Manusia yang sehat adalah manusia yang mau berpikir dan memikirkan. Berpikir untuk menang dan memikirkan agar yang lain tidak kalah. (SNA)
Selasa, 24 November 2015
Kematian Anak di Televisi (Koran Wawasan, 24 November 2015)
Kematian Anak di Televisi
Oleh Setia
Naka Andrian
Kita lihat sejenak, ada berapa acara televisi
yang memihak anak-anak setiap harinya. Kita dapat menyimak dalam jadwal acara
televisi di koran-koran atau internet. Seakan tidak ada lagi chanel yang cocok untuk pertumbuhan masa
kanak-kanak. Jika tidak tayangan-tayangan sinetron dengan bergelimang hedonisme
kisahnya, ada juga gosip-gosip artis, dan pentas-pentas musik dangdut dengan
syair tidak seronoknya.
Menyoal fenomena tersebut, dapat kita kaitkan
dengan peringatan Hari Anak Internasional diperingati 20 November, kemarin. Hari
yang juga diperingati sebagai hari lahirnya Konvensi Hak-hak Anak di tahun
1989. Edy Ikhsan (2003), menyatakan bahwa masyarakat dunia sekarang ini
nampaknya harus berhutang kepada Eglantynee Jebb, pendiri Save the Children Fund (lembaga swadaya masyarakat internasional
yang bekerja untuk perlindungan anak).
Jebb merawat para pengungsi anak di
Balkan, akibat Perang Dunia I. Ia membuat sebuah rancangan Piagam Anak pada
tahun 1923. Dalam ringkasan tersebut, Jebb mengembangkan gagasan mengenai
hak-hak anak. Di antaranya, anak harus dilindungi dari segala pertimbangan mengenai
ras, kebangsaan dan kepercayaan. Anak harus dipelihara dengan tetap menghargai
keutuhan keluarga. Anak juga harus disediakan sarana yang diperlukan untuk
perkembangan secara normal, baik material, moral dan spritual.
Barang tentu anak-anak semakin
kehilangan kemerdekaannya. Lalu bagaimana dengan hak-hak anak yang sempat
diperjuangkan Jebb tersebut. Terutama sajian-sajian yang dihadirkan di
televisi. Saya ingat, dulu masa kanak-kanak saya di desa, televisi menjadi
hiburan utama bersama teman-teman dan keluarga. Setiap malam sehabis mengaji,
saya menyaksikan serial yang sangat mendidik, sebut saja Wiro Sableng.
Pendekar yang fenomenal dengan senjata
kapak dan rajah di dada bertuliskan 212 memberikan banyak nilai bagi penontonnya.
Di antaranya, Wiro tak akan mungkin bisa menjadi pendekar jika tidak menuruti
perintah Sinto Gendeng, gurunya. Serial tersebut mengajarkan bahwa kita harus
menghormati guru. Kemudian, walaupun Wiro lahir sebatang kara, namun dia tetap semangat
berjuang dan mengembara hingga bisa menjadi orang berhasil (pendekar) untuk
menegakkan kebenaran di muka bumi.
Ada pula serial Lorong Waktu yang ditayangkan khusus bulan Ramadhan. Lorong Waktu
bercerita tentang seorang ustadz yang menemukan mesin yang mampu membawanya
berkelana menuju masa lalu dan masa depan. Dalam perjalanan menjelajah waktu
tersebut, ditampilkan orang-orang atau tokoh-tokoh menginspirasi dengan kisah
hidup yang bisa diambil sebagai pelajaran.
Selanjutnya serial Anak Ajaib yang dibintangi Joshua Suherman, pelantun lagu anak
“Diobok-obok”. Serial yang menumbuhkan trend film anak-anak lokal bertema
robotik. Selain itu, ada serial Keluarga Cemara yang naskahnya ditulis Arswendo.
Sangat lekat dengan muatan pendidikan yang sangat berbobot. Bercerita tentang
sebuah keluarga sederhana yang harus memperjuangkan kelangsungan hidupnya atas
persoalan ekonomi. Seluruh anggota keluarga tukang becak ini bahu membahu untuk
meringankan beban hidup dengan cara berjualan makanan ringan (opak), baik
ketika di sekolah maupun sepulang sekolah. Namun anak-anak tetap berprestasi
dan hidup bahagia.
Ada lagi serial yang saat itu menggugah
saya untuk kuliah, yang notabene saya sebagai anak desa. Yakni serial Si Doel Anak Betawi karya Aman Datuk
Majuindo yang disutradarai oleh Syumanjaya.
Mengisahkan tentang perjuangan anak asli Betawi mengejar cita-citanya,
untuk kuliah dan merubah garis takdir keluarga yang berekonomi lemah. Kemudian,
sempat pula imanjinasi anak-anak dimanjakan dengan serial laga “Saras 008”.
Ketika itu masih awal-awalnya penggunaan telepon genggam (ponsel), ketika
hendak menghubungi dan minta bantuan Saras (sang manusia kucing) bisa langsung
menekan tombol ponsel dengan angka 008.
Hingga saat ini seakan kita semakin
tersudut dalam fenomena tayangan di televisi bagi anak-anak. Selain serial yang
kini hadir sangat kurang mendidik dan begitu mengguyur kisah-kisah hedonisme,
ada juga gelontoran berita-berita pembunuhan, perkosaan, dan tindak-tindak
kekerasan yang merusak generasi penerus kita. Saya menjadi ingat penggalan
cerita pendek berjudul Galuh Suka Mencuri
Bunga Mawar karya Andy Sri Wahyudi,
“Sore harinya Galuh dan ibunya datang ke rumahku. Galuh meminta maaf pada ibu.
Galuh mengaku, tiap pulang sekolah ia mencuri bunga mawar ibu lalu
meletakkannya di atas televisi, karena setiap hari Galuh melihat orang mati di
televisi.”
Seharusnya
saat ini segenap perusahaan televisi harus memegang yang disampaikan Umar Kayam
(1981), bahwa tayangan harus mampu menjadi media kultur yang mampu
mengkomunikasikan semua buah pikiran, cita, cita-rasa, fantasi, harapan,
impian, idiologi, nilai-nilai yang menghantar proses antisipasi kepada kebudayaan
baru kita. Bukan malah menjadi tayangan yang merusak. Semoga.***
─Setia Naka
Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan
Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan dua
buku puisinya, “Manusia Alarm” dan “Perayaan Laut”.
Sabtu, 21 November 2015
Jumat, 20 November 2015
Selasa, 17 November 2015
Jumat, 13 November 2015
Kita Rayakan Jasanya Setelah Meninggal (Koran Wawasan, 13 November 2015)
Kita Rayakan Jasanya Setelah Meninggal
Oleh Setia
Naka Andrian
Ketika
saya membuka beranda facebook pada 10
November lalu, salah seorang teman ada
yang mengunggah link yang berasal
dari laman wikipedia. Seketika langsung saja buka, karena dalam unggahannya
tertuliskan, “Ini pahlawanku, Pahlawan Baca Tulis. Mana pahlawanmu?” Begitu
saya buka, pahlawan itu adalah Siti Rahmani Rauf. Pensiunan pengajar yang lahir
di Padang,
96 tahun yang lalu. Ia salah satu manusia istimewa sisa pemerintahan
Hindia-Belanda. Seorang pendidik yang sangat berjasa, ia menulis buku peraga pelajaran Bahasa Indonesia “Ini Budi” pada era 1980-an. Tokoh
Budi menjadi sangat terkenal seantero Indonesia berkat temuan dan sambung tangannya.
Dalam
KBBI, pemaknaan pahlawan disebutkan sebagai orang yang menonjol karena
keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, pejuang yang gagah
berani. Sedangkan hingga saat ini, tidak sedikit masyarakat masih beranggapan
bahwa pahlawan hanya yang menggenggam bambu runcing, mengokang senjata, dan
bertumpah darah di medan pertempuran.
Disampaikan
Muhajir Arrosyid (Wawasan, 10/11), saat ini masyarakat telah disuguhi
bergelimang pahlawan impor yang setiap hari membius dari televisi. Secara tidak
langsung menarasikan bahwa perjuangan pahlawan-pahlawan di negeri ini, pengorbanannya
kurang mengharukan. Dirasa belum mampu membuat bangsa ini bangga, sehingga
masih mendesak kehadiran tokoh-tokoh dari luar. Semacam Ashoka, Balveer, Jalal
dalam Joda Akbar, misalnya.
Belum
lagi pahlawan-pahlawan bagi anak muda yang sedang marak saat ini. Sebut saja
bagi mereka yang begitu mengagumi tokoh-tokoh imajiner yang diimpor juga dari luar,
yakni Jepang. Mereka penggemar cosplay,
begitu megah dan meriah dalam setiap festival-festivalnya. Produk-produk budaya
dari luar tersebut ditampilkan menampari mata kita dengan sepenuh warna. Pemuda
kita bangga mengenakan pakaian, aksesori, dan tata rias seperti yang dikenakan
tokoh-tokoh dalam anime, manga, dongeng, permainan video, penyanyi dan musisi idola, dan film kartun dari negeri matahari terbit tersebut.
