Senin, 23 Maret 2015

Ketika Doa-doa Semakin Pucat Saja (Rakyat Jateng, 27 September 2014)

Ketika Doa-doa Semakin Pucat Saja
                                                            cerpen Setia Naka Andrian

Jika masih dimusimkan, pada sisa nyawa ini aku akan tetap sujud pada rindu yang subuh sebelum waktu habis tercuri oleh pamit lampu-lampu kota. Seperti tahajud kita yang tak hancur walaupun berkali-kali kening kita tak jelas dibanting-banting pada lantai untuk kesekian kali dalam pertemuan rutin yang lama mereka tawarkan pada setiap Jumat-jumat. Seperti penolakan usulan pembangunan jalan desa yang masih saja berhenti pada proposal-proposal yang tertumpuk menunggu dipelajari, dan kita tak heran memiliki riwayat yang berbeda-beda agar terselamatkan serta terkagum-kagum menanamkan canda yang lumayan sempurna untuk mencuri hati dari sekedar senyum-senyum dan mengerdipkan sebelah mata. Dan orang-orang di sekitar kita tak lagi membaca ketenangan, tak beda dengan seumpama udara-udara segar dan dinginnya puncak yang terlalu memaksa menyentuh panasnya tubuh kita yang terlanjur menggigil berdoa. Namun doa-doa kita pun semakin pucat saja, belum sempat tidur dan dipaksa ditidurkan.
Aku takut jika kelak kita akan pulang dalam keberangkatan yang beda. Disibukkan untuk menyusun kembali gerbong-gerbong kereta yang masih penuh penumpang, belum lagi banyak yang masih menunggu di stasiun-stasiun dan pemberhentian-pemberhentian ilegal. Dan kita masih saja pada garis tangan yang belum sama tapi memaksa rel-rel serta batu-batu kecil disekitarnya agar tidak lari dan lepas untuk melanjutkan perselingkuhan-perselingkuhan serupa. Lalu kau akan menunjuk banyak hal tentang beberapa rel yang rusak dan jalan kita akan terhenti cukup lama sebelum kesadaran untuk perbaikannya. Dan para penumpang dalam gerbong kereta semakin kesakitan, belum lagi yang semakin kelaparan menunggu pada pemberhentian-pemberhentian yang ilegal tadi. Dan kita terpaksa belum lunas mati, hanya mengulur kesakitan-kesakitan yang lelah dalam rumah masing-masing. Tanpa doa ataupun pengantar-pengantar yang suci sebelum kita benar-benar berhenti.
Ya Allah Yang Maha Bijaksana, tentukanlah sebenar-benarnya kebenaran yang harus kubenarkan dalam pembenaran serta pembenahan hidupku ini. Aku, juga mewakili istriku sangat ikhlas terhadap apa pun yang akan menimpa kami. Aku tak tahu tentang guyur hujan yang setiap malam menimpa seusai sujud yang terpenggal. Hingga merangkak terus dan menelusur pada rupa langit yang tak lagi cerah ketika pagi. Langit malam pun kini warnanya semakin tanpa hitam pekat. Sehingga malam yang tadinya berbintang dengan nyala cerah, kini telah lemah entah kenapa. Begitu pula ketika pagi, yang seharusnya langitnya cerah, namun kini telah menjadi muram, tertutup atap rumahku yang semakin tua seiring usiaku. Enam puluh lima tahun, kapan kau akan menambah? Atau sampai di sini saja? Sudah lengkap dengan tuntutan usia nabi, maka aku pun harus yakin, ketika aku sebagi umatnya pastilah akan mengikutnya, juga dalam usia. Lalu kau kapan Ina, kuatkah kau tanpaku bila angka ini menutup?
Kau masih belum terlampau tua, Ina. Jika kelak kita benar-benar dipisahkan karena tutup usia, kau tentunya tak mungkin kebingungan untuk mencari penggantiku. Lima puluh lima tahun bagi perempuan riang sepertimu tak membuat raut wajahmu kusam, apalagi kerut, tak mungkin. Kau masih cantik, Ina. Apalagi rambutmu tak terlihat menguban sedikit pun. Bukan karena kerudung yang selalu meutupinya, namun juga itu tak membuat rambutmu beraroma apek, apalagi berkutu. Semua yang kau miliki indah, Ina. Kau masih kelihatan cantik. Alismu masih bergaris seperti halnya tulisan latin. Matamu menyala kunang-kunang. Tubuhmu pun masih anggun dengan penutup aurat yang sempurna. Namun sayang, hanya saja nasib yang membuatmu tua pada pakaian. Karena seharusnya kulit sawo matang darimu tak pantas mengenakan kebaya lusuh serta jarit warisan loak itu. Namun apa boleh buat, itulah yang dapat aku berikan kepadamu. Sekadar penutup aurat yang kita surgakan, agar kita tak kepanasan kelak jika di akherat.
Kita memang tak cukup jika berserah, terlampau mudah untuk menanam. Namun hanya beberapa sisa nyawa ini yang dapat kusempurnakan untukmu. Tak lain, semenjak lima belas tahun yang lalu ketika kita dipertemukan, kau tak menampakkan signal penolakan terhadap persaanku. Walaupun seharusnya kala itu aku tak pantas untukmu juga. Karena kau adalah mantan istri seorang lurah yang sangat berkuasa di kampung ini. Seorang pengusaha kaya raya dan tetap menjabat hingga tahun ini, walaupun akhirnya pun aku harus diusir dan menjadi warga di hutan. Dan kau lebih membelaku. Tuduhan penipuan terhadapku telah kau bela, walaupun akhirnya membuat kita diasingkan. Kau dituduh sebagai pembangkang suami dan sekaligus sebagai perempuan yang menyelingkuhinya.
Ah, biarlah. Jika memang ini takdir. Walaupun sebenarnya sungguh bahagianya diriku ketika menemukanmu. Aku berlindung di balik kerudungmu. Walaupun nasib pun tak mempertemukan kita sebagai pasangan suami-istri yang sah. Orang-orang kampung telah terhasut oleh lurah mantan suamimu, agar tak ada seorang pun yang mau menikahkan kita. Para kiai pun tak ada yang mau menikahkan kita secara agama. Semua telah teracuni seorang lurah yang pernah menjadi orang nomor satu dalam hatimu. Tapi semua kini telah berubah ketika tuduhan penipuan telah menghakimiku. Kau pun telah menjadi penolong tunggal bagiku. Tapi semua tak membuatku selamat. Begitu pula kau yang telah membuat dirimu sendiri terjerumus dalam nasibku. Juga perasaan kita pun tak dapat sempurna menyatu dengan ikatan resmi. Berpuluh tahun hingga aku hampir mengakhiri usia ini. Dan kita pun tak bisa melakukannya tanpa ada pernikahan. Namun, walaupun begitu kita tetap memahami. Kita pun tak pernah sama sekali melakukan hubungan suami-istri. Kita serumah, kita sekamar, namun kita tak dapat setubuh. Biarlah bila di luar sana orang-orang berkata lain. Allah maha tahu.
“Kang, apakah kau menyesali dengan takdir kita?”
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Karena garis tangan.”
“Maksudmu, nasib? Takdir, Kang?”
“Bukan juga.”
“Lantas?”
“Allah.”
“Kenapa dengan Allah?”
“Dia yang telah memberi.”
“Lantas kau tak juga mau berusaha, Kang?”
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Karena doa-doa kita telah semakin pucat saja. Nyawaku pun hanya tinggal sisa.”
“Lima belas tahun yang telah kita lewati ini akan tetap kau sia-siakan, Kang? Kau tak ingin mencari cara untuk dapat menyatukan kita secara sempurna? Aku tak ingin jika hanya perasaan saja yang kita seragamkan. Aku pun tak ingin jika sudah serumah, sekamar, namun tak setubuh. Aku ingin kita menyempurnakan penyeragaman perasaan kita, Kang.”
“Aku pun juga ingin seperti itu, Ina. Tapi bagaimana lagi? Akankah aku harus merengek kepada suamimu?”
“Apa? Suamiku, Kang? Bukan, aku sudah tidak menjadi istrinya. Aku pun sudah lima belas tahun tak dinafkahi olehnya. Namun bukankah kau yang telah menafkahiku di hutan ini? Lima belas tahun telah kita lewati bersama. Ketika berawal dari gubug hingga rumah yang cukup gagah dengan batang-batang kayu jati besar sebagai penyangga. Ini semua karena kamu, Kang. Aku mohon, sempurnakanlah penyeragaman perasaan kita. Aku ingin kau berusaha dengan cara apa pun, Kang.”
“Ina, apa kau tak ingat kerudungmu?”
“Aku lelah, Kang. Bukankah aku juga manusia sepertimu? Yang juga membutuhkan seperti apa yang diinginkan oleh perempuan-perempuan di luar sana. Hujan telah mengguyur deras. Langit pun sangat gelap. Apakah kau tak ingin melindungiku dengan sempurna? Apakah kau selamanya tak ingin setubuh denganku? Hingga tutup usiamu?”
“Jika masih dimusimkan, pada sisa nyawa ini aku akan tetap sujud pada rindu yang subuh sebelum waktu habis tercuri oleh pamit lampu-lampu kota. Seperti tahajud kita yang tak hancur walaupun berkali-kali kening kita tak jelas dibanting-banting pada lantai untuk kesekian kali dalam pertemuan rutin yang lama mereka tawarkan pada setiap Jumat-jumat. Seperti penolakan usulan pembangunan jalan desa yang masih saja berhenti pada proposal-proposal yang tertumpuk menunggu dipelajari, dan kita tak heran memiliki riwayat yang berbeda-beda agar terselamatkan serta terkagum-kagum menanamkan canda yang lumayan sempurna untuk mencuri hati dari sekedar senyum-senyum dan mengerdipkan sebelah mata. Dan orang-orang disekitar kita tak lagi membaca ketenangan, tak beda dengan seumpama udara-udara segar dan dinginnya puncak yang terlalu memaksa menyentuh panasnya tubuh kita yang terlanjur menggigil berdoa. Namun doa-doa kita pun semakin pucat saja, belum sempat tidur dan dipaksa ditidurkan.”
“Gunung telah membawa gerakan yang tenang ketika sesaat setelah ia meledakkan tubuhnya. Hingga bayang-bayang atas segala pertemuannya dengan manusia membawa perpisahan di antaranya. Lalu semua akan lari mencari petunjuk, hingga yang sedang asyik bermain domino pun ikut peran berduyun menuju serambi Masjid yang telah terkepung berjuta umat.”
“Namun, apakah kau akan tetap berkeinginan sama ketika gunung yang kau agungkan telah tak lagi mampu meledakkan tubuhnya lagi?”
“Kau menyerah?”
“Tidak juga.”
“Lantas?”
“Ingin rasanya pada sisa nyawa ini aku akan tetap sujud pada rindu yang subuh sebelum waktu habis tercuri oleh pamit lampu-lampu kota.”
“Kita bisa keluar dari rumah ini, Kang. Kita harus meninggalkan kampung ini.”
“Tidak bisa, Ina. Aku tak sanggup lagi. Aku tak ingin ada yang terluka karena nasibku. Begitu pun orang lain yang tak tahu menau tentang aku.”
“Kau ingin membiarkan kebiadaban lurah itu?”
“Tentunya, iya. Aku ingin berserah saja.”
“Berarti apakah kau juga tak menginginkanku? Jawab, Kang? Aku tak ingin kau hanya diam, namun berpikir tak jelas di belakang.”
“Aku ingin kelumpuhan ini menjadi sebab yang tak lepas sebelum semua telah terbalik. Karena aku masih yakin jika kebenaran akan tetap menang. Jika di dunia kalah, nanti di akherat pasti akan dibenarkan oleh Dia Yang Maha Membenarkan.”
“Aku paham. Aku pun sangat paham tentang yang dilakukan lurah itu. Ketika kau masih berjaya, kau masih memiliki sesuatu yang megah. Hingga akhirnya lurah itu telah mengambil segalanya darimu. Dan kau tenang. Itu yang membuatku terkagum kepadamu.”
“Namun sekarang semua telah berjalan beda. Aku akan tetap menjadi diriku. Sebagai hamba yang mengabdi, terhadap pemilik segala hidup ini. Aku berlingdung, semoga ada kehendak dari-Mu, Allah.”


                                                                                 Palebooné, 080811, 07.32 am.

Panggung Kelopak Mata (Rakyat Jateng, 9 Agustus 2014)

Panggung Kelopak Mata
■cerpen: Setia Naka Andrian

Jason Rabdillah, S.Pd. Seorang sarjana pendidikan yang baru lulus dari salah satu institut keguruan swasta terkemuka di kota ini. Pemuda bertubuh gemuk dan tidak terlalu tinggi yang langsung mendapat pekerjaan setelah beberapa saat nangkring gelar sarjana pendidikan di belakang namanya. Ia mendapat panggilan mengajar pada sebuah lembaga pendidikan swasta, SD Bina Jiwa. Di mata teman-teman seangkatan dan sepergaulannya, ia diacungi jempol empat. Karena setelah lulus langsung kerja, dengan tidak memandang mengajar apa itu. Yang terpenting, ia telah mampu mengenakan baju rapi dan sepatu kulit yang mengkilap licin dengan semir hitamnya. Menyandang tas laptop dengan tanpa memperhitungkan walaupun isinya hanya tumpukan buku-buku kumpulan puisi dan cerpen yang ternyata semua buku itu terdapat karyanya, beberapa pengalaman semasa kuliah yang diharapkan kini dapat ia pergunakan sebagai bahan mengajar mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Namun ternyata ia belum begitu beruntung, mengajarnya di SD. Ia dinobatkan sebagai guru kelas yang wajib untuk mengajar semua mata pelajaran. Namun dalam hati ia cukup bersyukur, karena di SD juga ada mata pelajaran Bahasa Indonesia. Sehingga ia masih berbangga kelak tetap dapat menularkan kemampuan dahsyatnya dalam menulis puisi dan cerpen. Karena bagaimanapun ketika masih mahasiswa namanya cukup diperhitungkan dalam peredaran sastra lokal maupun nasional. Beberapa puisi dan cerpennya sering nangkring pada surat kabar lokal maupun nasional.

Pagi-pagi buta ia terbangun dari tidur. Tak seperti hari-hari biasanya semasa ia masih mahasiswa, selalu bangun kesiangan dan terkadang disengaja tidur pagi karena semalaman asik begadang sambil diskusi ngalor-ngidul bersama kawan-kawan komunitas sastranya. Walaupun sesungguhnya ia wajib bangun pagi karena tuntutan jadwal kuliah pagi. Namun semua itu tak begitu dihiraukan dan tak menjadi beban. Pikirnya kuliah tak begitu penting, yang utama baginya adalah berkomunitas dan berkarya. Hingga akhirnya semua itu menggiringnya untuk menempuh kuliah sampai tujuh tahun, dan semua itu tak dipikirnya sia-sia. Karena ia sering menjuarai lomba penulisan puisi dan cerpen, baik tingkat provinsi maupun nasional. Juga seabrek kumpulan buku puisi dan cerpen yang terdapat karya-karya kebanggaannya.
***

“Selamat pagi,” sapa senyum ramah seorang satpam sekolah. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
“Begini, Pak. Saya guru baru yang mendapat panggilan untuk langsung mengajar hari ini,” Jason Rabdillah, S.Pd., guru muda yang merasa gagah ketika dipanggil ‘Pak’ untuk kali pertamanya di sekolah yang diharapkan dapat ia tunggangi untuk sambung napasnya.
“Oh, begitu. Salam kenal, Pak. Nama saya Tugimin. Biasa dipanggil Pak Gim,” mengulurkan tangan kanannya sambil nyengir.
“Oke, Pak Gim. Nama saya Jason Rabdillah. Boleh dipanggil siapa saja, asal masih merujuk dari nama asli pemberian tante saya, Jason Rabdillah,” saut pula dengan nyengir.
“Siap, Pak! Silakan masuk ke kantor yang ada diujung sana. Nanti Bapak temui Pak Rahman, beliau waka kurikulum SD Bina Jiwa ini.”
“Terimakasih, Pak Gim. Salam.”

Ia langsung menuju tempat yang ditunjukkan oleh Pak Gim, satpam yang ramah dan murah nyengir.
“Permisi, Pak. Bisakah saya bertemu dengan Pak Rahman?”
“Oh, saya sendiri. Silakan masuk, Pak. Kira-kira ada perlu apa?”
“Saya Jason Rabdillah, Pak. Kemarin yang mendapat panggilan mengajar di SD Bina Jiwa ini.”
“Oh, iya, Pak Jason Rabdillah. Selamat, Pak. Kami memilih Bapak untuk mengajar di sekolah tercinta ini. Hari ini juga Bapak langsung saya antar ke lelas. Namun sebelumnya maaf, Pak. Kami hanya mampu menggaji Bapak sebulan tiga ratus ribu rupiah saja. Seperti yang telah saya katakan kemarin melalui sms.”
“Oh, tak apa Pak. Bagi saya gaji bukanlah yang utama. Namun nilai pengabdian saya untuk mendidik generasi penerus bangsa ini.”
“Sungguh mulia sekali dirimu anak muda,” tersenyum bangga kepada guru muda berwajah bulat itu.

Jason Rabdillah langsung diantar menuju kelas oleh Pak Rahman. Hari ini ia sangat bahagia. Dalam hati ia berkata, inilah awal pijakan sejarah yang baru. Memulai untuk menyongsong kerja dengan mencerdaskan anak bangsa, generasi penerus negeri ini.
“Silakan, Pak. Ini ruang kelas yang kami serahkan sepenuhnya untuk Bapak,” ia diantar hingga depan pintu kelas. “Mulai hari ini hingga seterusnya kelas ini menjadi tanggung jawab Bapak. Didiklah mereka dengan penuh cinta dan pengorbanan.”
“Baik. Terimakasih, Pak. Saya akan mengemban tanggung jawab ini dengan sepenuh,” tegas Jason Rabdillah dengan mantab.
Sungguh tak diduga sebelumnya, kelas terasa hening dan sepi. Ia sangat kaget, dan dalam hati bertanya-tanya, kenapa ruang kelas SD begitu tenangnya? Tak ada saut manuk atau kekacauan siswa bermain seperti yang ia bayangkan. Menurut pengalamannya pun pasti anak-anak SD akan selalu gojeg dan berteriak-teriak seenaknya. Ia pun dulu begitu, semasa SD ia merupakan siswa yang terkenal bandel dan sulit diatur. Namun kenapa dengan kelas ini? Apa yang tejadi?
Guru muda Jason Rabdillah berjalan menyisir ruang kelas, melewati sela-sela bangku siswa sembari menatapi wajah mereka. Namun mereka tetap saja diam dan seperti terlamun yang entah kemana. Ia semakin heran, bau tubuhnya sama sekali tak digubris oleh para siswa. Sejumlah dua puluh anak terdiam tanpa kata, hanya tangan mereka bergerak-gerak sedikit dengan ayunan yang tak beraturan. Mata mereka berkedip, namun terasa seperti kosong memandang sesuatu yang entah tak bertumpu mana ujungnya.
Ia semakin bertanya-tanya, benar-benar aneh. Kedatangannya sama sekali tak digubris sedikit pun oleh para siswa. Lalu ia mendekati mereka satu per satu dan memandanginya. Oh, masih saja mereka terdiam dengan pandangan kosong. Di antara mereka sama sekali tak ada interaksi apapun, walaupun sekadar mencolek teman sebangku.
Kemudian ia memandangi mata mereka. Ia mendekat dan matanya dijatuhkan tepat pada mata salah seorang siswa, kira-kira sejarak dua puluh sentimeter. Namun tetap saja siswa itu masih asik dengan lamunannya yang entah. Kosong dan sama sekali tak menggubris matanya yang menunjuk beberapa mata siswa di kelas.
Lalu dengan sebegitu cepatnya ia terpikir sesuatu, apa mungkin mereka buta? Namun kenapa buta berjamaah begini? Ya, benar. Kali ini tidak salah lagi. Ia yakin kalau seluruh siswa yang ada di kelas ini matanya buta. Mata mereka terlihat memandang sesuatu yang entah. Terbukti, di antara mereka tak ada satupun yang berinteraksi dengan sesamanya. Mereka sepertinya asik dengan dunia lamunannya masing-masing. Beberapa di antaranya ada yang sampai berkaca-kaca matanya, nyaris hampir menjatuhkan airmata. Mungkin terlalu serius dengan pendalaman lamunnya. Wajah para siswa di kelas ini bersih-bersih dan bersinar secerah harapan yang kuat. Namun sayang, mereka masih kurang beruntung. Ia menghela napas sambil meniupkan hembusan syukur kepada Tuhan. Ternyata masih banyak orang yang jauh kurang beruntung ketimbang dirinya.
Jason Rabdillah semakin kebingungan. Semangatnya yang menggebu ketika hendak mengajar telah lari entah kemana. Ia terlihat mati gaya. Keinginannya untuk menularkan keterampilan menulis puisi dan cerpen semakin dirasa punah. Ia merasa tak yakin untuk mengajar mereka, dua puluh siswa semuanya buta. Kegelisahannya itu semakin menjadi-jadi, berjam-jam ia tak melakukan apa-apa. Hanya mondar-mandir mengelilingi sela-sela bangku di kelas yang hening. Raut mukanya memerah, bibirnya seperti menggumam yang tak penuh. Matanya berkaca-kaca, pikirannya terbang kemana-mana. Kali ini ia memang benar-benar kebingungan hingga tak mampu berbuat apa-apa. Kedua kakinya melangkah dengan pelan seiring dengan putaran pikirannya yang tak menentu. Terasa gerak tubuhnya tak terkendali dengan kegelisahan organ tubuhnya masing-masing. Seluruh siswa yang ada di kelas itu pun masih saja tenang. Hal itu membuat pikirannya semakin tak karuan. Keringat berbiji-biji jagung berhamburan dari pori-pori kulitnya. Selain ia kebingungan ingin mengajar apa kepada siswanya, ia juga ketakutan jika diketahui oleh waka kurikulum atau kepala sekolah, ketika ternyata ia belum mampu mengajar. Maka ia otomatis akan kehilangan pekerjaan. Walaupun gajinya tak seberapa, namun tanggung jawab telah melekat di pundaknya.
Ia benar-benar kebingungan untuk memulai pelajaran. Padahal ia lulus Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, jurusan Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia, yang secara penuh ia memperoleh berbagai matakuliah pengajaran dan pembelajaran, yang terkenal dengan sebutan microteaching. Kali ini ia merasa semua yang didapatkan semasa kuliah sia-sia. Ternyata segala yang diperolehnya masih mlempem ketika hendak diamalkan.
***

Hingga berjam-jam, Jason Rabdillah masih tak tahu apa yang harus dilakukan untuk mengajar siswanya. Mereka masih tetap diam dengan lamunan kosong yang masih entah pula. Kelas masih hening, jam pelajaran hampir usai. Ia masih tetap kebingungan dan tak mampu melakukan apa-apa. Kedua kakinya masih tetap melangkah dengan pelan seiring dengan putaran pikirannya yang tak menentu. Terasa gerak tubuhnya pun masih tak terkendali dengan kegelisahannya masing-masing. Seluruh siswa yang ada di kelas itu pun masih saja tenang, hal itu membuat pikirannya semakin tak karuan. Keringat berbiji-biji jagung berhamburan dari pori-pori kulitnya. Sesungguhnya ia pun kasihan kepada para siswa, ketika ia belum mampu memberikan apa-apa kepada mereka. Dalam benaknya, ia merasa kelak akan mendapat gaji buta dari siswa-siswanya yang buta jika hari ini tak memberikan apa pun kepada mereka.
“Wahai pemuda mana telurmu?” Jason Rabdillah kaget dengan sekaget-kagetnya, handphone dalam saku celananya berteriak dengan nada dering pembacaan puisi Sutardji Calzoum Bachri dengan sangat lantang. Ia menghiraukan siapa pun yang meneleponnya, ia lebih menghargai pembacaan puisi Bang Tardji. Karena baginya memenggal pembacaan puisi dari penyair siapapun, walaupun itu hanya rekaman, semua itu sama halnya memenggal pembacaan orang mengaji, walaupun itu bukan pembacaan langsung. Baginya memotong pembacaan puisi adalah berdosa. Lalu ia mendengarkan pembacaan puisi Bang Tardji dengan seksama hingga selesai.
“Apa gunanya merdeka kalau tak bertelur? Apa gunanya bebas kalau tak menetas? Wahai bangsaku! Wahai pemuda! Mana telurmu? Burung jika tak bertelur, tak menetas, sia-sia saja terbang bebas! Kepompong menetaskan kupu-kupu, kuntum membawa bunga, putik jadi buah, buah menyimpan biji, menyimpan mimpi, menyimpan pohon dan bunga-bunga. Uap terbang menetas awan. Mimpi jadi, sungai pun jadi, menetas jadi. Hakekat lautan. Setelah kupikir-pikir, manusia ternyata burung berpikir. Setelah kurenung-renung, manusia adalah burung merenung. Setelah bertafakur, tahulah aku, manusia harus bertelur. Burung membuahkan telur. Telur menjadi burung. Ayah menciptakan anak. Anak melahirkan ayah. Wahai para pemuda! Wahai garuda! Menetaslah! Lahirkan lagi Bapak bagi bangsa ini! Menetaslah seperti dulu para pemuda bertelur emas! Menetas kau dalam sumpah mereka!”
Pembacaan puisi Bang Tardji telah membakar semangatnya. Seperti ada kekuatan besar yang menyelinap dalam jiwanya. Ia langsung bergegas memulai pelajaran dengan menyapa semua siswa.
“Mohon perhatiannya anak-anak. Sebelumnya, selamat pagi!”
Ia menyapa dengan lantang, namun ternyata tak seorang siswa pun yang menjawab sapanya. Ia tetap sabar, dan mencoba memulai pelajaran.
“Anak-anak, maukah kalian semua berdiri? Bapak ingin kalian berdiri,” seketika mereka serentak berdiri tanpa bantahan atau ungkap yang tidak mengenakkan. Namun tetap saja mereka belum ada yang mau membibirkan kata-kata. Pikirnya tak apa, ini awal, besok mungkin akan berbeda. Baginya kali ini sudah lebih dari cukup, karena mereka telah menuruti permintaannya.
“Bagus, kalian semua sungguh siswa yang pintar. Nah, sekarang maukah kalian memejamkan mata?” pikirnya akan memberikan apersepsi berimajinasi seperti yang sering ia lakukan dalam latihan proses kreatif bersama teman-teman komunitasnya.
“Maaf, Pak. Bagi kami tak ada bedanya antara memejamkan mata dengan membuka mata. Semua tetap akan terlihat gelap,” sontak salah seorang siswa dengan nada lugu membibirkan sanggahan kepadanya. Anak itu mengeluarkan airmata dari matanya yang tak melihat, diikuti pula dengan semua anak-anak yang lainnya.
“Maaf, Bapak tidak bermaksud menyakiti kalian. Sekali lagi maaf, Bapak sayang kepada kalian semua. Kalian anak-anakku. Kalianlah telurku, dan kelak kalian juga yang akan bertelur. Maafkan saya, anak-anakku.”
Tiba-tiba handphone di sakunya kembali memutar pembacaan puisi Bang Tardji, ia kembali mendengarkan dengan seksama pembacaan puisi tersebut. Anak-anak didiknya pun sepertinya mendengarkan kelantangan pembacaan puisi Bang Tardji yang berjudul ‘Wahai pemuda mana telurmu?’ hingga selesai. Kemudian ia mengangkat teleponnya.
“Selamat siang, Pak. Apakah benar ini Pak Jason Rabdillha?”
“Ya, benar. Maaf, ini siapa dan ada perlu apa?”
“Begini, Pak. Kami bermaksud ingin memanggil Bapak untuk mengajar di SMA Gelora Budaya, sebagai pengajar Bahasa dan sastra Indonesia dengan fokus pengajar penulisan kreatif. Apakah Bapak berkenan memenuhi panggilan kami?”

Ia terdiam. Bibirnya seperti terkunci, tak mampu menjawab apapun berkenaan dengan panggilan untuk mengajar di sekolah favorit bertaraf internasional yang terkenal dengan karakter studi sastra dan budayanya. Pandangannya menyapu ke seluruh siswa, airmata runtuh membasahi pipinya. Pikirannya berkecamuk antara panggung yang kelak akan dicipta dan disuguhkan kepada banyak mata dengan panggung yang tercipta oleh mata kosong yang ditontonkan kepedihannya kepada mata siapa pun. Walaupun mata yang menciptakan panggung pribadi itu tak mampu membedakan antara kepedihan atau kegembiraannya. Bagi mereka, semua adalah kepedihan. Mengucurkan airmata tanpa harus melihat kepedihan itu dengan matanya sendiri.

                                                      sanggargema, 191011, 02.56 am.


Haji Sukiyat (Pikiran Rakyat, 10 Agustus 2014)

Haji Sukiyat
■cerpen: Setia Naka Andrian

Ia sangat erat dengan tanah. Dari mulai pernah menjadi mantan juragan tanah hingga sempat juga bertugas sebagai penggali kubur, semasa ia masih miskin. Di mata warga, ia dikenal sebagai seorang yang kalem, low profile. Ia ramah, namun dibalik keramahannya dan setelah mendapatkan segalanya itu, ia disebut-sebut sebagai seorang juragan tanah yang kejam. Kalau sudah berurusan dengan tanah, maka siapa saja akan menjadi lawan perangnya. Ia merupakan seorang yang sangat kaya. Hampir tujuh puluh persen tanah di kampung ini bersangkut-paut dengan dirinya. Dari mulai makelar tanah kelas liang kubur hingga tanah lapangan sepak bola.
Namun itu dulu, dan sekarang semua telah berubah. Sukiyat, seorang lelaki setengah baya yang telah kehilangan segalanya. Ia tertipu ketika berniat hendak menunaikan ibadah haji. Semua harta, berhektar-hektar tanah dan rumah beserta isinya ludes tertipu oleh jaringan tertentu yang mengatasnamakan ONHK (Ongkos Naik Haji Kilat). Ia memilih jalan itu karena pada awalnya memang sangat kekurangan waktu, beberapa detik waktunya akan terasa sia-sia ketika harus menghabiskan beberapa bulan untuk melingkari Kabah. Beberapa detik waktunya sangat berarti, jika ditinggalkan maka ia akan mengidap kerugian yang sangat besar. Maka ia tergiur untuk mengambil jalur ONHK. Naik haji hanya satu hari.
Spekulasinya gagal. Awalnya ia beranggapan, dengan modal sebanyak-banyaknya akan menghasilkan duit yang jauh lebih banyak lagi. Semua yang direncanakan atas perhitungan yang sangat pelik kini terdengar sia-sia. Sukiyat sangat terjatuh. Ia menjadi tidak karuan. Yang dulunya dikenal sebagai seorang berkemampuan besar untuk mengatasi segala masalah, kini tertimpa masalah yang begitu besarnya. Ia sendiri tak mampu mengatasi. Benar-benar ia jatuh, tertimpa tangga, terinjak-injak dan sulit bangun. Semua harta, berhektar-hektar tanah dan rumah beserta seisinya ludes entah kemana. Jaringan yang dipercayainya tersebut telah kabur entah kemana. Sulit dilacak, polisi pun lepas tangan karena terlalu sulit mendeteksi kemungkinan-kemungkinan yang digambarkan oleh Sukiyat. Nyaris seratus persen ia telah berubah. Kesadarannya tak tahu lari kemana. Sepertinya memang ia benar-benar terjatuh jiwanya. Jarak pandang matanya terlihat tak menentu. Tingkah lakunya semakin aneh. Kemauannya yang bermacam-macam termuntahkan semua lewat bibirnya. Berjalan menyisir dan memutar kampung dengan omelan-omelan yang tidak karuan. Entah itu masalah berhektar-hektar tanah yang hilang, tanah galian semasa ia dulu menjadi penggali kubur ketika masih miskin, hingga tentang rumah yang telah mengusir seorang istri dan kedua anak perempuannya yang masih berumur belasan.
Ia semakin menjadi-jadi. Kini ia memakai setelan baju putih lengkap dengan peci putih yang akrab dikenakan oleh seseorang yang telah menjalani ibadah haji. Masih tetap berjalan menyisir dan memutar kampung dengan omelan-omelan yang tidak karuan. Seorang istri dan kedua anak perempuannya yang masih berumur belasan nampaknya tak lagi mengurus Sukiyat. Bahkan mereka memilih untuk meninggalkannya, pulang ke rumah orangtuanya yang ada di luar kota. Sukiyat pun tak menggubris dan memang tak tahu tentang hal itu. Ia bergeleng-geleng menelusuri jalan kampung dengan berbagai omelan hingga wiridnya yang aneh-aneh. Terkadang ia sempat kelelahan, terengah-engah semacam perenang yang baru mencapai finish dalam kekalahan. Lalu Sukiyat memilih untuk beristirahat di tempat-tempat tertentu yang menjadi milik umum, seperti pos ronda, jembatan, atau mungkin di masjid. Karena semua warga telah tak menggubris keberadaannya. Mengingat masa silam Sukiyat yang secara terang-terangan telah menyengsarakan banyak warga, tentang bisnis tanahnya dan beberapa tindakan mengais uang yang dinilai sangat merugikan warga kampung tersebut.
“Ngapain ngurusi Sukiyat? Ia kan bukan orang yang patut kita tolong!”
“Ya, benar sekali! Semua yang didapatkannya sekarang adalah akibat dari perbuatannya terdahulu!”
“Benar, jangan hiraukan dia! Biarkan ia menikmati dunianya! Semua yang terjadi padanya sekarang memang sudah setimpal dengan apa yang digariskannya dulu kepada kita!”
“Memang benar gemblung! Dia lah Haji Gemblung!”
“Sesuai dengan amal dan ibadahnya!”
“Hahahahhaaahahahaa!”

Namun terkadang ada beberapa warga yang merasa kasihan terhadapnya. Hingga beberapa warga ada yang memberi bungkusan makanan dan seplastik minuman hangat kepada Sukiyat. Ia pun tersenyum. Kadang juga nyengir sebagai simbol pengucapan terimakasih yang mendalam darinya. Lalu ia memakan dan meminumnya dengan lahap hingga habis.
***

Berhari-hari, berbulan-bulan telah ia lalui seorang diri dengan memutar sisa hidupnya. Setelah baju putih yang dulunya bersih kini telah berubah mewarna tanah. Tidurnya gelesotan di jalan-jalan kampung. Bila hujan ia memilih untuk hinggap di pos ronda. Peci putinya yang juga telah berubah mewarna tanah pun selalu ia kenakan. Tak pernah sekalipun lepas dari lingkar kepalanya. Tidur pun selalu ia kenakan. Bahkan pernah ada orang yang jahil menggodanya, dan meminta peci putih lusuhnya, namun tak diperbolehkan dan sangat dilawan olehnya. Ia berkata, “Jangan! Ini kepunyaan saya! Enak saja mau diminta! Jauh-jauh ngambil dari Makah kok seenaknya mau diminta begitu saja! Saya jauh-jauh kesana dengan ongkos yang sangat mahal tahu nggak? Berhektar-hektar tanah, rumah dan seisinya telah kupertaruhkan untuk pakaian dan peci putih suciku ini! Enak saja kamu mau meminta semua ini dariku! Ongkos naik haji itu mahal! Apalagi naik haji yang melalui jalur ONHK! Ongkos Naik Haji Kilat! Paham nggak?”
Tak ada yang berani memenggal atau sekadar menjeda omelan-omelan yang keluar dari mulut Sukiyat. Semua orang tahu tentang dirinya, juga perihal latar belakang yang sempat menyelinap dalam kehidupannya. Malah terkadang Sukiyat sempat mengamuk jika ada seseorang yang meledeknya. Entah itu mengusik keberadaannya ketika sedang asik melamun sendirian di jalan atau bahkan sangat marah ketika ia dipanggil hanya dengan sebutan Sukiyat, Si Sukiyat, atau Pak Sukiyat. Karena ia sangat menginginkan dan begitu menganjurkan untuk dipanggil Pak Haji Sukiyat. Mutlak. Baginya tidak ada yang boleh menawar, Pak Haji Sukiyat.
***

Hujan kali ini telah mengguyur begitu derasnya. Sukiyat masih dengan langkah tenang memutar mengitari jalan kampung. Menyisir langkah yang gontai, namun tetap bersikeras mencapai titik tertentu untuk menemukan tempat yang dikehendakinya. Beberapa orang ada yang sempat menawarkan kebaikan untuk meminjami payung, atau sekadar mengajaknya untuk menggunakan payung bersamaan. Namun semua niat kebaikan tersebut ditolaknya mentah-mentah. Malah kebanyakan dari mereka diomeli dengan begitu lantangnya. Bahkan ada yang sempat disemprot nama-nama hewan berkaki empat. Begitulah. Setelah itu tak ada yang berani mengusiknya. Kebanyakan memilih diam daripada ribut dengannya. Warga memilih untuk tidak mengurusinya, walaupun sebenarnya beberapa di antara mereka ada yang merasa sangat kasihan dengan keadaan yang menimpa Sukiyat.
Hujan ternyata terus mengguyur dengan semakin derasnya. Sukiyat nampak menggigil. Angin yang disertai hujan lebat itu perlahan telah membersihkan setelan baju putih dan peci putih yang dikenakan olehnya. Warna-warna tanah yang menempel pada setelan baju dan peci putinya telah luntur bersama guyurannya. Petir menyambar-nyambar, tak sedikitpun membuat Sukiyat takut. Ia masih memutar menapaki jalan-jalan kampung. Dengan berbagai omelan dan wiridnya yang entah tertuju untuk siapa. Entah untuk tuhannya, untuk harta bendanya yang lenyap atau mungkin untuk ketakutan-ketakutan yang melanda serta menggelisahkan jiwanya. Barangkali itulah yang dikehendaki Sukiyat untuk mengulang penemuan dirinya. Kini ia tengah memunguti kembali beberapa jiwanya yang tercecer dimana-mana. Menjarak terhadap berbagai hal atas penemuan-penemuan yang ternyata belum berujung. Maka ia terus memutar dan melingkar mencari penemuan itu.
***

Hujan telah reda. Sore berjingkrak dengan lambat melambaikan nyalanya untuk meninggalkan terang yang telah malas karena terlalu lama diguyur hujan. Sukiyat masih menggigil. Giginya menggigit-gigit berulang kali dengan begitu disiplinnya tanpa jeda. Tubuhnya gemetar. Kakinya terjinjit menapak di atas jalan berair dan tanah yang becek. Bibirnya nampak pucat. Langkahnya perlahan semakin pelan. Semakin lambat, nampak ia menahan lapar yang memnggedor-gedor perutnya. Kampung terasa sepi. Orang-orang sepertinya tidur lelap dengan selimutnya masing-masing. Suami-suami tengah tenang memeluk istrinya dengan sepenuh selimut. Anak-anak mereka yang masih kecil-kecil tengah nyenyak berpeluk dengan botol susunya masing-masing. Anak laki-laki dan perempuan yang sudah lumayan remaja ternyata sedang asik menghitung helai rambut kekasihnya masing-masing dan cemas menunjuk-nunjuk kamar orangtuanya. Mereka siap mengganti formasi atau jurus yang sedang diibadahi dengan begitu candanya, ketika nanti orangtuanya ternyata keluar dari kamar. Siap untuk mengganti peran.
Sukiyat masih terus memutar dan terus melingkar menapaki jalan-jalan kampung. Semacam ia ingin penuh menapaki tanah kampung dengan kakinya sendiri. Mencari penemuan dan menemukan pencarian. Ia masih terus berjalan dengan gigilnya. Selagi kampung terasa sepi. Selagi orang-orang sedang tidur lelap dengan selimutnya masing-masing. Selagi suami-suami tengah tenang memeluk istrinya dengan sepenuh selimut. Selagi anak-anak mereka yang masih kecil-kecil tengah nyenyak berpeluk dengan botol susunya masing-masing. Selagi anak laki-laki dan perempuan yang sudah lumayan remaja masih asik menghitung helai rambut kekasihnya masing-masing dan cemas menunjuk-nunjuk kamar orangtuanya. Selagi mereka siap mengganti formasi atau jurus yang sedang diibadahi dengan begitu candanya, ketika nanti orangtuanya ternyata keluar dari kamar. Selagi mereka, anak-anak yang sudah lumayan remaja sedang berpacaran di bawah dingin sisa hujan dan siap untuk mengganti peran jika hampir ketahuan oleh orangtuanya.
Sukiyat terhenti. Menatap masjid yang ada di hadapannya. Ia masuk menuju serambinya. Melihat-lihat dan merespon segala yang ada di dekatnya. Termasuk memegangi dan mengelus lantai keramik yang mengkilap bersih hingga menyentuh-nyentuh bedug yang ternyata menunggu dibunyikan untuk menyambut salat ashar yang ternyata lupa dibunyikan. Karena orang-orang tengah hangat dengan pelukannya masing-masing. Malas beranjak untuk sekadar mengelap lantai masjid dengan telapak kakinya masing-masing. Seketika itu, selagi kampung masih sepi, Sukiyat mengendap-endap dengan langkahnya yang cemas menuju tempat wudhu. Ia berkumur, membasuh wajahnya. Lalu setelah itu nampak mengingat-ingat lagi urutan wudhu lainnya yang harus dilakukan. Ia nampak mengingat-ingat dengan sebegitunya, lalu ia menemukan, membasuh kedua tangannya, kening yang menyapa beberapa helai rambutnya, kemudian berlanjut membasuh kedua telinga dan kedua kakinya.
Sukiyat menunaikan salat. Nampak fasih dengan komat-kamit yang meyakinkan dari gerak bibirnya. Sesampainya dalam sujud, ia nampak terhenti lama. Sangat lama, melalui beberapa detik, menit, hingga beranjak pada hitungan jam. Sukitat masih tetap terdiam dalam sujudnya. Tenang dan benar-benar terhenti dalam segala geraknya. Entah bersujud dengan mengucap apa. Belum ada yang tahu. Semoga setelah itu ada yang menuntun jalannya. 

                                               Sanggargema, 111111, 02.56 am.


Puisi-puisi Setia Naka Andrian (Media Indonesia, 8 Maret 2014)

Pistol Air

Kau hadir setiap hari Sabtu. Selalu tak lupa menembak mataku yang kelelahan mengunjungi tidur siang. Kau guyur dengan pistolmu yang matang. Sebagai air yang sudah melupakan jika dirinya basah. Kau ingat, sorenya kau menawariku seorang perempuan yang sangat bangga menyirami perasaannya sendiri. Kata perempuan itu, dunia berasal dari napas tembakau: kehidupan yang tak tahan menjadi boneka. Ia juga sempat bercerita, jika malam-malam pada hari Sabtu kerap sering mencurigai pagi terlalu terburu mencari peribadatan baru. Hingga akhirnya kau memilih ditembaki banyak pistol, yang tak lagi berisi air.

Bilik Revolusi, Januari 2015


Air Mata yang Hilang

Ceritakan kepadaku, bagaimana air mata hilang selepas hujan menggujur pipimu yang berwarna keemasan. Di situ, banyak ditemui duka-duka yang merindukan bapaknya. Sontak kau menangis. Kau tak cukup perasaan, karena mulut di hatimu kini sudah terlalu dipenuhi daging-daging yang mengental akibat kekurangan bahan bakar. Hingga akhirnya kau muncul sebagai bayangan. Air mata tetap hilang, dan kau hanya menjadi beban yang panjang. Semakin kehilangan banyak tangan.

Bilik Revolusi, Januari 2015


Tabrakan

Ada yang bertabrakan di lenganmu, Kawan. Mereka anak-anak kecil yang sering berdoa di bawah hujan. Ada yang bertamasya di dadamu, Kawan. Mereka remaja-remaja yang rajin membaca kematian di tengadah tangan. Ada yang berdansa di telingamu, Kawan. Mereka para dewasa ahli bernyanyi di ruang sembunyi-sembunyi. Ada yang bertepuk tangan di keningmu, Kawan. Mereka para pengasah pedang, mengintai luka-lukamu di kening yang berlubang. Hingga akhirnya banyak yang belum kau ketahui tentang tubuhmu yang bersembunyi, Kawan. Di dalamnya banyak ditemukan tubuh-tubuh yang mencurigaimu diam-diam. Di balik jendela kamar-kamarnya, mereka berjamaah mengintai takdir yang lupa direncanakan. Tabrakan terjadi di mana-mana. Di kakimu, di jantungmu, bahkan di urat lehermu.

Bilik Revolusi, Januari 2015


Ada yang Mati di Keningmu

Ada yang tiba-tiba mati di keningmu, Kawan. Ia pohon berwarna emas yang pernah dilahirkan dari lengan yang panjang. Akarnya menjalar sebagai takdir yang dipertemukan sehari setelah jadwal kematian. Kau tahu, batangnya menyerupai bayi yang kehilangan hidung. Rantingnya melambangkan jari-jari tangan penari yang khusyuk mendoakan nasib penonton. Dan di sekelilingnya, pemakaman-pemakaman telah menunda prosesi kematiannya. Lalu orang-orang mendirikan tenda di keningmu. Sebagai diri yang pura-pura berdoa.

Bilik Revolusi, Januari 2015


Seorang Luka

Ada yang belum sempurna di balik luka-lukamu. Mereka nampak paling malas menemukan dadamu. Kau harus tahu, siapa laki-laki yang selama ini mendoakanmu sebagai daun. Dialah yang menamai dirinya sebagai luka. Seorang luka yang memiliki teman bernama luka pula. Mereka adalah luka-luka yang katanya selalu tumbuh setiap hendak tidur. Mereka lah luka-luka yang selalu bersetia terhadap ramalan menuju takdir menjelang mimpimu sebelum terluka. Ketika kau bangun, ada luka yang menjawab dirinya sebagai siluman. Hingga akhirnya kau tak tahu apa-apa. Semua luka menjadi binasa di luar kepada.

Bilik Revolusi, Januari 2015





Puisi-puisi Setia Naka Andrian (Suara Merdeka, 8 Maret 2014)


Negeri Berhidung Panjang

Inilah negeri kita. Hidungnya melebihi panjang sejarah neneknya. Katanya, ia banyak menemukan aroma bencana dari riwayat manusia yang bersalah-sangka. Kau tahu, dari hidungnya telah banyak dirazia suara yang bersembunyi seakan-akan doa. Mereka menemukan serigalanya dari setiap bencana-bencana yang dihalau dengan ritual-ritualnya. Hingga akhirnya semua muram dengan segala tindakan yang dipasrahkan di telinga. Lalu semua orang pura-pura bertamasya, menyaksikan kematian yang dikunjunginya dari makam-makam para pendoa.

Saranglilin, Maret 2015


Ada yang Begitu Pasrah

Ada yang begitu pasrah di hadapanmu. Ia rumah yang dulunya tak berpintu. Tempat yang sempat memeliharamu menjadi batu. Ia rumah yang dulunya paling merindukanmu. Kesetiaan yang selalu tumbuh saat doa begitu acuh mengulurkan tangannya kepadamu. Kini, rumah telah terlanjur berpintu. Kau menjadi tak cukup usia untuk bertemu.

Saranglilin, Maret 2015


Surat untuk Paman
:almarhum

Paman, ternyata sudah cukup lama dunia kita terbelah. Warna langit dan tetesan air mata kita pasti telah berbeda pula. Maukah kau menceritakan semua itu untukku, Paman? Dan barangkali, di sana waktu telah benar-benar lenyap di rumahmu. Jarak dan ingatan tentang takdir telah lenyap menjadi batu. Dan kau, Paman, telah lahir kembali sebagai wujud kebaikan-kebaikanmu saat itu. Ingat, Paman, duniamu saat ini pasti sangat luas, bukan? Seperti apa? Sudahkah bertemu dengan orangtuamu, Paman? Ya, mereka kakek dan nenekku. Yang pastinya akan membaurkan mimpi-mimpimu di sana. Paman, jaga diri baik-baik di sana, ya. Semoga di sana kau menemukan surga yang dipenuhi orang-orang yang lahir dari bijaksana. Orang-orang yang tak pernah kelelahan membantumu mengacungkan jari untuk presentasi kebaikan-kebaikanmu.

Saranglilin, Maret 2015


Lima Setengah Tahun

Hari ini, tepat lima setengah tahun, aku mengenalmu. Aku ingat, kala itu, kau mengenalku dari puisi. Bahkan, kau lebih dulu menemui puisiku daripada aku.
Barangkali, ini kuungkap kembali supaya kau tahu, bahwa kita telah sama-sama dilahirkan dari payung rindu. Tubuh kita ditakdirkan sebagai dingin yang kekal. Di antara curah hujan yang tak lagi peduli terhadap laut.
Dan hanya kau, yang memejamkan mata di balik dada ini. Kau membuatku berlinang ketika orang-orang masih selalu mencoba membenciku dengan sepenuh pengekalan yang sengaja ditaburkan.
Katamu, panjang usia kita ini seperti kredit mobil. Dan aku hanya tersenyum, menapaki lesung pipimu yang selalu saja menjauhkanku dari keraguan dan putus asa.

