Rabu, 18 Januari 2017

Narasi 'Miring' Pendidikan Kita (Wawasan, 18 Januari 2017)

Narasi ‘Miring’ Pendidikan Kita
Oleh Setia Naka Andrian

Lagi-lagi ada kasus yang mencoreng pendidikan kita. Sepertinya tidak pernah ada henti-hentinya persoalan menyelimuti pendidikan kita. Jika tidak persoalan dari dalam, ada masalah terkait kekerasan terhadap siswa yang dilakukan guru,  dan yang dilakukan wali murid terhadap guru. Selanjutnya baru-baru ini masih ada saja didapati hukuman fisik terhadap siswa kita. Mereka terlambat masuk sekolah, lalu diberi hukuman fisik di bawah guyuran hujan deras. Akhirnya membuat mereka tumbang pingsan dan harus menjalani perawatan di puskesmas dan rumah sakit.
Melihat kasus tersebut, tentu masyarakat kita tidak akan terima alasan apa pun dari pihak sekolah. Kasus ini, tentu menjadi tambahan untuk deretan persoalan pendidikan kita. Bagaimana akan maju dan berkualitas sesuai cita-cita pendidikan nasional kita, jika masih saja ada hambatan-hambatan. Pastinya segala hal yang merugikan bagi siswa, guru, sekolah, bahkan bagi masa depan pendidikan kita.
Apa pun alasannya, segala bentuk kekerasan, baik verbal maupun fisik, tak seharusnya dilakukan oleh pengelola sekolah. Sekolah yang tentunya diidamkan bagi siswa sebagai tempat menuntut ilmu, bersosialisasi, berproses kreatif, menemukan jati diri, dan tentu sebagai ruang menjalani proses pendewasaan. Namun, jika masih saja ada suatu hal yang seperti kasus tindak kekerasan di sekolah tersebut. Maka, pendidikan di benak anak didik kita akan menjadi tempat yang membosankan, keras, dan menakutkan.

Butuh Pendidikan Ideal
Masyarakat kita, orangtua murid, barang tentu anak didik kita, sangat butuh pendidikan yang ideal. Seperti halnya yang dicatat Sutari Imam Barnadib (1983), bahwasanya Ki Hajar Dewantara dalam Taman Siswa selalu menitik-beratkan pendidikan yang bertumpu pada pertumbuhan anak didik secara harmonis.
Pendidikan kecerdasan, pikiran, kesusilaan, keindahan, dan keluhuran budi pekerti. Tidak lupa pula terkait pertumbuhan dan perkembangan jasmani. Juga pekerjaan tangan (keterampilan) mendapatkan perhatian, termasuk pendidikan kesenian yang mendapat perhatian istimewa, di antaranya seni suara, seni tari, seni lukis, seni sastra. Meskipun, segala itu perlu penggenjotan terus-menerus.
Laku harmonis dalam pendidikan, keselarasan dalam mensukseskan rencana dan cita-cita pendidikan, tentu yang utama menjadi tanggung jawab bagi pengelola sekolah. Lebih-lebih bagi nakhoda sekolah, yang tentu bertugas memegang komando tertinggi di atas kapal pelayaran pendidikan.
Kita semua pasti juga telah sadar. Masyarakat kita sadar. Bagaimana kondisi anak didik kita sekarang ini. Pola pikir dan segenap pemahamannya tentu berbeda dengan masa-masa anak didik yang hidup pada era 1980 atau 1990. Anak didik kita saat ini seakan merasa telah memiliki banyak pilihan. Segalanya seakan telah terpenuhi, dan dengan mudah mereka peroleh. Apa lagi era cyber seperti sekarang ini. Interaksi mereka terhadap teman sepergaulan, komunitas anak muda, bahkan terhadap dunia luar, segalanya dapat ditempuh hanya dalam hitungan detik.
Informasi tumbuh dan berlangsung dengan begitu cepat. Tentu, segala itu membuat anak didik kita seakan kehilangan kendali, jika memang misalnya, lingkungan tertentu kurang berpihak atau mungkin kurang menyenangkan baginya. Maka selanjutnya, anak didik kita akan mengambil keputusan tanpa berpikir panjang. Tidak peduli yang dilakukannya berdampak positif atau negatif.

