Manusia yang sehat adalah manusia yang mau berpikir dan memikirkan. Berpikir untuk menang dan memikirkan agar yang lain tidak kalah. (SNA)
Selasa, 22 Mei 2018
Minggu, 06 Mei 2018
Cermin Jiwa: Politik dan Jagat Pesantren (Suara Merdeka, 6 Mei 2018)
Cermin Jiwa; Politik dan Jagat Pesantren
Oleh Setia
Naka Andrian
Jagat pesantren, dewasa ini
begitu rupa menjadi sorotan bagi elite politik. Santri, ulama, kiai seakan lahir
sebagai magnet tersendiri bagi mereka yang hendak menampilkan diri dalam
panggung politik. Pesantren setidaknya telah mengambil salah satu posisi (sasaran
utama) untuk memperoleh kemenangan yang diidam-idamkan.
Sudah jelas, pesantren diyakini
masyarakat sebagai jagat sunyi yang tak henti-hentinya memproduksi makna,
identitas, hingga segala hal tentang pembentukan akhlak mulia bagi umat
beragama. Rumah bagi para pengeja ilmu agama tersebut pun hingga kini masih
begitu kuat menempa ingatan publik. Pesantren dengan segenap isinya, selalu
diberi tempat di mata dan batin masyarakat kita.
Untuk itu, tak sedikit calon
pemimpin kita yang kerap sowan kepada segenap pesantren seantero tanah Jawa
ini. Dari mulai sekadar minta doa restu, hingga menggandeng putra kiai, atau salah
seorang insan terbaiknya untuk maju bersama dalam panggung politik.
Seolah-olah pesantren menjadi
sebuah tameng, rumah berlindung jika barangkali didapati beragam anggapan buruk
yang bertebaran di telinga masyarakat. Atau setidaknya mampu menanam
kepercayaan lebih dan yang pasti, mendongkrak ‘suara’. Sebab, sampai kapan pun pesantren
tetaplah menjadi rujukan, segala mula dan muara, rumah berteduh bagi insan
beragama, atau bagi siapa saja yang berhasrat menanam citra baik dalam
tubuhnya.
Melalui novel Cermin Jiwa (Alvabet, Juli 2017), S.
Prasetyo Utomo mengisahkan sebuah keluarga yang dihuni sepasang suami-istri setengah
baya dan seorang anak perempuan belia. Merekalah Abah, Umi, dan Zahra. Abah
mengalami kekalahan dalam pemilihan wakil rakyat. Abah, seorang pemilik ladang
dan toko bunga. Suatu ketika ia mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Namun ia
gagal, meski segalanya telah dipertaruhkan. Termasuk tanah, mobil, dan
tabungan.
Selepas itu, Abah berniat
menenangkan diri, kembali berguru di sebuah pesantren yang sempat ia tinggali
semasa muda. “Aku ingin kembali berguru
pada kiai di pesantren Lembah Bayang-Bayang, seperti pada masa mudaku.
Melupakan keguncangan hatiku.” (hlm. 12).
Abah berniat menepikan diri. Ia
telah tersadar, bahwa ia tak berjodoh menjadi wakil rakyat. Meski awalnya ia
belum bisa sepenuhnya menerima. Selepas Umi, istrinya, mampu menyadarkan, maka
Abah berniat kembali berguru ke pesantren. Abah memilih jalan sunyi, selepas
persoalan berat menimpa hidupnya. Menapaki kembali jalan yang dikehendaki
nuraninya, selepas diterpa kehancuran bertubi-tubi.
Gelagat Elite Politik
Prasetyo dalam novel ini
memberikan tawaran lain pula, yakni didapati tokoh yang menyabung nasibnya
dalam pemilihan wakil rakyat. Tokoh tersebut menang, namun tidak lama kemudian
ia tak mampu mengendalikan nafsu. Maka segala itu menjerumuskannya ke penjara,
akibat terbelit kasus korupsi.
Didapati pula kisah lain,
seorang tokoh yang hendak maju dalam pemilihan Bupati. Ia berkunjung dan hendak
meminta restu kepada Kiai Sepuh, pengasuh Pesantren Lembah Bayang-Bayang,
tempat Abah berguru dan menenangkan batin.
Calon bupati tersebut
mengumbar janji kepada Kiai Sepuh, termasuk ingin membangun jalan menuju
pesantren. Akhirnya, Kiai Sepuh mengizinkan, memberi restu kepada calon bupati.
Abah pun sempat heran, kenapa Kiai Sepuh memberikan restu.
Calon bupati tersebut pun menang
dan sudah berkuasa, namun jalan menuju pesantren masih tetap belum dibangun
seperti yang dijanjikan. Kiai Sepuh tetap tenang, tak mengaharap apa-apa. Abah
begitu heran, pasti akan terjadi sesuatu.
Akhirnya terdengar kabar,
bahwa bupati yang berkuasa tersebut ditangkap, ditahan, dan dibawa ke
pengadilan. Semua orang pun tahu maksud Kiai Sepuh mendukungnya, hanya untuk
menggiringnya ke penjara. “Aku baru
sadar, Kiai Sepuh mendukung bupati itu untuk menemukan takdirnya di penjara,”
kata Kiai Maksum, sebelum menghentak tali kendali kudanya. (hlm. 33).
Dari beberapa penggalan kisah
tersebut menunjukkan, betapa Prasetyo menampakkan gelagat elite politik di
sekitar kita. Keberadaan pesantren yang kerap kali diperhitungkan dalam
melancarkan gerak roda kelompoknya demi mencapai kekuasaan yang mutlak.
Bumbu-bumbu lain pun
dihadirkan oleh Prasetyo, yakni terkait persoalan tarik-ulur pembangunan pabrik
semen di Lembah Gunung Bokong. Perlawanan, kecaman, pengkhianatan menjadi
putaran gerak politik tersendiri. Negara pun turut serta dalam peristiwa daerah
tersebut, selepas persoalan berlarut-larut dan memanjang hingga menjadi isu
nasional.
Dalam novel ini, Prasetyo
seakan menggarap sebuah dunia dengan segala kemungkinan yang kokoh, melalui
kejernihan jiwa beberapa tokoh yang dihadirkan. Segalanya seakan menyelinap
dalam benak dan batin kita. Menggelinding dalam roda keseharian yang tentu akan
begitu mudah kita tunjuk di koran, televisi, dan segala media massa yang
beterbangan di sekitar kita.***
Senin, 12 Maret 2018
Pengamen Jamaah Jumat (NU Online, 11 Maret 2018)
Pengamen Jamaah Jumat
■cerpen Setia Naka Andrian
“Allahumma shalli shalatan
kamilatan wa salim salamaan tamman 'ala sayyidinaa Muhammadin alladzi tankhallu
bihil-'uqodu wa tanfariju bihil-kurobu wa tuqdho bihi-lkhawa-'iju wa tunaalu
bihi-rroghoibu wa khusnul-khowatimi wa yustatsqol-ghomaamu bi wajhihil-karimi
wa 'ala alihi washohbihi fi kulli lamkhatin wa nafasin bi 'adadi kulli ma'luumin
laka,” begitulah yang ia lantunkan pada setiap
jumat-jumat.
Siapa pun pasti hafal
bagaimana tubuh perempuan. Undakan yang berkelok, namun bukan semacam sungai. Banyak yang bilang bentuk biola paling cocok untuk
mengingatnya. Juga perawakan semampai yang sering diidamkan lelaki sejagad. Lalu bagaimana jika perempuan itu sudah senja. Orang-orang pasti malas meliriknya.
Apalagi membayangkan untuk sekadar inspirasi ketika mandi yang biasa dilakukan anak-anak
muda saat kesepian.
Begitulah, seseorang yang kini diperbincangkan di kampung kami. Entah kami tak tahu dari mana datangnya perempuan tua yang menebar resah
itu. Ia selalu bershalawat pada setiap
hari jumat di
masjid kampung kami. Bertepatan ketika shalat jumat. Ia selalu melantunkan lagu yang sama, shalawat
Nariyah. Itu
yang kadang membuat kami gemetar.
Bagi kami ia lah orang paling misterius yang kami jumpai sepanjang
hidup. Ia sangat tak terawat. Baju yang dikenakan lusuh dan kumal. Daster yang
kebesaran dan terseret ke tanah. Tubuhnya pun seperti sudah kebal dengan panu
atau kadas. Walau terkadang kami melihatnya menggaruk-garuk beberapa petak
tubuhnya ketika ia sedang bershalawat.
Dasternya sobek-sobek berserakan dan tak khatam menutupi tubuhnya. Rambutnya yang setengah nggimbal terurai. Mencoba menelungkupi
payudaranya yang terlihat kendur serta terombang-ambing ke kanan dan kekiri, ketika
ia melangkahkan kaki atau sedikit menggerakkan tubuhnya. Payudara yang telah
kusam, sangat kotor dan pastinya juga bau. Sungguh menjijikkan. Jika harus
mengingat-ingat perempaun tua itu.
Apalagi jika ada seseorang yang sedang makan melihatnya, maka seketika orang itu pasti langsung mengaburkan mata. Bau busuknya menyengat.
Barangkali melebihi mayat yang sudah berbulan-bulan mengapung di sungai. Daster
yang dikenakan pun dipenuhi kotoran-kotoran. Kami sering menebaknya sebagai
kotorannya sendiri yang telah menghitam dan hampir mengering. Nampak semu
kekuningan yang membuat kami semakin yakin kalau yang mengotori sekujur baju
dan tubuhnya itu adalah kotorannya sendiri. Bau yang bertebaran pun kami begitu
akrab. Karena kami setiap pagi juga mengeluarkan kotoran itu. Jadi dengan
sendirinya kami hafal aroma itu.
Jika yang melihat sedang hamil, dalam hati langsung mengucap
amit-amit jabang bayi. Lalu kalau yang melihat sedang asyik dengan pacarnya,
yang perempuan berbisik kepada lelakinya, “Akankah kau masih setia kepadaku
bila aku seperti itu?”
***
Sepertinya daster yang dikenakan itu dulunya berwarna putih. Kini sudah berubah warna tanah akibat
kotoran hitam kekuningan yang menebar. Kulit pada sekujur tubuhnya pun telah disulap matahari hingga hitam pekat. Payudaranya yang pucat kotor dan mengendur serta terombang-ambing ke
kanan-kiri pun seakan menampakkan betapa tergoncang kehidupannya. Sontak, siapa pun yang melihatnya
pasti sangat ketakutan, cemas dan begitu resah akibat lengking suara yang dilantunkannya itu. Walaupun itu shalawat Nariyah. Puji-pujian untuk
meminta syafaat nabi.
