Minggu, 23 Juni 2019

Makam Nyai Malinda (Suara Merdeka, 23 Juni 2019)


Makam Nyai Malinda
■cerpen Setia Naka Andrian



Malinda, begitulah nama dalam nisan yang selalu basah dengan aroma kembang-kembang. Kerumun orang-orang pun mengantri dari hari ke hari. Sungguh, tak seperti pada umumnya peziarah datang ke makam alim ulama atau kiai. Kali ini nisan yang bertulis Malinda pun ramai pengunjung. Lebih-lebih ketika Ramadan seperti ini.
Para pengunjung juga bukan peziarah pada umumnya. Mereka datang dengan busana yang nyetil, banyak orang menyebut itu gaya you can see. Wow, siapa sebenarnya Malinda? Banyak orang bertanya-tanya seperti itu. Apakah ia dulunya seorang istri kiai besar? Atau mungkin ia seorang pemuka agama yang tersohor pada masanya? Warga kampung sekitar pun dulunya sering memperdebatkan tentang hal itu, namun jarang yang berani angkat bicara berpanjang lebar. Kebanyakan memilih untuk diam. Takut kalau terjadi apa-apa. Maklum karena berurusan dengan makam.
Pengunjung datang dari berbagai kota. Peziarah yang aneh, mengenakan pakaian yang aneh-aneh pula. Tidak wajar sebagai seorang peziarah. Kebanyakan perempuan cantik-cantik dan seksi-seksi yang datang ke makam itu. Mereka menebar aurat. Hingga terkadang membuat para pemuda warga kampung setempat dijadikan sebagai wisata tersendiri, mereka menyebutnya sebagai wisata cuci mata.
Setiap kamis sore para pemuda yang kebanyakan berumur belasan tak ingin ketinggalan untuk berwisata di makam Malinda. Bukan untuk menyaksikan makam Malinda yang biasa-biasa saja itu, makam yang hanya ditandai dengan nisan beton kusam tanpa cat. Tak lain mereka ingin menyaksikan para peziarah yang cantik-cantik, menor, bahenol dan seksi-seksi setiap harinya. Lebih-lebih pada bulan Ramadan seperti ini, benar-benar setiap hari selalu saja banyak peziarahnya. Sehingga membuat para pemuda sangat tak ingin ketinggalan untuk menyaksikan wisata cuci mata itu.
Hal semacam ini telah menjadi tren tersendiri bagi para pemuda setempat. Bahkan ada yang bilang kalau melewatkan satu hari saja, maka akan disebut oleh teman-temannya sebagai pemuda nggak gaul. Mereka tak peduli dengan bulan Ramadan sekalipun. Bagi mereka sore hari yang paling menyenangkan adalah ngabuburit sambil berwisata cuci mata di makam Malinda. Bayangkan saja, wisata cuci mata itu telah menandingi hingar-bingar sebuah konser musik rock kolosal termegah sepanjang abad ini. Sungguh mampu membius mereka sebagai tren tersendiri.
Lama-kelamaan wisata cuci mata itu tercium oleh masyarakat lebih luas. Bahkan kali ini tidak hanya para pemuda yang masih umur belasan saja, namun para om-om pun tak mau ketinggalan. Kali ini semakin ramai saja makam Nyai Malinda, orang-orang menyebutnya begitu. Menambahkan gelar nyai sebelum nama populer Malinda. Sungguh sangat ramai, hingga semua itu telah dijadikan sebagai tambang untuk mengeruk uang bagi warga setempat. Kepala desa pun memberi ijin kepada masayarakat untuk menjadi tukang parkir di makam tersebut, termasuk juga berjualan makanan untuk buka puasa bagi para pengunjung.
Masyarakat setempat pun sepertinya sangat senang, ketika banyak mobil mewah berdatangan dari berbagai kota besar di negeri ini. Para konglomerat pun menyempatkan diri bersama teman-teman seperjuangannya untuk menyaksikan kemegahan wisata cuci mata ini. Wow, sungguh sangat aneh. Sebuah makam menjadi tempat wisata yang begitu ramai, pengunjung setiap harinya semakin bertambah. Ibaratnya, setiap satu pengunjung hari ini akan bercerita setidaknya kepada dua orang untuk berkunjung besok.
Bayangkan saja bila hari ini yang berkunjung dua ratus orang, pasti otomatis besok akan datang empat ratus orang yang berbeda. Bukan main, itu setiap hari pada bulan Ramadan. Kalau seperti ini terus-menerus pasti kelak makam Nyai Malinda ini akan dikelola oleh dinas pariwisata, sebagai sebuah wisata cuci mata yang paling menghebohkan sepanjang abad ini.
Semakin hari komplek pemakaman Nyai Malinda semakin hiruk-pikuk dipadati peziarah. Juga otomatis warga setempat pun memanfaatkan sebagai lapangan kerja, semakin banyak yang menjadi tukang parkir, pedagang, hingga ada beberapa warga yang memiliki modal telah mendirikan penginapan di sekitar komplek pemakaman tersebut.
Sampai-sampai para keluarga peziarah makam lainnya pun kehabisan tempat untuk sekadar membisikkan doa kepada mendiang arwah yang jasadnya diabadikan bertetanggaan dengan makan Nyai Malinda. Lalu ada beberapa warga setempat, termasuk kepala desa beserta para jajaran kabinetnya berniat untuk mengadakan rapat guna mencanangkan penutupan komplek pemakaman tersebut.
Kepala desa sempat menuturkan, jika para keluarga yang memiliki sanak saudara yang di makamkan di komplek pemakaman tersebut dan mereka merasa terganggu dengan adanya wisata cuci mata, maka kepala desa beserta para jajaran kabinetnya dan juga warga kampung siap untuk membantu pembongkaran serta pemindahan jasad-jasad yang diabadikan bertetanggaan dengan makam Nyai Malinda tersebut.
Kehendak yang direncanakan oleh kepala desa beserta para jajaran kabinetnya dan juga warga kampung itu pun semakin terdengar di mana-mana. Para wartawan dari berbagai media masa lokal maupun nasional pun turut andil, setiap hari berduyun-duyun memotreti wisata cuci mata itu. Mereka berdesakan mencari informasi tentang wisata yang paling heboh sepanjang abad ini.