Memberi "Nilai Lain"
Terkait berderet penggambaran tersebut, sekolah yang dalam hal ini sebagai ruang berproses bagi anak didik kita. Maka, haruslah berupaya atau bahkan harus mampu menciptakan segala yang dibutuhkan anak, agar sekolah mendadi ruang menjalani proses pendidikan yang harmonis tadi.
Paling tidak, kepala sekolah sebagai nakhoda harus memberikan contoh positif. Mampu memberikan kebijakan atas tawaran yang menarik terhadap anak-anak didiknya. Harus sanggup memberikan ‘nilai’ lain, selain proses mengguyur materi pelajaran semata. Sekolah harus memompa penciptaan godaan bagi anak didiknya. Misalnya yang sempat disinggung tadi, terkait penyediaan ekstrakurikuler jasmani dan kesehatan (olahraga), kesenian, atau keistimewaan dukungan terhadap beragam kegiatan positif lainnya.
Setidaknya, godaan tersebut akan menjadi rangsangan lain, agar siswa merasa betah berproses di sekolah. Dengan adanya kegiatan-kegiatan tersebut, paling tidak akan mengurangi aktivitas mereka di luar sekolah yang kiranya tidak bermanfaat. Kali ini, sekolah perlu mempertimbangkan iklim kegiatan positif bagi segenap anak didik dengan berbagai perlakuan istimewanya. Bukan malah membatasi atau malah melarang mereka. Maka yang berkembang saat ini, sekolah-sekolah sudah mulai berlomba-lomba dalam memberikan godaan atas penyediaan ekstrakurikulernya. Baik ekstra olahraga, kesenian, maupun tawaran aktivitas positif lainnya.***


─Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Bukunya yang telah terbit, “Perayaan Laut” (2016) dan “Remang-Remang Kontemplasi” (2016). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan buku puisi “Manusia Alarm”.

Selasa, 10 Januari 2017

Narasi Bus Masyarakat Kita (Wawasan, 10 Januari 2017)

Narasi Bus Masyarakat Kita
Oleh Setia Naka Andrian

Kita tentu paham, transportasi umum di negeri ini tentu masih meriwayatkan berderet persoalan yang belum kunjung selesai. Terutama di Semarang. Meskipun Pemerintah Kota (Pemkot) telah menciptakan Bus Rapid Transit (BRT) Trans Semarang dengan patokan tarif yang begitu murah, sekali jalan hanya dengan biaya umum Rp 3.500, dan pelajar hanya Rp 1.000. Namun masih saja menyisakan pekerjaan rumah yang dilontarkan masyarakat. Misalnya saja terkait kenyamanan, ketersediaan bus, serta jalur operasi.
Wali Kota Semarang, Hendar Prihadi (Radar Semarang, Minggu, 8/1) mengungkapkan bahwa pihaknya terinspirasi atas peristiwa ‘Om Telolet Om’ untuk menarik minat masyarakat agar beralih ke transportasi umum. Momen tersebut dimanfaatkan Pemkot dengan meluncurkan armada baru. Godaan diberikan dengan sebanyak 20 armadanya dilengkapi dengan klakson telolet. Akan diluncurkan pada Kamis (12/1) untuk Koridor I Mangkang - Penggaron. Selanjutnya, pada bulan Februari 2017, akan diluncurkan armada Koridor V PRPP – Dinar Mas, dan Koridor VI Undip – Unnes.
Upaya penambahan armada bus BRT serta perbaikan lainnya yang dilakukan Pemkot Semarang, tentu menjadi jalan tersendiri dalam rangka pemenuhan alat transportasi umum yang memadahi. Hal tersebut tentu menjadi godaan tersendiri dan akan membentuk mental masyarakat kita untuk lebih menggemari angkutan umum daripada menggunakan kendaraan pribadi. Paling tidak, upaya tersebut akan sedikit mengurangi beragam persoalan lalu lintas, termasuk kecelakaan dan kemacetan di jalan raya.
Jika kita simak saat ini, kemacetan yang menggila sudah tidak lagi menjadi milik ibukota semata. Angka kecelakaan lalu lintas pun tiap tahun selalu meningkat. Kota-kota lain seperti Semarang, kini turut serta meramaikan persoalan tersebut. Barang tentu, kecelakaan, kemacetan, hingga kontak emosi bagi para pengguna jalan itu sebagian besar disebabkan karena kepadatan arus kendaraan.

Tak Percaya Angkutan Umum
Selama ini, masyarakat kita seakan tidak lagi percaya dengan keberadaan transportasi/angkutan umum. Mereka berdalih, bahwa dengan menggunakan angkutan umum, perjalanan mereka akan lebih lambat untuk sampai tujuan. Lebih lagi, perihal penyelenggara jasa angkutan umum yang dinilai kerap kurang berpihak kepada masyarakat kita. Serupa dengan sepenggal pengisahan God Bless dalam lagunya Bis Kota berikut.
Kulari mengejar laju bis kota. Belomba-lomba saling berebutan. Tuk sekedar, mendapat tempat di sana. Kucari dan terus kucari-cari. Namun semua kursi telah terisi dan akhirnya aku pun harus berdiri. Bercampur dengan peluh semua orang. Dan bermacam aroma bikin kupusing kepala. Serba salah, nafasku terasa sesak. Berimpitan berdesakan, bergantungan. Memang susah, jadi orang yang tak punya. Kemanapun naik bis kota.
Dalam lagu tersebut, begitu jelas bagaimana bus kota diriwayatkan. Berebut bus kota, kursi penuh, serta bermacam aroma keringat yang membuat udara pengap. Hingga ditegaskan, dengan terpaksa bus kota akhirnya hanya diminati orang-orang tak punya saja. Dikisahkan oleh /rif, dalam pengisahan serupa, bus kota hanya dinikmati bagi orang tak punya saja, Salah Jurusan. Tapi sayang uangku tak cukup. Hanya cukup untuk bayar bis. Tapi sayang uangku tak cukup. Hanya cukup untuk bayar bis kota. Ku terjepit dalam bis. Yang telah penuh beraneka aroma.
Lagu berjudul Bis Kota yang dipopulerkan Franky Sahilatua pun memberikan ruang pengisahan serupa mengenai bus kota. Berikut syairnya, Berjalan di bawah lorong pertokoan. Di Surabaya yang panas. Debu-debu ramai beterbangan. Di hempas oleh bis kota. Bis kota sudah miring ke kiri. Oleh sesaknya penumpang. Aku terjepit disela-sela ketiak para penumpang yang bergantungan. Bis kota sudah miring ke kiri. Oleh sesaknya penumpang. Aku terjepit disela-sela ketiak para penumpang yang bergantungan. Berjalan di bawah lorong pertokoan. Di Surabaya yang panas. Debu-debu ramai beterbangan dihempas oleh bis kota.
Belum lagi yang dikisahkan Slank dalam lagunya berjudul BMW. Kemacetan, kesumpekan, menjadi santapan masyarakat kita. Berikut penggalan syairnya, Kebenaran mau rekaman di Jack Sound. Naik bis dari Potlot ke Pluit. Jalanan berantakan, semberautan. Agak sumpek, macet... Sore hari capek habis rekaman. Naik taksi dari Pluit ke potlot. Biar cepat terpaksa lewat jalan tol. Tetap aje (uughhh) macet...
Beberapa lagu tersebut, setidaknya telah mewakili seabrek riwayat persoalan transportasi umum kita. Bus sebagai salah satu angkutan umum yang sesungguhnya diidamkan masyarakat kita. Namun karena angkutan umum kita banyak menyisakan persoalan, akhirnya mereka lebih memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi.

Mengakar Lama
Walaupun sesungguhnya, narasi bus sudah begitu lama mengakar di benak masyarakat kita. Jika kita tengok, misalnya saja pada anak-anak muda (remaja) sejak era 60-an, mereka telah menggemari dan begitu akrab dengan narasi tentang bus. Hingga mereka tergiring melalui pengisahan syair Koes Plus dalam lagu Bis Sekolah, dalam penggalan berikut. Bila ku pergi bersama kekasihku. Ku kan merasa gembira riang slalu. Bila menunggu sendiri. Sendiri hatiku sunyi. Dan hatiku kan bernyanyi. Bernyanyi lagu sepi. Bis sekolah yang kutungu. Kutunggu tiada yang datang. Ku telah lelah berdiri. Berdiri menanti nanti.
Narasi tentang bus bagi masyarakat kita, tentu telah meriwayatkan banyak hal. Dari mulai kritik terhadap gerak roda transportasi, fenomena telolet yang menggila, upaya pemerintah dalam menanggapinya, hingga pada wilayah keindonesiaan. Barang tentu, cerminan masyarakat kita akan begitu nampak ketika berada di bus. Misalnya saja, bagaimana penyikapan ‘kelelakian’ atau ‘kepemudaan’ masyarakat kita. Bagaimana laku kita ketika melihat ada penumpang lain yang berjenis kelamin perempuan, ibu-ibu yang menggendong anak, orang cacat, atau bahkan bagi penumpang yang lebih tua. Kita akan tetap diam saja, pura-pura baca buku, pura-pura memejam (mengantuk), atau kita relakan tempat duduk kita untuk mereka. Walaupun sudah pasti, banyak tempelan di bus yang mengingatkan kita.***


─Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Buku puisinya “Perayaan Laut” (April 2016). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan buku puisi keduanya “Manusia Alarm”.

Selasa, 03 Januari 2017

Remang-Remang Kontemplasi

Ada salah seorang teman bertanya kepada saya, "Kenapa kamu menulis?" Saya jawab, "Karena saya bodoh." Lalu ia bertanya lagi, "Kenapa bodoh, buktinya kau bisa menulis banyak hingga terkumpul menjadi buku?" Saya jawab lagi, "Karena bibir saya terbatas, ingatan saya terbatas, tenaga saya pula, usia saya tentu juga terbatas. Dengan tulisan, dengan karya, segala itu setidaknya akan lebih memanjang."
Pembicaraan kami pun terhenti. Kami sama-sama menyeruput kopi. Saya menghela napas, dalam batin, "Paling tidak, selain kebodohan-kebodohan dan dosa-dosa, ada karya-karya yang ditinggalkan di dunia ini."
Ini kabar kecil, dalam waktu dekat ini, jika tidak akhir bulan Januari ya awal bulan Februari. Saat-saat kalau tidak salah mendekati momen-momen hari kelahiran saya. Maka, buku "Remang-Remang Kontemplasi" ini, kali pertama akan diobrolkan di Teras Budaya Prof. Mudjahirin Thohir Sabranglor Kaliwungu Kendal yang akan diselenggarakan oleh Pelataran Sastra Kaliwungu. Terkait waktu penyelenggaraan yang pasti, dan siapa saja yang akan didapuk menjadi pemantik obrolan, nanti segera akan diunggah.
Monggo, bagi siapa saja yang berminat hadir, bisa meluangkan sejenak waktunya untuk berjabat sapa dengan kami. Jika berminat dengan buku setebal 250 halaman, berisi tiga bagian: seni budaya, sastra, dan pendidikan, yang hendak diobrolkan ini, silakan bisa inbox, atau sms/wa 085641010277. Harga buku 35 ribu. Terima kasih. Salam.

Rabu, 14 Desember 2016

Menimbang (Ketiadaan) UN (Wawasan, 14 Desember 2016)

Menimbang (Ketiadaan) Ujian Nasional
Oleh Setia Naka Andrian

Saya masih ingat betul, betapa ketakutannya diri saya ini ketika kali pertama hendak menghadapi Ujian Nasional (UN). Yakni pada jenjang pendidikan dasar (SD), saat itu masih disebut Evaluasi Belajar Tahap Nasional (Ebtanas) tahun 2001.  Barangtentu hal itu sangat dirasakan pula oleh siswa saat ini. Jika kita runut beberapa istilah ujian tersebut, di antaranya Ujian Negara (1965-1971), Ujian Sekolah (1972-1979), Evaluasi Belajar Tahap Nasional (1980-2002), Ujian Akhir Nasional (2003-2004), dan Ujian Nasional (2005-sekarang).
Dalam perjalanan panjangnya, deretan ujian tersebut menjadi riwayat momok yang tiada terkira bagi siswa kita. Ujian menjadi sebuah titik akhir yang diyakini sebagai jalan penting. Jalan sangat akhir dan satu-satunya. Seolah proses-proses sebelumnya dan proses lainnya tidak begitu berarti jika sudah hendak berhadapan dengan UN. Mata pelajaran (mapel) lain yang tidak diujikan nasional pun menjadi terabaikan, tidak diajarkan dengan sebagai manamestinya seperti mapel nasional tersebut. Jika saya kala itu hendak UN pada jenjang SD, ya hanya Matematika, bahasa Indonesia, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) saja yang diguyur mati-matian oleh guru kelas saya.
Bahkan, saya ingat betul kala itu. Dari mulai SD hingga SMA, kerap kali pada semester akhir menjelang ujian, segenap siswa diguyur mati-matian untuk menyuntuki mata pelajaran (mapel) yang akan diujikan nasional. Maka tentu, mapel yang tidak diujikan nasional kerap kali dirampas waktunya. Misalnya pada mapel yang dinilai sangat sulit semacam matematika, pagi merampas jam mapel lain, dan siangnya masih ada tambahan jam pelajaran lagi. Bahkan sempat pula, pagi hari ada tambahan jam pelajaran pula sebelum waktu masuk kelas pada jam pelajaran yang semestinya.
Bayangkan, pengisahan tersebut sungguh sangat mengerikan. Tentu hal serupa masih terjadi hingga saat ini. UN menjadi ujian akhir yang menyeramkan. Lebih-lebih, pada masa saya kala itu, tidak ada ujian ulang. Jika tidak lulus ya sudah. Akan mengulang sekolah pada jalur kejar paket, di antaranya Kejar Paket A (SD), Kejar Paket B (SMP), dan Kejar Paket C (SMA). Itu bagi saya sangat mengerikan. Semester akhir menjelang ujian, saya sangat kehilangan waktu bermain. Begitu pula kehilangan waktu untuk sekolah diniah (madrasah) yang biasa dijalankan pada siang hingga sore hari. Lalu malamnya pun, saya juga kehilangan waktu untuk mengaji kepada kiai di kampung halaman. Semua tersita untuk mempersiapkan ujian.
Orangtua pun tentu tak berani mengganggu. Segala aktivitas yang seharusnya dilakukan semacam mencuci baju, membersihkan kamar, semua tidak diperintahkan kepada saya. Sungguh, segalanya begitu menyeramkan. Jika saya ingat kembali masa itu, saya rasa begitu tragis. Seakan UN menjadi penentu utama dan sama sekali tidak ada lainnya. Sebagai tolok ukur utama, dan sangat menutup penilaian lainnya.
Hingga akhir-akhir ini begitu ramai diperbincangkan mengenai moratorium UN. Berhari-hari bergulir menjadi diskusi publik yang bergelimang seakan tiada hentinya. Segenap pemangu kepentingan pendidikan, praktisi, politikus, bahkan hingga Presiden Jokowi turut andil dalam persoalan yang sebenarnya sudah menjadi penyakit tahunan bagi dunia pendidikan kita.
Tidak sedikit pihak pun, menginginkan agar dilaksanakan penghentian pelaksanaan UN. Wacana yang digulirkan Mendikbud Muhadjir Effendy ini, sekan hanya menungu ketuk palu peraturan presiden tentang penghentiannya. Namun, tentu segala ini harus benar-benar ditimbang dengan baik. Jangan sampai segala ini hanya akan menjadi tindakan-tindakan yang terkesan gegabah. Jangan sampai pula, segala ini akan dinilaimasyarakat sebagai penyakit lama, yakni pemerintahan (menteri) baru maka hadir pula kebijakan baru. Menteri baru, maka bergulirlah kurikulum baru.
Tentu masyarakat kita sudah sangat pandai. Masyarakat sudah mampu menilai. Tentu kita semua juga sangat paham, setiap orang (pemimpin) memiliki caranya masing-masing untuk memajukan bangsa dan negara ini. Barangtentu, segala itu ada baik dan buruknya. Ada pula kekurangan dan kelebihannya. Maka, barangtentu yang terpenting adalah segala yang diputusan itu sudah menjadi keharusan yang memang sudah melalui pertimbangan dan riset yang matang. UN hilang bagus, diganti dengan evaluasi lain, tentu bagus. Asal tepat dan sesuai dengan kebutuhan serta tetappada jalur tujuan pendidikan kita.
Seperti halnya misalnya jika benar jadi, UN tingkat dasar dan menengah dikelola pemerintah daerah, lalu UN tingkat atas dikelola pemerintah provinsi, misalnya. Segala itu butuh persiapan yang matang. Pmerintah harus mempersiapkan siapa saja yang akan membuat soal di tingkat daerah dan provinsi terebut. Sudah layak atau belum para pembuat soal tersebut. Jika belum, bagaimana solusinya.
Lalu tetap harus pula mengantisipasi kecurangan-kecurangannya. Tingkat nasional saja banyak ditemui kasus, bagaimana lagi jika tingkat dan provinsi yang ruang lingkupnya lebih kecil. Seperti itu kiranya. Yang pasti, ujian harus tetap ada. Entah bentuknya seperti apa. Karena jika sampai tidak ada ujian, bisa jadi siswa kita tidak akan pernah akan belajar sama sekali. Tentu ujian juga perlu sebagai ajang kompetisi positif, sebagai pembentuk mental petarung sejati tentunya. Semoga.


─Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Buku puisinya “Perayaan Laut” (April 2016). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan buku puisi keduanya “Manusia Alarm”.

Minggu, 23 Oktober 2016

Wakul Pustaka dan Godaan Berliterasi (Jawa Pos, 23 Oktober 2016)

Wakul Pustaka dan Godaan Berliterasi
Oleh Setia Naka Andrian

Belakangan tidak jarang dan begitu panjang diperdebatkan perihal dunia cetak dan digital. Semua seakan memberikan riwayat masing-masing yang dirasa sama-sama kuat atas dua hal tersebut.
Namun, tetap saja buku-buku cetak, koran, atau majalah cetak tetap yang masih tetap dan perlu diperjuangkan. Seperti halnya yang dilakukan oleh Komunitas Lerengmedini (KLM) Boja Kendal Jawa Tengah.
Komunitas sastra di daerah kecil di Lereng Kebun Teh Medini yang begitu intens dalam program-program mulia dalam menggerakkan denyut sastra. Dari mulai Parade Obrolan Sastra dan Kemah Sastra yang sudah digelar tahunan dengan menghadirkan tokoh-tokoh sastra maestro, di antaranya Agus Noor, Ahmad Tohari, Remy Sylado, Korrie Layun Rampan, Martin Aleida, Iman Budhi Santosa dan sederet sastrawan lain.
Mereka kerap menjalankan gerakan tersebut selama berhari-hari di Bumi Perkemahan Lereng Medini. Menyuntuki buku, pentas baca puisi, hingga obrolan-obrolan kreatif yang terus didengungkan di sana.
Itu pun belum cukup atau menghentikan kegelisahan. Mereka buktikan, akhir-akhir ini KLM tengah gencar-gencarnya menggalakkan program mulianya yang diberi nama Wakul Pustaka. Dengan niatan sederhana, kata mereka, bahwasanya manusia tidak hanya cukup memberikan asupan untuk tubuh dengan hanya mengisi perut. Namun, bacaan-bacaan pun diperlukan manusia, khususnya bacaan sastra.
Buku-buku sastra tersebut, yang berupa puisi, cerpen, dan novel akan mereka letakkan di sebuah wakul, tempat nasi yang terbuat dari anyaman bambu yang biasanya digunakan oleh warga desa.
Wakul Pustaka itu kemudian mereka tawarkan ke warung-warung makanan yang ada di Boja. Dengan begitu, para pembeli akan menyantap buku-buku sastra tersebut. Mereka bisa menikmati puisi, cerpen atau novel atau bahkan buku-buku umum lainnya sembari menunggu makanan disajikan, atau selepas menyantap makanan.
Tentu sudah sangat wajar kita temukan di warung-warung makan, bertebaran koran-koran yang setiap hari diletakkan di meja-meja. Dengan dalih, para pelanggan merasa sedikit tergoda untuk membaca berita-berita atau apa saja yang ditawarkan dalam koran.
Godaan Wakul Pustaka seolah ingin menawarkan jika bacaan umum, dan sastra pada khususnya, itu juga sangat diperlukan untuk asupan gizi bagi jiwa manusia. Barangtentu, selain buku-buku dari tokoh-tokoh sastra nasional, buku terbitan komunitas mereka pun akan ditampilkan.
Jika ternyata dalam buku-buku bacaan tersebut juga didapati penulis lokal yang ternyata dikenal oleh para pelanggan di warung, KLM pun sangat berharap dengan begitu setidaknya akan membuat masyarakat Boja tergugah untuk mengenal dunia komunitas, dunia baca, dan dunia tulis-menulis lebih lanjut.
Lebih-lebih akan semakin mengepakkan sayap KLM yang selama ini berproses di Taman Baca Masyarakat (TBM) Pondok Maos Guyub di Desa Bebengan, Kecamatan Boja, Kendal. Banyak aktivitas yang dilakukan oleh KLM di taman baca tersebut.
Misalnya, Reading Group, proses tadarus novel buku dengan pelan-pelan setiap seminggu sekali yang dilakukan bersama anak-anak seusia sekolah di lingkungan desa tersebut. Dari mulai pembacaan novel-novel sastrawan Indonesia, hingga tokoh dunia semacam Ernest Hemingway dengan karyanya The Old Man and The Sea pun sempat disuntuki di ruang taman baca kampung tersebut. Bayangkan!
Bahkan, sempat pula dilakukan penghargaan tahunan yang diberikan kepada penulis puisi, cerpen, pembaca puisi, dan beberapa pelaku kreatif lainnya yang semua berasal dari lingkungan tersebut.
Segala aktivitas itu tentu dapat dicontoh dan dapat dikembangkan di daerah-daerah lain. Tentu butuh kesadaran dan penyadaran. Baik bagi para pegiat agar siap berdarah-darah menyusun strategi gerakan. Dan, dukungan bagi siapa saja untuk turut serta meramaikan, menyuarakan, dan menjaga makna gerakan literasi tersebut. Tentu semua akan berjalan beriringan. Patut kita contoh apa yang telah dilakukan KLM tersebut.***


─Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Buku puisinya “Perayaan Laut” (April 2016). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan buku puisi keduanya “Manusia Alarm”.

Puisi Setia Naka Andrian (Media Indonesia, Minggu, 23 Oktober 2016)


(Bukan) Mantan Aktivis

aku bukan aktivis itu
yang mondar-mandir
mentereng dengan jas pekat
berisi logo-logo masa depan
bertaring dengan kancing emas
bergelantungan kenangan
dan doa-doa ayah ibu

sebagai mahasiswa
yang sering lupa jadwal pulang
mengakrabi kampung halaman

aku bukan aktivis itu
yang kerap mendengkur
di gedung-gedung megah
yang katanya diciptakan
dari keringat degub jantung
dan kepalan tangan kirimu

aku bukan aktivis itu
arjuna yang selalu sigap
menggemborkan luapan visioner
tentang masa depan pondasi sarjana
dan segala hal tentang iman
kepada roda ekonomi tetangga

sudahlah, aku bukan aktivis itu
hari-hariku hanya kemalasan, katamu
aku hanya deretan huruf
yang sering lepas
dari tombol-tombol ponselmu
setiap hari
hanya memimpikan daun-daun hijau
bermekaran di atas batu
dan sisa reruntuhan bangunan
tubuhku sendiri

lalu sekarang apa maumu
aku masih sama seperti dulu
setiap pagi hanya menjadi puisi
menjadi koran
yang kerap ditumbuhi berita mati
siang hari,
berkutat bayang-bayang kamar mandi
sore hari menakar hidup
dengan segelas kopi

lalu malamnya lagi,
aku lari darimu
yang sedang memikirkan
banyak perkara
perihal rindu dan benci
yang tumbuh
di belahan dada paling kiri

ah, itu-itu lagi,
katamu,
semua seakan berjarak
menjadi iman
yang terbenam di bak mandi
dan kau tak lagi mau menepi
menemani kesekian kalinya
untuk tidak menjadi masa lalu
yang sering aku lukai

Kendal, Oktober 2016


Sebagian yang Luput

Aku lah sebagian itu
Dari yang luput
di hidupmu
Kita sempat bakar diri

Kepada doa kita
yang sebagian lagi dipisahkan
aku mengeras
di dadamu yang leleh

Sebab sepertiga malam
hingga paginya,
Selepas tubuh-tubuh berjatuhan
Kita seperti waktu
yang beku
Diliburkan setiap kali
Orang-orang sibuk
Memilih diri sendiri

Ia seperti waktu
Menyaksikan masa lalu
yang banyak dicari
di hari paling minggu

Ia seperti pagi, dua hari lalu
kita masih disibukkan
dengan lonceng
dengan sirine
dan gambar atap rumah
yang bocor

Mereka pastikan semua
bahwa tak ada lagi bagian lain
Selain tubuh-tubuh yang tanggal

Kendal, Oktober 2016