Lapak Baca Bergerak di Mandar
Oleh Setia
Naka Andrian
Belakangan
ini begitu menjamur laku literasi di berbagai daerah. Entah apa sebab, namun
pasti segala itu bukan karena Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang digemborkan
pemerintah. Para pegiat literasi seakan berasyik masyuk dalam geraknya, meski
dalam lingkup lebih kecil, yakni di kampung halamannya masing-masing. Jika di
dekat kampung halaman saya, di Kendal Jawa Tengah, ada geliat beberapa ruang (komunitas)
yang kerap menjaga napas literasi yang tidak sekadar bergegiatan apa-adanya
lalu seusai acara langsung berfoto dengan mengacungkan jari tangan berbentuk
“L”.
Misalnya,
Komunitas Lerengmedini Boja Kendal dengan salah satu programnya Wakul Pustaka,
Pelataran Sastra Kaliwungu Kendal dengan diskusi dan penebitannya, Lapak Baca
Ora Niat dengan program lapak jalanannya, Jarak Dekat Kendal dengan program forum
Jurasik (Jumat Sore Asik), diskusi-diskusi, serta penerbitan buku-buku indie-nya,
Lesbumi Kendal, Sanggar Kejeling dengan perpustaan di kampung Sidomulyo, Lestra
Kendal dengan program Hajatan Kebun Sastra.
Mei
ini, terhitung sejak 1 Mei 2019 hingga nanti bulan ini usai, saya berkesempatan
mengikuti Residensi Sastrawan Berkarta ke Wilayah 3T. Saya ditempatkan di
Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Barat. Tentu, bayangan saya sebelum
berangkat residensi sudah menerawang jauh bagaimana geliat “Pusataka Bergerak”
yang begitu kentara di Sulawesi Barat, khusunya di Polewali Mandar (Polman). Maka
tak ambil waktu lama, beberapa hari selepas di Polman, saya langsung memburu
beberapa pegiat literasi ‘bergerak’ di sini. Alhasil, berkat koneksi beberapa
teman lama serta berkat jaringan internet yang aman, saya lekas dapat
menghubungi beberapa pegiat literasi tersebut untuk lekas berjumpa. Sebutlah,
di antaranya ada Muhammad Ridwan Alimuddin (Nusa Pustaka), Ramli Rusli (Rumah
Pustaka), dan M. Rahmat Muchtar (Uwake’ Culture Foundation).
Suatu
hari, saya pagi-pagi mengunjungi Nusa Pustaka. Disambut dengan hangat oleh Ridwan,
yang tak lain, ia adalah penulis buku-buku kebaharian. Di antaranya berjudul Mengapa Kita (Belum) Cinta Laut? (2004),
Sandeq: Perahu Tercepat Nusantara (2009),
Kabar Dari Laut (2013), Ekspedisi
Bumi Mandar (2013), Orang Mandar
Orang Laut (2013), dan beberapa judul lain. Bahkan saat ini, ia juga tengah
proses penulisan buku tentang perhajian di tanah Mandar.
Pagi
hari hingga siang, kami berbincang banyak hal perihal Mandar. Saya begitu
terbantu, banyak informasi yang saya dapatkan tentang Mandar. Bagaimana alamnya,
budaya, dan manusianya. Dan sore hari, saya berkesempatan untuk diajak melapak
bersamanya. Ridwan pada sore itu hendak menuju ke sebuah perkampungan di tepi
pantai Desa Pambusuang, Kec. Balanipa, Kab. Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Ia
membawa sepeda yang membawa buku-buku bacaan. Buku-buku bacaan anak-anak
diangkut dalam tas yang digantungkan di kanan dan kiri boncengan sepedanya. Armada
itu ia beri nama “Sepeda Pustaka”. Meski, Ridwan juga kerap melapak dengan
menggunakan ATV Pustaka, serta “Perahu Pustaka” yang begitu moncer itu.
Bagi
Ridwan, sesungguhnya bukan persoalan minat baca yang kurang bagi anak-anak,
khususnya di sebuah perkampungan nelayan yang disinggahinya. Tidak sedikit
didapati anak-anak yang berkerumun dan begitu antusias untuk memilih serta
meminjam buku yang dibawanya. Begitu sampai tepi pantai (yang tak lain juga
didapati para pembuat perahu Sandeq, perahu tercepat Nusantara itu), Ridwan
menggelar lapaknya. Buku-buku ditata. Tanpa jeda lama, anak-anak di kampung
pantai itu langsung bergegas memilih buku-buku yang dilapaknya. Ya, mereka
anak-anak dari para nelayan dan pembuat perahu di tepi pantai itu.
Penuh Ketelatenan
Mereka
berdesakan, mengantri, untuk meminjam buku. Mereka pinjam buku itu selama
beberapa hari. Ridwan mencatat buku-buku yang mereka pinjam. Jika di antara
mereka ada yang tak bisa hadir untuk meminjam, maka orangtua merekalah yang
turut serta mengantrikan untuk meminjam buku. Hari lainnya pun, Ridwan akan
dikerumuni anak-anak pantai itu. Terus begitu, berkelanjutan. Tiada pernah
berkesudahan.
Pegiat
lain yang saya jumpai, ialah M. Rahmat Muchtar dan Ramli Rusli. Kedua pegiat
ini tak beda dengan apa yang dikerjakan Ridwan. Rahmat menggunakan “Bendi
Pustaka” dan Ramli pun menggunakan “Sepeda Pustaka” seperti yang digunakan oleh
Ridwan. Mereka sama-sama, menelusuri kampung-kampung di sekitar tempat tinggal
mereka. Segala itu mereka kerjakan dengan penuh ketelatenan, kesabaran, dan
ketabahan.
Ridwan,
Rahmat, dan Ramli, tak jarang harus menyisihkan bahkan mengalahkan segala
kebutuhan pribadi demi memanjangkan napas “Pustaka Bergerak” yang mereka
kerjakan. Sudah tentu segala itu sangat menyita materi, tenaga, waktu, dan
pikiran. Mereka harus berkeliling, menjemput para pembaca di kampung-kampung. Sebab
bagi mereka, begitu yang lebih efektif. Anak-anak di jemput, lapak-lapak digelar
di jalan-jalan kampung.
Sesungguhnya,
mereka pun memiliki perpustakaan yang dikelola secara mandiri. Baik dibangun di
dekat rumah atau di dalam rumah para pegiat literasi itu. Bahkan, ada di antara
mereka yang rela menggunakan sepetak tanahnya untuk didirikan perpustakaan dan
tak membangun rumah di area itu. ***
—Setia Naka
Andrian,
lahir dan tinggal di Kendal, sejak 4 Februari 1989. Pengajar di Fakultas
Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) ini menulis
puisi, cerita pendek, esai, dan resensi buku. Kini ia sedang menjalani Residensi
Sastrawan Berkarya dari Badan Bahasa di Polewali Mandar Sulawesi Barat.