Minggu, 02 Juni 2019

Lapak Baca Bergerak di Mandar (Suara Merdeka, 2 Juni 2019)


Lapak Baca Bergerak di Mandar
Oleh Setia Naka Andrian


Belakangan ini begitu menjamur laku literasi di berbagai daerah. Entah apa sebab, namun pasti segala itu bukan karena Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang digemborkan pemerintah. Para pegiat literasi seakan berasyik masyuk dalam geraknya, meski dalam lingkup lebih kecil, yakni di kampung halamannya masing-masing. Jika di dekat kampung halaman saya, di Kendal Jawa Tengah, ada geliat beberapa ruang (komunitas) yang kerap menjaga napas literasi yang tidak sekadar bergegiatan apa-adanya lalu seusai acara langsung berfoto dengan mengacungkan jari tangan berbentuk “L”.
Misalnya, Komunitas Lerengmedini Boja Kendal dengan salah satu programnya Wakul Pustaka, Pelataran Sastra Kaliwungu Kendal dengan diskusi dan penebitannya, Lapak Baca Ora Niat dengan program lapak jalanannya, Jarak Dekat Kendal dengan program forum Jurasik (Jumat Sore Asik), diskusi-diskusi, serta penerbitan buku-buku indie-nya, Lesbumi Kendal, Sanggar Kejeling dengan perpustaan di kampung Sidomulyo, Lestra Kendal dengan program Hajatan Kebun Sastra.
Mei ini, terhitung sejak 1 Mei 2019 hingga nanti bulan ini usai, saya berkesempatan mengikuti Residensi Sastrawan Berkarta ke Wilayah 3T. Saya ditempatkan di Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Barat. Tentu, bayangan saya sebelum berangkat residensi sudah menerawang jauh bagaimana geliat “Pusataka Bergerak” yang begitu kentara di Sulawesi Barat, khusunya di Polewali Mandar (Polman). Maka tak ambil waktu lama, beberapa hari selepas di Polman, saya langsung memburu beberapa pegiat literasi ‘bergerak’ di sini. Alhasil, berkat koneksi beberapa teman lama serta berkat jaringan internet yang aman, saya lekas dapat menghubungi beberapa pegiat literasi tersebut untuk lekas berjumpa. Sebutlah, di antaranya ada Muhammad Ridwan Alimuddin (Nusa Pustaka), Ramli Rusli (Rumah Pustaka), dan M. Rahmat Muchtar (Uwake’ Culture Foundation).
Suatu hari, saya pagi-pagi mengunjungi Nusa Pustaka. Disambut dengan hangat oleh Ridwan, yang tak lain, ia adalah penulis buku-buku kebaharian. Di antaranya berjudul Mengapa Kita (Belum) Cinta Laut? (2004), Sandeq: Perahu Tercepat Nusantara (2009), Kabar Dari Laut (2013), Ekspedisi Bumi Mandar (2013), Orang Mandar Orang Laut (2013), dan beberapa judul lain. Bahkan saat ini, ia juga tengah proses penulisan buku tentang perhajian di tanah Mandar.
Pagi hari hingga siang, kami berbincang banyak hal perihal Mandar. Saya begitu terbantu, banyak informasi yang saya dapatkan tentang Mandar. Bagaimana alamnya, budaya, dan manusianya. Dan sore hari, saya berkesempatan untuk diajak melapak bersamanya. Ridwan pada sore itu hendak menuju ke sebuah perkampungan di tepi pantai Desa Pambusuang, Kec. Balanipa, Kab. Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Ia membawa sepeda yang membawa buku-buku bacaan. Buku-buku bacaan anak-anak diangkut dalam tas yang digantungkan di kanan dan kiri boncengan sepedanya. Armada itu ia beri nama “Sepeda Pustaka”. Meski, Ridwan juga kerap melapak dengan menggunakan ATV Pustaka, serta “Perahu Pustaka” yang begitu moncer itu.
Bagi Ridwan, sesungguhnya bukan persoalan minat baca yang kurang bagi anak-anak, khususnya di sebuah perkampungan nelayan yang disinggahinya. Tidak sedikit didapati anak-anak yang berkerumun dan begitu antusias untuk memilih serta meminjam buku yang dibawanya. Begitu sampai tepi pantai (yang tak lain juga didapati para pembuat perahu Sandeq, perahu tercepat Nusantara itu), Ridwan menggelar lapaknya. Buku-buku ditata. Tanpa jeda lama, anak-anak di kampung pantai itu langsung bergegas memilih buku-buku yang dilapaknya. Ya, mereka anak-anak dari para nelayan dan pembuat perahu di tepi pantai itu.

Penuh Ketelatenan
Mereka berdesakan, mengantri, untuk meminjam buku. Mereka pinjam buku itu selama beberapa hari. Ridwan mencatat buku-buku yang mereka pinjam. Jika di antara mereka ada yang tak bisa hadir untuk meminjam, maka orangtua merekalah yang turut serta mengantrikan untuk meminjam buku. Hari lainnya pun, Ridwan akan dikerumuni anak-anak pantai itu. Terus begitu, berkelanjutan. Tiada pernah berkesudahan.
Pegiat lain yang saya jumpai, ialah M. Rahmat Muchtar dan Ramli Rusli. Kedua pegiat ini tak beda dengan apa yang dikerjakan Ridwan. Rahmat menggunakan “Bendi Pustaka” dan Ramli pun menggunakan “Sepeda Pustaka” seperti yang digunakan oleh Ridwan. Mereka sama-sama, menelusuri kampung-kampung di sekitar tempat tinggal mereka. Segala itu mereka kerjakan dengan penuh ketelatenan, kesabaran, dan ketabahan.
Ridwan, Rahmat, dan Ramli, tak jarang harus menyisihkan bahkan mengalahkan segala kebutuhan pribadi demi memanjangkan napas “Pustaka Bergerak” yang mereka kerjakan. Sudah tentu segala itu sangat menyita materi, tenaga, waktu, dan pikiran. Mereka harus berkeliling, menjemput para pembaca di kampung-kampung. Sebab bagi mereka, begitu yang lebih efektif. Anak-anak di jemput, lapak-lapak digelar di jalan-jalan kampung.
Sesungguhnya, mereka pun memiliki perpustakaan yang dikelola secara mandiri. Baik dibangun di dekat rumah atau di dalam rumah para pegiat literasi itu. Bahkan, ada di antara mereka yang rela menggunakan sepetak tanahnya untuk didirikan perpustakaan dan tak membangun rumah di area itu. ***

—Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal, sejak 4 Februari 1989. Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) ini menulis puisi, cerita pendek, esai, dan resensi buku. Kini ia sedang menjalani Residensi Sastrawan Berkarya dari Badan Bahasa di Polewali Mandar Sulawesi Barat.

Tidak ada komentar: