Alhamdulillah, saat
melihat pengumuman Residensi Penulis Indonesia 2019 dari Komite Buku Nasional
dan Kemendikbud yang sedang saya jalani ini, saya merasa sedang bermimpi. Ya,
dini hari itu. Saat malam 17-an, saya bersama teman-teman di kampung sedang
menyimak film-film perjuangan Indonesia yang kami putar di dinding sebuah
lapangan.
Sungguh, saya
seakan tak bisa berkata apa-apa kala itu. Salah seorang teman sekampung pun
berkali-kali menawarkan kopi, dan saya menolak dengan mengiyakan halus.
Berkali-kali ditawarkan, berkali-kali pula saya menolaknya.
Dada pun berdebar
tak karuan. Bahagia bercampur rasa yang entah. Lalu, seorang perempuan terbaik
dalam hidup saya pun menyela mengirim pesan dalam WhatsApp, sesekali melempar
panggilan. Saya abaikan pula. Saya masih terpaku dalam layar ponsel pintar yang
sudut-sudutnya telah retak.
Ya, ponsel pintar
yang tak akan saya sebutkan merknya, yang begitu menyita perhatian saya.
Berkali-kali saya segarkan ulang dalam laman pengumuman, barangkali ada
kesalahan pasang nama atau entah bagaimana. Tubuh saya jatuhkan pelan-pelan,
merebah tanpa bantal di lapangan kecil, di kampung tinggal saya.
Kemudian seperti
ada yang membawa diri saya lari, jauh, terbang menuju negeri kincir itu. Saya
seakan melihat sungai yang berhenti bergerak. Orang-orang di sekitarnya
memandangiku. Tak berkedip. Hanya sesekali menggaruk-garukkan tangannya di
kepala mereka masing-masing. Bersamaan. Sangat berpola. Tanpa jeda.
Seorang perempuan
terbaik dalam hidup saya tadi, kembali melakukan panggilan di ponsel pintar
saya (yang tak akan pernah saya sebutkan merknya itu). Kali ini lebih kencang,
melampaui angin diri hari yang menemani begadang kami saat itu. Kali ini lebih
kencang.
Ponsel pintar saya
bergerak. Melompat dari genggaman tangan. Terus melompat-lompat, memantul
seperti bola bekel. Saya mengikutinya. Dan, hingga sampailah saya di depan
pintu rumah. Pintu masih terkunci.
Saya diam, berdiri.
Menunggu tak cukup lama. Beberapa puluh detik kemudian, pintu seakan membuka
sendiri. Seorang perempuan muncul dari balik pintu. Saya dipeluknya erat-erat.
Sambil ia bertanya, inikah hadiah 10 tahun perjumpaan kita? Saat kali pertama
kau melangitkan cinta di sebuah kedai kecil kala itu
Saya berdiam kata.
Bibir ini bergerak pelan menuju keningnya.
Ya, bulan Agustus
2019 ini, menjadi penanda tersendiri bagi hidup saya. Termasuk bagi keluarga
kecil saya, bersama seorang istri. Sejak pengumuman malam itu, saat saya sedang
menjalani tirakatan malam Agustusan.
Sungguh anugerah
tak terkira. Selalu saja ada orang-orang baik yang begitu rupa memberikan
kebaikan yang sangat tak masuk akal. Yang pertama, seorang penulis buku
kelahiran Boja Kendal, yang sudah cukup lama menetap di Swizerland dan menikah
dengan seorang perempuan warga sana.
Dari penulis
tersebut, sebut saja Mas S, saya diminta untuk mampir ke Swizerland. Yang
selanjutnya saya hendak diajak jalan-jalan, merekam segala hal di sana. Bahkan
tidak hanya diminta mampir semata. Namun kami (saya dan istri) akan diberikan
tiket bus (Flexbus) untuk perjalanan pergi pulang dari Denhaag ke Swizerland.
Ini sungguh sangat tak saya bayangkan sebelumnya.
Sebab, sudah bisa
sampai di Leiden Belanda saja saya sudah sangat bahagia tak terkira. Lha ini, saya
ditawari untuk mampir ke Swizerland dan diberikan tiket cuma-cuma pula.
Sudah itu, ada
seorang kawan baik Mas S, ia bernama Mas Krisna, siap memberikan kamar
cuma-cuma saat saya singgah dua hari dua malam di Swizerland bersama istri.
Kata Mas S,
"Nanti kamu aku buatkan chat wa grup dengan Krisna, ia temanku di Luzern
yang akan siapkan kamar untuk kamu dan istrimu. Kamar 2 malam gratis. Dia biasa
sewakan kamar apartemennya untuk backpacker. Namun untuk residensi pengarang,
ia tidak mau ambil uangnya. Perkiraanku antara akhir November atau Awal
Desember ya, kamu dan istrimu akan singgah dua hari dua malam di Swiss."
Begitulah, sungguh
ada nikmat tersendiri bagi kaum residensi dari desa semacam saya ini. Dan Mas S
tersebutlah, yang sangat rajin membantu dan mengarahkan segala proes
keberangkatan residensi saya. Bayangkan saja, setiap kali ada sesuatu, misalnya
rencana saya diajak ke Swizerland, saya dibuatkan grup WhatsApp untuk
mempermudah komunikasi. Meski hanya bertiga, yakni Saya, Mas S, dan Mas Krisna.
Lalu saat saya hendak mencari tiket, saya dibuatkan grup lagi. Dimasukkan dalam
grup dengan beberapa kenalannya yang pernah beli tiket ke Eropa, juga bahkan
dengan orang yang bekerja di perusahaan penyedia saja pembelian tiket.
Bayangkan!
Ya, begitulah Mas S.
Yang saya kenal sudah sejak cukup lama. Bahkan saat saya masih mengenyam proses
kuliah sarjana pada sekitar 2008-2009. Saat itu saya menghadiri berbagai
kegiatan sastra di Boja. Termasuk gelaran tahunan Parade Obrolan Sastra dan
berlanjut Kemah Sastra serta berbagai kegiatan lain. Tentu gelaran tersebut
yang digerakkan sepenuhnya oleh Komunitas Lerengmedini Boja Kendal dan Pondok
Maos Guyub Boja Kendal. Yang tak lain, kuncennya adalah Mas S dan Mas Heri CS
(sastrawan dan jurnalis yang begitu kalem, yang saya kagumi itu).
Paling terbaru perjumpaan
saya dengan Mas S pada bulan Syawal lalu, bulan Juli 2019. Selepas Ramadan, ada
acara sastra yang terselenggara di Boja Kendal. Ya, di situ juga ada Mas Heri
CS yang lengkap dengan anak dan istri tercintanya. Saya pun baca puisi bersama
grup musikalisasi puisi Paradoks, yang fokus menggarap karya puisi-puisi
penyair Kendal. Termasuk puisi dari Mas S dan Mas Heri CS juga digarap grup
musikalisasi yang beranggotakan para guru tersebut.
Bahkan, melalui Mas
S pula, saya dikenalkan dengan Mas Syahril Siddik, ia seorang dosen dari UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang yang kini sedang menempuh program PhD bidang
antropologi di Universiteit Leiden. Ini juga ada grub WhatsApp juga. Dibuatkan
Mas S pula. Yang berisi saya, Mas S, Mas Syahril, dan Mas Heri CS. Bahangkan
lagi! Sungguh saya sangat alhamdulillah bertubi-tubi!
Dalam grup
tersebut, boleh saya kata itu grup utama yang menghubungkan selanjutnya dengan
grup-grup lain (yang diciptakan Mas S) untuk persiapan residensi saya. Baik
yang terkait dengan proses visa, pembelian tiket pesawat, bahkan hingga sesuatu
yang berkait dengan jaket, sepatu, copet, sarung, tas kecil untuk paspor, dan
banyak lagi hal remeh-temeh lain.
Melalui Mas
Syahril, saya mendapat banyak informasi terkait rencana tinggal saya di Leiden.
Ia juga mengenalkan saya dengan Teh Tuti Coelen dan berlanjut saya kenal pula
dengan suaminya, yakni Mr. Robertus J. Coelen, asli warga Belanda, yang
merupakan seorang profesor di sebuah universitas di Belanda.
Teh Tuti dan Pak
Robert begitu baik menyambut kedatangan saya dan istri. Kami kadang merasa
sangat bingung sendiri. Hampir setiap saat Teh Tuti selalu saja mengirim pesan
untuk menanyakan bagaimana proses kami, bagaimana persiapan residensi, jauh
hari sejak sebelum memperoleh visa. Ya, sejak Agustus itu. Selepas beberapa
hari selepas pengumuman yang lolos residensi.
Bahkan saat
pengurusan visa pun, kami sangat dibantu oleh Teh Tuti. Ya, perempuan kelahiran
Jawa Barat yang kini menetap di Belanda bersama suami dan anak-anaknya.
Saat mengurus visa,
kami cukup kesulitan, ternyata ada satu syarat yang belum terpenuhi. Yakni
perihal rencana tinggal kami selama dua bulan di Belanda. Awalnya kami
mempercayakan diri dengan menggunakan surat tinggal dari seorang mahasiswa
program PhD di Leiden yang hendak menyewakan kamarnya. Namun ternyata, surat
itu tak kuat. Alias ditolak saat kami melakukan pengurusan visa di Kedutaan
Belanda melalui VFS Global di Kuningan City Mall Jakarta. Surat itu tak
bersuara. Jadi kami harus mencari surat Gemeente (dari walikota setempat) yang
akan saya tinggali di Belanda. Jika tidak itu, ada saran lain dari VFS Global,
yakni kami harus melakukan booking hotel.
Jadi intinya,
mereka tidak mau jika ada orang dari luar yang tinggal belum ada kejelasan
hendak tinggal di mana. Maka surat itu sangatlah penting. Akhirnya kami pun
berusaha untuk memesan hotel. Kami coba berbagai pemesanan online untuk mencari
bukti booking hotel. Namun selalu saya, berakhir sama pada saat akhir
pemesanan, saat tiba pada tahapan pembayaran selalu saja gagal. Sebab harus
membayar melalui kartu kredit. Dan, kartu kredit kami tak cukup. Biaya hotel
untuk dua bulan mencapai sekitar 60 juta.
Kami pun sempat
putus asa, sebab kami sudah berupaya pinjam pula kartu kredit dari beberapa
saudara dan teman baik. Namun tetap saja pemesanan gagal. Entah kenapa, karena
limit kartu kredit tak cukup atau entah sebab apa. Karena sempat ada yang
hendak pinjami kartu kredit yang limitnya mencapai 44 juta pun, tetap saja kami
kesusahan.
Dan, kami pun
gelisah. Bingung sebingung-bingungnya. Entah, semakin tak tahu harus berbuat
apa. Mengingat waktu yang sudah sangat mepet. Sebab pengajuan visa maksimal 15
hari sebelum keberangkatan. Dan hari Jumat itu, adalah hari-hari akhir sebelum
menuju hari paling akhir pada Senin depannya.
Akhirnya, kami pun
curhat dengan Teh Tuti. Ia pun memberi solusi, meskipun awalnya tak janji. Ia
pun tentu tak akan memberikan harapan lebih bagi kami. Sebab hari pengurusan
surat Gemeente (dari walikota setempat) tinggal satu hari, yakni pada Sabtu
semata. Dan kebetulan saat itu suaminya, Pak Robert sedang pergi ke luar
negeri. Ia bilang dalam pesan singkat melalui WhatsApp, Ini Robert sedang ke
luar negeri. Baru nanti malam akan pulang. Semoga besok pagi ia bisa ke
walikota dan mengurus surat Gemeente itu. Semoga masih bisa dan segera jadi
hari itu juga.
Semoga, semoga,
semoga. Doa, doa, doa. Hanya itu yang menyelimuti ikhtiar kami. Pun Teh Tuti
sama, hanya mampu berusaha dan berdoa.
Akhirnya, Sabtu itu
Pak Robert ke kantor walikota. Alhamdulillah, surat Gemeente, surat keterangan
tinggal itu bisa keluar untuk kami. Intinya surat itu berisi, bahwa akan ada
kolegateman dari Pak Robert yang akan tinggal di rumahnya selama dua bulan. Dan
surat tersebutlah sepertinya aturan baru yang dikeluarkan oleh Kedutaan Belanda
saat pengurusan visa. Jadi misalkan tahun-tahun sebelumnya bisa menggunakan
surat tinggal dari mahasiswa PhD yang menyewakan kamarnya, kali ini sudah tidak
bisa. Harus ada surat Gemeente tersebut, yakni yang dikeluarkan oleh walikota
setempat yang diajukan oleh seorang warga Belanda.
Itu salah satu
bukti birokrasi di Belanda. Yang tentu dapat dicontoh. Kata seorang teman baik
saya, Bung, di Belanda itu birokrasinya kelas kakap. Profesional banget. Tidak
hanya hitungan hari. Hanya hitungan jam. Bahkan menit! Beda dengan di
Indonesia.
Ya, itu benar. Saya
mebuktikan dan mengalami. Bahkan saat saya berkomunikasi (melalui surat
elektronikemail), hitungan jam semua beres. Surat-menyurat berkepala surat dan
bertanda tangan pejabat bisa keluar hitungan jam. Tidak sampai melewati 3 jam.
Bayangkan!
Kembali lagi
terkait pengurusan visa tadi. Berkait dengan surat Gemeente tadi. Ya, misalnya
hendak menggunakan pilihan lain (yang disarankan VFS Global), yakni harus melampirkan
bukti pemesanan hotel. Meski bagi petugas di VFS Global sendiri menyarankan
mencari pemesanan hotel yang nantinya bisa dibatalkan tanpa syarat. Alias
dibatalkan tanpa potongan biaya. Jadi pemesanan hotel itu pun hanya digunakan
untuk keperluan pengajuan visa semata.
Selanjutnya, Senin
berikutnya kami ke Jakarta lagi untuk pengajuan visa. Pengajuan itu pun sudah
diterima. Menurut dari pihak VFS Global, penyedia jasa layanan visa bagi
Kedutaan Belanda itu pun menyatakan segala syarat telah terpenuhi. Namun tetap
saja, hasilnya (visa bisa keluar atau tidak) bergantung sepenuhnya dari pihak
Kedutaan Belanda.
Kami pun cukup lega
saat itu. Meskipun masih menyisakan deg-degan, sebab menunggu kabar dan
jawaban, visa akan keluar atau tidak.
Selepas sekitar
satu minggu, visa kami keluar. Visa saya duluan keluar, yakni pada hari Jumat,
pada minggu yang sama dari pengajuan Senin itu. Ini lagi yang membuat kami
deg-degan. Sebab pengajuan kami bersamaan, namun kabar visa dari istri belum
juga muncul pada hari yang sama dengan saya. Ditambah lagi deg-degan yang
lainnya. Kabar visa sudah ada jawaban itu memang lumayan melegakan, namun
sesungguhnya justru semakin menjadikan kami semakin deg-degan. Sebab itu
jawaban tersegel, hanya kami sendiri atau orang bersangkutan yang bisa membukan
jawabannya visa disetujui atau ditolak!
Lalu meski harus berpegang gambling, istri saya yang bergerak sendirian
ke Jakarta. Sebab saya harus menjalani kuliah di Jogja. Awalnya saya hendak
bolos, namun dilarang oleh istri. “Nantinya kau akan tidak masuk kuliah dua
bulan. Kali ini biar aku saja yang ambil hasil visa ke Jakarta. Meski visaku
belum ada kabar,” begitu katanya.
Saya pun menuruti
perkataannya. Pesanlah tiket kereta untuk keberangkatan dan kepulangan istri.
Jadwal keberangkatan pagi sekitar pukul 06.00 WIB dan akan tiba di Jakarta
sekitar pukul 12.00 WIB. Kemudian tiket kepulangannya terjadwal sekitar pukul
18.00 WIB dan akan tiba di Semarang kembali pada sekitar pukul 24.00 WIB.
Ada waktu luang,
waktu yang dapat dihitung kotor dari pukul 12.00 hingga 18.00. Digunakan penuh
untuk menjemput kabar visa kami. Meski kabar visa punya istri masih belum ada.
Ia bergerak sendirian membawa kecemasan. Sendirian. Tanpa seorang kekasih yang
begitu setia menemani. Hehe.
Namun
alhamdulillah, saat perjalanan berkereta, sekitar pukul 11.00 ada pemberitahuan
masuk dalam emailnya. Ada kabar, bahwa kabar visa istri sudah bisa diambil. Dan
istri pun semakin deg-degan. Apalagi saya. Lebih!
Selepas sampai pun,
istri harus mengantri. Tambah lagi deg-degan saat ia begitu saya tanyai terus
bagaimana hasil visa, bagaimana hasil visa. Bahkan tidak hanya saya yang tanya.
Saat ia mengantri untuk mengambil hasil visa, ibu dan kakaknya serta
teman-teman dekatnya pun turut menanyakan. Bagaimana hasil visa, bagaimana
hasil visa. Dan semua itu membuat istri saya semakin nggak karuan. Bahkan saya
tiba ia dipanggil untuk dapat giliran mengambil hasil visa, ia sangat deg-degan
gemetar nggak karuan.
Apalagi saat
membuka bungkusan paspor tersegel yang di dalamnya ada hasil visanya. Ia susah
membuka. Gemetar nggak karuan membuka plastil bersegel itu. Namun
alhamdulillah, visa kami berdua disetujui. Visa kami keluar. Saya dengan visa
short study dan istri saya dengan visa turis.
Sudah, kami cukup
lega. Meski selanjutnya kami harus tiba pada bagian persiapan lainnya. Yakni
salah satunya memesan tiket penerbangan. Ini cukup berkelok lagi kisahnya.
Selepas saya
dibuatkan grup pembelian tiket oleh Mas S, yang tentu ini sangat saya
manfaatkan. Sebab mau bagaimana lagi, ini kali pertama pengalaman saya harus
membeli tiket penerbangan yang sangat jauh. Penerbangan menuju belahan bumi
sebelah sana. Jauh sekali dari tinggal saya. Jadi saya harus mempertimbangkan
banyak hal. Terutama harga tiketnya. Harus cari yang paling murah. Juga yang transitnya
satu kali. Sebab ada yang bilang, bahaya jika transit berkali-kali. Selain
nanti kalau ketinggalan penerbangan, juga nanti terkait dengan keribetan
pemeriksaan di bagian imigrasi. Ada yang menyarankan untuk tidak transit di
negara tertentu yang ribet pemeriksaannya. Itu sungguh memakan waktu, tenaga,
dan lainnya.
Akhirnya kami pun
menemukan tiket pilihan atas berbagai pertimbangan. Kami pun berusaha untuk
membayarnya. Tiket pulang pergi berdua sekitar 28 juta. Pemesanan dari
skyscanner. Ini saya bandingkan, ada selisih 3 jutaan dari pemesanan lain yang
saya lakukan dari jasa pesan tiket online di Indonesia.
Akhirnya saat tiba
pada tahapan pembayaran, dan hendak bayar namun kami mengalami kesusahan. Pakai
kartu debit tak bisa, pakai kartu kredit pun sama. Selalu gagal transaksi.
Entah kenapa. Kami pun berpusingan kembali. Sebab yang biasa saya lakukan pun
memakai jasa pemesanan online bisa dengan pembayaran menggunakan internet
banking.
Sungguh, kami
kehabisan akal. Akhirnya kami dibantu oleh Teh Tuti. Ia memesankan tiket dengan
harga yang lebih terjangkau, selisih yang sangat lumayan itu. Ya, selisih 3
juta itu sangat banyak. Apalagi jadwal kepulangan kami ke Indonesia pada
pertengahan Desember. Itu saat-saat tiket mahal. Momen Natal dan tahun baru.
Teh Tuti pun
membantu kami. Memesankan dan membayarkan tiket penerbangan pulang dan pergi
senilai sekitar 28 juta itu. Bayangkan, 28 juta tidak sedikit. Kami belum kenal
jauh. Kami belum pernah jumpa dengan keluarga Pak Robert Coelen dan Teh Tuti
Coelen. Sungguh!
Bahkan tidak hanya
dibantu pembayaran tiket saja. Perihal sewa kamar tinggal pun kami dibantu. Dan
kami membayarkan kemudian hari. Pengiriman uang dari bank di Indonesia ke bank
di Belanda pun butuh waktu. Tidak hitungan detik bisa sampai. Sebab sudah
transaksi beda negara.
Pembayaran tiket yang tak murah itu kami telah dibantu. Pun biaya
penginapan. Bahkan untuk penginapan pun awalnya kami diminta untuk bayar saat
kami sudah tiba di Belanda. Entah, coba misalnya jika kami kabur. Lari atau
bagaimana. Pasti mereka akan rugi besar karena telah membayarkan duluan. Ya,
jumlah uang yang tak sedikit. Namun, barang tentu semua kembali pada saling
percaya. Jika sudah begitu, tak ada yang tak mungkin![]