Manusia yang sehat adalah manusia yang mau berpikir dan memikirkan. Berpikir untuk menang dan memikirkan agar yang lain tidak kalah. (SNA)
Sabtu, 21 November 2015
Jumat, 20 November 2015
Selasa, 17 November 2015
Jumat, 13 November 2015
Kita Rayakan Jasanya Setelah Meninggal (Koran Wawasan, 13 November 2015)
Kita Rayakan Jasanya Setelah Meninggal
Oleh Setia
Naka Andrian
Ketika
saya membuka beranda facebook pada 10
November lalu, salah seorang teman ada
yang mengunggah link yang berasal
dari laman wikipedia. Seketika langsung saja buka, karena dalam unggahannya
tertuliskan, “Ini pahlawanku, Pahlawan Baca Tulis. Mana pahlawanmu?” Begitu
saya buka, pahlawan itu adalah Siti Rahmani Rauf. Pensiunan pengajar yang lahir
di Padang,
96 tahun yang lalu. Ia salah satu manusia istimewa sisa pemerintahan
Hindia-Belanda. Seorang pendidik yang sangat berjasa, ia menulis buku peraga pelajaran Bahasa Indonesia “Ini Budi” pada era 1980-an. Tokoh
Budi menjadi sangat terkenal seantero Indonesia berkat temuan dan sambung tangannya.
Dalam
KBBI, pemaknaan pahlawan disebutkan sebagai orang yang menonjol karena
keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, pejuang yang gagah
berani. Sedangkan hingga saat ini, tidak sedikit masyarakat masih beranggapan
bahwa pahlawan hanya yang menggenggam bambu runcing, mengokang senjata, dan
bertumpah darah di medan pertempuran.
Disampaikan
Muhajir Arrosyid (Wawasan, 10/11), saat ini masyarakat telah disuguhi
bergelimang pahlawan impor yang setiap hari membius dari televisi. Secara tidak
langsung menarasikan bahwa perjuangan pahlawan-pahlawan di negeri ini, pengorbanannya
kurang mengharukan. Dirasa belum mampu membuat bangsa ini bangga, sehingga
masih mendesak kehadiran tokoh-tokoh dari luar. Semacam Ashoka, Balveer, Jalal
dalam Joda Akbar, misalnya.
Belum
lagi pahlawan-pahlawan bagi anak muda yang sedang marak saat ini. Sebut saja
bagi mereka yang begitu mengagumi tokoh-tokoh imajiner yang diimpor juga dari luar,
yakni Jepang. Mereka penggemar cosplay,
begitu megah dan meriah dalam setiap festival-festivalnya. Produk-produk budaya
dari luar tersebut ditampilkan menampari mata kita dengan sepenuh warna. Pemuda
kita bangga mengenakan pakaian, aksesori, dan tata rias seperti yang dikenakan
tokoh-tokoh dalam anime, manga, dongeng, permainan video, penyanyi dan musisi idola, dan film kartun dari negeri matahari terbit tersebut.
Berkat Jasanya
Kita Jadi ‘Manusia’
Tentunya,
kita sangat gegap ketika kehilangan untuk selamanya. Baru-baru ini dalam
momentum hari pahlawan, bangsa kita disuguhi kado duka. Dua tokoh yang semestinya
“dipahlawankan” telah meninggal. Pendongeng sejati, Drs Suyadi (Pak Raden) dalam jasanya menciptakan Film Boneka Si Unyil yang sangat disukai
dan menghibur anak-anak. Kemudian Pak Sartono dalam jasanya menciptakan
lagu Hymne Guru, Pahlawan Tanpa
Tanda Jasa yang begitu menginspirasi semangat juang para pendidik kita.
Berkat
jasa mereka, kita telah digiring menjadi ‘manusia’. Coba bayangkan, bagaimana
nasib masa kecil kita tanpa dongeng-dongeng dari Pak Raden. Tentu setelah
beliau meninggal, kita akan sangat kesulitan menemukan penggantinya. Kita akan
semakin khawatir pula dengan nasib anak-anak kita kelak. Jangan sampai kita malah
semakin disuguhi dongeng-dongeng impor. Kita tak dapat membayangkan pula,
bagaimana jika tanpa lagu ciptaan Pak Sartono. Tentu pendidik kita akan lebih
kesulitan menemukan ruhnya sebagai pengajar sejati.
Kita
tak tahu bagaimana nasib pelajar di negeri ini tanpa pembelajaran “Ini Budi”.
Barang tentu jutaan warga Indonesia telah menjadi ‘manusia’ berkat jasanya. Siti
Rahmani Rauf menemukan metode pembelajaran bahasa yang sekaligus menggunakan
alat peraga, yakni metode Struktur Analitik Sintesis (SAS) Bahasa Indonesia. Merupakan
salah satu jenis metode yang biasa digunakan untuk proses pembelajaran bagi
siswa pemula. Dengan cara menampilkan dan memperkenalkan sebuah kalimat utuh. Ini Budi. Budi rajin sekolah. Ini ibu Budi.
Ibu budi bekerja di pasar. Ini bapak Budi. Bapak Budi bekerja di kantor.
Metode tersebut dianggap menyenangkan bagi siswa SD pada masa itu, sehingga
membantu para siswa menjadi lebih cepat bisa membaca dan menulis.
Lalu
yang perlu kita tanyakan saat ini, apa yang sudah diberi atau diperbuat negeri
ini untuk Siti Rahmani Rauf. Baginya yang telah menemukan embrio untuk masa
depan pembelajaran di negeri ini. Hingga mengerjakannya menjadi buku setelah
mendapat tawaran dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada awal tahun 1980-an ketika ia sudah pensiun. Tawaran tersebut ia terima
tanpa meminta bayaran, semata-mata karena kecintaannya pada dunia pendidikan.
Kapan
negeri ini memihak dan memberi perhatian kepada pahlawan. Atau setelah
meninggal saja, baru kita beramai-ramai mengusulkan menjadi pahlawan. Ini yang
terkadang masih kurang mendapat perhatian di negeri ini. Tidak sedikit
tokoh-tokoh penemu hal-hal bermakna atau yang berjuang serta mengorbankan
waktu, tenaga dan pikirannya untuk kemajuan negeri, namun semasa hidup tokoh
tersebut bisa dibilang diterlantarkan saja.
Contoh
lain, kita dapat melihat bagaimana Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin (NH
Dini), penulis perempuan kelahiran Semarang yang telah begitu banyak menyumbangkan
karya untuk khasanah sastra Indonesia, terutama novel. Penghargaan-penghargaannya
pun lebih banyak didapat dari luar negeri. Kini usianya 79 tahun. Ia sekarang
tinggal di Panti Wredha Langen Wedharsih, Ungaran. Jauh dari sanak-saudara.
Jika melihat beberapa kenyataan tersebut, apakah kiranya pahlawan hanya diberi
perhatian jika sudah meninggal saja? Kita rayakan jasanya setelah meninggal? Sebut
saja Pak Raden, saat ini sedang ramai diusulkan sebagai pahlawan budaya. Tidak
sedikit petisi-petisi yang menyertainya.***
─Setia Naka
Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan
Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan
buku puisi pertamanya, “Manusia Alarm”.
Selasa, 10 November 2015
Senin, 09 November 2015
Jumat, 06 November 2015
Langganan:
Postingan (Atom)