit-sedikit pula kita akan melempar jempol hingga puluhan, saat didapati informasi yang atau segala sesuatu yang istimewa dan membanggakan.
Bisa jadi, produksi emotikon itu karena kita terlalu sibuk, entah atas kesibukan kerja, atau sibuk mengurusi seabrek pemberitahuan dalam media sosial kita. Lalu bisa juga, kita sudah malas memproduksi kata-kata. Atau bahkan, kita sudah jemu menanggapi pesan atau informasi yang dikirim oleh lawan komunikasi kita. Namun setidaknya, produksi bahasa komunikasi kita kian tak bertulang dan menjadi hambar. Tak lagi ditumpahi rasa dan emosi dalam pesan-pesan singkat di ponsel pintar kita.***

—Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal, sejak 4 Februari 1989. Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) ini menulis puisi, cerita pendek, esai, dan resensi buku. Tahun ini ia mengikuti Residensi Sastrawan Berkarya dari Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kemendikbud di Polewali Mandar, Sulawesi Barat.