Itulah sebabnya yang terkadang membuat para pengurus masjid, seluruh warga serta para kiai sepuh imam di masjid kami kebingungan setiap kali perempuan tua itu ikut
mengisi jamaah jumat, walaupun sekadar di serambinya.
Sudah beberapa bulan ini ia datang pada setiap
jumat-jumat. Seluruh
warga pun sama sekali tak tahu dari mana asalnya. Entah, barangkali ia diutus Tuhan sebagai perempuan paling
tidak seksi di dunia ini, atau apa pun. Kami sulit untuk menebak serta mengira-ira. Setiap malam kami berlarut-larut
mendiskusikan bersama seluruh warga, hanya untuk membahas keberadaan perempuan
tua itu.
Namun tetap saja tak ada yang banyak tahu tentang fenomena dadakan
itu. Walau kami sering berupaya mendatangkan orang-orang hebat secara bergantian
tiap diskusi yang kami adakan. Secara bergantian kami hadirkan orang-orang
tersohor yang ahli mistik serta orang-orang sakti, hingga ulama-ulama terkenal
yang sering muncul di televisi. Kami minta mereka untuk memberi arahan atau apa
saja yang setidaknya mampu sedikit mengurangi keresahan kami.
Namun entah, orang-orang hebat yang kami undang dengan sewa yang
cukup mahal itu tetap saja tak menyelesaikan. Malah kami sering disuguhi
petuah-petuah yang semakin tak terarah. Hingga ujung-ujungnya tetap saja menunjuknya sebatas orang gila saja.
Memang kenyataannya semacam itu. Siapa pun pasti tak jauh menudingnya sebagai orang
gila. Namun kenapa setiap hari jumat perempuan itu
selalu datang ke masjid dan bershalawat? Kenapa juga yang ia lantunkan adalah shalawat Nariyah?
Siapa pun pasti akan merinding
jika mendengarnya meliukkan shalawat tersebut. Terutama bagi warga kami yang sebagian besar muslim. Begitulah pertanyaan-pertanyaan yang sering beredar ke telinga
rumah-rumah.
***
Mbah Kiai Haji Soleh, seorang imam paling sepuh di masjid kami
berpendapat. Bahwa sebenarnya tak
masalah jika ia tidak melakukannya di masjid. Ia juga tidak pernah
meminta imbalan apa-apa. Namun bila
ia mengetuk pintu dari rumah ke rumah pasti malah banyak yang merasa iba. Pasti juga tak sedikit yang merelakan sepiring nasi dan teh hangat untuk diberikannya. Tapi jika dilakukan di masjid, bagaimana warga menanggapinya? Siapa pun pasti akan mengalami keresahan yang sama. Entah itu para pengurus masjid, seluruh
warga serta para kiai sepuh pun pasti akan
tetap saja mengalami keresahan yang sama seperti halnya yang sedang kami
rasakan selama ini.
Lebih-lebih, ada warga yang tak sengaja mengamati perempuan tua itu.
Katanya, dari hari ke hari ia semakin mendekati serambi masjid. Dari jumat satu ke jumat
berikutnya, ia selalu semakin mendekat. Karena pada mulanya ia berada di luar pintu gerbang. Namun lama
kelamaan semakin terus mendekat masuk ke area masjid. Sambil tetap bershalawat dengan satu alat musik yang
terbuat dari tumpukan beberapa tutup
botol yang dipaku pada sebuah balokan kayu kecil.
Entah alat itu dibuat sendiri atau merampas dari para pengamen yang
sering berkeliaran di kampung kami. Sejauh mata kami memandang, barangkali
perempuan itu tak ada bedanya dengan pengamen-pengamen liar itu. Namun pastinya
lebih mencekam. Lantunan shalawatnya begitu menyayat dan melengking ngeri. Kian hari kami semakin cemas. Segala pertanyaan bercampur dengan isu terpanas saat ini.
Tentang
datangnya hari kiamat dengan berbagai tanda-tanda yang meraung-raung
terkabarkan pada berbagai media. Meledak-ledak di telinga kami.
***
Beberapa bulan kemudian, ketakutan kami semakin menjadi-jadi. Perempuan
tua itu kian hari semakin menuju ke area masjid. Hingga kali ini, kami sangat
kebingungan dan tak kuasa berbuat apa-apa. Ia masuk satu barisan jamaah shalat
jumat di masjid kami. Ia menelusup dengan cepat ketika adzan dikumandangkan
untuk menunaikan shalat jumat.
Ketakutan kami semakin meledak. Ia tetap bershalawat ketika kami
sudah mulai shalat. Melengkingkan shalawat dengan kondisi tubuh yang terus mengenduskan
bau busuk. Kami pun tak kuasa melihat daster dan payudaranya yang sama-sama kedodoran,
begitu kumal berwarna hitam kekuningan akibat kotorannya sendiri. Kami jijik
bercampur merasa tak enak sendiri, ketika harus shalat dengan terpaksa melihat
payudara kendur yang kotor bergelantungan terombang-ambing ke kanan-kiri.
Kami semakin tak kusyuk berserah kepada Tuhan. Gurauan anak-anak
kecil pun serentak mengumpat dengan semangat, “Orang gila! Orang gila!”