Kini semakin lengkap saja menelusur permukaan hingga ke akar-akar pelosok negeri ini tentang kabar yang menggemparkan mengenai sebuah wisata cuci mata, sebuah tempat wisata yang hiruk-pikuk dengan para peziarah yang cantik-cantik, menor, bahenol dan seksi-seksi setiap harinya. Lebih-lebih pada bulan Ramadan seperti ini, benar-benar setiap hari selalu saja bertambah banyak para peziarahnya.
Sebuah pelosok kampung yang dulunya sepi dan sangat jauh dari keramaian kini telah menjadi pusat wisata yang hiruk-pikuk. Kepala desa beserta para jajaran kabinetnya pun kali ini benar-benar ingin menutup komplek pemakaman tersebut.
Kepala desa juga telah menugaskan para jajaran kabinetnya dan beberapa warga kepercayaan untuk mendatangi para keluarga yang memiliki sanak saudara yang di makamkan di kompek pemakaman tersebut, untuk membicarakan perihal pembongkaran serta pemindahan jasad-jasad yang diabadikan bertetanggaan dengan makam Nyai Malinda.
Kali ini kepala desa benar-benar semakin mempertegas kehendak tersebut. Atas dukungan para jajaran kabinet serta masyarakatnya, pembongkaran serta pemindahan jasad-jasad yang diabadikan bertetanggaan dengan makam Nyai Malinda pun semakin hampir terealisasikan.
“Mari kita urus pembongkaran serta pemindahan jasad-jasad yang diabadikan bertetanggaan dengan makam Nyai Malinda. Agar kampung kita benar-benar menjadi tempat wisata yang besar sepanjang abad ini! Agar kelak menjadi tempat yang bersejarah dan menghasilkan lapangan pekerjaan bagi masyarakat kita. Sehingga warga kita akan benar-benar makmur dan sejahtera!”
Begitulah ungkap kepala desa dengan sangat lantang di hadapan forum rapat pencanangan penutupan komplek pemakaman dan pembongkaran serta pemindahan jasad-jasad yang diabadikan bertetanggaan dengan makam Nyai Malinda. Semua warga pun setuju dengan apa yang dikatakan oleh kepala desa. Karena memang hal tersebut sudah menjadi kesepakatan dan kehendak bersama.
Mengingat segenap warga pun merasa diuntungkan dengan adanya wisata cuci mata tersebut. Mereka tak mempedulikan apa pun mengenai segala dampak yang akan ditimbulkan dari wisata aneh itu. Walaupun anak-anak mereka yang masih umur belasan menjadi saksi tentang wisata terheboh sepanjang jaman di negeri ini.
Namun ternyata ada sesuatu yang belum terpikirkan oleh kepala desa beserta para jajaran kabinetnya dan juga segenap warga kampung. Yakni tentang penyebab makam Nyai Malinda yang begitu banyak dikunjungi oleh para peziarah. Semua itu terbesit ketika banyak dari wartawan yang menanyakan tentang keganjilan itu kepada para warga.
Namun tak satu pun warga yang mampu menjawabnya. Yang diketahui oleh warga setempat hanya sebatas para peziarah yang cantik-cantik, menor, bahenol dan seksi-seksi yang setiap harinya berkunjung adalah datang dari luar kota. Jadi para peziarah memang bukan dari warga tetangga, bukan pula dari warga setempat.
Mengingat Nyai Malinda sudah meninggal pada puluhan tahun yang lalu, ada yang bilang sudah hampir delapan puluh tahunan. Jadi meninggalnya Nyai Malinda sudah seumur manusia. Sehingga sangat sulit untuk mengetahui asal-usulnya. Juga karena warga setempat menganggap hal itu adalah keramat.
Mereka takut menanyakan sesuatu tentang hal yang terkait dengan orang yang sudah mati, sekalipun harus bertanya kepada para peziarah yang bahenol-bahenol itu. Ditambah lagi warga setempat pun tak ada yang tahu tentang sanak saudara ataupun keluarga dari Nyai Malinda. Entah tak ada yang tahu, atau mungkin ada namun tidak ingin mengungkap, atau bahkan di kampung ada yang benar-benar keluarganya tapi tidak mau diketahui.
Ah, terlalu banyak kemungkinan-kemungkinan yang bermunculan. Namun begitulah, semua menjadi wajar-wajar saja dan standar-standar saja ketika warga setempat tak menggubris hal itu. Bagi warga setempat yang terpenting hanyalah mengeruk duit, ketika wisata cuci mata menjadi ladang untuk mengunduh duit. Sudah, segala jabat cerita selesai ketika bertemu dengan yang namanya duit.
Lalu tiba pada suatu hari warga digegerkan oleh berita dari surat kabar lokal, di situ tertuliskan perihal Nyai Malinda. Bahwa ia merupakan seorang mantan pelacur yang telah tobat. Namun warga setempat kala itu tak mau menerima dan mengampuni segala perbuatannya. Kemudian semua itu berangsur-angsur dan warga tetap tidak mau menerima keberadaan Nyai Malinda.
Hingga akhirnya ia mati karena sakit keras. Setelah beberapa tahun kemudian, tempat pemakaman yang digunakan untuk mengebumikan Nyai Malinda tergusur proyek pembangunan pelebaran jalan. Lalu salah seorang pekerja menemukan jasad yang masih utuh dengan kain kafan yang masih putih dan bersih pula. Jasad itu adalah Nyai Malinda.
Hingga selanjutnya makam Nyai Malinda dijadikan sebagai tempat ziarah bagi para pelacur, sampai saat ini. Karena bagi para pelacur yang berkunjung, berziarah ke makam Nyai Malinda adalah wujud untuk mencari berkah dalam melacur. Ungkap wartawan atas pengakuan seorang nenek tua renta yang ternyata tinggal di kampung tersebut. Seorang sepuh yang dulunya juga sempat mengurus pemindahan jasad Nyai Malinda di komplek pemakaman yang sekarang ini. Ya benar, nenek itu juga seorang mantan pelacur. Ungkap salah seorang wartawan surat kabar lokal setempat.***

