Kamis, 31 Desember 2015

Stigma Sejarah dalam Teater

Stigma Sejarah dalam Teater
Oleh Setia Naka Andrian

Beberapa pekan lalu, panggung teater di Gedung Pusat Lantai 7 Universitas PGRI Semarang sengaja digelapkan teater Tikar. Kelompok asal kota Lunpia yang masih belia ini mementaskan naskah berbau eksistensialisme karya anggotanya sendiri, Iruka Danishwara. Sekitar tiga ratus penonton keluar dari lift dengan mata dingin. Barangkali, ini panggung teater tertinggi dalam sejarah seni pertunjukan.
Dengan langkah hati-hati, mereka pijaki lorong gelap dari dinding kain hitam. Mata mereka seolah sudah benar-benar disiapkan untuk merekam panggung pemeranan. Sutradara membocorkan separuh fenomena panggung. Lampu sorot warna hijau menyala dari bawah plastik-plastik bening yang digantung setinggi tiga meter dan lebar satu meter. Benang-benang putih sengaja ditata tak beraturan, membentangi backdrop hitam. Sutradara seolah mengajak penonton untuk lari menuju keruwetan masa silam. Manekin tubuh perempuan digantung. Bergerak-gerak pelan. Ke kanan dan ke kiri. Lampu tiba-tiba dimatikan. Ilustrasi digital mengalum dengan nada mencengangkan. Pertanda bahwa pertunjukan dimulai. Segenap penonton menyiapkan mata.
Semacam foto keluarga, aktor-aktor tak bergerak. Seorang ibu menutup mata kedua anaknya, laki-laki dan perempuan yang sedang duduk di kursi. Berdiri disebelah ibu, seorang ayah dengan tatapan dingin. Berganti beberapa pose. Menutup kedua mata ayah dan anak laki-lakinya dengan kedua tangan. Kemudian lampu dimatikan kembali. Aktor-aktor muncul lagi dengan dialog. Seorang nyonya menyapu. Membersihkan lantai kotor, pigura, dan dinding-dinding rumah dalam bahasa kenangan mereka.
Tiba-tiba empat orang menggerakkan kakinya di balik plastik-plastik putih bercahaya warna-warni. Kaki-kaki semakin bergerak kencang dengan langkah disiplin pasukan perang. Seorang nyonya berialog dengan tokoh-tokoh di balik plastik. Mereka menanyakan, kenapa juga nyonya masih terus saja menyapu. Sedangkan setiap hari selalu saja kotor, selalu saja ada yang mengotori. Begitu pula dengan niatannya untuk selalu membersihkan pigura dan dinding-dinding rumah.
Nyonya dijatuhi pertanyaan dari orang-orang di balik plastik, “Nyonya, mengapa kau begitu meluangkan waktu sekedar untuk menyapu teras rumahmu? Nyonya, tidakkah kau lelah harus selalu menyapu setiap pagi dan besok pagi sudah kotor lagi.” Jawab nyonya, “Ini bukan tentang lelah atau bosan. Bagaimana aku menyapu teras ini adalah bagaimana lapangnya dadaku.” Melalui bocoran teks tersebut, barang tentu penonton mulai digelisahkan dengan kesadaran aktor yang dibangun rapi oleh sutradara muda bernama Ibrahim Bhra. Aktor memancarkan detail tubuh, ruang, dan suasana.

Teater sebagai Peristiwa
Agus Noor (2015), mengungkap bahwa aktor harus mampu menghidupkan banyak suasana dalam panggungnya. Hingga yang berlangsung di panggung bukan semata-mata menyampaikan ide-ide yang abstrak, melainkan berhasil menghadirkan sebagai sebuah kisah dan peristiwa. Hal tersebut setidaknya telah disuguhkan teater Tikar. Kisah dan peristiwa sejarah disampaikan dalam miniatur keluarga. Namun tetap saja, stigma sejarah dihadirkan dengan tawaran konflik yang pelik. Melalui teks yang begitu olang-alik membuat para penonton berimprovisasi dalam benaknya masing-masing. Sejarah besar disajikan sederhana, bukti nyata dari sutradara untuk memberi tawaran lain menyoal sejarah yang biasanya disampaikan melalui peristiwa-peristiwa besar.
Dalam pertunjukan ini, tubuh-tubuh aktor bergerak, kata-kata bergerak, menuju ke arah bahasa teater yang utuh. Keajaiban-disuguhkan dari gesture yang kuat dari para pemeran. Hal itu menjadi sihir tersendiri dari tubuh teater. Gerak para aktor ditawarkan dengan tubuh-tubuh sejarah. Gerak mereka cepat, menjalani aktivitas peran dengan penuh kejutan. Mereka tawarkan deskripsi sejarah dalam kenangan yang tak pernah selesai. Kenangan yang tak pernah ada jika waktu dan tubuh mereka tak bergerak.
Kenangan disajikan sebagai bagian kecil dari stigma sejarah tubuh. Bagi mereka, sejarah adalah kesepakatan dari kenangan. Seperti dalam lakon, dilontarkan ibu kepada anaknya, “Tidak ada yang bisa aku lakukan, Nak. Kenangan seperti menahan segala langkah untuk beranjak. Entah bagaimana caranya, namun tidak juga aku temukan. Berulang kali yang aku temukan hanya kau dan Ayahmu. Di setiap sudut rasanya seperti bayangan yang terkena sinar terang, semakin jelas.”
Setidaknya, melalui pertunjukannya, teater Tikar berupaya menyuarakan kebenaran sejarah yang selalu saja dibunuh beragam kepentingan. Sejarah dianggap sebagai sebuah kesepakatan peristiwa yang seolah-olah terjadi dan dibuat jadi. Kenangan mengenai masa lalu keluarga diciptakan sebagai ikhtiar keabadian. Hingga akhirnya, setelah gelimang tubuh-tubuh aktor bergerak dengan mesin waktunya, pertunjukan diakhiri dengan seorang anak memeluk manekin. Ia tusuki manekin, tubuh kenangannya. Air-air muncrat dari tubuh manekin. Penanda semua ingin diakhiri.***


─Setia Naka Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan buku puisi pertamanya, “Manusia Alarm”.

Tidak ada komentar: