Manusia yang sehat adalah manusia yang mau berpikir dan memikirkan. Berpikir untuk menang dan memikirkan agar yang lain tidak kalah. (SNA)
Rabu, 22 Februari 2017
Senin, 13 Februari 2017
Jumat, 10 Februari 2017
Puisi Setia Naka Andrian (Majalah Basis, 1 Februari 2017)
Seburuk apa mimpi yang kita rindukan
Tidur yang belum pulas
Atau terjaga yang tak kunjung reda
dihabisi kelaparan paling sesak di dada
Seburuk apa mimpi yang kita rindukan
Ranjang yang dihakimi
Atau kursi-kursi mangkrak
yang menunggu kehancuran
Seburuk apa rindu yang kita impikan
Mata kita terlanjur panas
Menyisakan obat nyamuk,
kopi, dan ketela bakar
Kita tak berdaya
Dihujani televisi dan koran-koran
Mereka memerahkan telinga
Memberitakan diri sendiri
Memproduksi kematian tubuh sendiri
Kendal, September 2016
Kamis, 02 Februari 2017
Aroma Tubuh, Erotisme, dan Identitas (Wawasan, 2 Februari 2017)
Aroma Tubuh, Erotisme, dan Identitas
Oleh Setia
Naka Andrian
Sarasehan
yang digagas Subur L. Wardoyo, Nur Hidayat, serta teman-teman Himpunan Sarjana
Kesusastraan Indonesia (HISKI) Universitas PGRI Semarang dengan tajuk Perempuan, Budaya Pop, dan Erotisme pada
21 Januari 2017 di Rumah Makan Chanadia Jalan Erlangga Semarang, memantik
hadirin untuk lebih jauh meriwayatkan keberadaan bau (aroma tubuh perempuan)
sebagai identitas dan kekayaan masyarakat kita.
Aroma
tubuh, khususnya bagi perempuan, tentu kerap menjadi perhitungan panjang.
Seorang perempuan tak akan begitu saja “melepas” tubuhnya di lingkungan
masyarakat. Pasti akan dipersiapkan penampilannya, terutama pada sisi aroma
tubuh. Barangkali jika penampilan sudah dipersiapkan baik-baik, sosoknya sudah
cantik, namun jika urusan bau masih belum selesai, dan masih menyemburkan bau
tak sedap, maka runtuhlah “harga” diri seorang perempuan itu.
Yang
pasti, ilustrasi tersebut kerap hanyalah menjadi persoalan bagi perempuan
semata. Terkait obrolan yang berjalan, di antara peserta diskusi ada yang menyampaikan
bahwasanya seorang lagi-lagi tak selamanya selalu menuntut aroma sedap dari
tubuh perempuannya. Jika semua itu sebatas tempelan, yang hanya diperoleh dari
semprotan parfum atau deodoran yang diguyurkan di sekujur tubuhnya. Tak sedikit
laki-laki yang mengatakan, bahwa mereka masih sangat merindukan aroma alami
dari pasangannya atau perempuan yang diidamkannya.
Disampaikan
oleh Subur, bahwa body chemistry akan
menentukan seorang perempuan dan laki-laki saling terangsang. Pada posisi tertentu
seorang laki-laki, misalnya, akan lebih memilih pasangannya dengan tanpa
menggunakan aroma parfum. Ia lebih menghendaki pasangannya menyemburkan aroma
tubuh yang alami. Biar pun selepas beraktivitas, berolahraga, dan berkeringat,
namun sang laki-laki justru semakin berhasrat.
Di
antara perempuan dan laki-laki itu, akan timbul reaksi alamiah yang kemudian
berlanjut pada ruang-ruang pergerakan jasmani. Terutama pada laku spontan dari
organ jasmaniah, seperti dari otak, jantung, otot-otot yang terpicu oleh
rangsangan dari indra penciuman kita. Kemudian, segala itu akan kita yakini
sebagai sebuah kecocokan, merasa berjodoh dan klik.
Barang
tentu sangat kita lihat, dan sangat kita yakini, seorang perempuan justru
cenderung akan menutupi bau badannya dengan pemenuhan aneka parfum pilihan yang
dibelinya dengan harga yang begitu mahal. Kali pertama yang dilakukan selepas
ia mengenakan pakaian, tentulah menyemprot sekujur pakainnya dengan aroma
parfum tertentu. Segala itu, tak lain hanya demi sebuah kesan yang hendak ia sajikan
kepada pasangannya (lawan jenis). Dengan harapan, akan terjalin sebuah
pertemuan, perbincangan, dan hubungan yang hangat.
Perihal
bau, yang awalnya kita percaya sebagai segala sesuatu yang keluar dari apa saja
yang dapat ditangkap oleh indra penciuman kita, seperti bau anyir, harum, busuk.
Maka kini, riwayat bau (aroma tubuh) tidak selesai atau berhenti begitu saja. Misalnya,
peserta diskusi lain, Nanda Goeltom, salah seorang pria kelahiran Batak, turut
serta mengisahkan perjumpaannya dengan bau. Ia menjelaskan bagaimana bau telah
menjadi warisan dari leluhur kita.
Dalam
obrolan yang berlangsung, bau yang ternyata sudah menjadi bagian dari identitas
masyarakat kita, sejak dahulu kala. Orang Batak misalnya, akan sangat hafal
dengan bau orang Madura, begitu pula sebaliknya. Di antara mereka akan sanggup
mengenali, hanya berdasar pada bau yang ia terima melalui indra penciumnya.
Seolah-olah, bau mengambil posisi yang melampaui dari tubuh yang memproduksi
bau itu sendiri.
Selanjutnya,
bau pun menjadi penanda keberadaan atau identitas tersendiri bagi sebuah
kota/daerah tertentu. Bau atau aroma masakan misalnya, ditebarkan begitu rupa,
disebar setinggi-tinggi ke udara. Dengan harapan, pada waktu-waktu tertentu
saat aroma masakan itu dihadirkan, pada saat-saat yang menunjukkan waktu makan
pagi, makan siang, atau makan malam, masyarakat akan mengetahui, bahwa ini
sudah waktunya untuk makan. Waktunya untuk menepi, beristirahat sejenak, dan
menikmati hidangan makanan.
Tentu,
segala itu menggiring godaan tersendiri bagi masyarakat kita. Khususnya bagi
yang sedang bepergian. Di tepi jalan, tak jarang warung-warung makan yang
menggunakan metode aroma masakan untuk menarik minat pelanggan. Tak jarang di
antara mereka mengudarakan aroma-aroma masakan khas kota/daerahnya. Sehingga,
selain bernalar untuk berdagang, mereka juga punya tanggung jawab dalam usaha
memanjangkan riwayat kota/daerah. Menjunjung tinggi identitas kota melalui
pertahanan dan tawaran dalam godaan aroma-aroma masakan.
Bahkan
kita ketahui bagaimana masyarakat lampau, sebelum ditemukan Global Positioning System (GPS) sebagai
sistem navigasi berbasis satelit yang kerap menemani kita dalam setiap
perjalanan, masyarakat kita saat itu akan mengetahui dan mengenal
wilayah-wilayah tertentu hanya dengan bau (aroma). Kepekaan indra masyarakat
kita saat itu akan benar-benar diuji. Saat mencium bau ikan-ikan asin, tentu
kita yakin telah berada di wilayah pesisir pantai. Selanjutnya pada kota atau
daerah lain pastinya meriwayatkan pula hal serupa.***
─Setia Naka
Andrian, lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di
Universitas PGRI Semarang. Bukunya yang telah terbit, “Perayaan Laut” (2016)
dan “Remang-Remang Kontemplasi” (2016). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan
buku puisi “Manusia Alarm”.
Minggu, 29 Januari 2017
Puisi Setia Naka Andrian (Media Indonesia, 29 Januari 2017)
Sejarah Keyakinan
Ia muncul di pagi hari
Semenjak setahun lalu resmi cuti
Dari perhelatan panjang
Datang seorang diri
di antara noda dan duka-duka
Ia yang sering mati dalam kemenangannya
Dari banyak kisah-kisah yang diputar
Dari pasukan berkuda
Hingga pemahat arca
yang kerap dilupakan senjata
Ia lah takdir yang berpura-pura
Ia lupakan diri dan siapa seharusnya umat nista
Rumah ini, satu-satunya saksi yang tiada dosa
Selagi masih diam
Mereka akan sama-sama dipenjara
Doa-doa yang belum berakhir
Masih menggiring mereka
Menuju jalan pelarian,
Sekali lagi, sekali lagi
Hingga semuanya lupa
jika sudah tak bernyawa lagi
Kendal, September 2016
Gagal Beriman
Kau yang baru saja pulang
Katamu, kau baru saja
melarikan diri
Dari rombongan umat
yang sering dihujani banyak mimpi
Kau selalu merasa terlambat
Pulang ketika orang-orang sedang kelaparan
Kau pun kerap diminta mati tiba-tiba
dan kau mau,
Memberanikan bunuh diri gantung kaki
Menyaksikan kemenangan semu
Atas kegagalan diri sendiri
Ah, malam terlalu pandai berbohong
Hingga pagi-pagi sekali
kau baru mau gantung diri
Dihadapan meraka
Kau minta menyanyikan sayonara
Video doa-doa diputar
Kau gagal menjadi diri paling beriman
Kendal, September 2016
Takdir Tubuh
Inilah
takdir tubuhmu
yang
sering dilupakan
Kemarau
panjang tak habis hilang
Tak
bisa berterus terang
Seperti
apa langit
Ujung
yang dirindukan
Sebab,
dulu sering dipisahkan
Bahwa
tak ada yang lahir selamanya
Begitu
pula tak ada
yang
tak hidup sementara
Tubuh-tubuh
bergelimpangan
menjadi
mesin,
Menelusuri
jalan-jalan
Menutup
pintu
Menghentikan
udara
Semua
binasa di hadapan takdir
dan
duka-duka dirindukan
masa
lalu keabadiannya
Kendal, September 2016
Dukuh
Jusru
sebaliknya,
Wanglu
Krajan belum punah
Lihatlah,
kebiasaan mulia
dibangun
di tepi sungai
Anak-anak
menyanyikan lagu
tentang
ibu-ibunya yang lupa mandi
Lihatlah,
demi mereka
yang
memburu pagi
Wanglu
Krajan tetap bertahan
meskipun
gempuran generasi baru
dan
zaman yang terus bergerak
dokumentasi
tubuh-tubuh tergeletak
Keadaan
berguguran
tak
seperti dulu,
sebelum
orang-orang sibuk
Memotret
ketelanjangan diri sendiri
Kendal, September 2016
Tubagus dan Eksistensi Pecinan Semarang (Jawa Pos, 29 Januari 2017)
Tubagus dan Eksistensi Pecinan Semarang
Oleh Setia
Naka Andrian
Judul Buku : Pecinan Semarang dan Dar-Der-Dor Kota
Penulis : Tubagus P. Svarajati
Penerbit : Bukusaya
Cetakan : Agustus 2016
Jumlah Halaman : xxv + 260 halaman
ISBN :
978-602-9682-65-6
Lewat esai-esainya, Tubagus P. Svarajati lugas
dalam berpendapat terkait dengan riwayat dan masa depan Pecinan Semarang.
Cobalah
menyusuri Semarang saat menyambut Imlek. Antusiasme itu sangat terasa di sudut
pecinan ibu kota Jawa Tengah tersebut.
Mulai
Wotgandul, Gang Baru, Gang Pinggir, sampai Gang Lombok. Pasar Imlek Semawis
ke-14 juga digelar di Semarang pada tahun Ayam Api ini.
Semarang
memang memiliki etnis Tionghoa yang cukup banyak. Kelentengnya saja mencapai
puluhan, persisnya 70.
Dan,
berbicara pecinan di Semarang tentu tak lepas dari sosok Tubagus P.
Svarajati. Ia dianggap sosok paling representatif dalam memberikan pandangan
tentang keberadaan dan arus gerak seni-budaya pecinan
di Semarang.
Dalam bukunya, Pecinan Semarang dan
Dar-Der-Dor Kota (2016), melalui esai-esainya yang terbagi menjadi empat, yakni pecinan,
kota, seni, dan tokoh, Tubagus menyinggung mengenai segala sesuatu yang terkait
dengan pengembangan/penataan kawasan.
Terutama
tentang kesenian dan seni rupa di Semarang. Khususnya dalam lingkup ruang gerak
di kawasan Pecinan.
Melalui
buku ini atau jika siapa saja yang sempat bersinggungan dan dihadapkan langsung
pada sosok Tubagus, pasti akan muncul pandangan bahwa orang ini nyinyir dan
sinis. Namun, Tubagus kerap diakui berbagai kalangan sebagai orang yang lugas
dalam setiap berpendapat terkait riwayat dan masa depan pecinan di Semarang.
Kejernihan pun selalu ia torehkan dalam esai-esainya di buku ini.
Tubagus
menggarap berbagai hal yang timbul dan berkembang dari masyarakat Pecinan
Semarang. Gagasan dan ktitik pedasnya ia kelola apik atas kerusakan lingkungan,
transportasi, turisme, gerak kesenian dan sastra (folklore). Pada salah satu
esainya yang bertiti mangsa 2012, Tubagus berpendapat bahwasanya merancang
pembangunan kawasan pecinan perlu dipikirkan. Sebagai destinasi wisata terpadu
agar terhindar dari ekses-ekses yang merugikan.
Karena
itu, semuanya harus terorganisasi dengan baik. Pihak pengelola yang kerap
mengaku sebagai representasi warga Pecinan Semarang pun tak boleh hanya terfokus
pada sisi komersial.
Ia
berharap, dalam segala pengelolaan warga dan tata wilayah, harus jelas bagaimana
konsepnya. Misalnya, dalam tataran konsep turisme. Harus jelas akan seperti apa
yang hendak dipraktikkan dan dijalankan.
Ada
tidak dampak positif bagi warga. Bagi Tubagus, setiap bangunan kebijakan yang
menyangkut warga haruslah dapat meluaskan lapangan kerja, meningkatkan devisa,
dan memeratakan pembangunan antarwilayah.
Tentu,
yang paling utama adalah masyarakat lokal harus terlibat langsung dalam segenap
perencanaan dan pengelolaan. Dan, warga benar-benar mengakui sebagai penikmat
pertama.
Buku
ini juga memuat surat terbuka yang ditulis Tubagus untuk wali kota Semarang, Gonjang-Ganjing Pecinan Semarang (hlm.
77). Ia lontarkan catatan atas apa yang terjadi dan tentu ia berikan pula
bagaimana rekomendasinya.
Disebutkan
bahwasanya Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi Semawis) bukan
wakil atau representasi warga Pecinan Semarang. Rekomendasinya, bilamana Kopi
semawis tetap hendak berkiprah dan hendak memenuhi janjinya perihal “Revitalisasi
Pecinan Semarang”, mereka harus melakukan riset yang memadahi.
Segala
hal itu berkaitan erat dengan situs-situs warisan budaya (heritage) yang bermekaran. Tubagus beranggapan, peran pemerintah
atau lembaga apa pun di luarnya hanyalah sebagai akselerator.
Gerakan
serupa itu lazim disebut sebagai aksi masyarakat madani (civil society). Tujuannya, kelak orang-orang dalam kota atau yang dari
luar mengenal (penuh) Pecican sebagai pusat kebudayaan, terutama di Semarang.
Kebinekaan yang diimpikan pun pelan-pelan tak hanya utopis.***
─Setia
Naka Andrian, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI
Semarang. Menulis buku “Perayaan Laut” (April 2016), Remang-Remang Kontemplasi
(2016).
Langganan:
Postingan (Atom)