Semarang, Desember 2015-2019

Senin, 10 Juni 2019

Bahasa dan Emotikon (Jawa Pos, 9 Juni 2019)


Bahasa dan Emotikon
Oleh Setia Naka Andrian



Seperti apa gerak dan produksi bahasa kita hari ini? Tentu kita begitu mafhum, bagaimana bahasa berjalan menelusuri kampung-kampung, kota, sekolah, perguruan tinggi, pondok pesantren, dan segenap ruang-ruang lain yang sangat memungkinkan penuh dengan laku komunikasi diri terhadap liyan. Dari situ, bahasa bergerak sesuai dengan siapa yang menggunakannya. Bahasa menelusuri gerak zaman yang terus melaju dengan cepat, bersanding dan beriringan dengan perkembangan teknologi informasi.
Jika sejenak menengok bagaimana komunikasi jarak jauh yang diselami pada tahun-tahun lampau sebelum ponsel, komputer dan internet bermekaran. Kita akan mendapati masyarakat berkirim surat dari kota satu dengan kota lain, dari pulau satu dengan pulau lain, atau bahkan dari negara satu dengan negara lain. Surat dikirim melalui kantor pos, penerima menanti berhari-hari dengan sepenuh sabar hingga surat itu mendarat. Kemudian, pengirim menanti kembali balasan surat dengan sangat tabah. Berlarik-larik surat dituliskan. Berlembar-lembar pesan, segala rasa dan emosi ditumpahkan dalam surat.
Selepas itu, hadirlah ponsel, komputer, dan internet. Kita seakan dihadapkan pada sebuah jagat yang tak berjarak, tak terbatas. Segalanya nampak begitu dekat. Kita seakan dengan leluasa dapat berkirim pesan dengan begitu cepat.
Bahkan lagi, semenjak media sosial tumbuh subur di antara kita. Segalanya begitu rupa bertumpah-ruah di mana-mana. Pesan singkat begitu mudah kita layangkan. Belum lagi saat marak grup WhatsApp. Ah, segala yang sesungguhnya tak akan pernah diungkapkan, karena ada grup WhatsApp maka diluncurkanlah, disebarkan. Dikarenakan begitu mudah dan sangat murahnya hitungan pengiriman pesan, maka berselancarlah segala kata dan gambar. Menyesaki mata kita, saat membuka ponsel.
Barangkali, kita ingat bagaimana saat belum ada WhatsApp. Kita akan sangat berhati-hati dan sangat menghitung berapa jumlah huruf yang akan kita kirimkan melalui pesan singkat (SMS) dari ponsel jadul kita. Sebuah alat telekomunikasi yang hanya digunakan untuk mengirim pesan singkat dan panggilan suara (telepon).
Bahkan, saat itu sempat terjadi kecemasan di antara para pemerhati dan pecinta bahasa, yang katanya berdalih akan merusak produksi bahasa! Kata-kata sedemikian rupa disingkat hingga setiap kata menyusut menjadi dua atau tiga huruf. Bahkan saya ingat, saat masih duduk di bangku SMA dulu, di kalangan saya dan teman-teman kala itu marak menggunakan pesan singkat tanpa menggunakan spasi, dengan kata-kata yang sudah disingkat pula dengan dua atau tiga huruf. Bayangkan, itu semua karena menghemat biaya pengiriman pesan singkat dari ponsel!
Lantas bagaimana saat ini, saat segalanya sudah tumpah ruah dan dapat dilakukan melalui ponsel pintar dalam genggaman tangan kita. Kita seakan tak berkutik saat ponsel pintar bertengger dalam timangan jari-jari kita. Saat berkumpul bersama teman, duduk dan ngopi bersama, tentu tak jarang di antara kita justru kerap didapati asyik sendiri dengan ponsel pintar.
Tidak fokus dengan perbincangan dalam pertemuan yang sesungguhnya sudah dijanjikan dan direncanakan itu. Bahkan kita pun seakan tak kuasa dengan godaan-godaan yang muncul dari pemberitahuan dalam setiap aplikasi serta segenap fitur dari ponsel pintar kita. Sudah buka WhatsApp, kemudian buka Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, belum lagi saat tergoda mati-matian dalam rentetan permainan (game). Sudahlah, usai sudah! Dalam lingkaran perjumpaan hanya didapati di antaranya senyum-senyum sendiri, tertawa-tawa sendiri, asyik dengan candaan dalam WhatsApp atau media sosial lainnya.
Dari segenap ilustrasi pengisahan yang tak panjang itu, setidaknya kita dapat menelusuk pelan, bagaimana gerak dan produksi bahasa kita saat ini. Jika sudah pasti, kita cukup dibuat tergesa-gesa dalam setiap langkah komunikasi kita. Setiap ada informasi, tanpa ditimbang matang, langsung saja dilempar, disebar ke seluruh media sosial yang kita miliki. Ya, jika informasi itu benar. Namun jika segala informasi yang kita sebar itu hoax, pasti kita jadi ikut andil pula dalam kerja penyebaran kebohongan. Bayangkan! Semua itu karena kemudahan.
Warganet pun saat ini mudah terbakar atas segala pemberitaan yang digoreng di sana-sini. Siapa saja mudah berkomentar, melepas segala perkataan dengan tanpa filter apa pun. Tidak hanya bergurau, meledek, atau menghina teman. Bahkan kepada presiden pun, mereka begitu leluasa melempar hinaan dan tuduhan-tuduhan. Ujaran-ujaran kebencian pun diproduksi dengan begitu masif, melenggang bergerak ke mana-mana, menampar dan dilempar kepada siapa saja.
Lalu, jika awalnya ada yang gelisah dengan penyingkatan kata-kata, kini tidak lagi berhenti di situ. Pada era media sosial kali ini, kita begitu gandrung untuk setiap saat menatap layar ponsel pintar kita. Komunikasi bergerak dengan cepat, murah, dan sangat mudah. Saat begitu banyaknya media sosial yang kita pegang, akirnya kita seakan dibuat mentah dalam memproduksi bahasa. Dari situ, emotikon menjadi sandaran utama.
Emotikon dikenal akrab dalam KBBI V sebagai sebuah ilustrasi, ikon, atau kelompok karakter pada papan tombol yang menunjukkan ekspresi wajah, sikap, atau emosi, biasa digunakan dalam komunikasi elektronik, media sosial, dan sebagainya. Emotikon seakan tengah meremukkan bahasa komunikasi kita.
Saat zaman surat bergelimang, segala rasa dan emosi tumpah ruah dalam berlarik kata-kata, dalam untaian ukiran tulisan tangan di atas berlembar-lembar kertas. Kini rasa dan emosi yang ditumpahkan dalam kata-kata seakan kian usai. Kita lebih memilih menggunakan emotikon untuk mewakili segala rasa dan emosi kita. Entah dengan menggunakan emotikon senyum, sedih, tertawa kecil, hingga tertawa lebar (besar). Sedikit-sedikit pula kita akan melempar jempol hingga puluhan, saat didapati informasi yang atau segala sesuatu yang istimewa dan membanggakan.
Bisa jadi, produksi emotikon itu karena kita terlalu sibuk, entah atas kesibukan kerja, atau sibuk mengurusi seabrek pemberitahuan dalam media sosial kita. Lalu bisa juga, kita sudah malas memproduksi kata-kata. Atau bahkan, kita sudah jemu menanggapi pesan atau informasi yang dikirim oleh lawan komunikasi kita. Namun setidaknya, produksi bahasa komunikasi kita kian tak bertulang dan menjadi hambar. Tak lagi ditumpahi rasa dan emosi dalam pesan-pesan singkat di ponsel pintar kita.***

—Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal, sejak 4 Februari 1989. Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) ini menulis puisi, cerita pendek, esai, dan resensi buku. Tahun ini ia mengikuti Residensi Sastrawan Berkarya dari Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kemendikbud di Polewali Mandar, Sulawesi Barat.

Minggu, 02 Juni 2019

Lapak Baca Bergerak di Mandar (Suara Merdeka, 2 Juni 2019)


Lapak Baca Bergerak di Mandar
Oleh Setia Naka Andrian


Belakangan ini begitu menjamur laku literasi di berbagai daerah. Entah apa sebab, namun pasti segala itu bukan karena Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang digemborkan pemerintah. Para pegiat literasi seakan berasyik masyuk dalam geraknya, meski dalam lingkup lebih kecil, yakni di kampung halamannya masing-masing. Jika di dekat kampung halaman saya, di Kendal Jawa Tengah, ada geliat beberapa ruang (komunitas) yang kerap menjaga napas literasi yang tidak sekadar bergegiatan apa-adanya lalu seusai acara langsung berfoto dengan mengacungkan jari tangan berbentuk “L”.
Misalnya, Komunitas Lerengmedini Boja Kendal dengan salah satu programnya Wakul Pustaka, Pelataran Sastra Kaliwungu Kendal dengan diskusi dan penebitannya, Lapak Baca Ora Niat dengan program lapak jalanannya, Jarak Dekat Kendal dengan program forum Jurasik (Jumat Sore Asik), diskusi-diskusi, serta penerbitan buku-buku indie-nya, Lesbumi Kendal, Sanggar Kejeling dengan perpustaan di kampung Sidomulyo, Lestra Kendal dengan program Hajatan Kebun Sastra.
Mei ini, terhitung sejak 1 Mei 2019 hingga nanti bulan ini usai, saya berkesempatan mengikuti Residensi Sastrawan Berkarta ke Wilayah 3T. Saya ditempatkan di Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Barat. Tentu, bayangan saya sebelum berangkat residensi sudah menerawang jauh bagaimana geliat “Pusataka Bergerak” yang begitu kentara di Sulawesi Barat, khusunya di Polewali Mandar (Polman). Maka tak ambil waktu lama, beberapa hari selepas di Polman, saya langsung memburu beberapa pegiat literasi ‘bergerak’ di sini. Alhasil, berkat koneksi beberapa teman lama serta berkat jaringan internet yang aman, saya lekas dapat menghubungi beberapa pegiat literasi tersebut untuk lekas berjumpa. Sebutlah, di antaranya ada Muhammad Ridwan Alimuddin (Nusa Pustaka), Ramli Rusli (Rumah Pustaka), dan M. Rahmat Muchtar (Uwake’ Culture Foundation).
Suatu hari, saya pagi-pagi mengunjungi Nusa Pustaka. Disambut dengan hangat oleh Ridwan, yang tak lain, ia adalah penulis buku-buku kebaharian. Di antaranya berjudul Mengapa Kita (Belum) Cinta Laut? (2004), Sandeq: Perahu Tercepat Nusantara (2009), Kabar Dari Laut (2013), Ekspedisi Bumi Mandar (2013), Orang Mandar Orang Laut (2013), dan beberapa judul lain. Bahkan saat ini, ia juga tengah proses penulisan buku tentang perhajian di tanah Mandar.
Pagi hari hingga siang, kami berbincang banyak hal perihal Mandar. Saya begitu terbantu, banyak informasi yang saya dapatkan tentang Mandar. Bagaimana alamnya, budaya, dan manusianya. Dan sore hari, saya berkesempatan untuk diajak melapak bersamanya. Ridwan pada sore itu hendak menuju ke sebuah perkampungan di tepi pantai Desa Pambusuang, Kec. Balanipa, Kab. Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Ia membawa sepeda yang membawa buku-buku bacaan. Buku-buku bacaan anak-anak diangkut dalam tas yang digantungkan di kanan dan kiri boncengan sepedanya. Armada itu ia beri nama “Sepeda Pustaka”. Meski, Ridwan juga kerap melapak dengan menggunakan ATV Pustaka, serta “Perahu Pustaka” yang begitu moncer itu.
Bagi Ridwan, sesungguhnya bukan persoalan minat baca yang kurang bagi anak-anak, khususnya di sebuah perkampungan nelayan yang disinggahinya. Tidak sedikit didapati anak-anak yang berkerumun dan begitu antusias untuk memilih serta meminjam buku yang dibawanya. Begitu sampai tepi pantai (yang tak lain juga didapati para pembuat perahu Sandeq, perahu tercepat Nusantara itu), Ridwan menggelar lapaknya. Buku-buku ditata. Tanpa jeda lama, anak-anak di kampung pantai itu langsung bergegas memilih buku-buku yang dilapaknya. Ya, mereka anak-anak dari para nelayan dan pembuat perahu di tepi pantai itu.

Penuh Ketelatenan
Mereka berdesakan, mengantri, untuk meminjam buku. Mereka pinjam buku itu selama beberapa hari. Ridwan mencatat buku-buku yang mereka pinjam. Jika di antara mereka ada yang tak bisa hadir untuk meminjam, maka orangtua merekalah yang turut serta mengantrikan untuk meminjam buku. Hari lainnya pun, Ridwan akan dikerumuni anak-anak pantai itu. Terus begitu, berkelanjutan. Tiada pernah berkesudahan.
Pegiat lain yang saya jumpai, ialah M. Rahmat Muchtar dan Ramli Rusli. Kedua pegiat ini tak beda dengan apa yang dikerjakan Ridwan. Rahmat menggunakan “Bendi Pustaka” dan Ramli pun menggunakan “Sepeda Pustaka” seperti yang digunakan oleh Ridwan. Mereka sama-sama, menelusuri kampung-kampung di sekitar tempat tinggal mereka. Segala itu mereka kerjakan dengan penuh ketelatenan, kesabaran, dan ketabahan.
Ridwan, Rahmat, dan Ramli, tak jarang harus menyisihkan bahkan mengalahkan segala kebutuhan pribadi demi memanjangkan napas “Pustaka Bergerak” yang mereka kerjakan. Sudah tentu segala itu sangat menyita materi, tenaga, waktu, dan pikiran. Mereka harus berkeliling, menjemput para pembaca di kampung-kampung. Sebab bagi mereka, begitu yang lebih efektif. Anak-anak di jemput, lapak-lapak digelar di jalan-jalan kampung.
Sesungguhnya, mereka pun memiliki perpustakaan yang dikelola secara mandiri. Baik dibangun di dekat rumah atau di dalam rumah para pegiat literasi itu. Bahkan, ada di antara mereka yang rela menggunakan sepetak tanahnya untuk didirikan perpustakaan dan tak membangun rumah di area itu. ***

—Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal, sejak 4 Februari 1989. Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) ini menulis puisi, cerita pendek, esai, dan resensi buku. Kini ia sedang menjalani Residensi Sastrawan Berkarya dari Badan Bahasa di Polewali Mandar Sulawesi Barat.

Minggu, 24 Maret 2019

Jagat Visual pada Musim Politik (Suara Merdeka, 24 Maret 2019)

Jagat Visual pada Musim Politik
Oleh Setia Naka Andrian



Seantero Indonesia sedang hangat membincangkan pemilihan orang-orang nomor satu, dari wakil rakyat daerah hingga presiden dan wakil presiden. Di mana-mana riuh. Tak hanya suara menggedor telinga, mata khalayak pun dipaksa melihat wajah-wajah yang hendak berlaga di panggung pemilu. Wajah yang dipajang di jalan, menggoda sepenuh senyuman, menebar keramahan.
Para pegiat desain komunikasi visual Universitas Selamat Sri (Uniss) Kendal menyambut hal itu, beberapa waktu lalu. Mereka berpameran seni rupa “Ajar Wanter” di gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kendal. Instalasi dari bambu tak bercat dan tali rafia begitu rupa menyangga karya mereka, menyulap ruang selayaknya gedung pameran. Siang itu, terselenggara pula obrolan, membincang “Desain Grafis dalam Pusaran Politik”. Pemantik dua dosen muda Uniss, Didung Pamungkas dan Dwi Hantoro, serta Hevy Indah Oktaria dari KPU Kendal. Ada kegelisahan di antara mereka.
Keinginan, impian, niatan untuk turut serta mewujudkan pesta demokrasi yang bersih, aman, dan penuh godaan visual. Bukan sampah visual. Sampah visual setidaknya tak lagi hanya ditempel semena-mena dan tak berizin resmi. Namun sebagai sesuatu yang mampu membuat mata khalayak jemu. Puluhan karya itu begitu menggoda.
Karya bermula dari duplikasi sederhana benda-benda di sekitar kita; sepatu tanpa kaki, botol minuman dalam pangkuan, potret wajah, kehidupan kecil di kampung halaman. Semua itu menggiring, menuju ke keberanian; menggoda siapa pun untuk belajar berani, bersuara, berbuat sesuai dengan kehendak diri dan khalayak. Segenap obrolan dan karya yang dipajang mengajak kita makin memahami kehadiran diri bagi diri sendiri, orang terdekat, dan khalayak lebih ramai. Bagaimana posisi dan tanggung jawab kita untuk menjaga, merawat, dan menyangga pesta penyerahan suara itu?

Tokoh Lama, Tokoh Baru
Kesadaran kolektif hadirin jadi riwayat tersendiri bagi kenyataan yang lewat, yang telah berlalu. Yang kerap menggedor, bahkan melukai mata kita. Benar, segala itu telah jadi santapan sehari-hari. Kita seakan disuguhi segala sesuatu yang sama.
Beragam foto yang dipajang dan dipamerkan, mengintai mata kita. Merekalah tokoh lama yang percaya diri berlaga kembali, sedangkan tokoh baru turut serta ambil gaya. Kita rindu, kapan lagi menemukan tokoh baru yang bermunculan karena laku dan gerak kemaslahatan mereka. Bukan tokoh yang menghadirkan wajah duluan di jalan dengan desain dan editan sedemikian rupa, tanpa kita ketahui seluk-beluk dan takdir dia di hadirat khalayak. Makin hari kita kian rindu tokoh yang hadir di lingkaran publik tanpa kehendak sendiri. Tokoh yang terpanggil, tercipta bersama suara alam, suara Tuhan yang dititipkan pada rakyat. Segala peristiwa dan kegelisahan itu menyadarkan kita, betapa tidak sedikit tokoh dan pemimpin yang selalu ingin tampak di muka.
Kerap berupaya mengendalikan tatapan mata kita, melalui foto program kerja, keberhasilan pemerintahannya. Segalanya dinampakkan melalui gambar dia. Bukan gambar rakyat, bukan figur yang menjalankan program atau sosialisasi yang ditawarkan pemangku kepentingan.
Betapa semua itu hadir begitu saja, berterus-terang, tanpa upaya meraih godaan visual di mata publik. Di forum di tengah pameran, beragam kegelisahan bertumpahruah. Adalah tanggung jawab bersama, tugas besar pegiat desain grafis, untuk memikirkan keberlangsungan gerak visual masyarakat. Sebab, makin hari pemangku kebijakan, para pemimpin, politikus, telah dibentuk dan disiapkan dengan cara apa saja untuk menggapai puncak.
Mereka hadir dengan diri yang seolah-olah, diri yang dipercantik melalui gerak media massa. Diri yang menguasai media massa atau bahkan memiliki media massa. Upaya pegiat desain komunikasi visual itu jadi jawaban tersendiri atas keinginan menjaga, merawat, dan menyangga pesta demokrasi yang sebentar lagi bergulir. Mereka memberanikan diri berbuat, menyumbang, dan memenuhi kesadaran kolektif khalayak. Mereka menyuguhkan, mengajak, menciptakan tatanan yang memberi harapan bagi harkat hidup rakyat. (28)

—Setia Naka Andrian, lahir di Kendal, 4 Februari 1989, bermukim pula di kota itu. Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) ini menulis puisi, cerita pendek, esai, dan resensi buku.

Senin, 24 September 2018

Nama-Nama yang Muncul dalam Prosa dan Puisi (Jawa Pos, 23 September 2018)



Nama-Nama yang Muncul dalam Prosa dan Puisi
Oleh Setia Naka Andrian



Judul Buku                : Perihal Nama
Penulis                         : Widyanuari Eko Putra
Penerbit                       : Kelab Buku Semarang
Cetakan                       : I, Mei 2018
Jumlah Halaman          : 170 halaman
ISBN                           : 978-602-6694-43-0

Pemberian nama dari orangtua kepada anaknya, kerap kali melewati pertimbangan panjang. Bahkan tidak jarang, terjadi perdebatan alot di antara kedua orangtua tersebut. Sebelum sepenuhnya menjatuhkan suatu nama kepada sang anak yang baru saja menghirup napas ke dunia. Terkait nama yang tidak bisa dikata sederhana tersebut, pun dibahas panjang lebar dalam buku Perihal Nama karya Widyanuari Eko Putra (Kelab Buku Semarang, 2018).
Buku yang dicap sebagai kumpulan enam esai seputar prosa, puisi, dan buku tersebut mencoba menggiring pembaca menyelami ketidaksederhanaan penamaan tokoh-tokoh dalam sebuah karya sastra, baik prosa maupun puisi. Nama-nama yang dihadirkan dalam karya kerap dipertimbangkan pengarang, bagaimana kesesuaiannya dengan cerita yang diusung.
Bagi Widyanuari, dalam esai berjudul Yang Tersembunyi di Balik Nama, bahwasanya nama tercipta sebagai konsekuensi atas pertimbangan-pertimbangan: ideologi, konteks zaman, kebersesuaian dengan tema cerita, hingga eksplorasi yang semata-mata demi capaian estetik atau efek tertentu. (hlm. 45).
Widyanuari memberikan perhatian serius terhadap kehadiran nama-nama dalam berderet karya sastra. Di antaranya, novel Max Havelaar karya Multatuli (Eduard Douwe Dekker), Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo, novel Tetralogi Buru garapan Pramoedya Ananta Toer, Para Priyayi karya Umar Kayam, Mantra Pejinak Ular karya Kuntowijoyo, hingga karya-karya terbaru Triyanto Triwikromo, Ritus, Anak-Anak Mengasah Pisau, dan Ular di Mangkuk Nabi.
Dalam kasus penamaan yang dilakukan Triyanto, misalnya, Widyanuari menangkap kecenderungannya menciptakan nama-nama yang khas, berkesan gaib, mistis, dan ajaib. Nama-nama tersebut, di antaranya Manyar, Kabrut, Blandrek, Abilawa, Ragaula, Rudrat, Natasja Korolenko, Nyonya Bangsa.
Meskipun, dalam esai judul serupa, Widyanuari menghadirkan pernyataan dari Seno Gumira Ajidarma, berikut, “Sukab hanyalah sembarang nama yang saya pasangkan kepada setiap tokoh, sekadar karena saya malas “mengarang”,”
Pada kasus tersebut, Seno memberikan pernyataan bahwa penamaan tokoh-tokohnya dalam cerita dibuat sekenanya saja. Tentu banyak kita dapati bagaimana Seno menggunakan nama Sukab dalam beberapa cerpen-cerpennya. Lain kasus ketika Seno menggarap novelnya Kitab Omong Kosong. Tokoh-tokoh pewayangan serupa Togog, Prabu Janaka, Hanuman, Rama, Sinta, dan lainnya dihadirkan begitu rupa dalam novel yang mendekonstruksi cerita wayang tersebut.
Selanjutnya, dalam esai berjudul Sebuah Nama, Sebuah Cerita, Widyanuari menyingkap maksud pencantuman nama dalam puisi. Penyair-penyair serupa Chairil Anwar, Afrizal Malna, Iman Budi Santosa, Dorothea Rosa Herliany, Joko Pinurbo, Erich Langobelen, Alex R. Nainggolan, Nurul Ilmi El-Banna, Sengat Ibrahim, M. Noeris, dan lainnya.
Nama-nama dicantumkan secara khusus dalam puisi. Puisi ditujukan untuk seseorang, diberikan, dihadiahkan, atas rasa kagum, penghormatan, ketakziman, dan lainnya. Seperti gubahan puisi Chairil Anwar, di antaranya pada judul “Kenangan untuk Karinah Moordjono”, “Hampa kepada Sri”, “Kawanku dan Aku kepada L. K Bohang” dan lainnya.
Menurut temuan Widyanuari, nama-nama seakan diabadikan secara terang-terangan di dalam puisi. Kerap kali diletakkan di bawah judul, atau bahkan tak sedikit pula nama-nama tersebut dicantumkan menyatu dalam judul, “Kepada Penyair Bohang”. Ada kalanya nama-nama dicantumkan dengan inisial, “Lelaki Empat Penjuru Kepada ULP” karya Iman Budi Santosa untuk Umbu Landu Paranggi. Didapati pula puisi-puisi gubahan Joko Pinurbo, berjudul “Rumah Kontrakan untuk ulang tahun SDD”, “Memo Celana untuk Iqbal”, “Rumah Persinggahan untuk S.S.”.
Dalam kedua esai panjang Widyanuari tersebut, nama-nama memiliki keberadaan yang tidak biasa, baik dalam prosa maupun puisi. Nama-nama mendapuk peran tersendiri dalam sebuah karya sastra. Nama-nama yang bermakna dan tidak semena-mena dihadirkan dalam karya sastra, serta nama-nama yang diberi kehormatan tersendiri saat dicantumkan dalam sebuah puisi.
Keempat esai berikutnya dicatat Widyanuari dengan tidak sepanjang esai pertama dan kedua. Judul esai Tidak Ada Jassin hari Ini, Upaya Menulis Ulang dan Menafsir, Menjelajahi Parodi ala martin, dan Pengorbanan Membaca Buku, seakan menjadi anak-anak yang berusia pendek. Meski, napas yang ditiupkan Widyanuari kepada esai-esai tersebut tetap sama. Hanya saja, pembaca barangkali akan merasa terganggu. Pengisahan nama-nama seakan kian memendek dan memudar.***