Saranglilin, Maret 2015






Senin, 27 Oktober 2014

Puisi, dan Semacam Ingatan Kecil tentang Kegenitannya

Oleh: Setia Naka Andrian

Barangkali, ini bukan kali pertama kita menjumpai puisi. Sengaja atau tidak disengaja, pasti cukup mesra perjumpaan kita dengan puisi. Banyak jalan yang kita tempuh hingga akhirnya kita mengakui keberadaan puisi. Entah perjumpaan kita dengan sepenuh paksaan atau setebal kemesraan yang panjang. Pasti masing-masing dari kita juga punya jalan yang berbeda dalam proses penemuannya. Proses dan jalan yang tidak pendek. Hingga kita benar-benar mengakrabi dan yakin bahwa puisi bukan lagi tuntutan mata pelajaran saja, namun di antara kita barangkali telah menganggap puisi sebagai kebutuhan, terapi jiwa, dan kegenitan-kegenitan lain sebagainya.
Seseorang menulis puisi, bukan berarti sebatas ia sedang ingin menulis puisi. Namun lebih pada puisi yang ingin ditulis oleh seseorang. Serius, saat ini puisi cukup merasa kesepian. Puisi saat ini barangkali cukup disepelekan oleh seseorang di sekeliling kita, mereka menganggap puisi masih sebagai barang antik yang hanya beredar dan dinikmati orang-orang tertentu dalam keunikan-keunikan tertentu pula. Lebih-lebih mengenai peredaran puisi di lingkungan bangku sekolah hingga kursi-kursi mahasiswa jurusan bahasa dan sastra yang cukup berdesakan tiap tahunnya. Barangkali kita cukup paham, bagaimana muara puisi di lingkungan tersebut hanya akan berakhir di laci dan di bawah kursi saja. Berakhir dalam tumpukan tugas-tugas dan skripsi yang menumpuk kesepian di perpustaan. Jarang yang masih dimusimkan kembali sebatas dalam perdebatan-perdebatan kecil sambil menghisap aroma kopi. Ya, semoga tidak separah kecurigaan tersebut.
Namun setidaknya saya pribadi cukup angkat topi dengan proses kreatif yang dilakukan M. Lukluk Atsmara Anjaina. Ia sebagai siswa MTs, sebuah lembaga pendidikan setingkat SMP dengan pengaruh cukup besar mengenai pelajaran agama Islam. Setidaknya, Anja telah melampaui dirinya yang tidak sebatas sebagai siswa semata. Saya yakin, tidak semua siswa seusianya, baik di sekolahnya maupun di luar sekolahnya melakukan proses keratif yang sama. Barangkali sekelas mahasiswa pun bisa dihitung jari, siapa saja yang percaya terhadap puisi dan menggilainya semacam yang dilakukan Anja.
Sekali lagi, secara pribadi, saya angkat topi. Paling tidak, dengan membaca beberapa puisi yang ditulis Anja menjadi ingatan tersendiri bagi saya. Barangkali kenangan masa lalu proses kreatif saya ketika masa SMP tak sebaik yang dialami Anja saat ini. Saya ingat betul, dulu saya menikmati pertumbuhan proses kreatif hanya sebatas nasib sebagai individu semata. Forum-forum semacam yang dilakukan Pelataran Sastra Kaliwungu (PSK) Kendal belum saya jumpai saat itu. Benar-benar berdikari (baca: berdiri di atas kaki sendiri). Saat itu, akses bacaan saya sebatas rak-rak di perpustaan sekolah yang berada di desa. Sungguh sepi, tak ada yang menggairahkan dan tak cukup kegenitan puisi yang saya jumpai. Maka ketika saya lapar untuk mengintip puisi yang cukup merdu, saya harus merelakan mengajak kakak saya ke Semarang, mengunjungi toko buku, dan tidak membelinya, hanya membaca saja di toko. Hal tersebut saya ulangi kembali dengan intensitas yang cukup serius ketika beranjak SMA. Bahkan saat itu saya menyebarkan virus menular tersebut kepada beberapa teman, membolos sekolah demi menghitung buku-buku baru di sebuah toko buku nasional di Semarang. Ya, masih tetap sama, tetap hanya membaca di toko saja, karena saat itu uang hanya terpaksa untuk membeli buku-buku pelajaran sekolah saja. Tak ada uang lebih untuk membeli buku-buku cerpen atau puisi. Ya, jika hendak membeli buku cerpen atau puisi, barangkali hanya tiap semester sekali. Itu pun hanya memanfaatkan korupsi bulanan iuran sekolah yang saya selinapkan, maaf ya bapak dan ibu. Ini sekadar kenakalan sederhana pada masa kecil saja.
Lalu, bagaimana posisi siswa saat ini, di luar Anja? Apakah masih musim beberapa ingatan kecil saya tersebut? Tentu, kita yakin, dan dapat menjawabnya dengan pelan-pelan sambil menghela napas, menghisap aroma kopi atau mengepulkan asap. Kita yakin, saat ini terlalu banyak pilihan. Segala sesuatu saat ini begitu berdesakan mengantri di depan mata kita dan menarik tubuh kita untuk lekas memeluknya erat-erat. Barangkali tanpa harus bersusah payah mencari, segalanya telah disuguhkan dengan cuma-cuma di depan mata. Sebuah proses penemuan saat ini tak begitu berdarah jika dibandingkan dengan penemuan-penemuan yang ditemukan pendahulu-pendahulu kita. Lebih-lebih anak-anak sekolah saat ini, sudah banyak pilihan, termasuk beragam game, dan bermacam temannya yang sering kita temukan dalam fitur-fitur gadget mutakhir saat ini. Barangkali, jika kita ingat, pendahulu kita, atau barangkali kita sempat berakraban bahwa hiburan saat itu jika tidak mendengarkan sandiwara radio ya bermalasan bersama komik dengan tawaran-tawaran imajinasi yang sangat menggiurkan. Jika masa lalu sudah muncul media elektronik, barangkali semacam televisi dengan segenap kematiannya belum begitu manja seperti yang kita simak saat ini. Atau paling tidak, ketika itu kita masih berbangga melakukan aktivitas discovery kecil-kecilan di hutan atau di kebun-kebun yang ada di kampung halaman kita, tentunya banyak hal yang dapat kita kenang serta kita diskusikan dengan teman sebaya. Paling tidak itu yang mengikat ingatan kita, bahkan sampai kapan pun akan membekas lebih tajam dari mainan-mainan yang kita jumpai saat-saat ini dalam dunia gadget yang begitu cepat berganti seri.
Sudahlah, kita lupakan pelan-pelan beberapa hal yang cukup cerewet itu. Saya rasa puisi Anja dalam proses kreatifnya lebih leluasa menemukan kegenitannya dalam puisi. Berkali-kali saya bilang, bahwa saya pribadi sangat angkat topi terhadap prosesnya. Saya rasa kita semua yang hadir dalam lingkaran ini juga merasa begitu. Terlepas dari bagaimana takdir beberapa puisi yang ditulis Anja yang didiskusikan saat ini, paling tidak ia telah memulai dan tentunya sangat mendapat dukungan dari lingkaran diskusi ini. Bukan bermaksud apa-apa, dalam catatan ini tak banyak yang dapat saya sampaikan mengenai puisi-puisi yang ditulis Anja. Namun, saya berjanji kelak jika Anja lebih bersetia lagi dengan puisi, dan lebih berakraban lagi dengan puisi-puisi di luar dirinya, saya akan berupaya menemui tubuh beserta puisinya sambil menghisap aroma kopi. Bagaimana pun, saya cukup khawatir akan ada kecurigaan-kecurigaan lain jika sebatas mengakrabi puisinya saja, tanpa menemui tubuh dan sedikit bertamasya dengan jiwa penulisnya.
Barangkali pada catatan ini ada yang perlu saya sampaikan untuk Anja, namun ini bukan berarti menggurui, sebatas guru pun tak cukup untuk menggurui jika ia masih merasa kemenangan selalu menguasai dalam benaknya. Begini Anja, setidaknya, saat ini hingga saat-saat berikutnya, bahwa puisi sebagai sebuah sastra merupakan definisi kedua kalinya. Penciptaan puisi tak pernah akan lepas dari representasi penulis terhadap kehidupan agama, kehidupan sosial dan kehidupan individual. Saya rasa, sebagai pribadi yang tumbuh di lingkungan pendidikan agama, khususnya Islam, tentunya akan ada banyak hal yang kamu temukan. Sehingga sedikit pesan pertama untuk Anja, coba setelah lingkaran ini, upayakan untuk sedikit mengurangi tulisan yang masih sibuk dengan dirimu sendiri. Lepaskan dengan sepenuh kelepasannya, hingga benar-benar merasakan bahwa Tuhan telah menggerakkan tanganmu dalam menulis. Ketika tulisanmu sudah berhasil, barangkali itu semua bukanlah semata tulisanmu, namun sudah ada campur tangan Tuhan dalam tulisanmu. Percayalah! Apa ada segala sesuatu di dunia ini yang hadir tanpa campur tangan Tuhan?***

*Tulisan ini disebar dalam NgopiSastra #1 PSK (Pelataran Sastra Kaliwungu) | Selasa, 7 Oktober 2014 |19.45 - 22.00 WIB | di Rumah Puisi Langit Kendal, Jl. KH. Thohari Brangsong Kab. Kendal (Barat Alfamart Brangsong) ke Selatan 200 m | Baca dan Bedah Puisi Lukluk Anjaina