Selasa, 27 Oktober 2015

Pengakuan Kecil untuk Penjagal Itu Telah Mati

Pengakuan Kecil untuk Penjagal Itu Telah Mati
Oleh Setia Naka Andrian

Satu hal yang sangat sulit saya lepas ketika membaca kumpulan cerpen Penjagal Itu Telah Mati karya Gunawan Budi Susanto (Kang Putu), yakni untuk memberi jarak antara teks dan penulisnya. Beberapa tahun yang lalu, di TBRS dalam diskusi yang diselenggarakan Lembah Kelelawar, Kang Putu telah menceritakan banyak hal tentang kegetiran yang dialami ia dan keluarganya. Masa lalu memutar dari mulutnya, mesin waktu bergerak ke belakang, tentang ketidakadilan dan kekejaman yang begitu menyayat. Saya tak tahu bagaimana rasanya jika dalam posisinya. Tentu bakalan tak setegar dirinya, yang hingga saat ini masih selalu membekas, entah sampai kapan. Barangkali sampai akhir hayatpun akan selalu menyelubunginya.
Dalam pembacaan ini, saya merasa bocor dengan apa yang telah saya dengar langsung dari mulutnya. Saya merasa mendengarkan cerita langsung darinya. Dan di sisi lain, saya merasa ini sangat mengganggu proses pembacaan. Bayang-bayang cerita yang sempat saya dengar langsung darinya begitu kuat mengakar. Barangkali sangat beda, ketika saya sama sekali belum sempat mendengar cerita kegetiran ini dari penulisnya. Akan muncul banyak harapan ketika menelusuri teks yang disuguhkan dalam 14 cerpennya.
Begitu gamblang dan blak-blakan, Kang Putu menumpahkan segalanya dalam kumpulan cerpen ini. Semua dilepas, hampir tanpa aling-aling. Berikut sedikit penggalannya, “Bu, ceritakanlah saat Ibu dan Bapak ditahan. Sekali saja. Mumpung tak ada siapa pun,” ujarku saat mengunjungi ibu di rumah mbakyu. (hlm. 22).... Itulah, selalu begitu setiap kali aku bertanya tentang masa lalu, masa ketika ibu ditahan selepas Peristiwa 1965. (hlm. 22).
Penceritaan begitu gamblang mengalir dalam setiap cerita-ceritanya. Ya, barangkali inilah upaya Kang Putu mengembalikan hakikat bercerita. Apa anane! Namun, saya sempat membayangkan alangkah akan lebih menyenangkan dan lebih mendebarkan jika kisah-kisah Kang Putu ini disajikan dalam cara penyajian lain yang tidak segamblang ini. Di luar kegamblangan penceritaan, bisa jadi, saya akan menjadi belum tentu percaya dengan apa yang disampaikan dalam cerpen-cerpen ini. Jika saya belum diguyur kebocoran kisah-kisah getir yang disampaikan Kang Putu kala itu. Walaupun, sangat diyakini bahwa penciptaan sebuah karya seni tak pernah akan lepas dari kenyataan. Lahir atau bersumber dari kehidupan beragama, sosial, politik, budaya dan kehidupan individual.
Saya tak tahu, yang saya terima ini menjadi kekuatan atau malah membunuh nasib segenap cerpen. Barangkali ada alasan lain, Kang Putu menyajikan cerita-ceritanya tersebut. Mungkin ingin benar-benar melepas, segalanya, apa pun, hingga menemukan kepuasan lain. Atau barangkali, kumpulan cerita ini dapat menjadi wakil tersendiri ketika suatu saat anak-anaknya menanyakan sesuatu mengenai masa lalu keluarga, kakek dan neneknya. Sehingga melalui kumpulan cerpen ini, barangkali Kang Putu tak akan menghabiskan air matanya setiap kali menceritakan kisah masa lalu yang begitu getir ini.
Namun secara garis besar, saya lebih memihak pada kumpulan cerpen yang sebelumnya terbit, yakni Nyanyian Penggali Kubur. Saya yakin, akan ada banyak tanda tanya yang menggenangi benak pembaca. Dari kumpulan tersebut, setidaknya akan mengundang rasa penasaran tersendiri. Segala hal belum begitu disajikan serta-merta, masih ada hal-hal yang perlu diselesaikan dalam perjalanan membaca. Namun beda, ketika saya membaca Penjagal Itu Telah Mati, saya seolah disuguhi banyak hal yang memang sudah terbuka lebar. Bahkan kadang malah cukup marah, ketika dihadapkan dari cerita yang begitu pendek dan tiba-tiba diakhiri begitu saja. Saya tak tahu, apakah ini kumpulan cerpen yang terakhir, atau akan ada kelanjutan lagi. Namun dengan pengakuan yang sangat pribadi, barangkali ini sudah cukup. Karena dalam hal ini seakan Kang Putu telah menciptakan pungkasan. Bahwa penjagal telah ‘mati’. Tidak akan ada lagi lanjutan-lanjutan cerita perihal kenangan getir ini. Atau masih menyisakan cerita lagi selanjutnya, mari kita tunggu saja. Walaupun jika boleh jujur, saya lebih dan sangat suka dengan kumpulan cerpen yang pertama, Nyanyian Penggali Kubur. Melalui kumpulan cerita tersebut, banyak harapan yang muncul ketika menekuni setiap perjalanan cerita yang saya baca.


Setia Naka Andrian, penggila puisi, tinggal di Kendal, sesekali berkicau di @setianaka dan mengelola setianakaandrian.blogspot.com

Tidak ada komentar: