Jumat, 10 Februari 2017

Puisi Setia Naka Andrian (Majalah Basis, 1 Februari 2017)


Mimpi Buruk

Seburuk apa mimpi yang kita rindukan
Tidur yang belum pulas
Atau terjaga yang tak kunjung reda
dihabisi kelaparan paling sesak di dada

Seburuk apa mimpi yang kita rindukan
Ranjang yang dihakimi
Atau kursi-kursi mangkrak
yang menunggu kehancuran

Seburuk apa rindu yang kita impikan
Mata kita terlanjur panas
Menyisakan obat nyamuk,
kopi, dan ketela bakar

Kita tak berdaya
Dihujani televisi dan koran-koran
Mereka memerahkan telinga
Memberitakan diri sendiri
Memproduksi kematian tubuh sendiri

Kendal, September 2016



Kamis, 02 Februari 2017

Aroma Tubuh, Erotisme, dan Identitas (Wawasan, 2 Februari 2017)

Aroma Tubuh, Erotisme, dan Identitas
Oleh Setia Naka Andrian

Sarasehan yang digagas Subur L. Wardoyo, Nur Hidayat, serta teman-teman Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Universitas PGRI Semarang dengan tajuk Perempuan, Budaya Pop, dan Erotisme pada 21 Januari 2017 di Rumah Makan Chanadia Jalan Erlangga Semarang, memantik hadirin untuk lebih jauh meriwayatkan keberadaan bau (aroma tubuh perempuan) sebagai identitas dan kekayaan masyarakat kita.
Aroma tubuh, khususnya bagi perempuan, tentu kerap menjadi perhitungan panjang. Seorang perempuan tak akan begitu saja “melepas” tubuhnya di lingkungan masyarakat. Pasti akan dipersiapkan penampilannya, terutama pada sisi aroma tubuh. Barangkali jika penampilan sudah dipersiapkan baik-baik, sosoknya sudah cantik, namun jika urusan bau masih belum selesai, dan masih menyemburkan bau tak sedap, maka runtuhlah “harga” diri seorang perempuan itu.
Yang pasti, ilustrasi tersebut kerap hanyalah menjadi persoalan bagi perempuan semata. Terkait obrolan yang berjalan, di antara peserta diskusi ada yang menyampaikan bahwasanya seorang lagi-lagi tak selamanya selalu menuntut aroma sedap dari tubuh perempuannya. Jika semua itu sebatas tempelan, yang hanya diperoleh dari semprotan parfum atau deodoran yang diguyurkan di sekujur tubuhnya. Tak sedikit laki-laki yang mengatakan, bahwa mereka masih sangat merindukan aroma alami dari pasangannya atau perempuan yang diidamkannya.
Disampaikan oleh Subur, bahwa body chemistry akan menentukan seorang perempuan dan laki-laki saling terangsang. Pada posisi tertentu seorang laki-laki, misalnya, akan lebih memilih pasangannya dengan tanpa menggunakan aroma parfum. Ia lebih menghendaki pasangannya menyemburkan aroma tubuh yang alami. Biar pun selepas beraktivitas, berolahraga, dan berkeringat, namun sang laki-laki justru semakin berhasrat.
Di antara perempuan dan laki-laki itu, akan timbul reaksi alamiah yang kemudian berlanjut pada ruang-ruang pergerakan jasmani. Terutama pada laku spontan dari organ jasmaniah, seperti dari otak, jantung, otot-otot yang terpicu oleh rangsangan dari indra penciuman kita. Kemudian, segala itu akan kita yakini sebagai sebuah kecocokan, merasa berjodoh dan klik.
Barang tentu sangat kita lihat, dan sangat kita yakini, seorang perempuan justru cenderung akan menutupi bau badannya dengan pemenuhan aneka parfum pilihan yang dibelinya dengan harga yang begitu mahal. Kali pertama yang dilakukan selepas ia mengenakan pakaian, tentulah menyemprot sekujur pakainnya dengan aroma parfum tertentu. Segala itu, tak lain hanya demi sebuah kesan yang hendak ia sajikan kepada pasangannya (lawan jenis). Dengan harapan, akan terjalin sebuah pertemuan, perbincangan, dan hubungan yang hangat.
Perihal bau, yang awalnya kita percaya sebagai segala sesuatu yang keluar dari apa saja yang dapat ditangkap oleh indra penciuman kita, seperti bau anyir, harum, busuk. Maka kini, riwayat bau (aroma tubuh) tidak selesai atau berhenti begitu saja. Misalnya, peserta diskusi lain, Nanda Goeltom, salah seorang pria kelahiran Batak, turut serta mengisahkan perjumpaannya dengan bau. Ia menjelaskan bagaimana bau telah menjadi warisan dari leluhur kita.
Dalam obrolan yang berlangsung, bau yang ternyata sudah menjadi bagian dari identitas masyarakat kita, sejak dahulu kala. Orang Batak misalnya, akan sangat hafal dengan bau orang Madura, begitu pula sebaliknya. Di antara mereka akan sanggup mengenali, hanya berdasar pada bau yang ia terima melalui indra penciumnya. Seolah-olah, bau mengambil posisi yang melampaui dari tubuh yang memproduksi bau itu sendiri.
Selanjutnya, bau pun menjadi penanda keberadaan atau identitas tersendiri bagi sebuah kota/daerah tertentu. Bau atau aroma masakan misalnya, ditebarkan begitu rupa, disebar setinggi-tinggi ke udara. Dengan harapan, pada waktu-waktu tertentu saat aroma masakan itu dihadirkan, pada saat-saat yang menunjukkan waktu makan pagi, makan siang, atau makan malam, masyarakat akan mengetahui, bahwa ini sudah waktunya untuk makan. Waktunya untuk menepi, beristirahat sejenak, dan menikmati hidangan makanan.
Tentu, segala itu menggiring godaan tersendiri bagi masyarakat kita. Khususnya bagi yang sedang bepergian. Di tepi jalan, tak jarang warung-warung makan yang menggunakan metode aroma masakan untuk menarik minat pelanggan. Tak jarang di antara mereka mengudarakan aroma-aroma masakan khas kota/daerahnya. Sehingga, selain bernalar untuk berdagang, mereka juga punya tanggung jawab dalam usaha memanjangkan riwayat kota/daerah. Menjunjung tinggi identitas kota melalui pertahanan dan tawaran dalam godaan aroma-aroma masakan.
Bahkan kita ketahui bagaimana masyarakat lampau, sebelum ditemukan Global Positioning System (GPS) sebagai sistem navigasi berbasis satelit yang kerap menemani kita dalam setiap perjalanan, masyarakat kita saat itu akan mengetahui dan mengenal wilayah-wilayah tertentu hanya dengan bau (aroma). Kepekaan indra masyarakat kita saat itu akan benar-benar diuji. Saat mencium bau ikan-ikan asin, tentu kita yakin telah berada di wilayah pesisir pantai. Selanjutnya pada kota atau daerah lain pastinya meriwayatkan pula hal serupa.***


─Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Bukunya yang telah terbit, “Perayaan Laut” (2016) dan “Remang-Remang Kontemplasi” (2016). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan buku puisi “Manusia Alarm”.

Minggu, 29 Januari 2017

Puisi Setia Naka Andrian (Media Indonesia, 29 Januari 2017)



Sejarah Keyakinan

Ia muncul di pagi hari
Semenjak setahun lalu resmi cuti
Dari perhelatan panjang
Datang seorang diri
di antara noda dan duka-duka

Ia yang sering mati dalam kemenangannya
Dari banyak kisah-kisah yang diputar
Dari pasukan berkuda
Hingga pemahat arca
yang kerap dilupakan senjata

Ia lah takdir yang berpura-pura
Ia lupakan diri dan siapa seharusnya umat nista
Rumah ini, satu-satunya saksi yang tiada dosa
Selagi masih diam
Mereka akan sama-sama dipenjara
Doa-doa yang belum berakhir
Masih menggiring mereka
Menuju jalan pelarian,
Sekali lagi, sekali lagi
Hingga semuanya lupa
jika sudah tak bernyawa lagi

Kendal, September 2016


Gagal Beriman

Kau yang baru saja pulang
Katamu, kau baru saja
melarikan diri
Dari rombongan umat
yang sering dihujani banyak mimpi

Kau selalu merasa terlambat
Pulang ketika orang-orang sedang kelaparan
Kau pun kerap diminta mati tiba-tiba
dan kau mau,
Memberanikan bunuh diri gantung kaki
Menyaksikan kemenangan semu
Atas kegagalan diri sendiri

Ah, malam terlalu pandai berbohong
Hingga pagi-pagi sekali
kau baru mau gantung diri
Dihadapan meraka
Kau minta menyanyikan sayonara
Video doa-doa diputar
Kau gagal menjadi diri paling beriman

Kendal, September 2016


Takdir Tubuh

Inilah takdir tubuhmu
yang sering dilupakan
Kemarau panjang tak habis hilang
Tak bisa berterus terang

Seperti apa langit
Ujung yang dirindukan
Sebab, dulu sering dipisahkan
Bahwa tak ada yang lahir selamanya
Begitu pula tak ada
yang tak hidup sementara

Tubuh-tubuh bergelimpangan
menjadi mesin,
Menelusuri jalan-jalan
Menutup pintu
Menghentikan udara
Semua binasa di hadapan takdir
dan duka-duka dirindukan
masa lalu keabadiannya

Kendal, September 2016


Dukuh

Jusru sebaliknya,
Wanglu Krajan belum punah
Lihatlah, kebiasaan mulia
dibangun di tepi sungai
Anak-anak menyanyikan lagu
tentang ibu-ibunya yang lupa mandi

Lihatlah, demi mereka
yang memburu pagi
Wanglu Krajan tetap bertahan
meskipun gempuran generasi baru
dan zaman yang terus bergerak
dokumentasi tubuh-tubuh tergeletak

Keadaan berguguran
tak seperti dulu,
sebelum orang-orang sibuk
Memotret ketelanjangan diri sendiri

Kendal, September 2016