─Setia Naka Andrian, Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS).

Minggu, 16 September 2018

Seni dan Ruang Berkesenian di Kendal (Suara Merdeka, 16 September 2018)


Seni dan Ruang Berkesenian di Kendal
Oleh Setia Naka Andrian



Tak banyak yang mengira digedung kecil di belakang GOR Bahurekso Kendal kerap terselenggara aktivitas dari para pegiatseni. Tak sedikit seniman cukup belia berproses kreatif di gedung serupa bangunan taman kanak-kanak itu.
Ya, bangunan tua itu adalah Balai Kesenian Remaja (BKR). Rumah para pegiat seni dan ruang bertemu beberapa komunitas yang tersudut dipusat kota. Sangat tak tersentuh pembangunan, minim fasilitas. Gedung yang hanya didiami dan dirawat seadanya oleh para pegiatseni di segenap jalan sunyi mereka.
BKR kalah rupa dari taman kota,alun-alun, seputaran jalan pusat kota yang selalu riuh. Orang-orang itu sekadar ingin melepas lelah, mengatasi dahaga, atau mengenyangkan perut semata. Lalu mereka berfoto,bersama beberapa teman,mengabadikan momen seadanya dialun-alun, di Taman Garuda, di bawah lambang Indonesia yang gagah, menjulang ke langit.
Tak ada yang salah denganupaya pemerintah mempercantik pusat kota atau mendirikan bangunan yang gemebyar ke hadirat mata khalayak. Namun para penyuara kebijakan tentu harus mempertimbangkan pula keberadaan ruang kreatif di pusat kota. Sebuah ruang yangkerap menjadi rumah bertemu,berdiskusi, menyibak gagasan, proseskreatif, serta mempresentasikan karya cipta.
Bolehlah kita tengok, misalnya,gelaran Barang Bukti Theater Parade #4, parade teater reguler yang digarap Teater Atmosfer Kendal, beberapa waktu lalu. Kita akan disuguhi parade teater di gedung yang sempit. Sesungguhnya tak jadi soalbesar atau kecil ruang akan tampak dengan seberapa orang yang menghuninya. Nah, saat parade teater itu, penonton membeludak. BKR pecah oleh kisaran 130 penonton pada tiap sesi, baik sore maupun malam. Belum lagi aktivitas lain; forum mingguan Jurasik (Jumat Sore Asik) dan seabrek laku kesenian lain.
Jika memasuki ruang pertunjukan, saat membuka pintu gedung, kita langsung menghadapi penonton yang lesehan di karpet lusuh. Bahkan jika ada penonton yang hendak keluar, pintu gedung tak dapat terbuka dengan leluasa. Harus ada beberapa penonton merelakan diri bergeseratau berdiri. BKR seakan anak tiri, atau bahkan anak yang tak dianggap memiliki orang tua. Ia berdiri lemas diantara gerak pembangunan yangkerap menyuarakan diri untuk mempercantik kota.

Di Mana Saja
Dewasa ini kita seakan tak bisamengelak dan beranggapan: kesenian dapat kita nikmati kapan saja dandi mana saja. Gawai di genggaman seakan mampu menjawab segalanya, termasuk sebagai ruang menyibak jagat estetika. Kita menapaki segenap keindahan di sebuah media, diruang kedua, selepas diabadikan dari ruang pertama yang berdarah-darah.
Kita tentu mafhum, tak sedikit pulayang masih beranggapan kesenian masih selalu butuh gedung. Ruang untuk mempresentasikan karya cipta, selepas beberapa waktu ditempaproses panjang. Ruang yang menjadidapur untuk menggodok berbagai gagasan, ide kreatif, hingga bahasan kerja bersama antarkomunitas. Kendali Seni Kendal, misalnya. Itulah gelaran tahunan, yang disebut embrio festival kesenian, yang telah berlangsung dua kali, 2016 dan 2017. Dan, tahun ini pun sudah mulai digodok.
Bolehlah jika kita bersuara dan meyakini, panggung di ruang publik dibuka begitu lebar. Seniman dapat memanfaatkan untuk menyuguhkan karya cipta. Seniman rupa dapat leluasa menunaikan gagasan di dinding-dinding, di tembok-tembok, bahkan di jalanan yang kerap dilewati manusia, yang ditempa panas dan hujan sekalipun.
Penyair pun dapat membacakan sajak di pasar, di lampu merah, atau dimana saja yang memungkinkan disinggahibanyak mata. Guyuran kata-kata akan bebas memasuki tubuh baru, puluhan, bahkan ratusan hati, akan turut serta menyambut kehadiran upaya mereka menebar kesadaran kolektif.
Namun tetap saja gedung serupa BKR pastilah sangat mereka butuhkan. Apalagi jika ruang serupa itu hanya satu-satunya—gedung di pusat kota, dapat diakses dengan mudah. Rumah yang patut dipertahankan dan dirawat sebagai titik pertemuan para pegiat seni di Kota Bahurekso.***

— Setia Naka Andrian, lahir di Kendal, 4 Februari 1989, dan bermukim pula di kota itu. Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) ini sesekali menulis puisi, cerita pendek, esai, dan resensi buku.