Berkat Jasanya
Kita Jadi ‘Manusia’
Tentunya,
kita sangat gegap ketika kehilangan untuk selamanya. Baru-baru ini dalam
momentum hari pahlawan, bangsa kita disuguhi kado duka. Dua tokoh yang semestinya
“dipahlawankan” telah meninggal. Pendongeng sejati, Drs Suyadi (Pak Raden) dalam jasanya menciptakan Film Boneka Si Unyil yang sangat disukai
dan menghibur anak-anak. Kemudian Pak Sartono dalam jasanya menciptakan
lagu Hymne Guru, Pahlawan Tanpa
Tanda Jasa yang begitu menginspirasi semangat juang para pendidik kita.
Berkat
jasa mereka, kita telah digiring menjadi ‘manusia’. Coba bayangkan, bagaimana
nasib masa kecil kita tanpa dongeng-dongeng dari Pak Raden. Tentu setelah
beliau meninggal, kita akan sangat kesulitan menemukan penggantinya. Kita akan
semakin khawatir pula dengan nasib anak-anak kita kelak. Jangan sampai kita malah
semakin disuguhi dongeng-dongeng impor. Kita tak dapat membayangkan pula,
bagaimana jika tanpa lagu ciptaan Pak Sartono. Tentu pendidik kita akan lebih
kesulitan menemukan ruhnya sebagai pengajar sejati.
Kita
tak tahu bagaimana nasib pelajar di negeri ini tanpa pembelajaran “Ini Budi”.
Barang tentu jutaan warga Indonesia telah menjadi ‘manusia’ berkat jasanya. Siti
Rahmani Rauf menemukan metode pembelajaran bahasa yang sekaligus menggunakan
alat peraga, yakni metode Struktur Analitik Sintesis (SAS) Bahasa Indonesia. Merupakan
salah satu jenis metode yang biasa digunakan untuk proses pembelajaran bagi
siswa pemula. Dengan cara menampilkan dan memperkenalkan sebuah kalimat utuh. Ini Budi. Budi rajin sekolah. Ini ibu Budi.
Ibu budi bekerja di pasar. Ini bapak Budi. Bapak Budi bekerja di kantor.
Metode tersebut dianggap menyenangkan bagi siswa SD pada masa itu, sehingga
membantu para siswa menjadi lebih cepat bisa membaca dan menulis.
Lalu
yang perlu kita tanyakan saat ini, apa yang sudah diberi atau diperbuat negeri
ini untuk Siti Rahmani Rauf. Baginya yang telah menemukan embrio untuk masa
depan pembelajaran di negeri ini. Hingga mengerjakannya menjadi buku setelah
mendapat tawaran dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada awal tahun 1980-an ketika ia sudah pensiun. Tawaran tersebut ia terima
tanpa meminta bayaran, semata-mata karena kecintaannya pada dunia pendidikan.
Kapan
negeri ini memihak dan memberi perhatian kepada pahlawan. Atau setelah
meninggal saja, baru kita beramai-ramai mengusulkan menjadi pahlawan. Ini yang
terkadang masih kurang mendapat perhatian di negeri ini. Tidak sedikit
tokoh-tokoh penemu hal-hal bermakna atau yang berjuang serta mengorbankan
waktu, tenaga dan pikirannya untuk kemajuan negeri, namun semasa hidup tokoh
tersebut bisa dibilang diterlantarkan saja.
Contoh
lain, kita dapat melihat bagaimana Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin (NH
Dini), penulis perempuan kelahiran Semarang yang telah begitu banyak menyumbangkan
karya untuk khasanah sastra Indonesia, terutama novel. Penghargaan-penghargaannya
pun lebih banyak didapat dari luar negeri. Kini usianya 79 tahun. Ia sekarang
tinggal di Panti Wredha Langen Wedharsih, Ungaran. Jauh dari sanak-saudara.
Jika melihat beberapa kenyataan tersebut, apakah kiranya pahlawan hanya diberi
perhatian jika sudah meninggal saja? Kita rayakan jasanya setelah meninggal? Sebut
saja Pak Raden, saat ini sedang ramai diusulkan sebagai pahlawan budaya. Tidak
sedikit petisi-petisi yang menyertainya.***
─Setia Naka
Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan
Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan
buku puisi pertamanya, “Manusia Alarm”.
Selasa, 10 November 2015
Langganan:
Postingan (Atom)