Pikiran kami melayang kemana-mana. Ketakutan bercampur kecemasan
serta keresahan yang begitu dalam. Barangkali tak terlukiskan melalui doa apa
pun. Suasana menjadi ricuh. Kami semakin sulit memusatkan pendengaran untuk
khidmad tertuju imam atau suara lengkingan shalawat perempuan itu. Juga hidung
kami sangat terganggu, ketika bau busuk benar-benar menebar ke seluruh penjuru
masjid. Hingga parfum wangi yang kami kenakan tak mampu berkutik untuk sekadar barang
sesaat menyegarkan hidung pemakainya sendiri.
***
Kami beserta seluruh warga berkumpul. Mengundang semua ustadz dan
kiai sepuh di kampung kami untuk membantu menyelesaikan masalah yang tidak bisa
dianggap ringan ini. Kami juga terpaksa mengundang para santri dari warga kami
yang telah malang melintang menimba ilmu di kota-kota santri seluruh penjuru
negeri ini. Melalui orangtuanya masing-masing, mereka disuruh pulang secara
paksa. Entah mereka akan pulang naik pesawat atau unta. Yang pasti kami sangat
berharap jika dalam diskusi nanti mereka sudah datang.
Ketika diskusi hampir dimulai, tepat pukul sepuluh malam. Mereka,
para santri telah tepat waktu untuk ikut bermusyawarah. Kebetulan kami
selenggarakan di halaman masjid tempat tragedi perempuan tua itu terjadi.
Kami berunding sangat panas. Hingga dini hari kami belum juga
menemukan jalan keluar. Kami sempat putus asa untuk menanggulangi kehadiran
perempuan tua itu. Namun kemudian ada warga yang nyeletuk, “Bagaimana kalau masjid dipindah saja? Kita bongkar dan dibangun
lagi di tempat lain.”
Akhirnya seluruh warga menyetujui ide dari salah seorang warga kami.
Semua sepakat, termasuk para pengurus
masjid, para santri, serta seluruh kiai sepuh yang menjadi
imam di masjid kami.
***
Keesokan harinya, kami membongkar dan memindahkan masjid sesuai
kesepakatan musyawarah malam itu. Kami mengevakuasi masjid beserta seisinya.
Kami gunakan kembali barang-barang yang masih layak pakai, dan kami tinggalkan
jika sudah tidak layak. Untungnya bahan-bahan pokok bangunan, batu-batu pondasi
dan batu bata masih dapat kami gunakan kembali. Termasuk juga keramik yang
masih dapat kami bongkar, dan hanya sedikit saja yang pecah ketika kami congkel
satu persatu.
***
Pada suatu jumat, masjid sederhana telah dapat kami gunakan untuk kembali
berjamaah. Walau masih belum sempurna jadi, namun sudah dapat kami naungi untuk
beribadah. Masjid yang kelak akan menjadi sejarah tersendiri bagi anak dan cucu
kami.
Seusai jumatan, kami merasa suasana semakin pagi. Hari begitu cerah.
Secara tidak sengaja kami bersama-sama berjalan menuju area masjid yang lama.
Kaki kami seakan memutar sendiri untuk menyambangi tempat bersejarah itu. Semua
serentak mengikuti. Karena bagaimanapun inilah hari jumat pertama kami
berjamaah shalat jumat di masjid yang baru saja kami pindahkan.
Selepas sampai di depan area masjid lama, kami melihat perempuan tua
itu berdiri tepat pada titik yang dulu digunakan sebagai tempat imam memimpin
jamaah. Ia berdiri tegak. Tetap mengumandangankan shalawat. Namun kali ini jauh
lebih melengking dari sebelumnya.***
Sanggargema, Juli 2015
Selasa, 30 Januari 2018
Hikayat Penyakit Hati (Tribun Jabar, 21 Januari 2018)
Hikayat
Penyakit Hati
■cerpen Setia Naka Andrian
Aku ingin suatu saat
menemukan orang yang menjual hati. Merelakan salah
satu organ terpenting dalam
tubuhnya untuk dijual kepadaku yang kali ini sangat membutuhkan. Tentunya hati yang belum
terluka seperti hatiku ini. Berapapun harganya
pasti akan kubeli. Karena setidaknya aku masih memiliki sisa warisan rumah beserta tanahnya, itu satu-satunya. Apapun taruhan untuk mendapatkan hati yang baru, pasti akan
kukorbankan. Aku pun mau
bila orang itu menghendaki
tukar tambah dengan hatiku, walaupun nantinya orang itu akan menanggung beban hatiku.
Sungguh, aku harus segera menemukan hati, kemanapun akan kucari. Karena kali ini aku merasa tak punya pilihan lain. Sakit hatiku telah terlampau
akut. Tak ada yang mampu menyembuhkan. Beberapa
kali berkunjung kepada bermacam-macam ahli
psikologi namun hasilnya
tetap saja nihil. Beberapa kali hinggap di
tempat-tempat hiburan dengan
berbagai macam minuman keras termahal yang kutenggak hingga ke sebuah lokalisasi dengan sejuta perempuan label atasan, namun semuanya tak mampu mengobati. Karena hati, aku telah kehilangan hatiku. Termasuk kedua orangtuaku juga seorang adikku, mereka telah mati terbunuh perempuan yang sempat mengaduk-aduk hatiku.
Perempuan itu telah menggondol seluruh isi rekening dan surat-surat tanah
milik keluargaku yang sebelumnya telah dipercayakan semua kepadaku. Harta yang seharusnya digunakan untuk pengobatan bapakku yang sedang mengidap
kanker mata yang sangat ganas. Akhirnya bapakku meninggal.
Selanjutnya
ibuku sakit-sakitan akibat tertekan hatinya,
lagi-lagi karena hati. Ibuku mati karena tertekan akibat kematian bapakku dan juga karena belum bisa menerima setelah kehilangan seluruh harta benda yang telah lama dikumpulkan, yang sebelumnya diniatkan pula untuk naik haji bapak dan ibuku.
Karena ibuku terlampau memikirkan itu dengan hati, maka akhirnya
ibuku menyusul bapakku.
Setelah itu giliran adik
perempuanku yang sejak lahir mengidap keterbelakangan mental, dan karena sudah tidak ada lagi yang mengurus. Maka ia dibawa oleh tetangga ke sebuah panti asuhan. Namun sungguh malang nasib adikku, setelah beberapa
bulan dititipkan, panti
asuhan itu terlibat kasus penjualan anak.
Akhirnya adikku pun telah resmi hilang, hingga sekarang belum
ada kabar yang jelas. Ada yang bilang telah dijual di luar negeri, dijadikan apa
aku kurang tahu. Yang pasti dari kepolisian pun tak becus mengusut
kasus tak berduit itu. Karena keseluruhan korbannya
adalah anak dari orang-orang terpinggirkan dan bahkan anak-anak yang sudah tidak memiliki keluarga
ataupun sanak saudara. Aku pun akhirnya mencoba ikhlas kehilangan bagian hidupku yang
terakhir dan satu-satunya itu.
***
Suatu hari aku mencoba
keluar rumah, berjalan mengikuti langkah yang entah menuju kemana. Yang pasti tujuan utamaku adalah menemukan hati. Setiap menemui orang, aku menanyakan di mana ada toko, warung, atau apa saja yang menjual hati. Namun mereka malah menganggap aku gila, dan mengumpat yang bermacam-macam kepadaku. Aku
pun tidak mempedulikannya,
aku terus berjalan dan semakin menjauh dari rumah, terus berlari meninggalkan semakin jauh.
Setelah berjalan cukup
jauh, aku melihat kerumunan orang. Aku
pun langsung mendekati. Siapa tahu di situ sedang ada perhelatan tawar-menawar hati. Benar,
ramai sekali. Aku semakin yakin kalau di situ sedang ada tawar-menawar hati. Benar
sekali, aku mendengar mereka meneriakan hati, “Hatimu rusak! Kau sungguh
rusak! Kau taruh di mana hatimu, Kakek?”
Ternyata benar,
kakek tua itu terluka. Darahnya mengucur di sekujur tubuh dan membasahi bajunya di sekitar dada. Ia pasti sedang ada masalah mengenai hatinya. Mungkin ia senasib denganku atau mungkin ia sedang
mempertahankan hatinya yang hendak dirampas orang-orang itu. Ya, aku harus segera berbuat sesuatu untuk menyelamatkan kakek tua itu.
“Maaf, Tuan-tuan! Mau
kalian apakan kakek tua tak berdaya ini? Apa
salahnya hingga ia diperlakukan seperti ini?”
“Hai bocah ingusan, tahu
apa kau ini? Jangan ikut
campur urusan kami!”
“Ya, kau tidak tahu apa-apa! Mending kau pergi jauh dari sini!
Sebelum kami akan mencelakakanmu
juga!”
“Ya, cepat lekas pergi!”
Sial, aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku harus cari
cara untuk dapat menolong kakek
tua ini. Tanpa banyak
pikir, aku langsung membawa lari kakek tua itu. Kuseret
dari mereka dan langsung
kubopong di bahuku. Untungnya berat badannya ringan, tubuhku juga masih kekar. Jadi aku dapat leluasa
membawanya lari. Walaupun dengan sedikit
tergopoh aku lari dan mereka tetap mengejarku.
Sampai di tikungan aku langsung menyelinap di semak. Aku mengendap-endap sambil menyibak jalan agar menghindar
dari kejaran mereka.
Syukurlah, aku telah lari jauh dari kejaran mereka. Walaupun tergopoh dan sungguh
terengah-engah. Kududukkan kakek tua ini di suatu tempat yang cukup
aman dari kejaran mereka. Ia nampak gemetaran dan nyaris tak mampu berbuat apa-apa.
Darah masih juga mengucur dan membasahi sekitar dadanya.
Hingga itu membuat aku tak tega untuk menanyakan
sesuatu kepadanya. Sepertinya aku harus mencari sesuatu agar dapat menenangkannya. Mungkin ia
lapar. Benar, sepertinya begitu. Wajahnya terlihat begitu pucat. Bibirnya memutih dalam giginya yang menggigil. Hingga ia
tak mampu mengucap sepatah kata pun untuk merespon kehadiranku yang mungkin cukup asing baginya. Ya,
aku harus segera menyarikannya makan. Apa
saja, yang penting dapat
mengganjal perutnya.
***
Ternyata benar, ia
begitu kelaparan. Tanpa keluar kata ataupun sekadar sapa, ia langsung melahap beberapa pisang yang kubawakan dari memetik di pohon sekitar. Setelah itu ia terdiam dan memandangiku dengan penuh tanya yang aneh. Sepertinya ia ingin menyampaikan
sesuatu, bibirnya nampak bergeming. Benar sekali, ia ingin
berkata sesuatu. Ya, tubuhnya semakin mendekatiku
dan tangannya
berusaha meraih tubuhku.
“Anak muda,” datar suaranya menyapaku.
“Ya, Kek.”
“Kenapa kau menolongku?”
“Karena Kakek sedang membutuhkan pertolongan, maka
aku berhak untuk menolongmu,
Kek.”
“Sederhana itukah?”
“Sebenarnya
tidak juga, Kek.”
“Lalu?”
“Awalnya aku tertarik ingin mendekati kerumunan waktu itu karena aku
mengira saat itu sedang ada
perdebatan tawar-menawar hati, maka seketika aku langsung berniat untuk mendekat.”
“Adakah sesuatu tentang hati yang kau maksud?”
“Aku sedang ingin mencari hati untuk menggantikan hatiku, Kek.”
“Maksudmu, hati yang
termasuk salah satu organ tubuh manusia atau hati tentang perasaan manusia?”
”Keduanya, Kek.”
“Hahahahahahahahahaha.”
“Kenapa Kakek tertawa?”
“Kau gila!”
“Aku gila, Kek?”
“Ya, kau gila yang akut.”
“Maaf Kek, bukannya kata
mereka hati kakek juga gila?”
“Ya, benar katamu. Hatiku memang gila. Tapi kenapa kau mau menolongku? Yang ternyata kau sudah tahu kalau hatiku
gila. Apakah kau ingin mencari
hati yang gila? Hahahahahahaha,”
“Sebenarnya ya
tidak, Kek. Aku ingin mencari
hati yang masih bersih. Hati yang mampu
memberiku ketenangan, hati
yang mampu meneduhkan
hidupku, intinya ya hati yang tidak seperti hati yang kumiliki sekarang ini, Kek. Sakit hatiku telah terlampau akut. Tak ada yang mampu
menyembuhkan. Beberapa kali berkunjung kepada bermacam-macam ahli psikologi namun hasilnya tetap saja nihil. Beberapa kali hinggap di tempat-tempat hiburan dengan berbagai macam minuman keras termahal yang kutenggak hingga ke
sebuah lokalisasi dengan sejuta perempuan label atasan, namun semuanya tak mampu mengobati. Karena hati, aku telah kehilangan hatiku. Termasuk kedua orangtuaku
juga seorang adikku, mereka telah mati terbunuh perempuan yang sempat mengaduk-aduk
hatiku. Perempuan itu telah menggondol seluruh isi rekening dan
surat-surat tanah milik keluargaku yang
sebelumnya telah dipercayakan semua
kepadaku. Harta yang seharusnya digunakan untuk pengobatan
bapakku yang sedang mengidap
kanker mata yang sangat ganas. Akhirnya bapakku meninggal. Selanjutnya ibuku sakit-sakitan akibat tertekan hatinya, lagi-lagi karena hati. Ibuku mati karena tertekan akibat kematian bapakku dan juga karena belum bisa menerima setelah kehilangan seluruh harta benda yang telah lama dikumpulkan, yang sebelumnya diniatkan pula untuk naik haji bapak dan ibuku.
Karena ibuku terlapau memikirkan itu dengan hati, maka akhirnya
ibuku menyusul bapakku. Setelah itu giliran adik perempuanku yang telah lama mengidap keterbelakangan mental, dan karena sudah tidak ada lagi yang mengurus. Maka ia dibawa oleh tetangga ke sebuah panti asuhan. Namun sungguh malang nasib adikku, setelah beberapa
bulan dititipkan, panti
asuhan itu terlibat kasus penjualan anak. Akhirnya adikku pun telah resmi hilang, hingga sekarang belum
ada kabar yang jelas. Ada yang bilang telah dijual di luar negeri, dijadikan apa
aku kurang tahu. Yang pasti dari kepolisian pun tak becus mengusut
kasus tak berduit itu. Karena keseluruhan korbannya
adalah anak dari orang-orang terpinggirkan dan bahkan anak-anak yang sudah tidak memiliki keluarga
ataupun sanak saudara. Aku pun akhirnya mencoba ikhlas kehilangan bagian hidupku yang
terakhir dan satu-satunya itu. Begitulah ceritanya, Kek.”
“Ya, aku cukup paham dengan masalahmu. Maukah kau menukar hatimu dengan hatiku?”
“Kakek yakin mau memberikan hati itu untukku?”
“Bila kau mau, ambillah. Silahkan, aku juga sudah terlalu tua dan aku rasa kau yang lebih membutuhkan hatiku yang sudah terlampau renta ini, hidupku pun pasti
tidak akan lama lagi.”
“Tapi Kakek tidak memiliki penyakit
hati kan? Selain hati yang gila
itu, Kek?”
“Ya, tak ada. Aku hanya
memiliki penyakit itu saja, hati yang gila,
itupun hanya kata orang saja.”
“Ya, kalau begitu aku mau, Kek.”
***
Aku sangat bahagia. Langsung saja Kakek dan aku
sepakat untuk bertukar hati. Terasa tak percaya dan tak sadar, aku merobek dadaku dan dada Kakek itu dengan sebilah batu tajam. Lalu kami saling bertukar hati, kakek itu merasa sangat kesakitan setelah kucongkel hatinya, begitu pula aku. Setelah
hati kami bertukar, tubuh dan perasaanku terasa ringan dan melayang-layang. Sepertinya ada sesuatu yang aneh, begitu pula yang terjadi di sekitarku.
Pohon-pohon dan segala tumbuhan berubah menjadi warna-warni yang menyala indah dengan beraneka wewangiannya. Kakek itu pun tiba-tiba lenyap entah kemana, dan tiba-tiba
banyak orang berdatangan dari berbagai penjuru. Mereka mendekatiku,
tangan mereka mencoba
meraihku dan sepertinya hendak mengambil hatiku. Mereka meremas-remas dadaku. Semakin keras
dan menggila, terus meremas dan mengeroyok berebut tubuhku, mereka berteriak, “Beri
aku hati! Hatiku kesakitan! Aku ingin
memiliki hati yang sehat! Beri aku hatimu! Aku ingin memiliki hati yang suci!
Hati itu ada di tubuhmu!”
Sanggargema, Desember 2016-2017
Kamis, 30 November 2017
Minggu, 26 November 2017
Puisi Setia Naka Andrian (Suara Merdeka, 26 November 2017)
menulismu
adalah
puisi
di dalam lekuk pipi
yang
tiba sesaat
selepas
aku malu-malu
berselancar
lemas
di
atas telapak tanganmu
menulismu
adalah
meneguk
anggur
saat
dunia sedang sibuk
memilih
bercuriga
kepada
kamu
kepada
siapa saja
yang
kerap urung bertemu
menulismu
adalah
menyibak
cahaya
yang
kerap melarikan diri
dari
balik jendela rumah
dari
balik dada
yang
melambatkan degubnya
menulismu
adalah
tanda
tanya
yang
tak sempat
dikirimkan
sebagai
pesan dan janji
yang
tak pernah kunjung matang
menulismu
adalah
kalimat
pertama
yang
sering kita lupakan bersama
sebelum
memulai merapal tanya
mana
luka
mana
duka
mana
binar matamu
yang
sederhana
Kendal,
November 2017
Aku Pesan Namamu
aku
pesan namamu
dalam
secangkir kopi
selepas
adzan tak lagi bunyi
selepas
kehilangan
tiada
pernah dibaca lagi
aku
pesan senyummu
dalam
sekental rindu
selepas
segalanya
urung
mengetuk pintu
lupa
datang di pagi-pagi
aku
pesan namamu
dalam
segelas teh pahit
dalam
keheningan
yang
diciptakan
dari
gelagat matamu
yang
tak lagi wajar
mengunjungi
sunyi-sunyi
aku
pesan namamu
saat
semua orang tahu
jika
aku adalah kegagalan itu
yang
memilih pulang
untuk
menemukan
nama-nama
baru
selain
dari nama-namamu
Kendal,
November 2017
Jumat, 17 November 2017
Masyarakat Penerima dan Penyebar Saja (Wawasan, 16 November 2017)
Masyarakat Penerima dan Penyebar Saja
Oleh Setia
Naka Andrian
Gerak
kemajuan teknologi informasi seakan tak sebanding dengan jagat nalar masyarakat
kita. Kini segala sesuatu dapat dengan mudah diterima dan betapa entengnya
disebarkan begitu saja, kapan saja, di mana saja. Setiap detik, kita seakan kerap
dibanjiri informasi yang tak lagi mampu terbendung. Hadir melalui beragam
aplikasi media sosial di gawai dalam genggaman tangan kita.
Sungguh
tak terbayangkan lagi, apa jadinya jika kita menjadi masyarakat yang begitu
saja berterima atas informasi massal yang setiap detiknya menggedor ponsel kita.
Kemudian kita tergoda untuk bergegas menyebarluaskannya, disalin dan disebar
dengan menugaskan kepada ibu jari semata. Maka sudah, ratusan bahkan ribuan
atau jutaan orang akan menerima informasi itu. Selanjutnya disebarkan lagi,
lagi dan lagi oleh si penerima informasi itu. Kita seakan begitu saja lengah
dengan godaan pahala jika turut serta menjadi penyebar informasi yang (masih) dianggap
sangat bermanfaat itu.
Dengan
dalih, apa salahnya jika turut membantu penyebaran informasi itu. Tidak memakan
waktu, tidak memakan pulsa mahal, hanya dengan menekan tidak lebih dari tiga
kali ketukan di layar sentuh ponsel pintar kita. Tentu akan beda dengan apa
yang telah dilakukan oleh generasi pengguna telepon genggam saat masih
berfungsi hanya untuk mengirim pesan singkat atau melakukan panggilan suara.
Kala
itu, tentu dengan sangat pelan, santun, hati-hati, dan penuh perhitungan ketika
hendak mengirim pesan singkat. Bahkan batasan karakter yang menentukan tingkat
kemahalan pemakaian pulsa pun turut diperhitungkan. Dari hal itu, entah sadar
atau tidak, kita seakan dipaksa agar menjadi para pengguna alat seadanya,
seperlunya, tidak cerewet, dan tidak menjadi seseorang yang ketergantungan telepon
genggam.
Ketika
itu, belum didapati tradisi salin-menyalin dan tempel menempel menyebar
informasi yang belum fasih kebenarannya. Belum ada pula penyebaran pengisahan-pengisahan
yang tak menentu tuannya. Bahkan, belum kita dapati orang-orang yang seakan
begitu mudah menjadi pendakwah, yang kerap kita temukan dalam berbagai grup di
berbagai aplikasi di ponsel pintar kita.
Kembali ke Masa Silam
Tradisi
yang kita alami melalui ponsel pintar saat ini, seakan menggiring kita untuk
kembali pada masa silam yang telah jauh terlewatkan. Pada zaman ketika kita
masih mengamini penyebaran-penyebaran kisah, cerita, informasi, atau segala apa
pun tanpa mengenal siapa yang menuliskan atau menciptakannya. Kita kenali
dengan karya cipta dari NN. Jika ada sesuatu yang bermasalah dari apa yang kita
sebarkan, maka akan segera bilang, “Itu bukan saya yang membuat, saya sekadar
menyebar saja, menyalin dari grub sebelah!” Beres, merasa aman dan lari dari
tanggung jawab!
Namun
bagaimana lagi. Kini ponsel pintar telah begitu melekat di genggaman kita.
Siapa pun seseorang itu, ketika nampak dalam sebuah pertemuan khalayak ramai, di
ruang publik, saat menunggu angkutan, saat menunggu jadwal penerbangan, bahkan
saat berpose untuk mengabadikan momen yang (dianggap) istimewa dalam hidup,
selalu nampak mentereng dengan genggaman ponsel pintar yang tentu dengan harga tak
murah. Lengkap dengan ragam aplikasi yang menggairahkan dan menggoda untuk
selalu disentuh.
Sudah
sangat jarang, bahkan semakin tiada lagi orang-orang menyentuh buku-buku,
koran, atau majalah ketika menghabisi waktu tunggu. Bahkan di sudut-sudut
kampus atau di segenap lembaga pendidikan sekalipun. Jarang kita temukan
seseorang berkhusyuk menyibak berlembar-lembar kertas bacaan di pangkuannya. Seakan
sudah tak terelakkan lagi, kita lebih memilih memenuhi kuota (pulsa) internet dari
pada memasukkan judul-judul buku atau berlangganan media massa dalam daftar
belanja bulanan.
Upaya
pemenuhan nutrisi berliterasi seseorang seakan telah sangat cukup hanya dengan
bersentuhan dan menggeser berjubel tawaran informasi yang menggoda di layar
ponsel pintarnya. Sudah tentu, tidak sedikit kita temukan tawaran-tawaran itu
sebatas informasi yang terpenggal-penggal. Masih dalam permukaan dan sangat
perlu ditimbang lagi kedalamannya.
Untuk
kali kesekian, kita akan kerap mengamini untuk tidak sanggup mengelak. Bahwa ponsel
pintar seakan sudah terlanjur begitu lekat di genggaman tangan. Tiada lagi
jarak antara ponsel dan tubuh kita. Seakan tiada pula upaya yang mampu menuntun
kita untuk lebih ketat dalam menyaring segala sesuatu yang menggedor pintu
ponsel pintar kita. Memilah segenap informasi yang kerap mengguyur dalam setiap
detiknya. Kita begitu lemas, kekenyangan, kebingungan, seakan dibuat tak kuasa
berkilah apa-apa.
Manusia Gemar Bercuriga
Lebih-lebih
saat ini, telah begitu marak grup-grup diciptakan di berbagai aplikasi di
ponsel pintar kita. Dari mulai grup alumni sekolah, komunitas, teman kerja,
hingga grup warga, yang kerap kali memicu timbulnya persoalan-persoalan baru.
Padahal yang sudah seharusnya, grup yang diciptakan melalui beberapa aplikasi
dalam ponsel pintar kita menjadi ajang silaturahmi dan bertegur sapa. Namun naga-naganya,
segala itu justru semakin memicu kita untuk semakin lebih bertaring untuk berpendapat,
menghujat, mengumbar, dan bahkan menebar kebencian-kebencian. Kita seakan
selalu dibuat belum usai membersihkan prasangka terhadap sesama, dalam
ruang-ruang media sosial kita.
Disadari
atau tidak, kini kita seakan semakin berterima menjadi manusia yang lebih gemar
bercuriga daripada berpositif pandang terhadap sesama. Segala sesuatu dengan
mudahnya menjadi nyinyir batin, begitu sensitif, bahkan membuat kita semakin
bersumbu pendek atas segala yang nampak atau hadir di hadapan kita, dalam layar
grup di ponsel kita. Entah terkait kebahagiaan, kesuksesan, atau bahkan
kegagalan yang sedang melanda sesama kita.
Tentu,
segala itu contoh sederhana dari muara kemalasan kita untuk menekuri menjadi
masyarakat pencipta. Bukan semata menjadi generasi penerima dan penyebar saja. Generasi
yang sibuk menyuntuki banyak hal yang diterima dan kemudian disebarkan begitu
saja, tanpa berupaya untuk menjadi generasi pencipta dan kemudian menyebarkan
gagasan/ide-idenya. Dan, sepertinya kita sebagai generasi yang (merasa) lebih dewasa,
mengemban pekerjaan rumah yang tidak enteng. Jika keseharian kita saja masih terasa
diperbudak alat, lalu bagaimana dengan nasib dan masa depan jagat nalar
generasi di bawah kita?***
Langganan:
Postingan (Atom)