Puisi, Wisata, dan Kota Literasi (Derap Guru, September 2018)


Puisi, Wisata, dan Kota Literasi
Oleh Setia Naka Andrian

Di Padang Panjang Sumatera Barat baru saja terselenggara perhelatan Temu Penyair Asia Tenggara 2018, pada 3 hingga 6 Mei 2018. Para penyair serumpun bahasa menulis puisi tentang kota. Puisi-puisi diberi tugas berat, mencatat kota! Puisi-puisi dipekerjakan oleh para penyair untuk menggiring publik melalui narasi sebuah Kota Hujan, Kota Serambi Makkah: Padang Panjang. Keelokan, kesejukan, hingga sejarah, budaya serta seabrek tetek-bengeknya menggoda penyair untuk menuliskannya dengan sepenuh energi dan estetika.
Ratusan penyair dari Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, dan Timor Leste hadir ke Padang Panjang bersama puisi-puisinya, anak nurani mereka. Ratusan penggubah puisi juga berkhidmat untuk memasang telingan atas paparan materi dari berbagai negara. Di antaranya, Abdul Hadi WM (Indonesia), Rusli Marzuki Saria (Indonesia), Phaosan Jehwae (Thailand), Rahimah Binti A. Hamid (Malaysia), dan Hjh Dyg Fatimah Hj Awang Chuchu Ismayah (Brunei Darussalam).
Penyair dan para puisi mengunjungi kota yang mempertemukan mereka dalam jagat kata-kata. Penyair dan para puisi menyapa kota “sesungguhnya”, mereka menginap dalam kampung-kampung wisata yang disuguhkan panitia, yakni Kubu Gadang dan Sigando. Dikarenakan sebelumnya, melalui puisi para penyair lebih dulu menerka keelokan, kesejukan, sejarah, budaya serta apa saja tentang sebuah kota. Jika barangkali, di antara para penyair ada yang belum sempat singgah di Padang Panjang.
Setidaknya kita mafhum, layak menuduh jika sebelumnya di antara para penyair ada yang hanya menjelajahi mesin pencarian serba tahu (baca: google) untuk melancarkan proses penciptaan puisinya. Bagi mereka yang belum sempat mengunjungi atau sama sekali belum pernah memiliki kontak sejarah maupun batin dengan Kota Hujan tersebut. Meskipun, tetap sah-sah saja.
Puisi masih tetap dituliskan. Puisi diberi tempat untuk menunaikan tugasnya. Puisi-puisi yang lahir dengan mengusung tema yang diminta panitia, segala tentang Padang Panjang. Dengan mengelaborasikan diksi: sejuk, hutan, hujan, kabut, dan gunung. Alhasil, dalam perhelatan tersebut diluncurkanlah buku kumpulan puisi Epitaf Kota Hujan (Padang Panjang dan Puisi-Puisi Penyair Asia Tenggara), yang merupakan puisi-puisi yang lolos seleksi sebagai tiket untuk mengikuti Temu Penyair Asia Tenggara. Puisi-puisi hasil kurasi dari Ahmadun Yosi Herfanda, Iyut Fitra, dan Sulaiman Juned.
Puisi-puisi tidak selesai hanya dibukukan. Puisi-puisi tidak hanya berhenti pada peluncuran dan diskusi. Dalam perhelatan Asia Tenggara itu, puisi-puisi bermisi menggaet pelancong dan pencanangan Padang Panjang sebagai Kota Literasi. Penyair dan para puisi diajak untuk bertandang di sebuah desa wisata, Kubu Gadang. Mereka disuguhi beraneka suasana, jajanan, makanan, rumah-rumah gadang, seni tradisi beladiri Silek Lanyak, serta sejumlah kesenian tradisi lainnya.
Dengan harapan, segala itu mampu menjadi kenangan tersendiri bagi penyair dan para puisi. Agar suatu saat nanti, jika barangkali para penyair Asia Tenggara bepergian di Sumatera Barat, maka Padang Panjang lah satu-satunya tempat untuk dikunjungi, satu-satunya kampung halaman yang patut untuk disinggahi kembali.
Seperti dalam penggalan puisi Badrul Munir Chair dalam buku Epitaf Kota Hujan. Berikut, Sehampar halaman, sesamar lekuk kain buaian/ kukenang hari lalu sebagaimana seorang juru kunci/ menghitung sisa-sisa hari sebelum gunung/ memeluk dan memanggilnya kembali.//
Berkat puisi, atas berbaik-hatinya kata-kata yang segalanya menarasikan Padang Panjang, akhirnya membuat kota itu dinobatkan sebagai Kota Literasi oleh Perpusnas RI. Tak lain, niatan tersebut sebagai wujud keseriusan Kota Padang Panjang mendukung Gerakan Literasi Nasional, yang akhir-akhir ini begitu lantang digemborkan seantero Indonesia ini.
Meskipun, kita boleh juga bertanya-tanya. Bukankah jika yang diundang untuk perhelatan Temu Penyair Asia Tenggara sudah tidak hanya penyair dari dalam negeri saja, sudah tentu pemerintah pusat harus turut serta. Dikarenakan, kali itu panitia yang menghelat acara se-Asia Tenggara tersebut hanya dari Pemerintah Kota Padang Panjang, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Padang Panjang, serta Forum Pegiat Literasi Padang Panjang semata. Sederhananya, bolehlah kita angkat topi kepada Padang Panjang, kepada para junjungan penyair dan segenap pegiat literasi di sana.
Dan di luar segala itu, boleh pula kita turut melempar sinis. Apa pula pengaruh perhelatan se-Asia Tenggara yang telah rampung itu, jika selepas acara tiada kita temukan perubahan apa-apa. Baik pada diri penyair, masa depan puisi, nasib gerakan literasi, hingga segala sesuatu yang berkait-paut pada sastra, kesenian, dan kebudayaan di Indonesia ini.***

─Setia Naka Andrian, Peserta Temu Penyair Asia Tenggara 2018. Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang.